Sabtu, September 26, 2015

&^&

Amarah kadang berjalan dengan seenaknya. Perlu evaluasi diri untuk mengkonversinya menjadi buah-buah ranum bernama pengertian. Juga perlu sabar untuk membuatnya menjadi buah dengan keranuman yang sempurna. Ah entahlah. Amarah memang bisa datang kapan saja bahkan terhadap hal yang sebenarnya sangat sepele. Ah entahlah. Amarah adalah bagian dari kehidupan yang hingga kini aku belum menemukan solusi untuk menjinakkannya

Rabu, September 16, 2015

Aroma

Benarkah sudah berubah yang tidak terlihat itu? Bukan. Ini bukan bicara soal fisik yang memang telah berubah. Ini tak bisa disambungkan dengan fisik, tidak juga bisa dihubungkan dengan penampilan atau dengan apapun yang menyangkut kekongkritan. Ini tentang sebuah rasa, yang dulu menggebu dan kini telah terlelap termakan kejenuhan dan bosan. Ah, entahlah. Itu tidak bisa terjamah dan hanya ada dalam hati tanpa bisa terlihat wujudnya.
Adakah seseorang yang kini telah menyentuhnya? Yang telah membuatnya luluh dan melupakan masa lalunya yang panjang. Yang telah merasuki hatinya sehingga dia tidak lagi sama seperti tempo hari.
Aku diam dalam keramaian saat semua orang memujinya. Dia adalah bagian yang kini membawa setengah hatiku. Kini semua orang memujanya, menyanjungnya dengan tampilan baru yang membuat dirinya terlihat lebih indah. Dia tersenyum menyambut setiap senyum yang mengarah padanya. Entah senyum yang sekedar bermakna terimakasih atau senyum bermakna lain seperti keterbukaan hati untuk dimiliki. Semua itu cukup untuk membuat darah menjadi panas, hati bergetar, dan menciptakan sebuah aroma yang tak diinginkan. Itulah aroma cemburu yang menyiksa tubuh.
           


Selasa, September 15, 2015

Latar Belakang yang Bertolak Belakang



                Saya putuskan untuk bicara di sini saja setelah tidak tahu lagi kepada siapa harus bercerita. Orang tua bukan hal yang tepat untuk tempat mengadu tentang hal ini. Juga tidak ada kawan yang sepertinya mau mendengar ocehan keluhan dan cerita kegalauan saya dalam beberapa hari terkahir. Saya seolah telah lama menikmati hari seorang diri, berlagak berada di tempat baru yang tiada seorangpun mengenali.
                Saya ceritakan sekarang
                Saat itu saya sedang rindu kepada seseorang dan kami telah lama tidak bertemu. Beberapa bulan yang lalu dia pergi ke luar kota dan saya juga. Ya, kami adalah pendatang di kota ini dan sedang sama-sama meretas jalan menuju pintu sukses. Kami dipertemukan di sini dengan beberapa cerita. Lalu cerita-cerita itu merangkai rasa dan getaran yang muncul setiap kali kami bertemu. Perlahan kami menerjemahkannya dengan cara masing-masing, sendirian. Hingga akhirnya sesuatu hal membuat kami bersatu, menjalin cinta dan melangkah bersama.
                Bulan-bulan dimana kami tidak bisa berjumpa sebenarnya sudah berlalu sejak dua minggu yang lalu. Kami telah sama-sama menginjak kota ini lagi, memulai kembali aktifitas dalam perjalanan menuju sukses yang kami damba. Tetapi kini ada gelagat yang tidak biasa dan rasanya sedikit aneh. Dia tidak lagi antusias ketika saya ajak bertemu. Bahkan dalam beberapa waktu dia menolak dengan caranya yang sangat halus dan terterima oleh logika.
                Tetapi kenapa? Apakah dia sudah tidak merindukan saya lagi? Entahlah. Sebenarnya ini adalah sebuah prediksi (yang sama sekali tidak diharapkan menjadi kenyataan) yang dari lama telah tumbuh dalam benak bahkan sejak hari pertama kami memulai hari. Dia hanya menganggap biasa semua hal yang berkaitan dengan saya, berbeda jauh dengan saya yang menganggapnya lebih dari sekedar seorang perempuan baik yang lemah lembut.
                Saya coba untuk melihat beberapa hal yang mungkin bertanggung jawab atas kejadian ini. Saya sangat paham bahwasanya kami berasal dari latar belakang yang bertolak belakang. Saya hanya seorang mahasiswa biasa dari pelosok yang berjalan kaki merambah hutan dan membuat jalan sendiri menuju cita-cita. Sementara dia adalah pengendara yang menuju cita-cita menggunakan mobil pribadi di jalur cepat tanpa hambatan. Apakah hal itu memang berlaku sehingga saya tidak layak untuk mewujudkan kebersamaan dengannya?
                Namun setiap hal yang mengatasnamakan cinta bisa membuat semua orang keluar dari orbit edarannya, membuat mereka lupa akan asal dan tujuan awalnya, membuat mereka menempuh jalur yang bukan miliknya. Itulah saya saat itu, saat cinta menusuk relung hati yang tidak mampu saya kendalikan. Dan saya tersadar setelah terhempas oleh sikap dia yang tidak lagi biasa. Mata saya terbuka untuk bisa melihat apa yang sebenarnya telah berubah.
                Apakah ini hanya sebuah halusinasi dari bentuk kelelahan hati atau juga mungkin ini yang disebut dengan kejenuhan? Ah, saya terlalu pusing untuk memikirkannya. Saya hanya ingin terus dan terus bersamanya hingga nanti kami mendapat sebutan ayah-ibu dari anak-anak kami, dipanggil kakek-nenek oleh cucu-cucu kami, disebut pasangan lansia atau manula oleh orang-orang yang terjun ke dunia masyarakat, dan disebut almarhum/ah oleh orang-orang yang kelak kami tinggalkan.

Sabtu, September 12, 2015

Terabaikan

‘Suatu senja dalam sebuah percakapan di tepi danau dengan seorang perempuan yang merupakan sahabat lama’

Kadang aku memikirkan beberapa kondisi tentang jalinan hubungan sebagai sepasang kekasih namun tak pernah berjumpa. Tidak ada alasan kuat yang meyakinkan bahwa pertemuan tidak bisa terlaksana. Dua insan yang tidak berada di dua tempat berbeda dengan jarak yang jauh, juga tidak dirundung kesibukan yang teramat sangat sehingga tidak ada waktu untuk bertemu. Mungkin salah satu dari mereka terlalu asyik dengan dunianya, melupakan seseorang juga ingin memiliki hari sejenak bersamanya.
Sejatinya dia memiliki hak untuk bisa berjalan di sampingmu, menikmati senyummu, dan mendengarkan kesahmu. Dia hanya tidak ingin mengusik, itu saja. Baginya bahagia adalah hal utama yang harus diwujudkan dalam hidup. Dan sepertinya tanpa kehadiran dia kamu sudah tersenyum dan tertawa. Dari sudut tak terlihat dia menyaksikanmu, saat kamu tak menyadari kehadirannya yang berdiri tepat disampingmu. Dilihatnya kamu tersenyum dengan mereka, kalian tertawa bersama, tiada rona sedih dan muram yang dia saksikan di rautmu.
                Hatinya tergetar melihat kejadian yang hampir setiap hari disaksikannya. Tanpa kehadirannya kamu terlihat cukup bahagia. Lalu dia berpikir untuk tetap bertahan saja pada posisi dimana dia terabaikan untuk waktu yang tidak tahu sampai kapan. Dia tersenyum sambil menahan tumpahan air mata saat melihat kamu bersama mereka. Cinta dia padamu menguatkannya, dia meyakinkan dirinya bahwa ini tidak lagi akan berjalan lama. Malam-malamnya selalu dia isi dengan memikirkanmu, memajang potret senyummu di dinding kamarnya. Sambil berharap ada sedikit saja waktu yang dia bisa habiskan bersamamu, seperti mereka menghabiskan waktu bersamamu dibanyak waktu.
                Dia cemburu, namun tak pernah dikataknnya. Dia tidak ingin mengusik bahagia yang sedang menghampirimu. Dia tidak ingin menyulut api permasalahan yang dapat merusak bahagiamu. Dengan caranya sendiri, dia berusaha menikmati bahagiamu meski hatinya sedikit teriris oleh sikapmu yang sering mengabaikannya. Di suatu malam dia bertemu dan berbicara kepadaku, wajahnya merah, nafasnya memburu, beberapa kali kepalan dibuatnya, lalu dia menunduk, menutupi wajah agar tak terlihat air matanya yang akan segera tumpah mengaliri kedua pipinya.
                “Aku menyayanginya, aku hanya ingin sedikit waktu dia sediakan untukku. Aku ingin ada di sampingnya, menikmati hari bersamanya, mendengarkan canda tawa dan menikamti senyum bahagianya, aku mau mendengarkan ceritanya ketika dia bersedih dan banyak hal yang ingin aku lakukan bersamanya. Tapi dia?”
                Wajahnya mengiba bercerita. Aku terdiam. Ini adalah posisi dimana dulu aku pernah mengalaminya. Jalinan cinta tanpa pertemuan selama beberapa saat lamanya. Hanya bisa melihat, menyaksikan dan memandangi orang tersayang dari jauh, tanpa bisa menyentuh dan mengucap sepatah kata padanya. Dan berusaha ikut bahagia saat melihatnya tersenyum, meski hati harus memaksa sekeras-kerasnya. Yang bahkan hingga kini dia sama sekali tidak menyadarinya.
Mungkin kamu bertanya, apa yang aku lakukan? Sama seperti yang dia lakukan, aku kemudian mencari bahagiaku seorang diri, melupakannya secara perlahan hingga akhirnya aku ‘bertemu’ lagi denganmu. Selama ini aku telah terabaikan oleh orang yang dicinta. Dan tahukah kamu bahwa itulah kesedihan yang rasanya melebihi dari segala kesedihan yang pernah ada.