Rabu, Desember 30, 2015

Sudut Kotamu

Satu dari sekian banyak sudut menarik di Kota(mu)
sumber : google
Sudut kotamu ternyata indah dan aku menyukainya. Jauh dari keramaian lalu lintas yang penuh sesak. Suasananya tentram dan damai dengan aktifitas-aktifitas kecil yang membuatnya tampak sedikit lebih hidup.

Sudut kotamu mengingatkanku pada rumah yang telah 2 tahun aku tinggalkan. Tidak jauh berbeda suasananya, indah dan hijau. Namun tentu saja alam di rumahku terasa lebih asri karena lokasinya jauh dari kota. Kotamu merupakan kota terbesar ke 2 di provinsi, sementara aku tinggal di daerah pedalaman di Sumatera sana, terapit oleh bukit-bukit menjulang yang susah ditembus sinyal.

Oke, tentang kotamu yang ramah dan menyenangkan meskipun kepadatannya tidak karu-karuan di pusat kota, aku berterima kasih. Pengalaman dan kehidupan yang disuguhkan kotamu meninggalkan kata 'betah' untuk meninggalinya. Rasa rindu selalu muncul jika aku sedang tidak berada di kotamu. 

Hari ini aku punya kesibukan yang agak padat di jalanan, membuat setengah hariku habis dengan berjalan mengitari kota. Tidak di pusat, kali ini kesibukan membawaku ke beberapa tempat di pinggir kota. Beberapa pernah aku datangi sebelumnya, beberapa lagi tidak. Baru aku saksikan ternyata di kota besar ini, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari balaikota, masih ada hamparan sawah penyejuk mata, masih ada semacam hutan kecil pelega nafas.

Satu dari beberapa tempat di pinggir (bukan pinggiran) kota yang aku jamah hari ini mengingatkanku padamu. Tidak sengaja aku dulu pernah melihatmu sedang berada di salah satu rumah di sana. Aku lupa kapan persisnya, yang jelas saat itu kita baru sekedar saling tahu satu sama lain. 

Suatu saat aku akan mampir, beramah tamah dengan seorang penduduk asli nan cantik rupanya. Yang indah laku serta terpuji sifatnya. Kelak, jika aku pergi dari kota ini dan kembali lagi setelah waktu yang cukup lama, mungkin sebuah rumah di pinggir kota itu adalah yang pertama kali kutuju. Karena ada kamu di dalamnya, yang menjadi alasan mengapa aku harus kembali lagi suatu saat nanti.

Minggu, Desember 27, 2015

Terima Kasih Theresia

Theresia, itu namamu dan aku memanggil dengan sapaan Rara sesuai permintaanmu. Apa kabarmu kini? Maaf jika terlalu lancang untuk menanyakan keadaanmu. Selamat Natal ya, selamat berbahagia di hari rayamu. Oh iya, apa kamu masih ingat aku? Barangkali kamu lupa, sebut saja namaku Hanagi, yang dulu satu Cluster denganmu saat ospek. 

2 tahun lalu kita terakhir kali bertemu. Pastinya sudah cukup sulit untuk mengingat wajahmu lagi. Seandainya kita tak sengaja bertemu lagi, mungkin perlu beberapa detik untuk memastikan bahwa itu adalah kamu saat berdiri di depanku. Meski sedikit lupa wajah, aku sama sekali tidak lupa akan kebaikanmu tempo hari. Kamu ingat? Ketika aku baru datang dan tidak tahu apa-apa tentang kotamu, ketika aku bingung harus kemana mencari sesuatu yang aku butuhkan, dengan senang hati kamu memberi tahu, bahkan dalam beberapa waktu kamu bersedia menemani. Terima kasih atas semua kebaikanmu.

Hari ini aku mampir ke toko buku. Tempat dimana kamu dulu hanya berniat menemaniku mencari buku-buku kuliah, tapi malah akhirnya kamu yang jadi membelinya, sementara aku pulang dengan tidak membawa apa-apa. Teringat lagi semua kebaikan yang pernah kamu lakukan waktu itu. Kamu juga membawakanku beberapa makanan khas Ngalam yang sebelumnya belum pernah kucicipi. Betapa baiknya kamu padaku ketika itu.

Dan aku juga kaget ketika kita makan di sebuah lesehan tidak jauh dari toko buku. Kita memesan lalapan. Saat kamu mengatur posisi duduk, tidak sengaja dari balik bajumu muncul mainan kalung berupa tanda salib. Aku kaget karena sebelumnya belum pernah makan berhadapan dengan seorang yang beda iman. Menghadapi makanan yang tersaji, kita berdoa dan bersyukur dengan cara berbeda. Aku menadahkan tangan sementara kamu menyatukan kedua telapak tanganmu tepat di depan dada. Sebulan lebih kita kenal, baru malam itu aku tahu bahwa kamu adalah seorang Khatolik. Adalah pengalaman lain bagiku, kenal denganmu membuat aku mendapatkan lagi sesuatu yang baru. 

Aku tidak akan lupa jasamu meski barang kali kamu lupa pernah menolongku. Tidak masalah jika kamu lupa, aku hanya bisa mengirim doa semoga harimu selalu bahagia. Karena di sini, di kotamu yang ramah ini aku juga merasa bahagia. Oh iya, maaf jika aku lancang, terakhir aku melihat potretmu bersama seorang laki-laki, apakah itu kekasihmu? Selamat ya, semoga hari-harimu bahagia bersamanya. Terima kasih, Ra, atas semua bantuanmu dulu. Selamat hari raya Natal dan Tahun baru. :)

Memilih Menghilang

Hubungan kami berakhir dengan tidak baik. Dia tidak lagi pernah mau menemui saya sejak peristiwa dinihari itu. Empat tahun lalu hubungan kami berakhir tanpa sebuah penyelesaian. Berhenti begitu saja setelah kejadian pahit yang hampir saja berakibat fatal untuk kehidupan kami. 

Saat itu kami masih sama-sama kuliah, sekitar satu setengah tahun menuju akhir yang bernama wisuda. Dan selama itu pula kami bagaikan manusia yang tidak ditakdirkan untuk berkenalan. Untuk beberapa saat kami masih berpapasan di kampus, namun tepat seminggu setelah itu, batang hidungnya tak lagi pernah kelihatan. Tidak, dia tidak pindah apalagi berhenti kuliah. Hanya saja kini waktunya tidak lagi dia habiskan di kampus seperti biasa. Kedatangannya ke kampus hanyalah untuk kuliah atau menemui dosen, itu saja. Dia merasa kampus bagai neraka jika saja di sana ada seorang laki-laki biadab yang telah menggores tinta merah di lembar kertas hidupnya.

Memang, terlibat dalam permasalahan rumit membuat sebagian orang lebih memilih untuk menghilang begitu saja. Demikian juga aku yang dalam beberapa waktu awal memilih diam seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Seolah tidak peduli padahal tidak demikian adanya. Aku diam karena yakin, dia dalam waktu-waktu tersebut hanya ingin sendiri menikmati hembusan angin, lalu meneteskan air mata sesal, sedih, serta kecewanya. kehadiranku menyapanya hanya akan membuat suasana semakin genting dan semrawut.

Sabtu, Desember 26, 2015

Tangis Pertama

Bagaimana rasanya ketika membuat seseorang yang sangat kalian sayang menjatuhkan air mata? Dan ulahmu adalah penyebabnya, bagaimana rasanya? Sakit, jauh lebih sakit daripada yang pernah kalian rasakan. Tidak terperikan.

Sungguh pahit, dan tidak lagi dapat dipungkiri bahwasanya penyesalan selalu muncul di akhir. Saat air mata yang jatuh tidaklah lagi berguna, saat tangis tinggal menjadi cerita sedih tak terbantah, rasa sesal muncul bak pahlawan yang selalu datang sebelum alur berubah. Namun kedatangannya tidak membawa ceria, tidak membawa bahagia melainkan air mata. 

Wahai kamu, yang air matanya telah jatuh karena ulahku, yang tangisnya telah pecah akibat kebiadabanku, yang sedihnya telah menggunung akibat sikapku. Kemarilah, beranikan dirimu untuk coba mendekatiku. Sudikan dirimu untuk tetap mau dekat denganku. Hapus air matamu, buang kesedihanmu dan tatap aku dengan sorot mata yang sangat dalam.

Maaf, hanya satu kata itu yang dapat aku ucap. Hanya kata itu saja yang berani terlontarkan oleh mulut bersalahku. Untuk kesekian kalinya, terimalah maaf dari jiwa egois yang tidak tahu diri ini, berikan juga maaf kepada tingkah burukku yang telah menyayat luka di hatimu. Maaf, maaf yang besar atas semua sikapku terhadapmu.

Tangis pertama yang kuberi, semoga juga menjadi tangis terakhir untukmu yang terkasih. Aku tidak ingin melihatmu sedih, tersenyum dan bicaralah agar hatimu tidak lagi merasa sepi.  Untuk kesekian kali aku berjanji lagi, mengucap kata tidak yang ternyata akhirnya tetap kuulangi. Betapa malunya aku kepada sikapmu yang penuh budi. Kamu tangisi sikapku yang bagaikan tak berhati, aku juga tangisi lakuku yang tidak tahu diri ini. Menyesallah atas hari-hari bersamaku yang pernah kamu lewati, tangisilah mengapa takdir memilih untuk mempertemukan kita dalam kisah 2 hati. 

Rabu, Desember 23, 2015

Mundur berangsur

Gaya berjalanmu adalah yang paling mudah dikenali. Kamu miliki jalan yang khas yang dengan mudah dapat dibedakan. Dari jauh dan dari belakang pun dapat ditebak bahwa itu adalah kamu. Dari langkah demi langkahmu aku sedikit memahami, bahwasanya kamu adalah sosok yang rendah hati. Di luar sifatmu yang lebih banyak diam (yang aku tau), kamu termasuk seorang yang patut untuk diperebutkan. Tentu saja adalah suatu keistimewaan jika dapat meluluhkan hatimu, tidak banyak yang bisa melakukannya karena kamu begitu selektif dalam memilih.

Dan kamu tahu, betapa senangnya aku ketika mendapat tanggapan saat mengajakmu bicara. Sesuatu yang mungkin bagi orang lain adalah biasa namun aku merasakannya agak berbeda. Bahkan tidak sekedar tanggapan, kamu membalas dengan beberapa feedback yang membuat kita sama-sama tersenyum dalam perkenalan yang terbilang masih sangat muda. Hati dan rasa juga sempat kita singgung dalam sela bicara yang semakin hari semakin dekat. Aku dan kamu sama-sama menciptakan ruang untuk hati merasa lebih bahagia dengan kedatangan cinta.

Selama itu aku merasa nyaman. Hanya saja kita tidak bisa bersama karena ada yang menjadi pemisah. Kita terlambat untuk saling mengenal. Tuhan sudah membersamakanku dengan seorang yang benar-benar memberikan cinta.  Saat aku nyatakan rasa melalui goresan-goresan tinta, kamu menanggapinya dengan wajah ceria. Sayang kita tak bisa bersama. Kamu lalu menyadari kesalahan dan memilih melangkah mundur secara berangsur. Kamu batasi percakapan awalnya, lalu kamu buat kita menjadi sekedar saling menyapa, hingga akhirnya kadang tersenyum kadang tidak kita saat berjumpa.



Senin, Desember 21, 2015

Peristiwa Bahagia

Hai, bagaimana kabarmu kini? Semoga kamu sadar bahwa orang yang aku tanyakan kabarnya ini adalah kamu. Tentu saja aku berdoa semoga kamu selalu dalam keadaan sehat wal'afiat meskipun kita tidak pernah berbagi suara lagi saat berjumpa. Tidak masalah jika kamu memang tidak menginginkannya. Namun setidaknya aku masih bisa menatap dan menyaksikan bola matamu saat kita tak sengaja bertemu. 

Baru saja aku melihat sebuah video yang di dalamnya ada kamu. Aku terharu sekaligus sedih ketika menontonnya. Awalnya ikut tersenyum, menyaksikan betapa eratnya hubungan kalian yang selalu ada senyum di dalamnya. Ada peluk disetiap peristiwa, kadang juga terlihat tawa lepas menghiasi kebersamaan yang kalian punya. Kamu beruntung karena memiliki semua itu dan bisa merasakannya. Kehidupanmu lebih baik, satu pesanku, bersyukurlah !!! Jangan pernah lupakan mereka, selalu sisipkanlah nama mereka dalam setiap doamu. Banyak yang ingin menjalani hidup seperti kamu merasakannya namun tidak bisa karena dihalangi banyak keterbatasan.

Aku adalah salah satunya. Ingin tertawa dan ada peluk di setiap peristiwa yang kujalani bersama mereka. Menurutmu mungkin ini adalah hal sederhana yang siapapun bisa melakukannya. Tidak, sama sekali tidak seperti itu kenyataannya. Hanya dalam angan aku bisa merasakan dan menikmatinya. Mereka ada, tetapi tidak bisa untuk melakukan hal yang sama. Mereka sudah terlalu lelah, terlalu bekerja keras untuk dunia demi bahagia anak-anaknya. 




Minggu, Desember 20, 2015

Mewanti-wanti

Ceritamu selalu ceria, selalu dengan tawa yang renyah saat berkisah tentang dia. Ada apa sebenarnya? Maaf sebelumnya, tetapi tentunya tidak masalah jika ternyata aku jadi punya praduga, yang kapan saja bisa bermetamarfosis menjadi sesuatu yang nyata. 

Aku pun pernah mengalami namun bukan aku yang menjadi pelakunya, cerita pahit saat pertama kali cinta menjatuhkan air mata. Boleh percaya boleh tidak, bahwasanya dua insan berbeda jenis yang hampir selalu bersama tidaklah akan selamanya bersikap biasa. Aku bicara karena memang pernah mengalaminya. Dikhianati cinta karena ada kehadiran hati yang lain, yang awalnya tidak ada apa-apa, tiba-tiba memberikan sesuatu yang istimewa, membuat jiwa luluh dan kata setia hilang begitu saja.

Bukan bermaksud mengadili, juga tidak berniat untuk menghalangi, hanya sekedar mewanti-wanti jika hal itu nantinya benar terjadi. Tidak ada yang akan menyadari meskipun sebelumnya kata 'tidak' telah terucap berulang kali. Dengan sangat mudah tapal batas akan dapat kalian lewati melalui janji yang secara tidak langsung telah tersepakati.


Sabtu, Desember 19, 2015

Penyembunyi yang Baik

Untuk kamu yang sedang terlelap dalam sentuhan lembut selimut yang membalut diri. Pernahkah sejenak aku singgah dalam mimpimu yang indah lagi menyenangkan? Jika pernah, berarti aku adalah salah satu yang beruntung. Namun jika tidak, harus diakui bahwa memang aku bukan siapa-siapa yang bahkan untuk singgah dalam mimpimu saja tidak berhak.

"Yang baik akan dibersamakan dengan yang baik pula." Begitu katanya. Dan itulah alasan mengapa untuk singgah bahkan hanya sebatas mimpi saja aku tidak bisa. Yang baik sepertimu tidak akan mungkin dibersandingkan dengan yang tidak baik layaknya aku.

Saat kamu diam dan menatap jauh ke depan, merasakah bahwa aku bukan sosok yang pantas? Sekali waktu mungkin kamu pernah merasakannya. Tidak, tidak sekali saja. Mungkin cukup sering hal itu kamu rasakan. Hanya saja kamu adalah penyembunyi yang baik, yang mampu menjaga ketidaktahuan dengan rapat dan sangat sempurna. 

Lalu dalam tatapanmu yang jauh itu, pernahkah terlintas pikiran tentang kapan waktu yang tepat untuk mengakhiri? Aku yakin pernah, seorang yang baik tidaklah hanya berpikir untuk kebaikan dirinya saja.

Kamu diamkan keadaan, seperti sedang menunggu. Tentunya menunggu saat dimana aku tidak lagi merasa berat akan kehilangan. Karena cepat atau lambatnya keadaan berputar tetap saja akan melahirkan apa yang sudah tidak bisa dipungkiri. 

Mundur secara perlahan. Itukah permintaan yang tidak kamu sebutkan? Jika keadaannya tidak berubah, tanpa kamu suruh pun aku akan lakukan. Setidaknya itu menunjukkan ketahudirianku. Lagipula besarnya cinta tidaklah berarti harus bersama, tetapi melahirkan bahagia. 




Jemawa

"Ukurlah bayang setinggi tegak !!!" Adalah sepenggal kata yang tidak diartikan dalam hal penting bagi sebagian orang. Mungkin karena memang tegak mereka jauh lebih tinggi daripada bayangan mereka yang terlihat. Sehingga ada sisi yang membuat mereka bisa berbangga diri, berpamer kelebihan dan menunjukkan dirinyalah yang lebih baik dari yang lain.

Semua berawal dari mana kamu berasal. Mungkin saja kamu dilahirkan dari keluarga berada yang mampu memenuhi semua keinginanmu. Atau setidaknya setiap apa yang kamu ingini dapat terwujud tanpa harus menunggu waktu lama. Bersyukurlah jika demikian adanya, karena banyak yang inginkan keadaan seperti itu namun hanya mampu mereka raih lewat angan. Sekali lagi, bersyukurlah.

Tidak sedang mengajari, juga tidak sedang menggurui. Jika pun dianggap mengajari dan menggurui, semua itu adalah dimaksudkan untuk diriku sendiri yang kadang memang lupa akan nikmat. Sebagai manusia yang sama dengan lainnya dimana ada hasrat yang memaksa untuk selalu dipenuhi, aku lahir dengan keadaan yang demikian adanya. keirian pernah menguasai ragaku karena tidak semua yang (menurutku) aku butuhkan dapat terpenuhi.

"Jangan pernah melihat ke atas !!!" Beberapa kali aku melanggarnya, membuat hasrat untuk keinginan semakin tidak terbendung. Boleh saja hasrat adalah bagian dari sifat manusiawi yang rasional. Namun jika hasrat tak bisa terpenuhi, bisakah manusia merasionalkan hasratnya?

Beberapa hari terakhir aku merenungkannya. Berpikir dan melihat apakah bayangku jauh lebih tinggi daripada tegak. Apakah aku sedang menengadah melihat sesuatu yang lebih tinggi. Apakah semua keinginanku adalah bagian dari kerasionalan. 

Aku merasa kadang terlalu angkuh padahal bukan siapa-siapa. Kadang sombong menggerotiku padahal nyatanya tidak ada yang bisa disombongkan. Aku merasa paling hebat padahal tegakku saja tidak tepat.

Sadar, sejemawa itukah aku??? 


Kamis, Desember 17, 2015

September End, November Rain

Dan ternyata saya melupakan sesuatu yang penting. Ini adalah Desember pertengahan, dan bulan lalu adalah November, lalu 2 bulan sebelumnya lagi adalah Oktober (ya iyalah, Bego). Tidak, ini bukan tentang mengurutkan bulan dari Januari hingga Desember. Ini tentang sebuah rencana. Ya, rencana yang terlupa oleh kesibukan.  

Tentang November yang dilanda hujan. Apa yang terjadi sama persis dengan salah satu judul lagu band terkenal asal Amerika Serikat bernama 'Bedil dan Kembang' (baca : Gun's N Roses). Judul lagunya November Rain. Tidak peduli maksud dan tujuan yang tergambar dalam lirik lagu yang mereka nyanyikan, yang jelas lagu itu bermakna besar untuk mengakhiri kemarau panjang tahun ini yang memang benar-benar berakhir di November. Tepatnya di akhir minggu pertama bulan 11 tersebut.

Dalam rencana yang saya rilis (ketika hujan pertama di November turun) saya berencana akan menulis prosa untuk kejadian itu. Meskipun mungkin dan hampir pasti kata-kata yang saya ciptakan tidak seanggun dan sementereng yang ditulis Axl Rose. Sayang sekali niat itu urung dilaksanakan karena saya teringat semuanya lagi setelah bulan November berakhir. Fix, rencana batal karena jika ditulis sekarang, momennya sudah tidak lagi mendukung.

3 bulan yang lalu juga momen (yang mirip) seperti ini pernah terjadi. Sebagian besar mungkin kenal dengan Wake Me Up When September End nya Green Day yang video clipnya diawali dengan penampakan sepasang kekasih di balik padang bunga yang tingginya kurang lebih 1 meter. Saat itu masih pertengahan bulan September dimana cuaca sedang panas-panasnya. Saya galau dan secara tidak sengaja mendengar lagu tersebut diputar oleh tetangga. Entah karena galau entah karena mendengar lagu, inspirasi tiba-tiba muncul dengan tema sekaligus pertanyaan seandainya ketika september ini nantinya benar berakhir. Saya berencana menulis postingan di blog pada tanggal 30 dan itu sudah saya tulis rencananya dan sudah ditempel (juga) di dinding kamar. Namun hingga September benar-benar berakhir, bahkan sudah menginjak pertengahan November saya tidak ingat sama sekali alias lupa. Pun begitu hingga detik ini saat memasuki pertengahan Desember baru saya ingat lagi bersamaan dengan teringatnya momen November Rain yang sudah terlewatkan.

Dua peristiwa yang seharusnya bisa saya jadikan momen untuk belajar merangkai kata lebih baik lagi. Saya kecewa karena melewatkannya begitu saja. Siapa yang salah dalam hal ini? Tidak ada orang yang mau menyalahkan dirinya sendiri, apalagi saat dia sedang kecewa. Harus ada kambing hitam. Dialah . . . . . . . . . . . . . . . . . .  

TUGAS KULIAH SEMESTER 5
Bangkeeee !!!!!!

Selasa, Desember 15, 2015

Di Balik Debat

Ada sedikit cerita tentang debat tertutup hari ini. Tentu saja yang pasti bukan cerita tentang adu argumen 8 calon Legislatif dan 2 calon Eksekutif yang maju menjadi perwakilan untuk setahun ke depan, hal ini sama sekali tidak menarik untuk dibahas. Karena siapapun yang nantinya terpilih, ya itulah suara terbanyak yang berasal dari votenya warga fakultas. Ini adalah tentang mata saya yang lagi-lagi menangkap sesuatu. Tentu saja tidak pernah jauh dari manusia tak pernah salah (katanya) yang juga disebut dalam beberapa istilah berbeda, wanita, perempuan, cewek, kaum hawa, dan sebagainya.

Sebelum membahasnya, sedikit kutipan manfaat dari debat tertutup yang dapat saya tangkap hari ini, perlu rasanya untuk dishare agar sedikit-banyaknya ada perubahan ke arah yang lebih baik dalam keseharian kita. Jangan pernah menilai orang hanya dari kebiasaannya, kenalilah terlebih dahulu dia lebih dalam sebelum memberikan penilaian yang sepihak. Saya dapatkan pelajaran ini dari salah seorang calon yang mendapat pertanyaan dari audiens. Mungkin kalian tidak begitu memahami maknanya jika belum merasakan. Tetapi perlu diingat, jangan lupakan kata-kata ini karena bisa saja suatu saat akan ada yang justru menyerang balik karena kalian melanggar nasehat ini.

Cukup !!! Kita kembali kemana seharusnya jalan cerita ini mengalur.

Dia sedang berdiri di belakang saat saya masuki ruangan yang hampir benar-benar steril dari dunia luar itu (maksudnya dari orang-orang yang tidak terlibat secara langsung). Pun saya sebenarnya bukan orang yang bisa ikut dalam acara tersebut. Saya bukan panitia, bukan pemilik proker (program kerja), bukan undangan, bukan tim sukses, bukan perwakilan organisasi, apalagi perwakilan jajaran Dekanat fakultas. Jelas saja bukan. Wong saya hanya mahasiswa biasa dan biasa-biasa saja. Tetapi karena sedikit berpandai-pandai saya akhirnya dapat satu kursi untuk bisa diduduki pada debat tersebut. Sekali lagi saya bisa masuk dan duduk sebagai audiens.

Debat ini tidak terlalu menarik karena mata saya lebih tertuju pada kesibukan seseorang yang memakai almamater dan menyandang kamera SLR di lehernya. Ini adalah ciri yang menandakan bahwa dia adalah panitia dan bertugas dalam hal dokumentasi. Harus diakui bahwa dalam sekali pandang dia adalah makhluk yang benar-benar sempurna. Di luar sikap dan kepribadiannya yang tidak saya ketahui, dia dengan sangat jelas ditempeli label kecantikan yang sangat istimewa. Bukan pertama kali memang saya melihatnya. Berkali-kali, bahkan sangat sering dia muncul di depan mata, entah ketika keluar kelas, sedang berjalan di lorong fakultas, sedang makan di kantin, bahkan ketika keluar dari kamar mandi (kamar mandi di kampus tentu saja, bukan kamar mandi di kost atau rumahnya, apalagi kamar mandi saya).

Kali ini saya agak susah merangkai kata, masih harus berpikir kata apa yang sekiranya pas dan pantas untuk mendeskripsikan orang ini. Dia terlalu cantik, dan terlalu jauh jika disandingkan dengan saya. Sejauh jarak bumi dan langit yang dibatasi atmosfer yang membuat bintang jatuh tidak jadi sampai menyentuh tanah karena telah terbakar dalam perjalanannya yang sangat panjang. (Owhhpps, sepertinya saya memilih perbandingan yang kurang pas). 

Ah, entahlah. Dia memang benar-benar sulit untuk dideskripsikan. Bahkan jauh lebih sulit daripada mendeskripsikan berbagai macam tanah seperti pada salah satu mata kuliah yang saya ambil. Oke !!! Saya cukupkan di sini saja karena tidak tahu lagi harus memakai rangkaian kata yang bagaimana untuk memujinya. Intinya dia cantik dan saya suka melihatnya.


Senin, Desember 14, 2015

Gerimis Manis

Mengapa ketika hujan (terutama ketika gerimis) dunia selalu saja tiba-tiba dipenuhi perempuan-perempuan cantik?  Bukan sekedar mengarang atau mengada-ada, tetapi ini memang sudah beberapa kali terjadi. Ketika gerimis menyerang tanah, lalu bergabung membentuk aliran kecil sungai yang lebarnya hanya beberapa centimeter, akan sering terlihat perempuan-perempuan berpayung berjalan di sepanjang jalan. Kadang mengikuti dan kadang berlawanan arahnya dengan aliran yang terbentuk. Juga tidak jarang mereka melangkah memotongnya. 

Apa karena hati yang sepi sehingga kaum hawa selalu tampak lebih cantik? Tidak juga. Setiap hari saya selalu berjalan di jalan yang sama, dalam waktu yang kerapkali juga sama. Anehnya, suasana yang ditampilkannya selalu saja berbeda. Untuk kesekian kalinya selama hujan gerimis yang saya tempuh, perempuan-perempuan berparas ayu selalu memanjakan mata dengan pesona wajahnya. Hanya saat gerimis, dan ketika mentari sedang berkuasa di siang yang menjadi miliknya, atau mendung sedang menampilkan pucatnya, hal itu tidak pernah terjadi. Kebetulan? Tidak mungkin kebetulan selalu terjadi berulangkali. 

Meski tidak menyapa, menoleh pada saya pun tidak, sebuah hiburan kecil tidak sengaja telah mereka hadirkan. Tanpa kesadaran yang melandasi, perempuan-perempuan nan manis kenampakannya itu telah memberikan aura gembira saat hati beku dan kepala sedang panas. Gerimis yang mengandung makna, kadang ada pertanyaan yang tidak terlontar saat merasakan sentuhanmu. Adakah satu diantara mereka yang akan berada di sini (tunjuk dada kiri) mengikuti jejak kemanapun melangkah? 

Sabtu, Desember 12, 2015

Senior

"Nitip sebentar ya, saya mau ke kamar mandi." Penjaga perpustakaan itu menitipkan pekerjaannya beberapa saat lalu hilang di balik lift. Sudah hal yang biasa karena hampir setiap hari saya keluar masuk ruangan berukuran 10 x 15 meter itu. Jadi penjaga perpustakaan sudah hafal wajah saya. Dan jika terjadi apa-apa sayalah orang pertama yang akan menjadi saran tendangannya.

Ya, lantai itu kamar mandinya tidak berfungsi sehingga mau tidak mau jika ingin buang air atau keperluan di kamar mandi harus turun ke lantai 3 atau naik ke lantai 5. sedikit merepotkan memang namun apa daya, kamar mandi di lantai tersebut sudah rusak sejak 8 bulan yang lalu dan belum diperbaiki hingga detik ini.

"Owh, iya Pak." Melihat sejenak, lalu saya lanjutkan mencari buku literatur yang berbahasa Indonesia (di rak lebih dominan terdapat buku berbahasa Inggris).

Cukup sulit ternyata, karena memang ilmuan-ilmuan terkenal selalu berasal dari luar negeri, sementara ilmuan dalam negeri seperti prosesor yang mengajar salah satu mata kuliah saya, juga bukunya diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Belanda, adapaun bahasa Indonesianya telah raib entah kemana.

Satu-satunya buku berbahasa Indonesia yang saya temukan setelah hampir sepuluh menit, letaknya berada di rak paling atas, sekitar 2 meter tingginya sementara saya hanya 170 cm (kurang lebih). Jadi saya mesti berjinjit untuk menggapainya, alamat pasti dan tentu saja keseimbangan tubuh menjadi berkurang karenanya. Ditambah lagi buku yang akan saya raih ternyata cukup tebal dan beratnya mungkin hampir mendekati 5 Kg (berat di sampul). 

Setengah sampai, buku itu tidak tepat dalam genggaman saya ketika ditarik. Alhasil buku yang ternyata berdebu cukup tebal itu jatuh ke lantai dan debunya mengudara bebas hingga sekitar pinggang saya.

"Uhuk. . . Uhuk." Terdengar seorang bersuara sepersekian detik setelah buku jatuh.

Saya lihat ke samping bagian belakang, rak seberang yang hanya berjarak kurang dari 1,5 meter. Seseorang sedang jongkok dan tangan kirinya berada di antara mulut dan hidung saat saya menoleh. Sinar matahari yang masuk melalui jendela tidak bertirai menyoroti debu-debu yang sedang beterbangan. Cukup tebal sehingga wajar saja jika orang yang sedang jongkok itu terbatuk-batuk dibuatnya.

yang saya pikirkan saat itu hanya satu, apakah buku jatuh itu sempat mengenai tubuhnya sebelum mendarat di ubin? Rasanya tidak karena tidak ada bunyi lain selain gedubrak buku ketika tiba di ubin, namun posisi jatuhnya buku itu sangat memungkinkan jika sebelum mendarat sempat menyentuh badan orang tersebut terlebih dahulu. Ah, sudahlah, sudah terlanjur.

"Ups, maaf Mbak." Ternyata seorang perempuan. Kemungkinan lebih tua dari saya jika dilihat dari struktur wajahnya yang tidak lagi tertutup tangan.

Dia tidak menjawab, hanya tersenyum dengan wajah yang kurang enak. Ini yang membuat saya tambah yakin bahwa sebelum mendarat di ubin, buku itu sempat mengenai saah satu bagian tubuhnya. Atau mungkin karena efek senioritas. Ya, dia memang angkatan tua dan sebentar lagi akan lulus, sementara saya masih menikmati perkuliahan dalam waktu yang ditentukan jadwal. Di luar itu beberapa kali saya juga melihatnya sering membaca buku-buku tebal atau kumpulan jurnal di pojok perpustakaan yang lebih sepi dan sedikit tertutup oleh tumpukan skripsi.

Saya mengambil buku yang jatuh dan langsung melangkah ke salah satu bagian perpus yang masih kosong, tempat saya meninggalkan laptop tadinya. Ingin sebenarnya menanyakan sebelum saya minggat dari rak buku, apakah dia benar-benar tertimpa buku atau hanya terimbas karena debunya saja. Tetapi ekspresinya tidak memungkinkan untuk di ajak bicara, jadi saya putuskan untuk menjauh saja.

Kebetulan saya duduk di dekat kursi penjaga yang sedang keluar, dan kebetulan lagi saat itu perpus penuh sehingga sedikit ramai suaranya. satu-satunya kursi kosong selain penjaga adalah tepat di samping saya. Sudah pasti saya berpikir Mbak yang kejatuhan buku tadi akan duduk di dekat saya. Dengan sudut mata saya perhatikan, dia keluar dari rak buku, memandang segala penjuru mencari tempat kosong. Awalnya sudah melirik bangku kosong di samping saya, namun akibat insiden yang baru saja terjadi sepertinya dia mencari alternatif lain untuk duduk.

Penjaga masuk dan melihat seseorang masih berdiri kebingungan (penjaga sudah hafal tabiat orang-orang yang masuk perpustakaan).

"Iki lho Mbak, onok seng kosong." 

Tidak ada jawaban, perempuan itu akhirnya duduk di samping saya. Tau apa yang saya lakukan? Pura-pura serius membaca seolah tidak menyadari ada seseorang yang datang. Gaya sok cool yang gagal tentu saja, karena secara penampilan dan apapun, saya adalah orang yang sangat biasa.

Mata nakal saya tidak dapat dikendalikan, beberapa kali sudut mata menangkap gambar yang bisa dikatakan memanjakan mata. Mbak alias perempuan yang duduk di samping saya sekarang ternyata cantik (versi saya karena cantik itu kan relatif, katanya). Wajahnya putih dengan sedikit jerawat kecil di jidat dan pipi kanannya, matanya bulat, hidungnya mancung, bibirnya tipis dan berwarna pink (pakai lipgloss tipis). Rambutnya sepunggung dan ikal dan sedikit warna di bagian bawahnya. Dan yang paling membuat mata manja adalah pakaiannya yang walaupun tidak terlalu terbuka tetapi sedikit kurang sopan jika boleh dikatakan seperti itu meskipun tidak menampakkan sesuatu yang terlalu sensititf.

Jadi bagaimana pakaiannya? Celana jins biru muda yang ketat dipadu dengan baju kemeja pink yang serba pendek. Pendek lengan dan pendek bagian bawahnya, dari lengannya dapat dilihat ketiaknya yang bersih dan jika dia terlalu menundukkan tubuhnya, maka dari belakang akan terlihat terbuka (mengerti yang saya maksud ?). Juga 3 kancing bagian atasnya dibuka (mungkin karena gerah) hingga dengan jelas menampakkan tantop hitamnya yang sangat ngeprees.

Setelah saya berpikir sejenak, saya ingat dengan wajah ini. Mbak inilah orang dulu memaki dan membentak saya ketika telat satu setengah jam datang ospek. ketika itu saya cukup takut karena masih maba (mahasiswa baru) ditambah kejudesan mulutnya yang judes minta ampun, sangat tidak cocok dengan struktur pembentuk wajahnya yang lebih terlihat bersifat keibuan (bukan ibu-ibu). 

Di suatu kesempatan, tiba-tiba mata saya dan perempuan itu beradu pandang, sebagai orang yang lebih muda tentu saya (paksakan) untuk menyapa terlebih dahulu. Walau hanya dengan senyum dan sedikit anggukan kecil. kali ini dia menanggapi dengan senyum dan menatap saya sedikit lebih lama.

"Kamu yang dulu telat lama banget itu bukan pas ospek?" Tanyanya.

Astaganaga. Nafasku berhenti beberapa detik lalu tersenyum masam. Dia masih ingat saja ternyata.

"Benerkan?" Tanyanya lagi.

"Iya mbak." Saya sangat menghemat jawaban ketika itu. Tapi rasa malu tetap jelas dapat dilihatnya dari wajah saya yang memerah.

Satu fakta yang membuat semuanya berubah, saya dan perempuan itu ternyata satu jurusan, sudah cukup terkenal bahwa dalam jurusan kami tidak mengenal batas antara senior junior. Keadaan seperti itu memang benar adanya. Hanya diwanti-wanti dengan kata-kata "Silahkan bully senior tapi jangan coba-coba untuk membentak". Silahkan terjemahkan sendiri bagaimana maknanya.

"Maaf ya, itu dulu emang udah tugas sesuai tata tertib. Jadi ya mau gak mau." Klarifikasi atas tindakannya dulu kepada saya yang kurang berperikemanusiaan baru dilakukan setelah Dua tahun kemudian -___-

Kok tiba-tiba berubah baik begini? Padahal baru beberapa menit yang lalu wajah masamnya dia tampilkan. Sudahlah saya tidak berani mengungkit lagi, takut merusak suasana yang sedang baik.

Hari itu akhirnya saya dan Mbak Anis meninggalkan perpustakaan bersama-sama setelah banyak cengkarama yang terjadi (bahkan sampai ditegur pembaca lain dan penjaga perpustakaan karena dinilai terlalu berisik).

Patinya tidak sampai berakhir di perpustakaan saja. Tidak ada istimewanya apa yang saya ceritakan jika hanya sampai di sana. Setelah hari itu, beberapa kali kami berangkat ke kampus bersama, makan berdua, dan tentu saja hampir setiap malam minggu adalah jadwal pasti kami bersua menghabiskan waktu bersama. Akhirulkalam, aku jatuh cinta pada senior, pada perempuan yang usianya lebih tua.

(Langsung klarifikasi : Ini adalah hoax, plesetan dari beberapa pengalaman yang dilebih-lebihkan)

Jumat, Desember 11, 2015

(Tidak Ada Judul)


Aku ingin curhat !!!

Diawali dari sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, Apakah kamu masih sering (setidaknya pernah) membaca tulisan-tulisan galau yang aku gores meski kadang bukan tentangmu?

Ya, itu pertanyaanku. Kita memang diakrabkan oleh rangkaian huruf dan kata yang menjadi kalimat kemudian terus meluas menjadi paragraf. Yang akhirnya bergabung menjadi postingan-pstingan yang tidak jelas ujung pangkalnya (termasuk postingan kali ini). Aku menulis bukan karena aku ingin menjadi penulis atau sastrawan, aku menulis bukan untuk penghasilan, juga bukan untuk mengusir galau. Hanya sekedar untuk mengungkapkan ekspresi jiwa karena aku (sepertinya) ditakdirkan  untuk tidak menjadi seorang yang pandai bersuara. Diam selalu lebih perkasa dalam tubuhku membuat nyali untuk bersuara menjadi ciut dan kisut. Seandainya ingin sedikit merubah dunia (seperti selogan di profileku) namun tidak bergerak, bagaimana mungkin dunia bisa berubah?

Uups, bukan, bukan ini curhatan yang aku maksud.

Aku ingin curhat tentang wanita, tentang perempuan, tentang cewek dan sejenisnya. (Merubah dunia melalui mereka?). Ah, tentu saja tidak. Aku tidak berpikir sampai ke sana, lagipula aku tidak mengerti caranya, bahkan untuk memahami mereka saja butuh waktu, pengalaman, dan mungkin juga study literatur yang cukup, serta perlu belajar langsung dari ilmuwan yang khusus mempelajari makhluk yang katanya selalu benar itu. Jujur saja aku tidak sanggup melakukannya.

Ekhm, back to first question (yang paling atas). Kata 'kamu' yang dimaksud dalam pertanyaan di atas adalah seorang (tentunya, karena 'seekor' adalah untuk binatang) 'makhluk tidak pernah salah' yang lama tidak berjumpa dan hilang kontak denganku. Aku sedang merindukannya. Ya, aku sedang rindu. Sedang merindukannya.

Sekian dan terima kasih !!!

Selasa, Desember 08, 2015

Bahagia Menyapa (?)


Jangan padamkan cahaya sebab aku tak bisa melihatmu dalam gelap. Tersenyumlah ketika berdiri di sampingku, kamu akan terlihat lebih sempurna. Gapai lenganku agar aliran hangat tubuhmu dapat mengalir menyentuhku. Dan tatap aku dengan ekspresi terbahagia yang tidak pernah kamu tampilkan sebelumnya

Semoga hatimu riang, semoga jiwamu terjebak dalam keindahan saat kita berdiri berdampingan. Semoga kamu merindukan (lagi) suasana saat kita bersama. Semoga, semoga dan terus semoga. Yang dari waktu ke waktu hanya terus berupa harap, yang entah akan menjadi nyata entah tidak.

Izinkan aku sedikit bercerita. Mengungkap kesah dan rasa bersalah, menuliskan kisah yang sebenarnya tidak indah, menyampaikan pesan hati yang lama tak bersuara.

Diawali dengan sebuah tanya. Apakah sebenarnya ada bahagia yang pernah menyapa? Maksudku bahagia saat kita sedang bersama seperti aku merasakannya. Mungkin kamu cukup kesulitan menjawabnya. Bimbang akan membuatmu terpaku dulu beberapa saat sebelum berkata. Lalu kamu bisukan diri seraya berpikir bagaimana cara yang tepat untuk menjawabnya. Memilih kata tengah yang seperti tidak bermaksud apa-apa.

Antara menghormati dan menjaga. Itukah dia yang membuat kamu sebenarnya lambat bersuara? Tidak perlu kamu jawab 'Ya', mengangguk pun sebenarnya juga tidak berguna karena hanya itulah satu-satunya pilihan jawaban yang kamu punya. Bahagia itu memang tidak nyata adanya.

Lalu untuk apa aku bertanya jika jawabnya bisa diterka? Semata hanya untuk menghibur hatiku yang sedang resah. Aku terbenam ketakutan karena tidak bisa menjadi sosok sempurna untuk berada di sampingmu.

Jumat, Desember 04, 2015

Kawan Lama

Bagi kalian yang berasal dari pelosok nusantara sepertiku, apa yang kalian pikirkan tentang Jakarta? Sebuah kota yang hebat dengan glamour tingkat tinggi dan kejahatan yang juga meraja-lela bukan? Jika demikian halnya, kita memiliki pandangan yang relatif sama. Namun jika tidak, berarti kalian lebih mengenal Jakarta daripada aku. Pejabat tinggi, pengusaha kaya, rakyat menengah hingga pengemis bertebaran di sana. Beberapa tempat telah aku kunjungi dan tinggal di di kota metropolitan itu selama beberapa hari.

Pertama kalinya, aku menempati perumahan mewah seharga ratusan juta Rupiah di daerah Bekasi Barat (Bekasi sering kali di sebut bagian dari Jakarta walaupun sudah berada di provinsi yang berbeda). Itu 3 tahun yang lalu. Aku menginap di sana selama 3 hari. Belum lama ini aku juga singgah beberapa hari di kawasan elit Jakarta Selatan sekedar numpang tinggal sebelum melanjutkan perjalanan 3 hari kemudian menuju Malang. Lalu di bulan lain, aku juga pernah mampir ke rumah seorang Khatolik yang berbaik hati kepadaku. 2 hari aku tinggal di rumahnya yang terletak tidak jauh dari LP Cipinang. Rumah tipe menengah miliknya terletak di kawasan yang terbilang padat. Selanjutnya di kesempatan lain aku juga pernah tinggal di kawasan padat penduduk di Jakarta Timur. Tidak jauh dari kelurahan yang sempat menjadi trending topik di tv swasta dan nasional karena relokasi warga yang tinggal di sana oleh gubernurnya.

Di sini dan saat ini, aku tidak bercerita atau menjelaskan detailnya Jakarta karena aku sama sekali bukan penduduk asli atau pernah tinggal lama di sana. Salah-salah kata aku bisa di demo dan di bacok warga Jakarta dengan golok mereka. Ada seseorang yang ingin aku ceritakan dan dia kini tinggal di Jakarta. Dia adalah kawan SD ku dan semenjak pindah sekolah saat naik ke kelas 4 dulu, aku tidak pernah lagi melihatnya.

9 tahun kemudian, tepatnya di liburan kemaren dia kembali pulang. Sembilan tahun di Jakarta membuat lidahnya kini tidak bisa lagi menggunakan bahasa ibu yang dulu kami gunakan untuk berkomunikasi. Dan kalian tau? Ternyata dia tidak mengenaliku saat kami bertemu (sepertinya).

Sebut saja namanya Lina (aku ambil dari salah satu kata dalam nama panjangnya). Rumah kami berjarak sekitar 200 meter. Dan satu hal yang pasti tentunya rumah dia (baca : rumah orangtuanya) jauh lebih bagus dari rumahku karena ayahnya adalah pengusaha di Jakarta. Sementara ayahku hanyalah orang biasa yang menggantungkan penghasilan utama dari panen buah kakao.

Yah, meskipun aku sudah tidak lagi dia kenali (sebenarnya masih ingat, namun karena lama tak bertemu membuat aku perlahan hilang dalam memorinya) tetapi aku masih ingat sangat jelas tentang dia. Yang berbeda sekarang tubuhnya lebih melar dibandingkan 9 tahun lalu. Sekali waktu ketika itu, aku dan Lina tidak sengaja bertemu di warung nenek Sari yang dulu menjadi favorit anak SD untuk menghabiskan jatah uang jajan sehari.

Aku melihatnya dan dia tentu saja juga melihatku. Beberapa detik. Dia tidak tersenyum sama sekali (sepertinya sedang berpikir keras untuk mengenali wajahku yang semakin abstrak) tentu aku juga tidak tersenyum. Aku berlalu ketika urusanku selesai di warung itu. Pagi itu adalah pertama kali kami bertemu setelah sembilan tahun.

3 hari kemudian ibuku yang saat itu baru saja pulang dari sebuah acara kampung membawa kabar yang penting-tidak penting untuk di dengar.

"Masih kenal Lina?" Tanya Ibu sore itu.

"Masih, tapi kemaren ketemu di warung gak nyapa." Jawabku sejujurnya (aku memang bukan tukang bohong).

"Iya, waktu ditanya dia juga bilang, masih inget tapi rada-rada lupa wajahnya." Ibu meniru ucapan Lina.

Jadi aku mengerti sekarang mengapa Lina ketika itu hanya menatap tanpa senyum, padahal dia terkenal seorang yang ramah.

Aku pikir di beberapa hari berikutnya aku dengan mudah dapat berpapasan lagi di jalan dengan Lina karena memang jarak rumah kami cukup dekat. Ternyata tidak bahkan sampai dia terbang lagi ke Jakarta.

Seminggu setelah dia balik ke Jakarta, aku menyusul. Bukan menyusul Lina, tetapi menyusul ke Jakarta sebagai transit pertamaku menuju Malang. Selama beberapa hari aku menginap di rumah temanku di Jakarta. Selama beberapa hari itu pula aku di service (kecuali satu hari) dan di ajak keliling ibukota yang sumpek, macet dan panas namun penuh kemewahan yang tak pernah kulihat di pelosok Sumatera.

Lagsung saja pada inti pembicaraannya. Aku bertemu Lina di sebuah Mall di Jakarta (Sepengetahuanku, yang namanya jalan-jalan di Jakarta adalah mampir ke mall). Kebetulan sekali ketika itu aku sedang bersama teman perempuanku (sebut saja pacar, namanya Dinda). Karena saat itu kawan yang rumahnya aku pakai untuk menginap sedang terjebak macet sehabis mengurus bisnis kecilnya, jadilah aku mengajak orang spesialku saat itu (Ekhm).

Seperti yang bisa ditebak dengan sangat mudah, aku bertemu Lina di sana. Saat itu ketika sehabis nonton bioskop dan aku menunggu di depan toilet perempuan (Biasa gengs, nungguin si Dinda yang sedang meng-upgrade dandanannya).

Aku tahu itu Lina, tapi tidak berani menyapanya duluan, apa lagi di Jakarta (Memang ada hubungannya?). Jadilah selama beberapa belas detik aku melihat Lina tanpa kedip. Ingin menyapa takut di bilang sok kenal, tidak disapa nanti di bilang sombong. Otakku berpikir keras saat itu apa yang harus aku lakukan.

Seseorang dari kamar mandi kemudian menegur Lina, lalu tiba-tiba saja mereka mereka perbelukan, tertawa bersama (lumayan kencang, membuat beberapa orang yang keluar-masuk toilet menoleh sejenak). Kalian tebak gengs, Lina ternyata sedang bicara dengan Dinda. Mereka terlihat sangat akrab. Sempat ku dengar beberapa pertanyaan yang membuat kami bertiga akhirnya makan bersama. (Berempat lebih tepatnya bersama satu teman Lina yang saat itu masih di toilet).

"Sama siapa Din?" Itu pertanyaan dari Lina kepada Dinda.

Dinda menunjukku dan aku beradu pandang (lagi) dengan Lina. Kami bersalaman dan kemudian saling menyebutkan nama. reflek kami tersenyum lebar yang kemudian berubah menjadi tawa.

"Masih inget aku?" Tanya Lina.

"Kan kita pernah ketemu di warung nenek Sari." Jawabku.

Tawa kami semakin kencang hingga membuat teman Lina yang tidak mengerti apa-apa langsung berekspresi bingung ketika muncul dari pintu toilet. Begitu juga dengan Dinda yang sama bingungnya. Ketika kami makan barulah aku mulai mengerti apa yang sedang terjadi, begitu juga dengan Dinda. Lina apalagi, dia jauh lebih mengerti. Hanya temannya saja yang masih melongo melihat kami bertiga yang tiba-tiba saja akrab padahal baru bertemu. sepertinya dia masih bingung.

Untuk lebih jelasnya mari kupaparkan. Aku dan Lina adalah teman SD. Lina dan Dinda adalah teman dekat ketika mereka SMP. Aku dan Dinda, tentu tidak perlu ditanya lagi bukan? (SEPASANG KEKASIH !!! Jika kalian masih terlalu idiot untuk mengerti).

Lalu bagaimana dengan teman Lina yang masih bingung itu? Dia orang baru dan tidak terlibat sama sekali dalam hal ini.

Senin, November 30, 2015

Aroma Hujan

Selamat di guyur hujan mahasiswa/i Malang (maksudku mahasiswa/i yang berkuliah di kota Malang). Apakah kalian merasakan aroma hujan kali ini berbeda dengan aroma hujan yang pernah ada sebelumnya? "Yo ora to, wong hujan gak onok aromane le". Mungkin begitu kalian akan menjawabnya saat aku bertanya. Maaf, bahasa yang aku gunakan bukan bahasa biasa dan keseharian. Ini bahasa mahasiswa galau (sebut saja begitu) yang ingin sedikit berekspresi. Tidak punya kemampuan apa-apa, tidak punya kelebihan apa-apa, juga tidak rupawan apalagi bergelimang harta. Jadi hanya belajar mengolah kata agar dapat lebih dinikmati maknanya secara dalam. Asyiiiikkk.

Aroma hujan. Maksudku suasana hujan yang kali ini rasanya sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Jujur saja tahun ini adalah kemarau terpanas selama keberadaanku di Malang. Setiap kali bertemu dengan pribumi Malang atau dengan mereka yang lama tinggal di Malang dan membahas masalah cuaca, selalu saja jawaban mereka memparameteri beberapa tahun lalu (kira-kira saat usiaku belum bisa untuk menghapus ingus sendiri). 

"Dulu iku Malang dingin. Gak koyok ngene iki, sekarang panas. Dulu aja jam 12 siang masih bisa liat embun jatuh." Begitu suara-suara yang mengenal Malang dari lama berkicau dalam bahasa Indonesia medok campur sari.

"Dulu gak serame ini, masih agak sepi dan gak macet." Ini nada kicauan lain dari suara di pinggir jalan di salah satu sudut jalan kota Malang yang lokasinya dekat dengan kampus (aku bertanya pada tukang parkir di depan fotocopian). Memang tempat terpadat adalah kawasan di sekitar kampus. Banyak mahasiswa perantau yang mengenyam pendidikan di sini, ditambah lagi beberapa kampus besar lokasinya juga berdekatan dan dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki.

Lalu, bagaimana aroma hujan kali ini? Sama seperti mereka, hidungku sebenarnya juga tidak punya kemampuan untuk mendeteksi aroma seperti yang baru saja kutanyakan pada beberapa orang. Hanya saja aku merasa sedikit berbeda bahwa hujan kali ini lebih memiliki Rahmat. Suasana hati terasa lebih sejuk saat hujan tiba-tiba mengguyur setelah beberapa bulan tidak bersedia singgah. Seolah hujan kali ini menyatakan bahwa aku bebas dari sekelumit masalah yang telah membuat depresi. Waau.

Jadi apa yang spesial di musim hujan kali ini? Secara nyata tidak ada (belum ada lebih tepatnya), tetapi naluriku berkumandang untuk diriku sendiri bahwa ini adalah tahun dimana aku bertemu seorang perempuan yang benar-benar mengenal Malang yang nantinya akan merasakan aroma hujan bersamaku setiap saat.

Selasa, November 24, 2015

Doa, Semoga Amanah

Beliau nomor 3 dari kiri
Orang yang akan saya ceritakan kali ini wajahnya terpampang dalam foto di atas (juga ada saya salah satu diantaranya). Dan mendengar kabar orang yang saya maksud baru saja terpilih menjadi Gubernur BEM KM di fakultas tempatnya berkuliah sekarang. Itu setingkat Persiden BEM fakultas di kampus tempat saya menuntut ilmu kini. Tentunya perlu mengucapkan selamat secara langsung pada mahasiswa sederhana yang selalu penuh dengan keoptimisan ini. Namun sayang, akhir-akhir ini kesibukan dan jarak yang jauh membuat kami kehilangan kontak. Semenjak saya kembali berangkat ke Malang untuk melanjutkan semester 5, tidak ada lagi komunikasi yang menjembatani silaturahmi antara kami. Bahkan sampai sekarang, ketika saya mendapat kabar bahwa beliau diamanahkan untuk memimpin rekan-rekan se-fakultasnya.

Tunggu sebentar. Saya harus menyebutnya dengan sapaan 'Beliau'? Ini sangat tidak biasa dan jujur saja lidah saya seolah menolak dengan keras memberikan sapaan tersopan yang umum diberikan kepada mereka yang lebih tua usia dan pengalaman, padahal sejatinya kami seumuran. Perut saya yang awalnya normal-normal saja tiba-tiba rasanya menjadi agak mulas dan ingin ke kamar mandi ketika harus mengganti namanya dengan sapaan 'Beliau'Dan juga kocak, aib serta kegoblokan mantan Ketua I OSIS semasa kami sekolah ini saya ketahui dengan sangat detail.  Tetapi mengingat jabatan yang diembannya kini, rasanya sah-sah saja jika sapaan 'Beliau' disematkan padanya. 

Saya mengenal Beliau cukup dekat, bahkan sangat dekat mengingat beberapa inspirasi yang dulu dia hadirkan telah membuat saya bisa mewujudkan mimpi untuk kuliah di tanah jawa dan tentunya di salah satu universitas dengan nama besar di negeri ini. Sebelumnya semasa SMA kami juga terlibat di beberapa kegiatan ekstra kurikuler yang sama seperti Pramuka dan OSIS, juga kami pernah sekelas ketika kelas 11 dan beliau adalah ketua kelasnya. Saat itu kami tergabung di kelas 11 IPA 1. Yah, meskipun otak saya tidak seencer otak Beliau, tetapi saya juga tidak terlalu bego untuk menerima berbagai hitungan dan rumus di jurusan IPA. 

Alhasil, bertemu dengan Beliau dan menjadi kawan dekatnya ketika itu benar-benar mengubah hidup dan tujuan saya untuk beberapa tahun ke depan. Gelap masa yang akan datang sedikit terkena biasan cahaya oleh beberapa kata mujarab yang kadang Beliau sampaikan hanya lewat candaan yang sama sekali tidak menggurui. Saya yang saat itu sudah sedikit kolaps karena jurusan IPA yang tidak sesuai dengan keinginan, perlahan mulai menampakkan senyum dan kecerahan untuk menjelajah masa depan (Amiiin). Dikenalkan Beliau pada hal-hal di luar pelajaran dan akademik sebagai motivasi. Rumus fisika yang kala itu turunannya begitu rumit dan membuat mumet kepala saya, Beliau ubah menjadi lebih gampang dan menyenangkan. Bagaimana caranya? Itulah kelebihan yang Tuhan berikan pada bujang yang kini duduk di jurusan Fisika itu.

Bagaimana dengan masalah pribadi? Jangan ditanya jika masalah itu. Beliau orang yang sangat luar biasa, seringkali mampu membedakan dan membagi waktu dengan sangat baik, menempatkan sesuatu benar-benar pada tempatnya. (Walaupun kadang sedikit misskom dengan manajemennya sendiri, :D)

Saya tidak ingin menceritakan pengalaman pribadi beliau, itu tidak baik. Saya hanya akan bicara tentang pengalaman pribadi saya tentang cinta. Mengapa di sini? Karena Beliau inilah yang secara tidak langsung telah memperkenalkan saya dengan cinta. Orang ini yang membuka mata saya bahwa ada seorang perempuan cantik berkacamata di kelas kami yang kebetulan saat itu masih sendiri. Kalian tau bukan, bagaimana rasanya jatuh cinta ketika SMA? Sulit dijelaskan dengan kata-kata, Bro.(Jangan tersenyum dan jangan munafik, kalian pun pasti pernah mengalami masa-masa jatuh cinta di dunia putih abu-abu).

Ini adalah pertama kalinya Beliau mengajarkan bahwa perjuangan itu penting dan sangat diperlukan. Meski tidak diucapkannya secara langsung, namun kala itu saya dapat memahami bahwa gerak dan sikap yang Beliau tunjukkan telah memberi dorongan agar saya terus berusaha. Meskipun pada akhirnya kisah cinta itu tidak berakhir baik (sayang sekali ya), tetapi rasanya itu semua sudah lebih dari cukup untuk mengajarkan bahwa hidup tidak semudah meminta uang jajan pada orang tua.

Lalu, sedikit tentang perempuan itu, saya agak susah untuk melupakannya, bahkan hingga saya menulis ini. Masih ada sisa-sisa ingatan yang tertinggal karena perempuan itu adalah bagian dari perjuangan yang pernah saya lakukan dulu. Bukan karena kegalauan dan tidak bisa move on seperti remaja dan ABG masa kini. Tidak, tidak seperti itu. Ada sisi lain yang membuat saya benar-benar bisa belajar dari cinta. Belajar mengikhlaskan (karena perempuan itu akhirnya malah berpacaran dengan salah satu teman dekat saya dan beliau), juga belajar untuk menerima kegagalan karena dibalik gagal yang tidak sengaja teraih  itu ada hal lain yang lebih baik yang akan menghampiri.

"Kepada kawan lama yang kini telah terpilih dan diamanahkan, selamat atas prestasimu. Semoga tetap dalam jalan yang lurus sesuai harapan orang-orang yang mendukung. Tetaplah rendah hati seperti biasa, tetaplah menjadi diri sendiri dengan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki." 

Sabtu, November 21, 2015

Persaingan untuk Gina

Sebut saja namanya Gina. Beberapa bulan yang lalu kami berkenalan lewat sebuah kegiatan malam di kampus. Jangan terlalu berpikir aneh ketika aku berbicara tentang 'kegiatan malam'. Tidak, yang aku maksud bukan kegiatan malam seperti yang ada dalam kepala dan otak ngeres kalian semua. Well, hanya sebuah acara puncak dari pergelaran seni salah satu jurusan yang ada di fakultas kami. Ya, kami adalah mahasiswa-mahasiswi di fakultas yang sama namun beda jurusan, juga beda angkatan. Aku setahun lebih dulu mencatatkan nama di kampus bernama besar ini (memang salah satu kampus terbaik, gak boong, suer deh), lalu di tahun berikutnya dia menyusul. Satu lagi, Gina adalah warga asli kota ini sementara aku adalah pendatang alias mampir sekedar untuk numpang kuliah, paling jauh ya mungkin sekalian cari jodoh. Siapa tahu ketemu jodoh di kota ini juga.

Bicara numpang kuliah, bukan berarti di kotaku tidak ada kampus megah gengs. Asal kalian tau, kampus di kotaku juga merupakan salah satu yang terbaik yang dimiliki negeri antah-barantah ini, bahkan salah satu sistem dalam perkuliahannya baru saja diadopsi oleh kampus-kampus di seputaran Asia Pasifik untuk diterapkan karena dinilai layak dan sangat baik. Asia Pasifik coooyyy. Dan menurut desas desus yang beredar, kabar-kabar burung yang berkicau, dan gosip-gosip yang tersebar, bangunan kampus yang di kotaku itu merupakan satu dari 5 bangunan kampus termegah yang berdiri di Asia Tenggara. So, kotaku juga salah satu yang terbaik meskipun kalian mungkin tidak terlalu mengenalinya karena letak yang cukup jauh dari pusat pendidikan.

Lalu kenapa aku harus numpang kuliah di kota lain? Sangat sederhana menjawabnya jika ditanyakan padaku. 'Ingin menambah pengalaman dan mencari kenalan lebih banyak'. Itu saja (jawabanku ketika ditanya serius), namun jika dikaitkan dengan kultur dan budaya leluhur, berbagai persepsi mungkin akan muncul. Katanya, orang dalam suku ku bukanlah orang yang senang berdiam diri di rumah (baca kampung halaman). Ada pepatah yang mengatakan dan itu terkenal seantero negeri, sayang sekali jika aku sebutkan, terlalu mudah kalian menebaknya dari mana aku berasal. Lupakan, kita tidak sedang membandingkan kampus atau membahas kultur dan budaya. Yang kita bicarakan kali ini adalah gadis manis bernama Gina yang aku taksir sejak pertama kami bertemu.

Bicara taksir-menaksir, aku beberapa kali pernah mengalaminya. Kebetulan sekali hampir semua pengalamanku menyatakan, setiap menyukai seorang perempuan, suatu saat alias pada akhirnya perempuan itu hanya akan menjadi teman dekatku selama beberapa periode. Tidak pernah selama ini akhirnya aku benar-benar berpacaran dengan perempuan yang aku taksir. Atau mungkin kalian menganggap aku memang tidak pernah pacaran sebelumnya?. Owps, jangan salah. Aku pernah beberapa kali merasakan yang namanya menjalin cinta bro, dan setelah berjalan lebih dari setahun, si perempuan selalu minta putus. Entah dimana dosaku tercipta ketika memasuki usia pacaran lebih dari setahun, selalu ada masalah yang akhirnya menyebabkan kami berpisah. Dan . . . . Sekali lagi maaf, pembicaraannya kembali sedikit menyimpang. Sorry gengs, kebawa suasana, maklum melankolis.

Back to Gina, ya perempuan ini cantik dan struktur wajahnya enak di pandang, juga cukup terkenal di kalangan fakultas (mahasiswa fakultas maksudnya, bukan dekanat beserta jajaran). Wajar-wajar saja jika sebenarnya tiba-tiba aku naksir, lagipula dia disukai banyak laki-laki rupawan kampus, dan tentunya aku bukan bagian dari itu. Aku hanya mahasiswa biasa yang sedang terdampar dan selalu menjerit ketika akhir bulan tiba. Sudah barang pasti, bersaing dengan laki-laki berkelas itu aku  akan langsung kalah di awal, bahkan sebelum memulai persaingan malahan. Jadi untuk sementara dan beberapa waktu ke depan aku hanya bisa menyimpan suka dalam bentuk senyum saat memperhatikannya dari jauh. Ceilaahh.

Jujur saja (karena aku memang tidak pernah bohong), hampir setiap insomniaku pasti diakibatkan karena memikirkan Gina, merasakan senyumnya yang indah dan mencium tangannya yang halus. Dengan mengkhayalkan makhluk indah seperti Gina, hatiku sedikit lebih nyaman dan mumet di kepalaku karena tugas kuliah yang seabrek meronta minta diselesaikan dapat berkurang hingga beberapa puluh persen. 

Jumat, November 20, 2015

Senyum dalam Jepretan

Maaf, senyumnya bukan untuk dipublikasikan
Setiap ada jeda selalu aku buka dan lihat foto itu. Tidak ada yang istimewa memang jika dilihat oleh orang awam dan bahkan mungkin sangat biasa di mata mereka, apalagi bagi orang-orang yang mengerti tentang seni fotografi. Sama sekali tidak ada nuansa art yang tampil di sana. Sangat biasa dan tidak ada istimewanya. Hanya ada dua orang yang sedang tersenyum berdiri berdampingan dengan latar yang gelap dan sedikit cahaya terdapat di beberapa titik. 

Dua orang itu adalah kita, aku dan kamu yang tidak direncanakan namun ingin dan 'dipaksa' untuk bertemu. Beberapa haripun kemudian berlalu. Pertemuan kita malam itu hanya sebatas petikan kamera lalu kita berpisah lagi tanpa ada kata yang saling menyapa, saling bertanya kabar, apalagi saling berbagi cerita. Hasil jepretan yang sangat biasa itu ternyata sudah cukup ampuh untuk mengobati jika tiba-tiba aku rindu ingin melihat wajahmu.

Mengapa? Mungkin karena senyum dalam foto itu. Jelas sekali tidak ada beban saat kamu tersenyum dan aku berdiri di sana. Aku senang, harus kukatakan bahwa aku bahagia teramat sangat malam itu. Kamu jelas terlihat bahwa itulah kamu yang sebenarnya. Bukan kamu yang selama ini memendam sesuatu tak terungkap setiap kali kita ada dan berdiri di dekat mereka. Natural kecantikanmu jelas tergambar dalam raut dan ekspresi yang sangat mempesona. Terlalu hiperbolakah kata-kataku? Aku rasa tidak. Ini momen nyata yang aku lihat dan rasa. Senyum penuh keikhlasan pertama yang dapat aku saksikan dari raut wajah indahmu yang akhir-akhir ini jarang terlihat.

Terima kasih telah menampilkan senyum saat mengabadikan momen bersamaku, itu merupakan momen yang sangat berarti. Senyum itu akan selalu kusaksikan di malam-malam sebelum aku beristirahat bersama mimpi di surga, senyum yang akan menjadi pelecut semangat saat aku lelah dan mengeluh, senyum yang akan mengantarkanku pada dunia yang kelak akan berpihak. Sekali lagi aku tidak hiperbola. Ini nyata dan kamu adalah objek dari kenyataan yang ada. Indah dan mempesona.


Senin, November 16, 2015

Pecundang Angkuh


Dulu, ketika dunia baru memperkenalkan kita, ketika jarak antara kita coba dijembatani oleh waktu, aku sempat merasakan hidup sebagai seorang laki-laki yang berani, seorang laki-laki yang hebat dan seorang manusia yang gentleman. Saat banyak orang yang coba mendekat dalam lingkaran hidupmu, saat banyak lelaki yang coba datang membuka hatimu, saat banyak rayuan dan janji yang berusaha meminangmu, akulah akhirnya jiwa yang kamu pilih untuk disentuh, akulah rasa yang akhirnya kamu titipkan kepercayaan. Akulah raga yang akhirnya sempat merasakan cinta.

Akulah lelakimu, yang akhir-akhir ini kamu sadari ternyata sama sekali tidak dapat diandalkan. Akulah kesalahan terbesar dalam pilihan hidupmu. Akulah kekecewaan, akulah kekesalan, dan akulah luapan emosimu yang kini sulit dibendung. Tersesal kamu dalam keadaan yang ternyata tidak berdampingan dengan asumsi dan ekspektasimu di masa lalu. 

Sadarilah, bukan hanya kamu yang menyesali apa yang telah terjadi. Aku manusia yang juga punya rasa, punya hati yang bersih meski kadang terkotori oleh debu-debu kelakuan. Betapa lebih menderitanya ketika sadar fakta bahwa kehadiranku telah membuat raga bahagiamu yang ingin lebih dibahagiakan justru malah menghadirkan kecewa dan amarah.

Keangkuhanku yang terlampau berani mengungkap cinta kala itu akan menjadi kesalahan tersulit untuk dilupakan. Merubah jiwa bahagia menjadi derita adalah kebodohan fatal yang bahkan air mata pun belum tentu dapat mengungkapkannya. Berlaku seolah yang terbaik, padahal hanyalah seorang pecundang yang menghasilkan sedih dan kecewa kepada yang dicinta, lalu menyesalinya tanpa bisa berbuat apa-apa. Ya, aku adalah pecundang dan aku sangat mengakuinya.

Kini, aku akan berjalan lebih dulu darimu, melangkah lebih cepat dari biasanya, atau mungkin dalam beberapa kesempatan aku akan mencoba untuk berlari sekencang mungkin. Dan di depan sana, di tempat yang tidak terjangkau oleh pandanganmu aku bersiap menunggu. Mungkin tidak dapat menebus dosa atas semua salahku, namun setidaknya ada hal yang bisa membuatmu kembali menatapku dalam keadaan tersenyum. Karena di sana aku telah menyiapkan hadiah kecil yang semoga kamu menyukainya dan mohon pastikan satu hal bahwa tidak akan ada yang menggenggam tanagnmu selama diperjalanan.

Minggu, November 15, 2015

Janji Kecil

Teringat sesuatu ketika aku terbangun dari tidur di Sabtu pagi yang kosong tanpa jadwal kuliah (Sabtu memang seharusnya libur). Beberapa hari yang lalu, beberapa minggu yang lalu mungkin lebih tepat untuk disebut, secara tidak sengaja kita pernah mengukir janji kecil yang berasal dari tantangan yang sama kecilnya. Semua berawal dari apa yang kamu ceritakan waktu itu. Benarkah bermaksud sekedar berbagi kesah atau merupakan sebuah kode yang ingin kamu lempar agar aku segera bertindak, sampai detik ini belum ada kepastian mana kebenaran yang sebenarnya.

Kode ataupun sekedar curhatan tidak masalah ketika akhirnya kita setuju untuk sekali waktu keluar bersama. Tidak kita sebut kapan dan kemana, hanya ada kata yang sama-sama kita tanggapi dengan anggukan sambil tersenyum bahwa kita akan menghabiskan beberapa saat untuk menciptakan otak dan jiwa yang lebih fresh selepas kesibukan yang teramat padat jadwalnya.

Tapi masih mungkinkah dengan kondisi kita yang sekarang sudah tidak lagi menjalin komunikasi? Kita masih berada di kota yang sama, kita masih sering datang ke kampus yang sama, juga kita masih melakukan aktivitas yang hampir sama. Bukan kesamaan kesibukan dan kegiatan yang aku maksud di sini. Jika ditarik kesimpulannya, kita masih sering bertemu dan sebenarnya ada banyak waktu yang bisa kita sisipkan agak sejenak. Tetapi sampai aku terbangun pagi ini, kita sama sekali tidak melakukannya, mencoba untuk melakukannya pun tidak.

Tiba-tiba saja aku merasa ada yang aneh. Terlalu rempong memang karena jika tidak aku tanggapi pun sebenarnya tidak masalah. Hanya saja kadang-kala ini sedikit mengganggu terlelapnya raga saat malam-malam yang seharusnya diisi dengan membaringkan kepenatan sambil mata terpejam. Apakah ada masalah diantara kita yang membuat kita kehilangan kontak dengan sangat mudahnya?

Menegurmu lewat sapa terasa sangat berat karena kadang ada rasa bersalah yang hinggap. Tetapi salah yang bagaimana? Secara langsung kita tidak pernah bersentuhan dengan hal-hal semacam itu. Atau karena faktor luar yang membuat kamu merasa terpermainkan oleh sikap dan prilaku ku? Bisa jadi dan aku juga yakin itulah penyebabnya.

Lalu, haruskah aku mengatakan bahwa keterlambatan mengenalmu adalah penyebabnya? Perbedaan tingkatan kita dalam hal akademis mungkin harus yang disalahkan meskipun dia tidak mengerti apa-apa. Atau menyalahkan diriku sendiri yang mengapa bisa terjerembab ke kotamu? Jika aku tetap di kotaku dan tidak bandel untuk mengunjungi tempat baru, bisa dipastikan masalah kecil ini tidak akan terjadi. Tetapi itulah rencana Tuhan yang maha luar biasa dan kita dipaksa menjalaninya.

Jumat, November 13, 2015

Tetangga

Fakta bahwa kini ternyata rumah kami berdekatan adalah sesuatu yang membuat aku sedikit terhenyak. Dari awal memang telah aku ketahui bahwa rumahnya berada di alamat ini, tempat berdirinya rumah baru berdesain minimalis yang aku sewa bersama kedua kawanku untuk setahun ke depan. Namun aku tidak sampai berpikir bahwa ternyata rumah kami saling berhadapan. Seringkali setiap pagi saat aku duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok dia muncul dari balik pagar rumahnya. 

Hampir dua bulan tinggal di rumah baru, hampir setiap hari pula dia terlihat dalam waktu yang sama. Pagi ketika berangkat ke kampus dan sore ketika pulang dari kampus. Hanya di dua waktu itu aku dapat melihatnya karena ketika sudah masuk dalam rumah, tidak akan muncul lagi wujudnya dari balik pintu kecuali untuk aktivitas selanjutnya. Pintu rumahnya kadang terbuka namun juga tidak terlihat dia berkeliaran di dalam. Hanya terlihat televisi besar 36 inchi di atas buffet bersama dua speaker setinggi tegakku mengapitnya. Ruangan yang dapat terlihat dari rumahku itu selalu tertata rapi dan tidak pernah terlihat berantakan. 

Seharusnya bisa saja aku mampir ke rumahnya sekedar bermain-main karena dulunya kami pernah terlibat keakraban yang sangat dekat. Dulu, sebelum sesuatu hal yang membuat kesalahpahaman diantara kami semakin membesar. Dan jadilah kini akhirnya kami tidak lagi pernah saling menyapa, meski saban waktu tidak sengaja kami berpapasan di jalan dan di kampus atau saling beradu pandang untuk sesaat dalam jarak yang hanya terpisah oleh jalan selebar 4 meter.

Pernah sekali waktu aku tersenyum padanya saat benar-benar tidak ada lagi tempat untuk mengelak. Sedikit senyum dengan kepala yang sedikit kugoyangkan aku menyapanya. Tatap sinisnya menggetarkan hatiku. Dia mengalihkan wajah namun dari sudut bibirnya terlihat seulas senyum yang jelas ingin ditutupi. Aku kemudian berlalu dengan langkah yang sedikit lelah sehabis jogging dan dia juga berlalu dengan sepeda motornya setelah meninggalkan bunyi klakson kecil. Ya, ketika itu kami bertemu di suatu sore dalam keadaan yang sama lelahnya.

Sore di hari berikutnya kami juga bertemu lagi. Bosan karena tidak ada seorangpun di rumah membuat kakiku gatal dan ingin melangkah melihat-lihat keadaan sekitar rumah baru. Aku masuk beberapa blok lalu keluar lagi di blog lainnya. terjadi hingga beberapa kali sampai akhirnya secara tidak sengaja aku tiba di blog ku sendiri yang bahkan tepat keluar di persimpangan samping rumahku.

Seperti yang dapat ditebak, sore itu kami bertemu lagi. Dan seperti biasa seolah tidak ada sesuatu diantara kami, raga berlalu begitu saja ketika berpapasan. Berbelok arah lalu hilang di balik pagar rumah masing-masing.

Tidak, kami tidak melakukan hal itu. Dia berhenti tepat di depan pagar yang sebenarnya sudah terbuka. Dan aku berjalan ke arah dimana dia diam entah menunggu siapa. Teman, pacar atau entah siapa.

Sepanjang langkah aku terus memperhatikan wajahnya yang berekspresi datar dan seolah tidak menyadari ada aku tidak jauh dari tempat dia berada. Padahal dalam kenyataannya, seratus persen keyakinanku mengatakan bahwa dia sedang menunggu tindakan apa yang akan kulakukan. Ya, begitulah perempuan dengan sejuta sandiwara dan permainannya.

Aku menepuk bahunya sambil berkata "Hai, apa kabar?"

Ekspresinya yang seketika berubah membenarkan keyakinanku. Lagi-lagi sifat perempuan yang sulit diterima. Hanya menunggu dan sama sekali tidak mau untuk memulai. Lalu dimana letak ladies first dan emansipasinya? Ah, sudahlah, tidak nyambung.

"Iya baik. Kamu ngontrak di situ?" Dia menunjuk rumah kecil di depan sana. Berbeda jauh dengan rumahnya yang besar dan bertingkat, juga tergolong mewah.

Aku mengangguk. Karena entah kenapa tiba-tiba saja bingung untuk menjawab dengan nada dan pita suara yang bagaimana, sehingga beberapa anggukan adalah pilihan yang paling tepat saat itu.

"Mampirlah ke rumah." Tawarannya kali ini jelas sekali membuktikan yang barusan aku sebut tentang perempuan.

Aku tersenyum karena lagi-lagi bingung harus menjawabnya bagaimana, bukan masalah kata-kata, tetapi lebih pada intonasi dan nada. Karena berbicara dengan orang ini agak sedikit memerlukan ketepatan intonasi. Takut menjadi konflik lagi karena dalam mindset ku warga kota disini (dia salah satunya) terkenal akan keramahannya (sumber: beberapa media cetak dan elektronik plus pengalaman pribadi). Apalagi ada rasa yang sedang singgah diantara kami beberapa saat yang lalu. Entah sampai sekarang dia masih menyimpannya atau sudah tidak lagi.

"Pagar rumahku juga selalu terbuka kalau kamu mau main." Yah, aku mengeluarkan kata-kata yang sangat netral. Terlihat seperti tidak mengajak, tidak berharap dia mampir padahal itulah tujuan utamanya kata-kata ini muncul di hadapannya. Aku rasa aku mulai bisa bersilat lidah bermain kata.

Dia tersenyum. Menatap beberapa saat rumah itu lalu ganti menatapku beberapa detik.

"Sekarang boleh?" Tanyanya.

Kata-kata itu meskipun kelihatannya sangat biasa tetapi bagi orang yang sedang jatuh cinta dan berharap setengah mati adalah sesuatu tak terlukiskan yang bisa jadi lebih indah dari pelangi di langit setelah turun hujan.

"Oke, aku perlu sedikit persiapan untuk menyambut tamu perempuan pertama yang mampir ke rumah." (Bahasaku memang formal untuk menggodanya)

Aku melangkah saat dia bersiap memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia tinggalkan sedikit senyum yang, ah, luar biasa menggoda menggetarkan jiwa. 

Tidak lama dia muncul di depan pagar yang setengah terbuka.

"Boleh aku mampir?" Tanyanya dengan senyum yang lebih lebar daripada beberapa saat tadi.

Saat itu pantatku baru saja menyentuh kursi yang aku duduki. Ada cangkir teh hangat dan spiring biskuit tersaji di meja. Biskuitnya dibeli temanku tadi malam dan kebetulan dia sedang tidak berada di rumah. 

"Silahkan, kebetulan sore ini aku lagi sendiri." Ya, kata-kataku benar-benar mematikan setelah beberapa lama mulutku tak pernah berimprovisasi menggodanya.

Senyumnya kini mulai berubah menjadi tawa. Pintu keakraban kami mulai terbuka kembali. Semudah itukah ternyata? Hanya karena aku menyapa di suatu sore yang terdesak, sikap dingin selama 2 bulan langsung sirna? Begitukah perempuan?

Pertanyaan selanjutnya, apa yang kami bicarakan sore itu?

Jawabannya, "tidak ada yang penting."

Hanya basa basi selama  satu setengah jam aku rasa. Ya satu setengah jam habis untuk sekedar basa basi. 

Magrib menjelang, dia izin untuk pulang. Lagipula terlihat papanya di seberang sana mencuri-curi pandang, entah dengan siapa anaknya kini bercengkrama.

"Tenang Om, Aku ro cah iki anakmu siji-sijine. Tapi aku iki ora wong jahat. Aku konco anakmu. Yo, mugo2 iso dadi mantu mu Om. Sopo sing ero." Begitu hatiku berkata saat tatapan curiga dari seberang sana menyerang kenyamananku berbasa basi.

Sengaja tidak aku beritahu, karena suatu saat aku yakin akan diperkenalkan kepada papanya sekaligus mamanya juga kemungkinan besar. Kan tetangga. :D

Malam hari tiba, selepas Isya kedua orang yang selalu memberantakkan rumah juga belum muncul. Mungkin masih sibuk dengan laporan penelitian dan juga skripsinya. Ya sudahlah, kadang aku memang butuh kesendirian untuk menenangkan jiwa. baru saja berpikir seperti itu, handphone mahalku yang sudah tidak ada bentuknya menerima sebuah pesan?

"Kamu udah makan? Kalau belum, ini aku abis masak, aku antar ke sana ya?"

Rezeki yang pantang untuk di tolak. Sesopan mungkin aku coba untuk menjawab. Tidak berharap dia mengantarkan makan malam, juga tidak mungkin dia untuk membatalkan tawarannya. Jurus-jurus ini aku dapat dari sering membaca beberapa karya fiksi, karena kebetulan perutku sedang berkeroncong minta di isi.

Hanya berselang Lima Belas menit dia tiba di depan rumah. Tanpa permisi dia buka pagar dan masuk lewat pintu depan yang sedikit terbuka. 

"Kamu udah makan?" Tanyaku seolah sok perhatian.

Tersipu malu dia menjawab. "Belum."

Dan aku mengerti akan satu hal kecil lainnya. Ada keinginannya yang sama denganku, yaitu makan bersama. Meskipun tidak di tempat mewah yang penting bersama. Lagipula ini adalah janji yang dulu pernah kami sepakati namun sempat luntur gara-gara kesalahpahaman beberapa saat. Bersyukur saja, karena malam ini terlaksana. Kami makan dengan lauk ala jawa buatannya. 

Kedua temanku datang hampir bersamaan saat kami sama-sama mengunyah suapan terakhir. Mereka tersenyum dan aku perkenalkan kepada (sebut saja perempuanku, karena tidak etis menyebut namanya secara langsung di sini). 

........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................ Aku terbangun karena jam alarm yang bunyinya mengusik telinga. 04.00 WIB