Jumat, April 22, 2016

GADIS SASTRA

source image: google

Gadis-gadis sastra 

Langkah elegannya membelah gedung setengah gelap 

Kian kemari mereka berjalan

Silih berganti mereka berlalu lalang

Derap langkah anggun nan kemayu

Titisan peri 'tuk perindah bumi


Mengalir begitu saja,

Pujian dunia untuk mereka yang tampak berbeda 

. . . . . . . . . . .

Sebait puisi mengisi halaman buku yang sedang tidur manis di paha kananku. Sebatang pena menemani, kadang menyentuhnya, membentuk goresan-goresan bermakna sederhana. Namun tak sesering mata menatap menyaksikan maestro dunia. Gadis-gadis sastra itu, pelita yang terang bercahaya di kegalauan hati, penyinar sudut sempit yang tak terjangkau mentari. Dialihkannya pandang dengan cerah yang mereka punya. Dibiarkannya raga untuk sedikit berekspektasi dalam lara.

Aku sedang duduk menyepi, menyendiri tidak jauh dari pintu yang setengah terbuka. Beberapa menit yang lalu baru saja pindah dari bangku di tengah gedung. Agak lain rasanya, di ruangan setengah gelap itu, manusia yang berseliweran seperti menatap dengan raut yang tak biasa. Barangkali maknanya 'siapa orang ini?' atau 'Siapa dia? Ada yang kenal?'

Geger gejolak sangka dibuatnya. Dan aku kemudian memilih untuk beranjak, beringsut beberapa meter dari bangku hitam yang sudah mulai panas. Kolaborasi buku dan pena yang baru saja selesai merangkai sebait puisi kubenamkan di balik restleting ransel hitam yang dari tadi menjadi kawan berkhayal. Pindah beberapa langkah saja sebenarnya, hanya dibatasi pintu kaca tetapi suasananya jauh berbeda. 

Kembali dalam diam. Merenung menemani pangeran siang yang tampak sedang berdiskusi dengan awan mendung. Di luar sini tak ada yang peduli. Tidak ada tatap tanya, tidak ada raut wajah yang menghadirkan prasangka. Juga tidak ada kejelasan kesibukan apa yang sedang kulakukan. Hanya merenung saja, ya, Merenung di penghujung pagi.

Tak lama dua gadis sastra muncul di balik pintu. Dari sana seorang diantaranya melambai. 4 detik kemudian baru kusadari apa yang tengah dilakukannya. Lambaian itu ternyata adalah sapa untukku. Sedikit senyum lalu dihamburkannya. Bertanya ala kadarnya, lalu melangkah pergi menuju arah Barat. Hilang di balik jalanan kampus yang pinggirnya ditumbuhi pohon trembesi tua.

Semenit berikutnya aku bangkit. Berjalan ke timur meninggalkan label besar 'CULTURAL STUDIES' dan hilang di balik gedung 11 lantai yang masih dalam tahap pembangunan. Di setiap langkah yang semakin menjauh itu, ada senyum tipis tentang apa yang baru saja terjadi. Ternyata baru saja kebodohan dan keinginan menggerusuk mengaduk jalan pikiran. Aku memberanikan diri duduk di tempat tak biasa, menghabiskan waktu sangat lama tanpa melakukan apa-apa. Lalu pergi begitu saja setelah mendapati senyum dari seorang gadis sastra. Apakah aku sedang digerayangi cinta?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar