Senin, November 30, 2015

Aroma Hujan

Selamat di guyur hujan mahasiswa/i Malang (maksudku mahasiswa/i yang berkuliah di kota Malang). Apakah kalian merasakan aroma hujan kali ini berbeda dengan aroma hujan yang pernah ada sebelumnya? "Yo ora to, wong hujan gak onok aromane le". Mungkin begitu kalian akan menjawabnya saat aku bertanya. Maaf, bahasa yang aku gunakan bukan bahasa biasa dan keseharian. Ini bahasa mahasiswa galau (sebut saja begitu) yang ingin sedikit berekspresi. Tidak punya kemampuan apa-apa, tidak punya kelebihan apa-apa, juga tidak rupawan apalagi bergelimang harta. Jadi hanya belajar mengolah kata agar dapat lebih dinikmati maknanya secara dalam. Asyiiiikkk.

Aroma hujan. Maksudku suasana hujan yang kali ini rasanya sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Jujur saja tahun ini adalah kemarau terpanas selama keberadaanku di Malang. Setiap kali bertemu dengan pribumi Malang atau dengan mereka yang lama tinggal di Malang dan membahas masalah cuaca, selalu saja jawaban mereka memparameteri beberapa tahun lalu (kira-kira saat usiaku belum bisa untuk menghapus ingus sendiri). 

"Dulu iku Malang dingin. Gak koyok ngene iki, sekarang panas. Dulu aja jam 12 siang masih bisa liat embun jatuh." Begitu suara-suara yang mengenal Malang dari lama berkicau dalam bahasa Indonesia medok campur sari.

"Dulu gak serame ini, masih agak sepi dan gak macet." Ini nada kicauan lain dari suara di pinggir jalan di salah satu sudut jalan kota Malang yang lokasinya dekat dengan kampus (aku bertanya pada tukang parkir di depan fotocopian). Memang tempat terpadat adalah kawasan di sekitar kampus. Banyak mahasiswa perantau yang mengenyam pendidikan di sini, ditambah lagi beberapa kampus besar lokasinya juga berdekatan dan dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki.

Lalu, bagaimana aroma hujan kali ini? Sama seperti mereka, hidungku sebenarnya juga tidak punya kemampuan untuk mendeteksi aroma seperti yang baru saja kutanyakan pada beberapa orang. Hanya saja aku merasa sedikit berbeda bahwa hujan kali ini lebih memiliki Rahmat. Suasana hati terasa lebih sejuk saat hujan tiba-tiba mengguyur setelah beberapa bulan tidak bersedia singgah. Seolah hujan kali ini menyatakan bahwa aku bebas dari sekelumit masalah yang telah membuat depresi. Waau.

Jadi apa yang spesial di musim hujan kali ini? Secara nyata tidak ada (belum ada lebih tepatnya), tetapi naluriku berkumandang untuk diriku sendiri bahwa ini adalah tahun dimana aku bertemu seorang perempuan yang benar-benar mengenal Malang yang nantinya akan merasakan aroma hujan bersamaku setiap saat.

Selasa, November 24, 2015

Doa, Semoga Amanah

Beliau nomor 3 dari kiri
Orang yang akan saya ceritakan kali ini wajahnya terpampang dalam foto di atas (juga ada saya salah satu diantaranya). Dan mendengar kabar orang yang saya maksud baru saja terpilih menjadi Gubernur BEM KM di fakultas tempatnya berkuliah sekarang. Itu setingkat Persiden BEM fakultas di kampus tempat saya menuntut ilmu kini. Tentunya perlu mengucapkan selamat secara langsung pada mahasiswa sederhana yang selalu penuh dengan keoptimisan ini. Namun sayang, akhir-akhir ini kesibukan dan jarak yang jauh membuat kami kehilangan kontak. Semenjak saya kembali berangkat ke Malang untuk melanjutkan semester 5, tidak ada lagi komunikasi yang menjembatani silaturahmi antara kami. Bahkan sampai sekarang, ketika saya mendapat kabar bahwa beliau diamanahkan untuk memimpin rekan-rekan se-fakultasnya.

Tunggu sebentar. Saya harus menyebutnya dengan sapaan 'Beliau'? Ini sangat tidak biasa dan jujur saja lidah saya seolah menolak dengan keras memberikan sapaan tersopan yang umum diberikan kepada mereka yang lebih tua usia dan pengalaman, padahal sejatinya kami seumuran. Perut saya yang awalnya normal-normal saja tiba-tiba rasanya menjadi agak mulas dan ingin ke kamar mandi ketika harus mengganti namanya dengan sapaan 'Beliau'Dan juga kocak, aib serta kegoblokan mantan Ketua I OSIS semasa kami sekolah ini saya ketahui dengan sangat detail.  Tetapi mengingat jabatan yang diembannya kini, rasanya sah-sah saja jika sapaan 'Beliau' disematkan padanya. 

Saya mengenal Beliau cukup dekat, bahkan sangat dekat mengingat beberapa inspirasi yang dulu dia hadirkan telah membuat saya bisa mewujudkan mimpi untuk kuliah di tanah jawa dan tentunya di salah satu universitas dengan nama besar di negeri ini. Sebelumnya semasa SMA kami juga terlibat di beberapa kegiatan ekstra kurikuler yang sama seperti Pramuka dan OSIS, juga kami pernah sekelas ketika kelas 11 dan beliau adalah ketua kelasnya. Saat itu kami tergabung di kelas 11 IPA 1. Yah, meskipun otak saya tidak seencer otak Beliau, tetapi saya juga tidak terlalu bego untuk menerima berbagai hitungan dan rumus di jurusan IPA. 

Alhasil, bertemu dengan Beliau dan menjadi kawan dekatnya ketika itu benar-benar mengubah hidup dan tujuan saya untuk beberapa tahun ke depan. Gelap masa yang akan datang sedikit terkena biasan cahaya oleh beberapa kata mujarab yang kadang Beliau sampaikan hanya lewat candaan yang sama sekali tidak menggurui. Saya yang saat itu sudah sedikit kolaps karena jurusan IPA yang tidak sesuai dengan keinginan, perlahan mulai menampakkan senyum dan kecerahan untuk menjelajah masa depan (Amiiin). Dikenalkan Beliau pada hal-hal di luar pelajaran dan akademik sebagai motivasi. Rumus fisika yang kala itu turunannya begitu rumit dan membuat mumet kepala saya, Beliau ubah menjadi lebih gampang dan menyenangkan. Bagaimana caranya? Itulah kelebihan yang Tuhan berikan pada bujang yang kini duduk di jurusan Fisika itu.

Bagaimana dengan masalah pribadi? Jangan ditanya jika masalah itu. Beliau orang yang sangat luar biasa, seringkali mampu membedakan dan membagi waktu dengan sangat baik, menempatkan sesuatu benar-benar pada tempatnya. (Walaupun kadang sedikit misskom dengan manajemennya sendiri, :D)

Saya tidak ingin menceritakan pengalaman pribadi beliau, itu tidak baik. Saya hanya akan bicara tentang pengalaman pribadi saya tentang cinta. Mengapa di sini? Karena Beliau inilah yang secara tidak langsung telah memperkenalkan saya dengan cinta. Orang ini yang membuka mata saya bahwa ada seorang perempuan cantik berkacamata di kelas kami yang kebetulan saat itu masih sendiri. Kalian tau bukan, bagaimana rasanya jatuh cinta ketika SMA? Sulit dijelaskan dengan kata-kata, Bro.(Jangan tersenyum dan jangan munafik, kalian pun pasti pernah mengalami masa-masa jatuh cinta di dunia putih abu-abu).

Ini adalah pertama kalinya Beliau mengajarkan bahwa perjuangan itu penting dan sangat diperlukan. Meski tidak diucapkannya secara langsung, namun kala itu saya dapat memahami bahwa gerak dan sikap yang Beliau tunjukkan telah memberi dorongan agar saya terus berusaha. Meskipun pada akhirnya kisah cinta itu tidak berakhir baik (sayang sekali ya), tetapi rasanya itu semua sudah lebih dari cukup untuk mengajarkan bahwa hidup tidak semudah meminta uang jajan pada orang tua.

Lalu, sedikit tentang perempuan itu, saya agak susah untuk melupakannya, bahkan hingga saya menulis ini. Masih ada sisa-sisa ingatan yang tertinggal karena perempuan itu adalah bagian dari perjuangan yang pernah saya lakukan dulu. Bukan karena kegalauan dan tidak bisa move on seperti remaja dan ABG masa kini. Tidak, tidak seperti itu. Ada sisi lain yang membuat saya benar-benar bisa belajar dari cinta. Belajar mengikhlaskan (karena perempuan itu akhirnya malah berpacaran dengan salah satu teman dekat saya dan beliau), juga belajar untuk menerima kegagalan karena dibalik gagal yang tidak sengaja teraih  itu ada hal lain yang lebih baik yang akan menghampiri.

"Kepada kawan lama yang kini telah terpilih dan diamanahkan, selamat atas prestasimu. Semoga tetap dalam jalan yang lurus sesuai harapan orang-orang yang mendukung. Tetaplah rendah hati seperti biasa, tetaplah menjadi diri sendiri dengan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki." 

Sabtu, November 21, 2015

Persaingan untuk Gina

Sebut saja namanya Gina. Beberapa bulan yang lalu kami berkenalan lewat sebuah kegiatan malam di kampus. Jangan terlalu berpikir aneh ketika aku berbicara tentang 'kegiatan malam'. Tidak, yang aku maksud bukan kegiatan malam seperti yang ada dalam kepala dan otak ngeres kalian semua. Well, hanya sebuah acara puncak dari pergelaran seni salah satu jurusan yang ada di fakultas kami. Ya, kami adalah mahasiswa-mahasiswi di fakultas yang sama namun beda jurusan, juga beda angkatan. Aku setahun lebih dulu mencatatkan nama di kampus bernama besar ini (memang salah satu kampus terbaik, gak boong, suer deh), lalu di tahun berikutnya dia menyusul. Satu lagi, Gina adalah warga asli kota ini sementara aku adalah pendatang alias mampir sekedar untuk numpang kuliah, paling jauh ya mungkin sekalian cari jodoh. Siapa tahu ketemu jodoh di kota ini juga.

Bicara numpang kuliah, bukan berarti di kotaku tidak ada kampus megah gengs. Asal kalian tau, kampus di kotaku juga merupakan salah satu yang terbaik yang dimiliki negeri antah-barantah ini, bahkan salah satu sistem dalam perkuliahannya baru saja diadopsi oleh kampus-kampus di seputaran Asia Pasifik untuk diterapkan karena dinilai layak dan sangat baik. Asia Pasifik coooyyy. Dan menurut desas desus yang beredar, kabar-kabar burung yang berkicau, dan gosip-gosip yang tersebar, bangunan kampus yang di kotaku itu merupakan satu dari 5 bangunan kampus termegah yang berdiri di Asia Tenggara. So, kotaku juga salah satu yang terbaik meskipun kalian mungkin tidak terlalu mengenalinya karena letak yang cukup jauh dari pusat pendidikan.

Lalu kenapa aku harus numpang kuliah di kota lain? Sangat sederhana menjawabnya jika ditanyakan padaku. 'Ingin menambah pengalaman dan mencari kenalan lebih banyak'. Itu saja (jawabanku ketika ditanya serius), namun jika dikaitkan dengan kultur dan budaya leluhur, berbagai persepsi mungkin akan muncul. Katanya, orang dalam suku ku bukanlah orang yang senang berdiam diri di rumah (baca kampung halaman). Ada pepatah yang mengatakan dan itu terkenal seantero negeri, sayang sekali jika aku sebutkan, terlalu mudah kalian menebaknya dari mana aku berasal. Lupakan, kita tidak sedang membandingkan kampus atau membahas kultur dan budaya. Yang kita bicarakan kali ini adalah gadis manis bernama Gina yang aku taksir sejak pertama kami bertemu.

Bicara taksir-menaksir, aku beberapa kali pernah mengalaminya. Kebetulan sekali hampir semua pengalamanku menyatakan, setiap menyukai seorang perempuan, suatu saat alias pada akhirnya perempuan itu hanya akan menjadi teman dekatku selama beberapa periode. Tidak pernah selama ini akhirnya aku benar-benar berpacaran dengan perempuan yang aku taksir. Atau mungkin kalian menganggap aku memang tidak pernah pacaran sebelumnya?. Owps, jangan salah. Aku pernah beberapa kali merasakan yang namanya menjalin cinta bro, dan setelah berjalan lebih dari setahun, si perempuan selalu minta putus. Entah dimana dosaku tercipta ketika memasuki usia pacaran lebih dari setahun, selalu ada masalah yang akhirnya menyebabkan kami berpisah. Dan . . . . Sekali lagi maaf, pembicaraannya kembali sedikit menyimpang. Sorry gengs, kebawa suasana, maklum melankolis.

Back to Gina, ya perempuan ini cantik dan struktur wajahnya enak di pandang, juga cukup terkenal di kalangan fakultas (mahasiswa fakultas maksudnya, bukan dekanat beserta jajaran). Wajar-wajar saja jika sebenarnya tiba-tiba aku naksir, lagipula dia disukai banyak laki-laki rupawan kampus, dan tentunya aku bukan bagian dari itu. Aku hanya mahasiswa biasa yang sedang terdampar dan selalu menjerit ketika akhir bulan tiba. Sudah barang pasti, bersaing dengan laki-laki berkelas itu aku  akan langsung kalah di awal, bahkan sebelum memulai persaingan malahan. Jadi untuk sementara dan beberapa waktu ke depan aku hanya bisa menyimpan suka dalam bentuk senyum saat memperhatikannya dari jauh. Ceilaahh.

Jujur saja (karena aku memang tidak pernah bohong), hampir setiap insomniaku pasti diakibatkan karena memikirkan Gina, merasakan senyumnya yang indah dan mencium tangannya yang halus. Dengan mengkhayalkan makhluk indah seperti Gina, hatiku sedikit lebih nyaman dan mumet di kepalaku karena tugas kuliah yang seabrek meronta minta diselesaikan dapat berkurang hingga beberapa puluh persen. 

Jumat, November 20, 2015

Senyum dalam Jepretan

Maaf, senyumnya bukan untuk dipublikasikan
Setiap ada jeda selalu aku buka dan lihat foto itu. Tidak ada yang istimewa memang jika dilihat oleh orang awam dan bahkan mungkin sangat biasa di mata mereka, apalagi bagi orang-orang yang mengerti tentang seni fotografi. Sama sekali tidak ada nuansa art yang tampil di sana. Sangat biasa dan tidak ada istimewanya. Hanya ada dua orang yang sedang tersenyum berdiri berdampingan dengan latar yang gelap dan sedikit cahaya terdapat di beberapa titik. 

Dua orang itu adalah kita, aku dan kamu yang tidak direncanakan namun ingin dan 'dipaksa' untuk bertemu. Beberapa haripun kemudian berlalu. Pertemuan kita malam itu hanya sebatas petikan kamera lalu kita berpisah lagi tanpa ada kata yang saling menyapa, saling bertanya kabar, apalagi saling berbagi cerita. Hasil jepretan yang sangat biasa itu ternyata sudah cukup ampuh untuk mengobati jika tiba-tiba aku rindu ingin melihat wajahmu.

Mengapa? Mungkin karena senyum dalam foto itu. Jelas sekali tidak ada beban saat kamu tersenyum dan aku berdiri di sana. Aku senang, harus kukatakan bahwa aku bahagia teramat sangat malam itu. Kamu jelas terlihat bahwa itulah kamu yang sebenarnya. Bukan kamu yang selama ini memendam sesuatu tak terungkap setiap kali kita ada dan berdiri di dekat mereka. Natural kecantikanmu jelas tergambar dalam raut dan ekspresi yang sangat mempesona. Terlalu hiperbolakah kata-kataku? Aku rasa tidak. Ini momen nyata yang aku lihat dan rasa. Senyum penuh keikhlasan pertama yang dapat aku saksikan dari raut wajah indahmu yang akhir-akhir ini jarang terlihat.

Terima kasih telah menampilkan senyum saat mengabadikan momen bersamaku, itu merupakan momen yang sangat berarti. Senyum itu akan selalu kusaksikan di malam-malam sebelum aku beristirahat bersama mimpi di surga, senyum yang akan menjadi pelecut semangat saat aku lelah dan mengeluh, senyum yang akan mengantarkanku pada dunia yang kelak akan berpihak. Sekali lagi aku tidak hiperbola. Ini nyata dan kamu adalah objek dari kenyataan yang ada. Indah dan mempesona.


Senin, November 16, 2015

Pecundang Angkuh


Dulu, ketika dunia baru memperkenalkan kita, ketika jarak antara kita coba dijembatani oleh waktu, aku sempat merasakan hidup sebagai seorang laki-laki yang berani, seorang laki-laki yang hebat dan seorang manusia yang gentleman. Saat banyak orang yang coba mendekat dalam lingkaran hidupmu, saat banyak lelaki yang coba datang membuka hatimu, saat banyak rayuan dan janji yang berusaha meminangmu, akulah akhirnya jiwa yang kamu pilih untuk disentuh, akulah rasa yang akhirnya kamu titipkan kepercayaan. Akulah raga yang akhirnya sempat merasakan cinta.

Akulah lelakimu, yang akhir-akhir ini kamu sadari ternyata sama sekali tidak dapat diandalkan. Akulah kesalahan terbesar dalam pilihan hidupmu. Akulah kekecewaan, akulah kekesalan, dan akulah luapan emosimu yang kini sulit dibendung. Tersesal kamu dalam keadaan yang ternyata tidak berdampingan dengan asumsi dan ekspektasimu di masa lalu. 

Sadarilah, bukan hanya kamu yang menyesali apa yang telah terjadi. Aku manusia yang juga punya rasa, punya hati yang bersih meski kadang terkotori oleh debu-debu kelakuan. Betapa lebih menderitanya ketika sadar fakta bahwa kehadiranku telah membuat raga bahagiamu yang ingin lebih dibahagiakan justru malah menghadirkan kecewa dan amarah.

Keangkuhanku yang terlampau berani mengungkap cinta kala itu akan menjadi kesalahan tersulit untuk dilupakan. Merubah jiwa bahagia menjadi derita adalah kebodohan fatal yang bahkan air mata pun belum tentu dapat mengungkapkannya. Berlaku seolah yang terbaik, padahal hanyalah seorang pecundang yang menghasilkan sedih dan kecewa kepada yang dicinta, lalu menyesalinya tanpa bisa berbuat apa-apa. Ya, aku adalah pecundang dan aku sangat mengakuinya.

Kini, aku akan berjalan lebih dulu darimu, melangkah lebih cepat dari biasanya, atau mungkin dalam beberapa kesempatan aku akan mencoba untuk berlari sekencang mungkin. Dan di depan sana, di tempat yang tidak terjangkau oleh pandanganmu aku bersiap menunggu. Mungkin tidak dapat menebus dosa atas semua salahku, namun setidaknya ada hal yang bisa membuatmu kembali menatapku dalam keadaan tersenyum. Karena di sana aku telah menyiapkan hadiah kecil yang semoga kamu menyukainya dan mohon pastikan satu hal bahwa tidak akan ada yang menggenggam tanagnmu selama diperjalanan.

Minggu, November 15, 2015

Janji Kecil

Teringat sesuatu ketika aku terbangun dari tidur di Sabtu pagi yang kosong tanpa jadwal kuliah (Sabtu memang seharusnya libur). Beberapa hari yang lalu, beberapa minggu yang lalu mungkin lebih tepat untuk disebut, secara tidak sengaja kita pernah mengukir janji kecil yang berasal dari tantangan yang sama kecilnya. Semua berawal dari apa yang kamu ceritakan waktu itu. Benarkah bermaksud sekedar berbagi kesah atau merupakan sebuah kode yang ingin kamu lempar agar aku segera bertindak, sampai detik ini belum ada kepastian mana kebenaran yang sebenarnya.

Kode ataupun sekedar curhatan tidak masalah ketika akhirnya kita setuju untuk sekali waktu keluar bersama. Tidak kita sebut kapan dan kemana, hanya ada kata yang sama-sama kita tanggapi dengan anggukan sambil tersenyum bahwa kita akan menghabiskan beberapa saat untuk menciptakan otak dan jiwa yang lebih fresh selepas kesibukan yang teramat padat jadwalnya.

Tapi masih mungkinkah dengan kondisi kita yang sekarang sudah tidak lagi menjalin komunikasi? Kita masih berada di kota yang sama, kita masih sering datang ke kampus yang sama, juga kita masih melakukan aktivitas yang hampir sama. Bukan kesamaan kesibukan dan kegiatan yang aku maksud di sini. Jika ditarik kesimpulannya, kita masih sering bertemu dan sebenarnya ada banyak waktu yang bisa kita sisipkan agak sejenak. Tetapi sampai aku terbangun pagi ini, kita sama sekali tidak melakukannya, mencoba untuk melakukannya pun tidak.

Tiba-tiba saja aku merasa ada yang aneh. Terlalu rempong memang karena jika tidak aku tanggapi pun sebenarnya tidak masalah. Hanya saja kadang-kala ini sedikit mengganggu terlelapnya raga saat malam-malam yang seharusnya diisi dengan membaringkan kepenatan sambil mata terpejam. Apakah ada masalah diantara kita yang membuat kita kehilangan kontak dengan sangat mudahnya?

Menegurmu lewat sapa terasa sangat berat karena kadang ada rasa bersalah yang hinggap. Tetapi salah yang bagaimana? Secara langsung kita tidak pernah bersentuhan dengan hal-hal semacam itu. Atau karena faktor luar yang membuat kamu merasa terpermainkan oleh sikap dan prilaku ku? Bisa jadi dan aku juga yakin itulah penyebabnya.

Lalu, haruskah aku mengatakan bahwa keterlambatan mengenalmu adalah penyebabnya? Perbedaan tingkatan kita dalam hal akademis mungkin harus yang disalahkan meskipun dia tidak mengerti apa-apa. Atau menyalahkan diriku sendiri yang mengapa bisa terjerembab ke kotamu? Jika aku tetap di kotaku dan tidak bandel untuk mengunjungi tempat baru, bisa dipastikan masalah kecil ini tidak akan terjadi. Tetapi itulah rencana Tuhan yang maha luar biasa dan kita dipaksa menjalaninya.

Jumat, November 13, 2015

Tetangga

Fakta bahwa kini ternyata rumah kami berdekatan adalah sesuatu yang membuat aku sedikit terhenyak. Dari awal memang telah aku ketahui bahwa rumahnya berada di alamat ini, tempat berdirinya rumah baru berdesain minimalis yang aku sewa bersama kedua kawanku untuk setahun ke depan. Namun aku tidak sampai berpikir bahwa ternyata rumah kami saling berhadapan. Seringkali setiap pagi saat aku duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok dia muncul dari balik pagar rumahnya. 

Hampir dua bulan tinggal di rumah baru, hampir setiap hari pula dia terlihat dalam waktu yang sama. Pagi ketika berangkat ke kampus dan sore ketika pulang dari kampus. Hanya di dua waktu itu aku dapat melihatnya karena ketika sudah masuk dalam rumah, tidak akan muncul lagi wujudnya dari balik pintu kecuali untuk aktivitas selanjutnya. Pintu rumahnya kadang terbuka namun juga tidak terlihat dia berkeliaran di dalam. Hanya terlihat televisi besar 36 inchi di atas buffet bersama dua speaker setinggi tegakku mengapitnya. Ruangan yang dapat terlihat dari rumahku itu selalu tertata rapi dan tidak pernah terlihat berantakan. 

Seharusnya bisa saja aku mampir ke rumahnya sekedar bermain-main karena dulunya kami pernah terlibat keakraban yang sangat dekat. Dulu, sebelum sesuatu hal yang membuat kesalahpahaman diantara kami semakin membesar. Dan jadilah kini akhirnya kami tidak lagi pernah saling menyapa, meski saban waktu tidak sengaja kami berpapasan di jalan dan di kampus atau saling beradu pandang untuk sesaat dalam jarak yang hanya terpisah oleh jalan selebar 4 meter.

Pernah sekali waktu aku tersenyum padanya saat benar-benar tidak ada lagi tempat untuk mengelak. Sedikit senyum dengan kepala yang sedikit kugoyangkan aku menyapanya. Tatap sinisnya menggetarkan hatiku. Dia mengalihkan wajah namun dari sudut bibirnya terlihat seulas senyum yang jelas ingin ditutupi. Aku kemudian berlalu dengan langkah yang sedikit lelah sehabis jogging dan dia juga berlalu dengan sepeda motornya setelah meninggalkan bunyi klakson kecil. Ya, ketika itu kami bertemu di suatu sore dalam keadaan yang sama lelahnya.

Sore di hari berikutnya kami juga bertemu lagi. Bosan karena tidak ada seorangpun di rumah membuat kakiku gatal dan ingin melangkah melihat-lihat keadaan sekitar rumah baru. Aku masuk beberapa blok lalu keluar lagi di blog lainnya. terjadi hingga beberapa kali sampai akhirnya secara tidak sengaja aku tiba di blog ku sendiri yang bahkan tepat keluar di persimpangan samping rumahku.

Seperti yang dapat ditebak, sore itu kami bertemu lagi. Dan seperti biasa seolah tidak ada sesuatu diantara kami, raga berlalu begitu saja ketika berpapasan. Berbelok arah lalu hilang di balik pagar rumah masing-masing.

Tidak, kami tidak melakukan hal itu. Dia berhenti tepat di depan pagar yang sebenarnya sudah terbuka. Dan aku berjalan ke arah dimana dia diam entah menunggu siapa. Teman, pacar atau entah siapa.

Sepanjang langkah aku terus memperhatikan wajahnya yang berekspresi datar dan seolah tidak menyadari ada aku tidak jauh dari tempat dia berada. Padahal dalam kenyataannya, seratus persen keyakinanku mengatakan bahwa dia sedang menunggu tindakan apa yang akan kulakukan. Ya, begitulah perempuan dengan sejuta sandiwara dan permainannya.

Aku menepuk bahunya sambil berkata "Hai, apa kabar?"

Ekspresinya yang seketika berubah membenarkan keyakinanku. Lagi-lagi sifat perempuan yang sulit diterima. Hanya menunggu dan sama sekali tidak mau untuk memulai. Lalu dimana letak ladies first dan emansipasinya? Ah, sudahlah, tidak nyambung.

"Iya baik. Kamu ngontrak di situ?" Dia menunjuk rumah kecil di depan sana. Berbeda jauh dengan rumahnya yang besar dan bertingkat, juga tergolong mewah.

Aku mengangguk. Karena entah kenapa tiba-tiba saja bingung untuk menjawab dengan nada dan pita suara yang bagaimana, sehingga beberapa anggukan adalah pilihan yang paling tepat saat itu.

"Mampirlah ke rumah." Tawarannya kali ini jelas sekali membuktikan yang barusan aku sebut tentang perempuan.

Aku tersenyum karena lagi-lagi bingung harus menjawabnya bagaimana, bukan masalah kata-kata, tetapi lebih pada intonasi dan nada. Karena berbicara dengan orang ini agak sedikit memerlukan ketepatan intonasi. Takut menjadi konflik lagi karena dalam mindset ku warga kota disini (dia salah satunya) terkenal akan keramahannya (sumber: beberapa media cetak dan elektronik plus pengalaman pribadi). Apalagi ada rasa yang sedang singgah diantara kami beberapa saat yang lalu. Entah sampai sekarang dia masih menyimpannya atau sudah tidak lagi.

"Pagar rumahku juga selalu terbuka kalau kamu mau main." Yah, aku mengeluarkan kata-kata yang sangat netral. Terlihat seperti tidak mengajak, tidak berharap dia mampir padahal itulah tujuan utamanya kata-kata ini muncul di hadapannya. Aku rasa aku mulai bisa bersilat lidah bermain kata.

Dia tersenyum. Menatap beberapa saat rumah itu lalu ganti menatapku beberapa detik.

"Sekarang boleh?" Tanyanya.

Kata-kata itu meskipun kelihatannya sangat biasa tetapi bagi orang yang sedang jatuh cinta dan berharap setengah mati adalah sesuatu tak terlukiskan yang bisa jadi lebih indah dari pelangi di langit setelah turun hujan.

"Oke, aku perlu sedikit persiapan untuk menyambut tamu perempuan pertama yang mampir ke rumah." (Bahasaku memang formal untuk menggodanya)

Aku melangkah saat dia bersiap memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia tinggalkan sedikit senyum yang, ah, luar biasa menggoda menggetarkan jiwa. 

Tidak lama dia muncul di depan pagar yang setengah terbuka.

"Boleh aku mampir?" Tanyanya dengan senyum yang lebih lebar daripada beberapa saat tadi.

Saat itu pantatku baru saja menyentuh kursi yang aku duduki. Ada cangkir teh hangat dan spiring biskuit tersaji di meja. Biskuitnya dibeli temanku tadi malam dan kebetulan dia sedang tidak berada di rumah. 

"Silahkan, kebetulan sore ini aku lagi sendiri." Ya, kata-kataku benar-benar mematikan setelah beberapa lama mulutku tak pernah berimprovisasi menggodanya.

Senyumnya kini mulai berubah menjadi tawa. Pintu keakraban kami mulai terbuka kembali. Semudah itukah ternyata? Hanya karena aku menyapa di suatu sore yang terdesak, sikap dingin selama 2 bulan langsung sirna? Begitukah perempuan?

Pertanyaan selanjutnya, apa yang kami bicarakan sore itu?

Jawabannya, "tidak ada yang penting."

Hanya basa basi selama  satu setengah jam aku rasa. Ya satu setengah jam habis untuk sekedar basa basi. 

Magrib menjelang, dia izin untuk pulang. Lagipula terlihat papanya di seberang sana mencuri-curi pandang, entah dengan siapa anaknya kini bercengkrama.

"Tenang Om, Aku ro cah iki anakmu siji-sijine. Tapi aku iki ora wong jahat. Aku konco anakmu. Yo, mugo2 iso dadi mantu mu Om. Sopo sing ero." Begitu hatiku berkata saat tatapan curiga dari seberang sana menyerang kenyamananku berbasa basi.

Sengaja tidak aku beritahu, karena suatu saat aku yakin akan diperkenalkan kepada papanya sekaligus mamanya juga kemungkinan besar. Kan tetangga. :D

Malam hari tiba, selepas Isya kedua orang yang selalu memberantakkan rumah juga belum muncul. Mungkin masih sibuk dengan laporan penelitian dan juga skripsinya. Ya sudahlah, kadang aku memang butuh kesendirian untuk menenangkan jiwa. baru saja berpikir seperti itu, handphone mahalku yang sudah tidak ada bentuknya menerima sebuah pesan?

"Kamu udah makan? Kalau belum, ini aku abis masak, aku antar ke sana ya?"

Rezeki yang pantang untuk di tolak. Sesopan mungkin aku coba untuk menjawab. Tidak berharap dia mengantarkan makan malam, juga tidak mungkin dia untuk membatalkan tawarannya. Jurus-jurus ini aku dapat dari sering membaca beberapa karya fiksi, karena kebetulan perutku sedang berkeroncong minta di isi.

Hanya berselang Lima Belas menit dia tiba di depan rumah. Tanpa permisi dia buka pagar dan masuk lewat pintu depan yang sedikit terbuka. 

"Kamu udah makan?" Tanyaku seolah sok perhatian.

Tersipu malu dia menjawab. "Belum."

Dan aku mengerti akan satu hal kecil lainnya. Ada keinginannya yang sama denganku, yaitu makan bersama. Meskipun tidak di tempat mewah yang penting bersama. Lagipula ini adalah janji yang dulu pernah kami sepakati namun sempat luntur gara-gara kesalahpahaman beberapa saat. Bersyukur saja, karena malam ini terlaksana. Kami makan dengan lauk ala jawa buatannya. 

Kedua temanku datang hampir bersamaan saat kami sama-sama mengunyah suapan terakhir. Mereka tersenyum dan aku perkenalkan kepada (sebut saja perempuanku, karena tidak etis menyebut namanya secara langsung di sini). 

........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................ Aku terbangun karena jam alarm yang bunyinya mengusik telinga. 04.00 WIB

Selasa, November 10, 2015

Permainan Keadaan


Pagi ini begitu dingin, menyejahterakan rasa malas untuk tetap berada di dalam raga, membuat aku terus berbaring dalam balutan manja selimut hangat dan tiba-tiba teringat wajahmu yang sedang tersenyum. Tidak perlu ada lontaran pujian atas senyum atau apapun tentangmu, bahwasanya kamu terlihat cantik, manis, anggun dan sebagainya. Semua orang sudah tahu.

Sepagi ini aku telah mengingatmu. Apakah aku sedang jatuh cinta? Aku pernah membaca tulisan tentang "Jatuh Cinta di Pagi Hari." Dan apakah aku sedang mengalaminya? Atau ini hanya wujud rindu yang tak bisa terlampiaskan?

Kepada kamu yang telah menghilang entah kemana, ingatkah akan sesuatu yang pernah kita sepakati waktu itu? Dalam perkiraanku kamu sudah lupa jika memang itu benar kamu pernah menganggapnya sebagai sebuah kesepakatan. Sejujurnya aku sendiri juga hampir lupa karena kamu berubah haluan dengan cepat, hilang dan menjauh lalu tidak lagi pernah ada kabar. 

Cukup sulit untuk menjawabnya karena aku sendiri sedang tidak mengerti bagaimana sebenarnya keadaan  ini sedang bermain. Faktanya, di pagi buta yang berembun ini kamulah orang pertama yang datang menyapa. Meski hanya berupa bayang dan sangat tidak cukup untuk melepas rindu, setidaknya pagi ini ada senyum yang membuat aku lebih bersemangat untuk memulai hari

Senin, November 09, 2015

Rindu Ranah Negeri


14.35. Sore mendung di langit tanah perantauan sedang berkuasa dan perlahan menjatuhkan butir-butir kecil partikel yang membasahi jalan. Sedikit menghilangkan debu yang beterbangan dan juga melahirkan suasana sepi hingga kaki berhenti melangkah ketika tiba di sebuah ruangan berukuran 3 x 2 meter tempat berteduh. Pintu terbuka dan gambar atap bergonjong muncul di dinding putih yang telah berhias berbagai macam tulisan motivasi. Tempat ternyaman selain rumah di ranah minang adalah ruangan kecil dan sempit ini.

Laptop di meja kecil seharga Rp 20.000,- di dalamnya ternyata masih menyala dan menampilkan layar desktop lembah harau nan memukau mata. Satu dari banyak bagian indah hamparan alam negeri Minangkabau yang terkenal akan keelokan pesonanya. Beberapa lagu berbahasa minang juga telah siap untuk didendangkan melalui speaker pinjaman yang tak kunjung diambil pemiliknya. Daripada menganggur di atas kepala lemari, bolehlah dipakai untuk beberapa kali rehat melepas lelah.

Butiran yang tadi kecil dan jarang kini mulai ganas menyerang tanah. Gerimis berangsur berubah menjadi hujan dengan suara yang khas ketika menjamah genteng di atas sana. Hujan pertama sejak kembali ke tanah ini 2 bulan yang lalu. Musim kemarau terpanjang dalam kurun waktu Sepuluh tahun terakhir telah berakhir. Panas yang selama ini membalut hari perlahan mulai berubah sejuk lalu berangsur dingin. Menyeberangkan kembali ingatan menuju tanah kelahiran di pelosok sumatera sana.

Teringat Ayah dan Ibu di halaman yang melepas kepergian dengan wajah yang jelas menahan tangis. Juga tawa ceria kedua adik yang dengan keyakinan penuh berjanji akan segera menyusul. Bergetar ketika memeluk dan mencium mereka. Tumpahan air mata membasahi tanah kering kerontang yang telah lama tak tersiram hujan. Langkah bergetar hebat ketika perlahan kaki melangkah, berjalan menjauh menuju tanah rantau untuk pertama kalinya. Ayah dan Ibu, keduanya tersenyum dalam kekaluan antara harus ikhlas dan tidak rela sulung mereka berangkat menyambangi kota di tanah jawa.

Tepat di belakang mereka berdiri, sebuah rumah kecil nan jelek dan sangat sederhana berdiri sok anggun sambil menitipkan pesan melalui angin-angin yang berhembus menyentuh daun telinga. Itulah bangunan dengan ribuan bahkan jutaan cerita dan kenangan di dalamnya. Bangunan bobrok tempat dimana nantinya raga akan kembali ketika urusan di tanah rantau sudah selesai, hidup ataupun sudah tiada.

Meski tanah rantau ini adalah kota yang bersahabat, namun kampung di pedalaman sana tetap jauh lebih menentramkan. Meski orang-orang di sini hidup dalam fasilitas dan kemajuan, tetap saja kesederhanaan dan alam di bukit barisan lebih memberi pelajaran berharga. Kepada Ayah dan Ibu, ada pesan rindu yang datang untukmu. Sulungmu kini menangis ingin kembali pulang ke rumah. Bersama ingin menyaksikan lagi alam kita yang indah, seindah senyum yang selalu kalian pancarkan bersama embun dipagi hari.