Sabtu, Juli 30, 2016

Garis Khayal


Seringkali aku menyaksikan aktivitas dunia dari balik persembunyian. Dan kau tahu, itu membuatku merasa menjadi seorang yang paling pengecut. Pun sampai detik ini, saat aku hanya bisa duduk di depan komputer tua sambil mengetik namamu, menulis beberapa karangan bulshit. Setiap tulisanku bermakna harap. Menyemogakan dirimu agar melunak dan begitu saja luluh hanya karena rayuanku. Sejatinya aku menyadari, menaklukkanmu adalah sesuatu yang tidak mudah, tapi bagaimana mungkin aku melakukannya sedangkan jantung selalu tidak stabil saat berada di depanmu?

Perlahan kepalaku dihantui rasa takut, semakin waktu berlalu, semakin pendek pula garis khayalku yang dapat berubah menjadi nyata. Sampai detik ini, rayuan yang kuhantarkan masih saja sebatas rayuan kata, tersatu dalam satu tulisan pendek beberapa kalimat, yang entah kau baca entah tidak. Semoga saja.

Kamis, Juli 28, 2016

(Masih) Tentang Ayah, Dan Pak Doktor

Kampung indah di pedalaman sumatera

Selamat malam Pak Direktur yang sukses di ibukota, selamat malam juga Pak Dosen bergelar Doktor yang terhormat. Sebagai yang lebih muda, tentu aku harus 'sopan' pada kalian. Pertama-tama, bagaimana kabar kalian malam ini? Sudah berapa banyak makanan yang masuk dalam perut kalian? Bagaimana kabar anak-anak kalian? 

Oke, cukup untuk berbasa basi. Aku bukan seorang yang pandai berkata-kata. Mari kita sedikit bicara tentang apa yang sedang terjadi. Tentang permasalahan yang berlarut-larut tanpa bertemu jalan keluarnya sampai detik ini. Jika aku berkata, mungkin tidak akan pernah kalian dengarkan. Lagipula aku hanya seorang pemuda kampung, anak seorang petani miskin di pelosok sumatera yang keluarganya berjuang mati-matian untuk biaya kuliahnya.

Semua orang sudah mahfum, ayahku dilahirkan setelah Pak Doktor dan sebelum Pak Direktur. Lahir dari rahim yang sama namun ternyata berbeda nasib. Intinya kalian bersaudara -secara biologis-. Ya, secara biologis, karena secara bathin dan kemanusiaan kalian bukanlah seorang yang harusnya dikenal ayah. Tidak, aku tidak bermaksud ikut campur, itu urusan kalian bersaudara, dengan Ayahku, dan juga dengan saudara-saudara kalian yang lain. Termasuk dengan pemimpin kaum kalian yang ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Terseret dunia dan condong ke Pak Direktur yang dompetnya jauh lebih tebal. Tidak mampu membuka mata, tidak pandai memilah, dan tidak pandai menengahi perselisihan. Kepala kaum macam apa itu?

Sebagai seorang anak -sulung- tentu aku tidak bisa terima begitu saja jika Ayahku kalian rendahkan. Boleh kalian remehkan, tetapi tolong, jangan persulit keadaan kami yang tidak berpunya. Nama besar kalian sudah cukup membuat ayahku menderita. Boleh kalian persalahkan ayahku jika benar beliau salah, tetapi tidak dapatkah kalian menunjukkan dimana letak salahnya sehingga dapat diperbaiki? Ayahku menyekolahkanku ditempat yang sebagian besar orang sangka tidak akan sanggup beliau hadapi biayanya. Nyatanya apa? Sampai detik ini alhamdulillah Tuhan masih memberi kesempatan, walau mungkin dengan keadaan yang sangat tertatih. Dan atas itu semua, kalianlah yang dianggap pahlawan. Semua orang melihat, bahwa aku dan kehidupanku kini berasal dari kantong kalian biayanya, padahal itu adalah murni jerih payah ayahku. Jangankan membantu secara materi, secara moril saja kalian tidak pernah. Aku tidak bermaksud mengemis minta bantuan. Hanya sekedar untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.

Pak Direktur yang terhormat, anda adalah pengendali dari semua ini, bahkan kepala kaum itu juga tunduk pada anda. Anda orang berpunya, semuanya bisa anda beli, kecuali keluarga miskin kami. Karena ayahku lebih merasa terhormat untuk meminjam kepada tetangga daripada harus menjilat seperti yang kepala kaum kalian lakukan.

Dan kepada Pak Doktor, anda adalah orang kampus. Orang yang paling tahu tentang pentingnya pendidikan. Tapi yang anda lakukan justru mematahkan semangat ayah untuk menyekolahkanku. Ayahku tidak bergelar seperti yang tersemat di depan dan belakang nama anda, tetapi kenyataannya beliau jauh lebih memahami arti pendidikan dari pada anda Pak Doktor, yang saban hari berkecimpung di dalamnya. Aku ingat betul di hari kelulusanku ketika itu, saat aku diterima di salah satu kampus negeri di tanah jawa, orang yang paling dahulu mematahkan semangat kami adalah anda Pak Doktor. Untung ayahku tidak sebodoh anda, sehingga beliau tidak mempedulikan omongan anda yang tidak beralasan itu, tidak bernurani lebih tepatnya. Beliau bersikeras tetap akan memberangkatkanku. Ayah tidak peduli dengan perkataan anda yang lebih mengarah kepada pencemoohan karena keluarga kami miskin.

Aku sekolah tidak bermaksud agar pintar untuk menghujat anda. Maaf sebelumnya, mungkin caraku salah, tetapi setidaknya aku telah mencoba membukakan mata anda. Gelar yang anda dapat ternyata tidak cukup mampu untuk membuka cakrawala, justru arit dan cangkul yang dipegang ayahku setiap harilah yang lebih mampu untuk menciptakan sebuah pengertian, bahwasanya PENDIDIKAN ITU SANGATLAH PENTING.

Pak Doktor, sebenarnya tumpuanku adalah pada anda, anda yang sebenarnya lebih tahu, lebih dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi. Kepala kaum anda sudah tidak dapat diandalkan untuk menyelesaikan permasalahan. Andalah yang kini seharusnya turun tangan. Namun anda juga ternyata sama saja, tidak lebih pintar dari ayahku yang hanya tamatan SMA.


Ps: Ayah adalah yang terhebat

Lekas Sembuh



Sayangnya aku memilih untuk tidak melangkah ke sana. Bukan karena tidak peduli, memangnya siapa aku yang boleh seenaknya datang mengunjungi tubuhmu yang terbaring tak berdaya? Kau dan orang-orangmu tentu juga nanti akan shock ketika aku tiba-tiba mengucap salam dan mengetuk pintu sambil tersenyum. Nafasmu akan tercekat dan sakitmu akan bertambah parah. Percayalah, meski tidak menghampirimu, dari sini aku selalu mengirim doa, lekas semoga kesembuhan diberikan lagi kepadamu.

"Segeralah kembali beraktivitas seperti biasa. Bukankah ada kesibukan maha padat yang sedang menantimu?"

Kawan, Aku Jatuh Cinta

Teruntuk kawanku, yang dimana kita harus tidak lagi berjumpa saat dunia baru saja memperkenalkan. Untung saja dia semakin tinggi peradabannya, hanya dengan benda kotak seukuran genggaman tangan kini aku bisa sedikit mengobati rasa ingin bertemu. Kau tahu, itu saja ternyata tidaklah cukup. Bertemu bertatap mata jauh lebih menyenangkan meski mungkin aku akan gerogi dan kaku. Tidak perlu bertanya mengapa, bukankah setiap kali jatuh cinta sikap manusia akan selalu begitu?


Jatuh Rindu

Masih kau biarkan aku terus mengejar? Terima kasih, itu adalah kuas pewarna dalam hidupku. Membiarkanku terus berharap adalah alasan kenapa aku tidak akan pernah bisa berhenti melirikmu. Mungkin mulai terasa jauh, atau seiring waktu yang terus berjalan, kita seolah tampak semakin tidak dekat. Barangkali kamu tidak perlu tahu, bahwa suasana hati justru sekarang ini semakin menggebu. Aku sedang merindu.

Untuk kamu yang tengah berlagak angkuh, sikapmu itu adalah cambukan. Sampai kapan kamu akan terus begitu? Boleh jadi sebentar lagi malah kamu yang akan merasa, kamu akan jatuh rindu saat aku sudah tidak dapat kau sentuh. Nikmati saja selama itu masih mewarnai perjalananmu. Kau tahu kan, bahwa rindu akan selalu tiba saat apa yang kamu rindukan itu tidak lagi dapat kau raih. Itulah hukum kehidupan. 

Selasa, Juli 26, 2016

Melunak, Membuka Diri

Mungkin saja terus berharap akan jauh lebih baik
Kamu biarkan aku terus berjuang dan berusaha dengan ketidakpedulianmu
Kamu abaikan tatap tulus yang terpancar dari bola mataku
Terus mengejar seperti jauh lebih menyenangkan
Daripada cepat mendapatkan, lalu datang jenuh yang tidak mengenakkan
Sejauh ini, aku setuju dengan sikapmu
Tetaplah begitu dalam menjalani hari-harimu
Karena kadang aku juga ingin merasakan susahnya berjuang
Hanya satu saja pinta yang semoga kamu dengar dan mahfumkan

            Kau mengenalku. . . . . . . .
            Kamu tahu bahwa aku pernah melintas di depan matamu
            Juga ada aku yang pernah muncul dalam fikirmu
            Maka nanti, akan tiba saat dimana kamu lelah untuk terus mengabaikan
            Dan kamu mulai berpikir untuk melunak
            Membuka diri. . . . . . . .


"Jatuh Cinta di Ujung Senja"

"Get Well Son, Dear"

Jika ada orang yang detik ini bertanya tentang apa yang ingin kulakukan, maka jawabnya adalah "Get Well Son, Dear." Itu saja yang ingin kuperbuat, membisikkan kata-kata itu ditelingamu, yang sedang terbaring lemah dengan jarum infus menusuk pembuluh vena. Tangan kirimu lemah terkulai, pasrah pada tusukan menyakitkan yang sebenarnya membantumu untuk tetap kuat.

Sampai detik ini aku tidak tahu, gerangan apa yang sedang menimpamu. Terakhir kulihat senyummu yang manis menyapa taman-taman kampus yang bersih dan terawat, 3 minggu yang lalu. Kini, ingin sekali aku bertanya, bahkan ingin juga aku ikut menungguimu, menemani kamu yang terkulai lemah di pembaringan yang bukan milikmu.

Aku masih di sini, masih setia mendiami kotamu, seperti rasa rinduku yang juga masih setia untuk menanti tibanya waktu bertemu. Ingin kuberanikan diri mengunjungimu, menyaksikan dari dekat kejadian apa yang sebenarnya membuatmu tak berdaya, menghiburmu, dan mengajakmu kembali tersenyum. Akankah aku diterima? Olehmu, oleh keluargamu, oleh orang-orang dekatmu.