Senin, Oktober 31, 2016

[KEEMPAT]
Aku tumbuh dan menghabiskan waktu dengan kegiatan yang biasa-biasa saja. Adem ayem dan kadang agak membosankan. Dunia SMA tidak berpihak pada keinginanku mulanya. Aku gagal masuk daftar kepengurusan OSIS periode baru. Bukan karena aku bodoh dan tidak berkompeten, melainkan karena aku tidak banyak mengenal orang-orang yang sebelumnya berkecimpung di sana. Kejadian itu cukup membuatku terpukul telak. Aku menyaksikan betul seorang yang tidak bisa apa-apa, namun karena mengenal banyak senior yang menjadi pengurus ketika itu, namanya ikut terpampang di papan pengumuman penerimaan pengurus baru.

Bukan aku merasa tinggi dan meremehkan yang lain, tetapi mereka yang menyeleksi pastinya punya kriteria dalam penilaian. Dan hari itu aku sudah mengerti maksud dan bagaimana cara penilaian dilakukan. Aku pernah berada diposisi sebagai penyeleksi. Entah penilaian mereka yang tidak fair, atau memang pengurus zaman itu yang memang goblok dalam menyeleksi. Satu hal yang dapat kupastikan, praktek KKN sudah dimulai dari usia ini. Jadi kurasa bukan hal aneh jika prilaku KKN terus terbawa hingga ranah kenegaraan. KKN adalah budaya negeri ini yang sudah mendarah daging, entah dari siapa mulanya. Sudah dari kecil diajar dan diterapkan, jadi tidak bisa pejabat negara itu disalahkan jika mereka berprilaku demikian.

Gagal di OSIS, aku coba peruntungan di organisasi lain. Gagal juga mulanya, namun hanya orang bodoh yang akan jatuh berkali-kali di lubang yang sama. Dan aku bukan termasuk orang yang bodoh. Singkat cerita, aku menjadi bagian dari organisasi yang tidak semua SMA memilikinya. Dengan caraku sendiri dalam memainkan peran. Kurang fair? Mungkin saja, tapi apa boleh buat. Aku bukan seorang yang ingin terinjak terus menerus. Mereka bermain curang maka akan kulawan dengan cara curang yang dianggap fair.

Tentang organisasi ini tidak banyak yang harus kuceritakan. Tidak begitu menarik dan tidak juga punya kaitan yang kuat dengan topik ceritaku, kecuali seorang senior yang dulu pernah marah seharian penuh tanpa alasan saat MOS. Dia tidak lagi sama, tidak lagi sering marah dan tampak lebih ramah sekarang. Kupikir dulu itu adalah tuntutan sebagai panitia MOS, agar menampakkan wajah garang dan tegas. Untuk sekarang, dapat kuterima alasannya, setelah hampir setahun kejadian itu berlalu.

“Gi, kamu yang dulu les Bahasa Inggris sama aku?”

Apel pagi baru saja selesai saat pertanyaan itu ditujukan kepadaku. Aku tersenyum lalu mengangguk. Tidak perlu berfikir lama karena seper sekian detik sebelum pertanyaan itu dilayangkan, mataku dan mata Onya sudah beradu pandang. Itu untuk pertama kalinya setelah belasan tahun. Dan untuk pertama kalinya secara pasti kuketahui bahwa ternyata kami berbeda tingkatan kelas.

Kupikir mata Onya cukup anggun. Ada garis tipis di pelupuk bagian bawah. Bukan keriput, usianya masih belum genap 20 tahun, hanya corak tipis yang membuat matanya menjadi sedikit lebih elegan saat menatap sesuatu.

Pertanyaan itu bukan pertanyaan apel pagi, bukan pertanyaan senior kepada junior, bukan pertanyaan kakak kelas kepada adik kelasnya. Pertanyaan itu adalah buah dari diskusi Onya dengan satu kawan lainnya yang pernah kutemui juga saat kami les dulu. Pertanyaan tentang kawan lama.

Tidak ada bahasan yang lebih panjang setelah anggukan kecilku menjawab pertanyaan Onya. Hanya terdengar ada ocehan kecil kepada seseorang.

“Bener kan. Dia juga anak les bareng kita.”


Dan yang lainnya hanya mengangguk. Terpaksa setuju karena rasanya mereka tidak pernah melihat siswa laki-laki kurus agak hitam sepertiku selama di kelas. Sudah kukatakan sebelumnya, hadirku di kelas memang tidak banyak yang menyadari. 

Minggu, Oktober 30, 2016

Onya's

[KETIGA]

 “Ah ternyata dia.”

Nama di name tag yang menggantung di dada kanannya tidak bisa berbohong. Dan juga topografi wajah yang dia punya saat itu adalah yang sebelumnya sudah cukup familiar, tidak berubah jauh dari beberapa tahun yang lalu. Sayangnya ekspresi yang dia tampilkan bukanlah ekspresi yang dulu biasa kusaksikan dengan cara mencuri-curi pandang.

Suaranya tidak banyak berubah, masih lantang dan kencang. Ditanyainya kepadaku beberapa pertanyaan, seperti sedang menginterogasi bahwa aku baru saja terlibat tindak pidana kejahatan. Sayang saja Onya tidak tahu, bahwa aku sudah tahu apa yang sedang dia perbuat bersama teman-temannya. Dan pertanyaan-pertanyaan bernada tegasnya sama sekali tidak membuatku takut sebagai seorang siswa baru yang tengah mengikuti MOS.

“Sudahlah, ini hari ulang tahunku. Aku sudah tahu apa yang kalian perbuat.”

Aku menggerutu dalam hati. Tapi Onya dan kawan-kawannya terus menghajarku dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan. Memaksaku untuk merasa bersalah dan mengaku. Tapi entah mengakui apa. Bingung bercampur kesal aku dibuat mereka.

“Ah, kalian basi.”

Sebenarnya aku ingin sekali memberontak. Bisa saja sebenarnya, karena untuk urusan ini aku sudah berpengalaman. Terlahir di bulan Juli memang menjadi sesuatu yang mengharuskanku untuk menjadi tumbal karena MOS dilaksanakan pada bulan itu pada tahun ajaran baru.

Semakin siang, semakin tinggi matahari, semakin gatal pula mereka memberendeliku dengan pertanyaan-pertanyaan sampah. Memaksakan keadaan bahwa aku harus bersalah dengan segala kepatuhan yang kuikuti selama MOS. Para senior itu tidak terlalu pintar untuk urusan ini. Cara mereka me manage keadaaan sungguh buruk, memalukan. 

Onya berdiri tepat di depanku. Setiap kali bicara, wajahnya maju beberapa sentimeter hingga terasa nafasnya meniup pipi, mulut, dan kadang-kadang anginnya terasa mampir di keningku. Sedikit saja kumajukan kepalaku, pastilah batang hidungku akan mendarat di wajahnya, seolah aku sedang menciumnya. Sayang aku tidak seberani itu. Dan lagi pula aku tidak ingin mencari masalah, aku tidak berfikir akan membuat namaku tenar di sekolah baru ini, apalagi dengan cara menciumi senior yang sedang marah. Itu tidak sopan sama sekali.

Hari itu entah siapa yang lebih kesal. Aku tidak bereaksi atas pertanyaan, amarah, dan berbagai kejahilan mereka mengerjaiku. Hari itu memang bukan hari baikku. Seharian penuh aku dikelilingi mereka. Senior-senior bobrok yang tidak mengerti akan esensi sebenarnya dari kegiatan MOS. Hanya berlagak dan seolah mereka adalah yang berkuasa. Dan yang menjadi perhatianku adalah Onya, karena dia yang satu-satunya kukenal. Tapi sebaliknya, Onya justru tidak memperlihatkan bahwa dia pernah mengenalku. Lupa barangkali. Tapi beberapa kali kutangkap Onya tersenyum dengan sudut bibirnya, dan itu ditujukan padaku. Kutaksir Onya memahami apa yang aku pikirkan. Dan dia sepertinya juga punya firasat lain bahwasanya menghardik adik kelas yang sebelumnya pernah dia kenali adalah sesuatu yang agak menggelikan. Onya tidaklah benar-benar lupa. Seolah dari senyum di ujung bibirnya ia mengisyaratkan sesuatu, menyahut suara yang kuteriakkan dalam hati.


“Gi, ikuti saja aturan mainnya. That’s times is ours, not you.”

Sabtu, Oktober 29, 2016

Onya's

[KEDUA]

                Sekali waktu Onya pernah tampil dengan pakaian yang menurutku agak menggairahkan. Memakai jeans donker ketat yang dipadu dengan kaos T-Shirt super ketat pula. Lengannya pendek sekali, jika diangkatnya tangan agak tinggi, maka dapat dipastikan ketiaknya akan terbuka dan terlihat jelas. Belum lagi T-Shirt itu akan terangkat dan akan membuka bagian perutnya. Apabila membungkuk, maka bagian dadanya yang akan terlihat ranum. Dadanya membusung sementara perutnya rata. Dipadu dengan bagian bawah tubuhnya yang semlohai, tungkai yang menarik, dan pinggul yang menonjol, tampak Onya menjadi sosok yang memang layak untuk dipuji secara fisik.  Belum lagi keaktifannya di kelas yang membuat Onya tampak semakin sempurna.

                Dari sekian banyak daya tarik Onya, tetap saja bagi laki-laki beranjak remaja sepertiku yang paling menarik adalah tampilan fisiknya. Beberapa kali aku dibuat menelan ludah. Kebiasaan Onya yang aktif dan supel membuat daya tariknya meningkat berlipat-lipat kali. Aku jadi kikuk untuk berlaku. Ingin melihat dan menikmati namun juga takut jika ketahuan. Takut juga menjadi dosa. Tidak disaksikan, rasanya aku menjadi manusia paling merugi. Dan akhirnya aku memilih untuk menjadi manusia yang tidak merugi, yang sebenarnya itulah kerugian di atas kerugian lain yang sebenarnya. Aku menikmati penampilan Onya sebisaku, semaksimal dan semampuku.

                Selama dan sesering mungkin kusaksikan Onya, perilakunya, gerak geriknya, raut wajahnya, dan yang pasti kemolekan tubuhnya. Tentu saja dengan tetap berusaha agar tidak ketahuan oleh siapapun, oleh siswa lain, oleh tentor, dan oleh Onya sendiri. Berkali-kali aku berdoa agar dalam gerak geriknya Onya secara tidak sadar mengangkat tangannya atau membungkuk, agar aku dapat melihat bagian-bagian tubuh yang seharusnya ia tutup. Karena sering aktif dan sukar diam, hampir setiap kali leher dan pinggir pipi Onya terlihat mengkilap karena pantulan lampu pada butir keringatnya. Rambut sepunggungnya beberapa helai menempel di leher dan pipi. Sempurna terlihat Onya dengan keadaan seperti itu. Sempurna untuk menaikkan gairah remaja ingusan yang baru mengenal nafsu ini.

                Kepada Onya, aku minta maaf atas apa yang dulu kulakukan. Tentu bukan sepenuhnya salahku saja, penampilanmulah yang membuat mataku sedikit tidak bisa terkondisikan. Kamu yang menghadirkan naluri kejantananku untuk berkhayal sesuatu yang saat itu terlalu cepat untuk anak seusiaku. Kamu membuatku sedikit lebih cepat menjadi dewasa. Malu aku untuk mengatakannya, tetapi fakta tentang kamu harus kulukiskan secara benar. Sekali lagi, maaf sekaligus terima kasih kuhaturkan kepadamu.


                Semenjak hari itu, les 2 kali dalam seminggu terasa kurang. Ketertarikanku pada bahasa Inggris tidak berkurang tidak pula bertambah. Aku hanya ingin waktu les diperpanjang agar mataku tercuci lebih lama. Melihat Onya adalah terapi yang menjadikan mataku terasa lebih sehat. 

Kamis, Oktober 27, 2016

Onya's

[PERTAMA]
                Nama yang tidak begitu asing. Belasan tahun lalu kami pernah terjebak di ruangan yang sama. 2 kali dalam seminggu ruangan kecil di sudut rumah seorang guru SMA itu menjadi saksi bahwa kami secara tidak sengaja pernah menghabiskan waktu bersama. Kutaksir usiaku saat itu 10 atau mungkin 11 tahun. Dan Onya, kurasa usianya relatif sama. Dengan tubuh yang lebih tinggi, kulit yang lebih putih, dan suara yang lebih lantang dia hadir di antara peserta les Bahasa Inggris sebagai primadona. Zaman itu bahasa inggris menjadi sesuatu yang menakjubkan. Hanya saja tidak banyak orang yang tertarik untuk belajar bahasa internasional itu karena sampai detik itu dinilai tidak perlu.

                Tentang Onya. Sudah lama sekali dan beberapa kejadian tidak kuingat lagi secara persis kronologisnya. Yang masih ada dalam bayanganku adalah saat pertama kali ikut les aku masih kelas 5 SD, dan berlanjut hingga 3 tahun kemudian. Beberapa orang peduli dengan kehadiranku di ruangan itu sebagai siswa baru, beberapa yang lainnya malah mengacuhkan. Dan kepedulian itu hanya terbatas untuk melihat dan mendengarkan perkenalanku di depan kelas, lalu kemudian mereka sibuk dengan urusan masing-masing bersama teman-temannya. Di ruangan itu, terbagi tas beberapa kelompok yang terbentuk secara alamiah, yaitu kelompok berdasarkan sekolah asal.

                Dari yang kulihat, hanya ada 3 kelompok besar dalam kelas itu. Dan individu antar kelompok jarang ada yang berkomunikasi kecuali saat materi mengharuskan untuk berbicara dengan orang lain. Dan itu biasanya ditunjuk jadi setiap siswa tidak bisa memilih lawan bicara dari teman-teman mereka sendiri saat praktek interaksi. Setiap tahun ada saja perubahan jumlah siswa. Karena peraturan les yang tidak terlalu mengikat, kebanyakan dari mereka ada yang bosan, membuat mereka jarang hadir hingga akhirnya berhenti secara permanen. Juga bersamaan dari itu ada yang mulai tertarik belajar Bahasa inggris lalu mendaftarkan diri.

                Yang banyak kuingat adalah tahun terakhir keberadaanku di ruangan kelas itu. Saat aku sudah berada di kelas 1 SMP. Perubahan dari SD ke SMP rasanya sangat menakjubkan. Aku sudah merasa menjadi seorang yang lebih dewasa, diakui atau tidak, bahwa perubahan tingkatan sekolah berbanding lurus dengan perubahan cara berpenampilan. Sayangnya ketika itu aku tidak mengerti bagaimana harus mengekspresikan diri sehingga tampilan saat berangkat les tidak ada ubahnya dengan ketika seperti saat masih SD dulu. Dan satu hal yang didasari dari penelitian bahwa perempuan lebih cepat tumbuh daripada laki-laki kusaksikan saat itu. Saat aku dan beberapa siswa lain masih berpenampilan dekil bak anak kampung yang super udik, lain halnya dengan beberapa orang siswi yang ada di sana. Mereka terlihat lebih cerah, lebih dewasa, dan tentunya lebih menampakkan aura kewanitaan, tidak lagi seperti bocah tengik SD yang tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan. Mereka cepat sekali berubahnya. Penampilan mereka membuat aku dan beberapa laki-laki di dalam kelas itu menjadi ngiler. Tetapi apalah daya, kami saat itu belum terlalu mengerti apa yang disebut puberitas meski sudah berulang kali dipelajari di kelas 6. Satu-satunya yang kami, khususnya aku pahami adalah tentang ketertarikan kepada lawan jenis. Tapi tingkah kekanak-kanakanku belum cukup mampu untuk mengimbangi mereka. Jadilah rasa suka itu hanya menjadi andai-andai dalam hati.

Aku melihat Onya adalah yang paling kentara dibandingkan yang lain. Sudah dari beberapa tahun sebelumnya, namun kali ini jelmaannya semakin hebat saja. Postur yang ideal dan kepandaiannya dalam berpenampilan (di zaman itu) membuat sebagian dari kami para siswa laki-laki sering menelan ludah saat memandanginya.

                Saat itu aku masih seorang siswa laki-laki yang sangat pemalu, pendiam, dan udik (sekarang pun masih namun tidak begitu). Tidak banyak yang dapat kulakukan di kelas untuk menarik perhatian, bahkan sebagian dari penghuni kelas itu mungkin ada yang tidak menyadari keberadaanku. Sepanjang waktu berada di kelas aku sering lebih memilih untuk duduk di pojok belakang dan tidak berbicara jika tidak ada pertanyaan dari tentor. Dengan teman yang sudah kenalpun jarang sekali aku bersuara. Bertolak belakang dengan Onya dan beberapa kawannya yang memilih duduk di tengah atau di depan, aktif dalam belajar dan sering bertanya, juga tidak jarang mengajak siswa-siswi lainnya untuk sekedar berkenalan atau membicarakan hal-hal ringan. Pernah juga mengajakku, tapi agaknya dia tidak begitu nyaman karena kehematanku dalam mengeluarkan kata sangat-sangat parah. Mungkin agak terkesan sombong aku dianggapnya. Ah, biarlah, aku memang tidak begitu pandai bergaul, apalagi dengan orang-orang baru, lawan jenis pula.

                Pernah ditanyakan Onya di SMP mana aku sekolah, padahal dia mestinya sudah tahu. Mungkin sekedar untuk memulai obrolan saja agar suasana kelas tidak begitu hening.

                “Gi, dari SMP mana?”

                “SMP 3”

                Aku menjawab pertanyaan Onya sesuai dengan apa yang ditanyakannya. Tidak kurang tidak lebih. Bukan aku sombong, tetapi begitulah keadaanku waktu itu.

                “Kelas berapa?”

                “Kelas 7.”

                Agak kesal mungkin Onya kubuat. Aku sadar dengan apa yang terjadi. Kubuat saja irama menjawabku menjadi seramah mungkin, dan berekspresi seramah mungkin juga. Barang pasti itu tidak berhasil. Dua kata di setiap jawabanku belum cukup mampu untuk menandai bahwa aku berusaha bersikap ramah.

                Onya kemudian hanya mengangguk. Yang seharusnya kulakukan waktu itu setidaknya adalah bertanya balik dengan pertanyaan yang sama. Itu akan lebih memperlama percakapan kami sekaligus membuka ruang untuk berkenalan lebih jauh.

                Kuberanikan dengan sudut mata melihat ekspresi wajah Onya dianggukan terakhirnya. Datar, namun ada sedikit cemberut terlukis di wajahnya. Sudah sangat jelas alasannya kenapa. Waktu 15 menit menjadi terasa begitu lama. Telapak tanganku terasa agak lembab, dan ketiakku mulai berair. Peluh dingin mengalir di punggung dan dadaku. Rambut bagian pinggir yang dekat dengan telingaku juga mulai basah. Kipas angin yang menggantung tepat di samping ku tidak begitu terasa putarannya. Seperti tidak mengantarkan angin sama sekali. Udara dalam kelas tetap terasa panas.

                Sesering mungkin mata jahilku memberanikan diri melihat ekspresi Onya. 3 menit berikutnya, ekspresi Onya sudah tidak lagi dalam mode cemberut. Sudah berubah. Dan dia kini bicara dengan orang yang duduk tepat di depan kami. Lebih nyambung dan tampaknya Onya lebih nyaman terlihat. Obrolan mereka tidak ada hentinya hingga pelajaran dimulai.


                Sesekali Onya masih mengajakku bicara di sela-sela pelajaran. Kadang kujawab pembicaraannya, kadang aku hanya tersenyum sambil melihat wajahnya yang putih bersih tanpa jerawat. Hanya saja ketika melihat wajahnya sekalipun mataku tidak pernah menangkap seperti apa sorot matanya saat memandang. Aku tidak berani. Takut kalau-kalau Onya tiba-tiba melihat dan memergoki bahwa aku sedang memperhatikannya.

Rabu, Oktober 26, 2016

Penyuka Malam

Aku menyukai malam yang larut. Heningnya sering memuncratkan gagasan-gagasan yang sebelumnya tidak pernah ada, yang tidak terfikirkan ketika keramaian siang memberikan banyak inspirasi dan masukan sekalipun. Saat malam, ada desis pesan yang disampaikan angin. Menguatkan, memotivasi, meyakinkan. Bagai sebuah isyarat yang menyuruh untuk tetap bertahan, seolah berbisik bahwa ini sudah mendekati akhir. Seakan dikatakannya, "Sudahlah, sebentar lagi derita, kecewa, dan semua masalah akan tiba di dermaganya, perjalanan mereka selesai sudah."

Malam selalu terasa spesial. Berteman segelas kopi hitam pengusir kantuk, malam adalah surga perenungan. Surganya pikir-pikir hebat yang tak terbayang saat siang. Dan jika mampu memahami, malam adalah sentuhan romantisme dunia untuk mereka yang jatuh cinta dalam setia. Romantisme? Cinta? Setia?

Ah, berat sekali pembahasannya.

Ya, itulah malam, mungkin berat jika sekilas dilihat. Namun semua tidak nyatanya begitu. Malam seakan membuat bobot pembahasan menjadi lebih ringan meski topik yang diobrolkan sama. Entah kenapa aku percaya, bahwa malam punya cerita yang lebih indah dibanding siang. Nocturnal? Jelas saja tidak. Aku hanya terlahir sebagai seorang penyuka malam.

Selasa, Oktober 25, 2016

Rusak

Kelak, akan jadi apa dan akan seperti apa kehidupan yang menyambangiku?

Semakin ke sini pertanyaan demikian semakin sering masuk ke cela kosong waktu khayalku. Aku dilanda takut setiap kali pertanyaan itu tiba-tiba manelusup. Jelas aku belum siap, masih hitam dalam pandanganku akan ke arah mana kubawa jalan hidupku nanti. Jawaban demi jawaban coba kutemukan, kadang kurenungi betul apa yang sebenarnya sedang kulakukan, sembari berharap ada satu saja titik kecil yang mampu menghubungkan cerita hari ini dengan arah masa depanku. Nyatanya masih belum.

Tentang seorang yang sudah 'rusak', masih bolehkah memimpikan masa depan yang cerah? 

Kalimat-kalimat bulshit selalu muncul menjawab pertanyaan demikian. Hanya harapan-harapan kosong saja yang mereka jabarkan, "Siapapun bisa melakukan apapun dengan usaha dan kerja keras." Dan aku mual mendengarnya.

Kenyataannya, rusak tetaplah rusak. Dia tidak lagi sama seperti sebelumnya. Dunia tentu menginginkan yang terbaik, yang sempurna, yang tidak rusak dan masih utuh 'onderdil'nya. Untuk apa memakai yang rusak jika yang utuh dan sempurna bisa digunakan?



Sabtu, Oktober 22, 2016

Kemampuan

Aku, seorang anak kampung, seorang mahasiswa 'kere' dari pedalaman bukit barisan yang barangkali sedikit beruntung. Apa kelebihanku? Tidak ada. Apa aku jenius? Tidak juga, bahkan tergolong pintar pun tidak. Lalu bagaimana bisa seorang anak kampung yang tidak pintar apalagi jenius, dan tidak berduit pula, bisa duduk di bangku kampus besar dan 'katanya' salah satu yang favorit di tanah jawa? Otak tidak begitu mentereng, dan kantong jelas tidak akan mampu untuk menyogok, wong buat makan aja susah. Tapi bagaimana bisa?

Sederhana saja. Aku bermimpi. Namun semua orang mahfum, mimpi sebesar apapun tidaklah cukup tanpa usaha keras, yang itu pun kadang tidak pula berjalan baik walau keduanya sudah diselaraskan. Mimpi besar dan usaha keras masih kurang. Lalu apa? Doa? Doa adalah bagian dari mimpi dan usaha. Tanpa doa jelas semuanya sia-sia. Tidak berkah. Tapi ada satu kunci lagi yang selama ini kupegang, yang mungkin banyak orang meremehkannya.

Aku percaya pada kemampuanku. Itulah alasan lain mengapa namaku bisa terdaftar di kampus megah itu. Yakinlah kalau Tuhan selalu punya cara. Umat Tuhan hanya perlu memiliki mimpi, berusaha keras, dan berdoa. Sisanya yakinlah pada Tuhan, Dia telah menyelipkan kemampuan dalam hari-harimu. untuk itu Percayalah pada kemampuanmu sendiri, itu artinya kau juga percaya pada Tuhanmu.

Selasa, Oktober 18, 2016

Kemunculan Semu

Biarkan saja malam semakin larut seiring dengan perputaran jarum jam. Kita selalu begitu, sering lupa waktu jika sudah bicara. Selalu menutup percakapan di saat subuh tidak lama akan menjelang adalah kebiasaan baru yang aku dan kamu ciptakan beberapa hari terakhir ini. Gerangan apa yang membuat kita 'nyambung' dengan percakapan yang kadang absurd dan tidak ada ujung pangkalnya itu? Apakah kita sama-sama sedang terkurung kehampaan? Atau mungkin sebenarnya aku hanyalah sekedar penghibur sementara? Barangkali, dan lagi pula juga bukan hal yang tidak mungkin, aku kebetulan hadir saat kamu memang sedang butuh hiburan, butuh 'mainan' sekedar untuk mengusir sepi, bisa jadi bukan?

Sejujurnya tidak masalah jika pun benar adanya bahwa aku hanyalah hiburan dan mainan semata. Setidaknya aku dapat membuat keadaan(mu) menjadi sedikit lebih baik. Itu menyenangkan. Cita-cita sederhanaku kamu bantu untuk mewujudkannya. Di seberang sana, semoga kamu benar-benar tersenyum saat aku muncul di hari-harimu meski sebatas kemunculan semu. 

Aku sangat memahami bahwa muncul semuku akan tetap berperan hanya sebagai 'mainan'. Ada jarak yang membuat kita tidak bisa bertemu, ada orang-orang di antaramu yang akan lebih mampu membuat keinginanmu terpenuhi, yang pastinya juga lebih mampu menyenangkanmu. Siapa yang akan tahan beradu kasih dengan jarak semacam ini tanpa ada kepastian akan akhirnya seperti apa? 

Ah, khayalku sudah terlalu jauh. Bukan maksudku untuk berandai, melainkan hanya sebuah pikiran logis yang sedang kujabarkan. Kamu berhasil membuatku punya harap dan sedikit percaya diri, yang disaat bersamaan kamu juga menunjukkan bahwa apa yang terfikir olehku hanyalah sesuatu yang tinggi sekali tingkat kesulitannya untuk dijadikan sebuah kenyataan. Mau tidak mau aku dipaksa untuk membuka mata. Tuhan telah menakdirkanku untuk belajar dengan cara seperti ini. Menyenangkan orang lain (baca: kamu) tanpa boleh punya sedikitpun harap. Mungkin dalam hal lain inilah yang disebut keikhlasan.

Sabtu, Oktober 15, 2016

Kuasa Dan Romantis


Sudah lebih pukul 2 subuh dan kita masih saja larut dalam pembicaraan yang seharusnya hanya menjadi konsumsi pribadi masing-masing. Tidak kupahami betul bagaimana mulanya kamu bisa bercurah cerita. Aku bukan kawan dekatmu, bukan juga seorang yang kamu ketahui baik-buruknya. Dan pastinya aku bukanlah seorang dengan nasehat-nasehat ampuh sehingga mampu menyeret dan membawamu keluar dari masalah yang kamu hadapi. Namun aku sangat menghargaimu berikut dengan apa-apa yang malam itu kamu lakukan.

Memang semua orang punya permasalahan kehidupan tersendiri dengan kadar kerumitannya masing-masing. Tetapi aku dan kamu pastinya paham betul bahwa Tuhan memang selalu memberi cobaan maha berat kepada umat-Nya yang kuat. Darimu aku menyadari kelemahanku. Bahwasanya sebagai seorang sulung aku masih terlalu cengeng. Sangat jauh, belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kamu dan berbagai polemik hidup yang kamu hadapi. Kehadiranmu membuat nafasku sedikit dibumbui rasa harap. Andai saja kali ini Tuhan tidak hanya menampakkan kuasa-Nya saja, melainkan juga memperlihatkan betapa romantisnya Dia dalam menyatukan umat-Nya.




Kamis, Oktober 13, 2016

Ibu Berkata. . . . .

Aku terlalu banyak memuji semangat Ayah sebelumnya. Ayah banyak menyuntikkan kata penyemangat meskipun pada dasarnya beliau bukan seorang yang cerewet dan banyak bicara. Ayah hanya kaya akan pengalaman yang pahit, kaya akan kesusahan hidup, dan kaya akan cemoohan. Dari sana beliau belajar, menusukkan kata-kata dari pengalaman yang semoga apa yang pernah beliau alami tidak terjadi pada anak-anaknya. Karena ada sesuatu yang tidak perlu dicoba untuk memberikan pelajaran, cukup lihat dan pelajari apa yang pernah dialami orang lain, lalu hindari keburukannya. 

Tidak hanya ayah, ibu yang cerewet pun sebenarnya punya kata dan kalimat untuk mengajari anaknya. Sedikit saja ibu menyuntikkan kalimat berharga jika didasarkan dari pengalaman hidup. Satu kalimat namun pengaruhnya luar biasa sekali. Ibu sering mengulang kalimatnya saat ditelfon, saat aku mengeluh dengan kesusahanku, saat aku marah dan kecewa dengan keadaan yang tidak berpihak, saat aku tidak mendapatkan apa yang pernah kukejar. Selalu ibu akan berkata. . . . .

"Orang lain bisa, mengapa kamu tidak?"



Selasa, Oktober 11, 2016

Dina di Kota Kecil

Dari kota besar penyangga ibukota, kini menetap lama di pedalaman sumatera. Suasana berbeda, hawa berubah, dan bahasa tidak lagi sama. Beradaptasi sudah bukan lagi hal baru. Berkali-kali sudah kulalui masa yang demikian. Mengerti cara hidup orang sekitar menjadi sesuatu yang sedikit banyaknya sudah ada yang dipahami.

Kupikir menyedihkan awalnya. Meski berada diantara pejabat-pejabat perusahaan, tempat yang kini kutinggali tidak lebih dari sebuah perkampungan yang dibuat elit karena banyaknya fasilitas kantor. Antar jemput mobil operasional, atau gedung olahraga yang lengkap, menjadikannya pedalaman sumatera yang lebih bersinar dari yang lain. Hanya itu saja, lain daripadanya adalah hutan yang masih belum terjamah. Kera bergelayut di sana sini, siamang berlari diantara dahan-dahan, dan babi huta bebas berkeliaran di jalanan aspal. 

Sebagai orang baru, berkenalan dengan tetangga adalah hal yang wajib dilakukan. Dan itu kulakukan -mau tidak mau. Tidak ada yang istimewa. 2 minggu berlalu dengan keadaan yang biasa-biasa saja. Agak jenuh namun fasilitas yang cukup lengkap membantu menyegarkan suasana. Satu yang menyenangkan hari ini, saat kampus elit di Padang libur panjang. Ada yang tidak pernah terlihat sebelumnya tiba-tiba muncul di balik pintu di rumah seberang sana. Putih dan berambut sebahu, bercelana pendek ketat sebetis, berbaju kaos 3/4 lengan. 

"Itu anak Pak Darmi yang kuliah di Farmasi." Ibu penjual gorengan memberitahuku.

"Oii, Gi. Ayo sini sebentar." 

Itu panggilan yang sangat kuharapkan. Pak Darmi muncul di balik mobil hitam di garasi. Bergegas aku ke sana sembari mengunyah bakwan secepat mungkin agar segela tertelan. Kuhapus sisa minyak yang menempel dengan telapak tangan.

"Ini yang saya ceritakan tempo hari. Kebetulan sedang libur."

Kami berjabat tangan.

"Egi." Kataku saaat telapak tangan kami beradu saling berjabat.

"Dina." Tersenyum dia menyebutkan namanya.

Cantik dan manis sekali senyumnya. Turunan dari bapaknya yang ganteng dan berkarisma. Bukan hal yang terlalu sulit mengajaknya berkenalan lebih dari sekedar nama. Dia terbuka dan friendly. Setidaknya selama sebulan ini aku akan terus melihatnya, menyapa Dina lalu dia tersenyum manis membalasnya.

"Gi." teriaknya. Aku baru saja dari warung Wak Aji membeli kopi.

Sebelum aku balas, dia segera beranjak menghampiri. 4 detik saja dia sudah tiba di depanku lalu menawarkan sebuah ajakan.

"Nonton yuk."

Diacungkannya 2 tiket yang bagiku sebenarnya tidak begitu menarik. Bukan hobiku keluar masuk bioskop. Tapi berhubung Dina yang menawari, apalah dayaku untuk menolak. Tidak lagi terpikir kalau aku bukan seorang yang suka duduk di kursi empuk menatap layar yang besar sekali, entah berapa ukuran tivinya.

"Baru tau, di sini ada bioskop?"

Segera aku terheran, di tempat seperti ini, di pemukiman dalam hutan ada bioskop? Seberapa luas sebenarnya tempat ini? Memang aku belum berkeliling. Tetapi dengan apa yang diperlihatkan Dina, dapat kutebak bahwa tempat ini tidaklah sekedar pemukiman yang dipagari hutan lebat. Melainkan kota kecil dengan fasilitas lengkap dan mumpuni.

Senin, Oktober 10, 2016

Canggung

Aku merenungi sore bersama jangkrik yang hari ini memunculkan suara lebih cepat dari biasanya. Belum gelap langit di atas sana, belum sempurna hilang matahari di penghujung senja, suara peramai malam itu sayup-sayup sudah terdengar, kadang bersahut-sahutan dengan jangkrik-jangkrik lain yang juga siap memulai aktivitasnya. Duduk di sisi selatan rumah, menghadap jalan yang jarang sekali dilalui kendaraan jika Magrib akan segera menjelang. Sembari menunggu muadzin memanggil, kuhabiskan sore dalam perenungan yang tak bermanfaat. Menerawang masa lalu, mengingat kisah dan cerita yang terjadi belakangan ini. 

Kak Anda, kawan lama di pedalaman Sumatera sana. Yang dulu ikut 'nimbrung' di kehidupan masa kecilku. Hari ini komunikasi kami tersambung lagi. Tidak banyak yang berubah saat pertama kali mendengar suaranya. Masih jelas logat dan cara bicaranya, masih suka berkicau tanpa mau memberi kesempatan kepada manusia di depannya untuk bersuara. 

Kini aku berada di pedalaman sumatera yang lain. Belasan jam harus kutempuh untuk tiba di satu titik dimana kami dapat bertemu. Dan sampai detik ini, aku tidak tahu pertemuan macam apa yang akan aku dan dia hadapi. Pastinya tidak lagi sama dengan apa yang terjadi di 11 tahun yang lalu. Pertemuan selalu punya fase menyenangkan, namun kadangkala harus bersitegang dahulu dengan kecanggungan sikap yang mematikan. Aku tidak begitu yakin dapat mengatasinya.

Kamis, Oktober 06, 2016

Kawan Kecil

Sekali kamu pernah menanyakan, saat kita tidak sengaja berbaris bersebelahan sebelum upacara dimulai. Kamu tanyakan bahwa akukah teman kecilmu dulu yang dua kali dalam seminggu menghabiskan waktu bersama selama beberapa jam?

Hanya tersenyum aku mendengar pertanyaanmu. Ya, akulah kawan kecil yang kamu maksud. Ternyata kamu masih menyisakan sedikit memori di masa lampau. Sayang kita tidak dapat berlaku sebagaimana apa yang terjadi saat dulu. Usia kita sudah bertambah, dan kamu tentunya sudah menjelma senjadi seorang hits sekolah. Satu dari sedikit siswa populer yang menjadi bintang. Sementara aku hanya siswa baru yang kebetulan menjadi adik kelasmu. Tidak populer sama sekali. Tidak terkenal dan juga tidak ada yang bisa kulakukan untuk unjuk kebolehan agar kamu tertarik.

Pertama kali menginjak sekolah itu aku dibuat terkejut. Beberapa tahun yang lalu. Kamu berdiri di depanku mnampilkan wajah garang ala senior dengan nama pada Id card yang sangat kukenal. Dan raut wajahmu bukanlah raut wajah yang asing. Hanya saja aku merasa tidak begitu baik untuk menyapamu. Hari-hari yang berlalu jika melihatmu, aku hanya bisa tersenyum, tanpa kamu sadar bahwa aku banyak mengingat peristiwa dan kejadian di masa kecil kita bertahun-tahun yang lewat. Barangkali kamu sudah lupa, begitu pikirku. Hingga akhirnya aku memilih diam sampai pagi itu kamu layangkan pertanyaan.

4 Tahun berlalu. Tidak ada aktifitas yang mengaitkan lagi aku dengan kamu. Kamu hilang begitu lulus sekolah dan aku juga merantau jauh setahun berikutnya. Jangankan kamu, aku pun bahkan sempat tidak ingat pernah mengenalmu. Hanya saja saat kamu tiba-tiba muncul lagi di kolom chat, ingatanku segera balik tanpa ada yang terlupa sama sekali.