Jumat, Desember 23, 2016

30 Bulan Sebelum Ini

Aku lupa, dan kamu seperti juga tidak pernah mengingatnya. Bagi kita itu tidak begitu penting -setidaknya itu yang pernah kita bicarakan dulu-. Dan tadi malam aku menelfonmu, kita bicara tentang banyak hal, ngalor ngidul tiada berujung tiada berpangkal hingga berjam-jam. Lalu diakhir telfon kamu ingatkan sesuatu. 

"Ini tanggal 22." 

Ya, aku tahu, tetapi belum sampai motorikku berpikir tentang tanggal 22 yang kamu maksud. Yang ada dalam kepalaku hanyalah Desember ini tanggal 22-nya diperingati sebagai hari Ibu.

Sejurus aku diam berpikir.

"30 bulan!!!" Hatiku menjerit girang beberapa detik setelahnya.

Aku ingat betul kejadian 30 bulan sebelum ini, Di jalanan kampus, di bawah pohon trembesi berusia remaja. Di sana kamu diikat dengan tali tanpa bisa berkutik. Diberondongi air, dihujani tepung, dan dilempari telur. Sudah hampir layak kamu disebut adonan kue sore itu, tinggal dimasukkan saja ke dalam mixer.

Hari itu aku membisikkan sesuatu di telingamu. Dan menunggu kamu menjawabnya adalah seperti neraka, seperti dunia sedang berguncang hebat, seperti sungai yang meluap menutupi bukit tertinggi, seperti gunung sedang terbang dan siap menghujam.

Hingga akhirnya, jawabanmu muncul dengan lembut, berbisik balik di telingaku. Yang memulai perhitungan, yang menjadi alasan mengapa hari ini tepat jatuh di bulan ke 30.

Ketika mungkin kita sama-sama bertanya, apa saja yang sudah terjadi selama 30 bulan ini, baik aku ataupun kamu barangkali tidak akan bisa menjawabnya dengan baik. Banyak sekali yang sudah terjadi, banyak sekali yang harus diceritakan. Karenanya, biarlah pertanyaan itu dihaturkan kepada diri sendiri saja, tidak perlu dijawab, biarkan kenangan yang mengukirnya dalam catatan.

Rabu, Desember 21, 2016

Cerita Dalam Kesan Pertemuan

Sayang saja makna dari setiap pertemuan tidak melulu dapat disadari seketika itu juga. Barangkali hari ini pertemuannya seolah tidak penting dan tidak berarti apa-apa, tetapi malah besok atau lusa kesannya baru terasa. Tidak mengapa kalau di hari besok atau lusa itu ternyata kita masih dapat berjumpa, bagaimana kalau jumpa hari ini adalah yang terakhir untuk waktu yang lama?

Akan sedikit menyesal barangkali karena tidak bisa memaksimalkan setiap momen yang ada. Akan pula dihantui secuil rindu yang sebenarnya tidak begitu mengganggu, namun cukup mampu membuat suasana malam menjadi terasa lebih syahdu.

Waktu, atau keadaan, atau mungkin juga tempat. Mereka yang harusnya bertanggung jawab atas pertemuan kita hari ini. Aku berusaha untuk tidak peduli, dan itu rasanya mustahil. Ketika malam menjadi lebih pekat dan lebih larut, aku dibuat harus mengingat rupamu dulu sebelum berhasil memejamkan mata untuk beberapa jam berikutnya.

Sulit dipercaya ini rindu. Ini hanya ilusi, bunga tidur yang datang terlalu cepat, sebelum aku benar-benar tenggelam dalam lelap. Tetapi ada rasa gembira setiap kali berhasil membayangkanmu, menuai senyum anggun di bibir tipismu dalam setiap candaan yang coba aku buat.

Oh tidak, agaknya aku mulai kurang waras. Aku mulai terpesona, mulai jatuh hati, mulai berkalang dengan rindu. Bagaimana mungkin? Sementara aku harus menghormati posisimu sebagai seorang yang secara tidak langsung telah memuluskan jalanku berada di tempat ini. Dan lagi, mengapa usia kita harus relatif sama? Mengapa pula kamu yang ditempatkan di posisi ini? Ini yang mungkin mengacaukan pikiranku.

Ada baiknya kamu bersiap menghadapi beberapa hal yang sampai detik ini kamu anggap tidak akan mungkin terjadi, atau bahkan sama sekali tidak terpikir sampai ke sana olehmu. Baiklah, biar kuperjelas, jikalau ternyata kita terlibat cerita yang lebih dari sekedar urusan administrasi, bagaimana kamu akan bersikap?

Mungkin masih agak ambigu pertanyaanku. Pun aku juga sebenarnya bingung bagaimana menciptakan kalimat yang pas untuk menerjemahkan isyarat yang coba disampaikan hati. Semoga saja kamu lebih dapat berperan dalam memainkan keadaan, sehingga tidak perlu tercipta gerogi, salah tingkah, atau semacamnya. Semoga juga dengan posisimu yang sekarang membuat kamu lebih pandai mengakrabkan diri dengan situasi, lebih dewasa kala menghadapi ‘bocah’ sepertiku.

Selasa, Desember 20, 2016

Maksud Beberapa Hari Terakhir

Kita berdiri pada taraf yang bedanya sangat nyata. Aku tahu betul maksudmu beberapa hari terakhir ini. Dan aku juga sangat paham bahwa great yang lebih tinggi membuat kamu enggan untuk memulai lebih dulu. Sebutlah kamu gengsi di depan mereka karena posisimu yang jauh di atas. Untung saja tidak ada yang cukup pintar membaca sikap dan menelaah makna sorot matamu. Aku saja yang cepat sadar dengan kelakuanmu. Menyuruhku ini itu adalah bagian dari memulai perkenalan versimu, karena kamu memang punya kekuasaan untuk itu. 

Bolehlah, 2 hari ini aku terpaksa ikut aturan mainmu. Tapi faktanya usia kita relatif sama, aku hanya kalah karena masa studi yang lebih lama. Sisanya aku bisa menangkan semua hal yang hari ini kamu punya. Di hari-hari selanjutnya semoga kamu tidak terhenyak kaget dengan caraku menerima perkenalanmu. Nanti kuperingatkan lewat sebuah isyarat, agar kamu tidak mendadak berubah kaku setiap kali kita bertemu.

Dan faktanya lagi, terserang rasa suka mutlak bisa mendera siapa saja, dari siapa saja kepada siapa saja. Bukannya aku terlalu percaya diri, tetapi caramu memerankan diri tidak seperti yang seharusnya, dan lagi kamu punya tatapan yang berbeda setiap kali menyorotku. Teduh dan syahdu. Tidak ada yang dapat kamu bohongkan denganku. Aku bukan mahasiswa ecek-ecek yang belum tahu apa-apa, seperti yang mungkin hari ini kamu sangkakan.

Hari ini kamu boleh berjaya karena posisi dan jabatanmu, tetapi hari esok dan seterusnya kamu akan berangsur jadi pecundang. Aku yang akan menang di hari-hari berikutnya. Sementara kamu akan takluk karena termakan perasaan. 

Senin, Desember 19, 2016

Bukan Dunia Yang Sempit Jika Kita Bertemu Lagi

Hasil gambar untuk jalan cinta grayscale
Source image: google

'Dunia itu ternyata sempit', adalah kalimat yang sering keluar dari mulut orang-orang yang sebelumnya pernah bertemu, lalu pergi 'berkelana', kemudian di tempat dan waktu yang tidak terduga bertemu lagi secara tidak sengaja. 

Tidak, dunia ini sebenarnya tidak sempit. Dunia ini luas dengan segala isi dan hal-hal hebat di dalamnya. Perjumpaan demi perjumpaan yang tidak sengaja terjadi bukanlah karena sempitnya ruang dunia, melainkan karena kita yang tidak pernah lelah untuk melangkah, sehingga dapat kembali berjumpa walaupun tanpa rencana sebelumnya.

Tentang pertemuan denganmu, ini masih yang pertama, dan barangkali nanti kita akan bertemu lagi suatu hari. Aku memimpikan pertemuan selanjutnya pada keaadan yang sudah banyak berubah. Dan mungkin dengan membawa perasaan-perasaan yang tidak biasa, yang sebelumnya tidak ada di pertemuan pertama.

Aku tidak sedang berkhayal, tetapi pertemuan denganmu sebulan terakhir ini menghasilkan catatan-catatan kecil yang seolah memaksa untuk kita bertemu lagi di lain waktu. Mungkin aku yang akan datang ke kotamu, atau kamu yang ternyata mampir ke kotaku, atau malah kita bertemu di tempat yang tidak terduga, di kota sekelas Jakarta, atau di desa kecil di sudut lembah.

Tanjung Enim
Desember 2016

Minggu, Desember 18, 2016

Catatan-Catatan Pertemuan

Bumi Sriwijaya. Beberapa hal menarik kutemui di sini. Dan sebagai seorang mahasiswa labil yang mudah jatuh hati, hal termenarik sepanjang keberadaanku di sini adalah kamu, dan beberapa perempuan lain dengan garis wajah yang hampir sama. 

Yang kusadari adalah bahwa pribumi di sini secara umum berperawakan khas, ada ras Chinese yang muncul di wajah-wajah melayu mereka. Termasuk kamu salah satunya. Bahkan hal itu berakibat pada terkaanku yang jadi meleset, salah. Pikirku mulanya kamu adalah seorang Khatolik atau Protestan, nyatanya kita berdiri di garis keyakinan yang sama.

Maaf atas hal ini. Aku terlambat sadar, dan kesalahan yang barusan terjadi membuka mata berikut merevisi cara pandangku. Ada keliru yang selama ini mengakar dalam caraku menilai sesuatu. Boleh jadi inilah satu dari beberapa alasan lain mengapa Tuhan membuat kita bertemu.

Kita telah menghabiskan waktu belajar di pulau seberang, di kota berbeda yang jaraknya hampir 1000 kilometer. Bagimu, berada di kota kecil ini seperti pulang kampung, meskipun ada batas 2 jam perjalanan lagi untuk bisa benar-benar tiba di kotamu. Dan bagiku, ini adalah tanah perantauan yang lain, yang lebih dekat dengan rumah. 

Tentang kita yang bertemu secara tidak sengaja, barangkali kamu tidak pernah ambil pusing dengannya. Ini hanya kebetulan yang seharusnya memang terjadi. Tidak perlu dipikirkan betul. Dalam hal ini mungkin kita dikaruniai watak yang agak berbeda. 

Aku selalu menganggap bahwa setiap pertemuan adalah berkah, adalah cerita, adalah pengalaman, adalah perjalanan hidup yang mestinya dapat penghargaan. Tidak harus dengan perayaan, cukup dengan terus mengingat siapa-siapa yang pernah ditemui. Karena setelah pertemuan pertama, aku selalu yakin akan ada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Mungkin di waktu dan tempat yang tidak lagi sama, bahkan di keadaan yang sudah sangat jauh berbeda.

Semoga saja kamu tidak lupa bahwa aku pernah 'numpang lewat' untuk sekedar menjadi peramai. Jika panjang waktu yang akan terus berlalu, mungkin bagimu aku hanya akan menjadi seorang kenalan yang terlupakan. Tidak mengapa, aku tidak berharap untuk terus berada di garis ingatanmu, hanya saja pada setiap pertemuan, aku selalu menuangnya dalam catatan-catatanku, termasuk pertemuan denganmu di bulan-bulan terakhir ini. Barangkali kamu suatu saat ingin bernostalgia, buka saja catatan yang sudah aku tulis, pasti ada kamu di dalamnya.

Catatan di Tanjung Enim

Oktober - Desember 2016



Kota Kecil Tempat Kita Bertemu

Adalah suatu takdir jika kita dipertemukan, tidak dapat ditolak. Lagipula bertemu denganmu, tidak ada alasan yang bisa dikedepankan untuk tidak menerima. Hal semacam ini adalah berkah, adalah bahagia, adalah senyum yang paling indah. 

Tidak kusangka, kota kecil ini yang menjadi saksi, yang menjadi tanah tempat kita berpijak di waktu yang sama, yang udaranya kita hirup untuk tetap hidup di detik yang sama pula. Kota kecil berperawakan biasa, yang dalam sekejap berubah menjadi sangat istimewa.

Apapun itu, aku dan kamu bertemu adalah untuk sebuah cerita. Tidak lama, tetapi cukup untuk mengarang berlembar-lembar kisah dengan banyak hal yang dapat dilukiskan. Barangkali catatan ini kelak akan kamu baca walaupun kita tidak lagi berjumpa. Barangkali lagi ketika kamu baca, kamu tersenyum saat larut dalam setiap kata yang tertulis. Kamu akan rasakan kalimat-kalimat yang tertera adalah kamu beberapa waktu yang lalu, dan itu akan membawa ingatanmu kembali ke kota kecil tempat kita dulu bertemu, mengenang lagi aku yang kamu jumpai kala itu.

Sabtu, Desember 17, 2016

Penyeduh Kopi Pagi

Aku adalah pecandu kopi kelas berat. Bagiku kopi bukan saja sekedar bubuk yang dicampur gula dan kemudian diseduh air hingga menimbulkan aroma harum menusuk hidung. Kopi bagiku adalah penyemangat, kawan di semua suasana. Tidak peduli hati sedang panas atau dingin, kopi selalu meghadirkan nikmat dalam setiap seruputnya. Tidak peduli hujan ataupun panas tak berkesudahan, kopi selalu menjadi daya tarik yang kepadanya tidak bisa untuk mengatakan TIDAK.

Berkat kopi, sebuah daerah kecil menjadi sangat familiar akhir-akhir ini. Salah satu daerah yang menjadi sumber kopi ternikmat yang ada di Sumatera Selatan. Semendo, aku belum pernah menginjakkan kaki di sana, tetapi google map mengatakan butuh waktu 2 jam 8 menit untuk tiba di sana dengan jarak tempuh kurang lebih 78, 4 km.

Kamu yang kujumpai di Kota kecil ini juga berasal dari sana. Jadi, sekarang ada 2 alasan mengapa Semendo sering mengiang di kepala. Pertama kopi, dan kedua kamu. Jelas kamu tidak dapat diselaraskan dengan kopi, tetapi aku ingin kelak penyeduh kopi pagiku adalah kamu.


Rabu, Desember 14, 2016

Menghabiskan Sore Di Hadapanmu (?)

Setiap kali sore datang, aku hampir selalu merasakan sepi di kota kecil ini. Tidak ada yang dapat kujumpai, kecuali kera-kera di belakang rumah yang menggelantung, berebut rambutan belum ranum dengan sesama kawanannya. Ada banyak rumah di sini, tetapi lewat ashar mereka sudah tidak nampak lagi di jalanan, atau bahkan di teras rumah masing-masing. Pintu rumah selalu tertutup, seolah kehidupan di sini lenyap setiap kali sore datang.

Ini bukan sebuah kode, melainkan tawaran yang secara langsung kuajukan, meski tidak kuunjukkan betul dengan kata-kata ke telingamu. Bagaimana kalau banyak waktu sore kuhabiskan di hadapanmu? Aku tidak terbiasa dengan situasi begini, seperti tidak ada kehidupan lagi, Maka dari itu, dapatkah kamu temani aku beberapa jam saja? Aku yakin tidak akan menyita waktumu. Dan aku dapat pastikan juga bahwa waktu yang kau habiskan denganku tidak akan berakhir dengan kesia-siaan. Barangkali kamu juga butuh sore yang berbeda, atau sesekali kamu ingin sesuatu yang tidak melulu berjalan sesuai dengan rutinitasmu.

Menyatukan Jemari Dalam Genggaman

Barangkali aku bukan seorang yang cukup menarik untuk kau ajak bercanda, atau bahkan untuk sekedar bicara satu dua patah kata. Aku juga tidak yakin hari-hari berikutnya kita akan semakin akrab. Jarang ada perempuan berlabel mahasiswi semester akhir akan tertarik pada mahasiswa dari kampus lain yang semesternya lebih rendah. Mungkin kamu anggap aku masih kekanak-kanakan, dan masih terlalu cetek untuk banyak urusan. Aku mahfum, di usia yang setarapun kebanyakan perempuan ditakdirkan untuk lebih dewasa daripada laki-laki, apalagi di usia yang lebih tua.

Tidak masalah jika hari ini kamu tidak begitu menghargai kehadiranku. Untuk saat ini aku bukan seorang yang penting, kamu sudah melewati fase yang sedang aku jalani, sehingga besar mungkinnya sedikit angkuhmu akan muncul. Yang kamu tatap bukan aku yang berada di belakangmu, tetapi seorang yang menunggumu di depan sana dengan banyak janji kebahagiaan di masa depan.

Aku percaya pada setiap kemungkinan, termasuk kemungkinan kamu akan berbalik arah dan tersenyum menungguku untuk sama-sama kita melangkah ke gerbang masa depan. Aku percaya angkuhmu akan berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan penuh perhatian suatu saat. Lihat saja apa yang akan terjadi, hari ini kita bertemu, 2 minggu dari sekarang kita tidak lagi akan berjumpa, aku dan kamu akan sama-sama hilang untuk menyelesaikan urusan masing-masing. 

Nanti di usia yang mantap, Tuhan akan mempertemukan kita lagi di tempat yang berbeda, dalam keadaan yang sudah tidak lagi sama, dan juga dengan membawa perasaan yang sudah berubah. Saat nanti bertemu denganku, kamu akan rasakan kejatuhan hati yang sejatuh-jatuhnya. Yang membuat kamu tidak berkutik dengan segala angkuhmu di masa lalu. Dan aku, akulah yang akan bertahta, aku yang akan berada di sisimu, aku yang akan menggandeng erat tanganmu, menyatukan setiap jemari kita dalam sebuah genggaman mesra.

Selasa, Desember 13, 2016

Salah Terka

Pikirku sebelum malam itu kita adalah 2 orang dengan keyakinan yang tidak sama. Barangkali bukan aku saja yang menganggap demikian, ada juga kawan lain yang sebelumnya berpendapat sama. Pikir itu lalu runtuh setelah pertanyaan bodoh tidak sesuai tempat yang kuajukan saat kita sedang berjalan bersama beberapa orang lain, menyusuri jalan aspal selebar 3 meter dari Arena Bowling menuju warung kecil tempat mengakhiri malam.

Atas kesalahan fatalku, semoga kamu tidak merilis namaku di daftar orang yang tidak kamu senangi. Pikirku kamu adalah seorang Khatolik atau Protestan. Kontur dan topografi wajahmu menunjukkan demikian, gaya keseharianmu juga mencirikan seorang yang biasa menyenandungkan pujian kepada Tuhan di gereja. Ada garis perawakan China yang telah menyatu dengan rupa orang Melayu, menghadirkan kombinasi seperti kamu yang berdiri di sampingku. Dan adalah kesalahanku, hanya menilai dari apa yang terlihat, tanpa ingin menelusuri kepastian kebenarannya.

Kronologisnya, saat kita tinggal beberapa meter lagi tiba di warung kecil di ujung jalan. Ada yang berbicara tentang 2 gereja yang hanya berjarak 200 meter kurang lebih. Greja Protestan di sisi Utara dan Gereja Khatolik di sisi selatan. Yang bersama kita saat itu adalah 2 orang dengan tempat ibadah yang berbeda, si Pace dari Timor Leste adalah seorang Khatolik dan Kakak dari NTT adalah seorang Protestan. 

Sekedar untuk mendekatkan diri saja, sebagai alasan agar tidak terlalu banyak diam yang menguasai hari itu, kutanyakan tentang Gerejamu, dimana kamu beribadah selama berada di sini. Aku sempat shock dengan jawabanmu, cukup berhasil kata-katamu membuat air mukaku berubah seketika, untung saja malam itu cahaya lampu di setiap rumah tidak sampai meraih jalan raya, juga bulan sedang tidak penuh pantulan cahayanya, sehingga perubahannya tidak begitu kentara terlihat.

"Aku Muslim, Gi." Tersenyum kamu menjawabnya.

Aku melotot dan beberapa detik berhenti bernafas. Ternyata kamu sama denganku. Langsung aku merasa bersalah atas pertanyaan yang baru saja kuajukan. Kuhitung 3 kali aku minta maaf atas pertanyaan bodohku. Dan kamu sepertinya menjawab dengan santai, sayang saja jalanan terlalu gelap untuk aku dapat menangkap raut ekspresimu atas pertanyaan sembronoku.

Sepanjang malam aku dibuat merasa bersalah. Pernah juga sebelumnya aku melakukan kesalahan yang sama dengan keadaan yang terbalik, hanya saja agaknya kesalahan hari ini agak lebih tidak bisa ditolerir.

Beberapa kali kutangkap ekspresi di wajahmu. Bersamaan dengan itu juga aku coba memahami kesalahanku. Seperti yang sudah kujelaskan, ada perpaduan setidaknya 2 etnis yang menghasilkan rona penduduk asli Bumi Sriwijaya. Itulah yang telat aku sadari, yang berakhir dengan sebuah rasa bersalah atas pertanyaan tidak tepat sasaran.

Mohon maaf, semoga kita bertemu malam itu yang dibarengi dengan pengakraban secara tidak langsung di Arena Bowling, cukup mampu mencairkan suasana, cukup mampu juga untuk menganggap pertanyaanku sebagai angin lalu saja, pertanyaan yang tidak penting untuk dibahas lebih lanjut karena memang ada human error yang seharusnya tidak pernah terjadi. 

BTW, salam kenal dan semoga kesalahterkaanku bukan alasan untuk kamu tidak lagi mau mengenalku. 

Senin, Desember 12, 2016

Menikmati Dingin Di Malang [2]

Masih harus kembali menyesuaikan diri. Hans sudah kurang biasa lagi dengan udara kota Malang yang sejuk, bahkan dingin di beberapa waktu. Menggigil badannya setiap kali menyentuh air untuk sholat subuh, bulu-bulu tangannya selalu berdiri, gemeretak giginya yang beradu terdengar jelas.

[PART 2]

Hans memutuskan untuk menjadi bagian dan tinggal di Kontrakan Ivan hingga akhir semester ini, 4 bulan lagi kurang lebih. Dengan membayar beberapa uang untuk keperluan rumah, dan bentuk patungannya membayar sewa rumah, Hans resmi menetap di sana. Ivan dan yang lain tidak keberatan sama sekali, bahkan atas saran mereka Hans akhirnya memilih tinggal.

Ini memasuki minggu ke 3. Rutinitas ke kampus tidak begitu banyak. Tidak ada lagi kuliah, yang ada hanya konsultasi dan bimbingan dengan dosen terkait skripsi. Atau ke kampus hanya apabila rindu dengan soto ayam kantin dan sup buah.

Tidak seperti biasa, setelah subuh ini Hans tidak kembali membaringkan badan ke kasur. Sudah ada janji dia dengan Elsa minggu pagi ini ke CFD, dan dalam rencana, Ivan, Wed, Ambon, Fahri, dan Nusa juga akan ikut. Ivan sudah bangun dan sudah terhidang segelas kopi di depan tv tempat ia duduk. Wed sudah pasti masih tidur, hanya keajaiban yang membuatnya bisa bangun sepagi ini. Ambon dan Fahri kemungkinan sebentar lagi juga akan keluar kamar. Nusa, orang itu gampang. Dia hanya akan mengikut saja. Di suruh bangun, dia langsung bangun. Disuruh siap-siap, segera dia lakukan.

"Jadi?" Tanya Ivan bersamaan dengan hisapan pertama rokoknya.

"Jadi, aku udah dikabarin Elsa tadi." Jawab Hans.

"Anak-anak Basecamp juga katanya pada mau ikut."

"Sejenak Hans agak kaget, tapi berusaha dibiasakannya ekspresi wajahnya."

Ini pertama kali Hans mengajak Elsa keluar. 2 Minggu ini mereka memang tiba-tiba jadi dekat, lebih dekat dari sebelum Hans berangkat ke Sumatera dulu. Hans bahkan pernah beberapa kali berangkat ke kampus bareng Elsa.

Beberapa menit berikutnya, Ambon nimbrung yang juga diikuti Fahri beberapa saat kemudian. Nusa diteriaki Ivan, sementara Wed yang alarmnya sudah berteriak berkali-kali tidak juga terpisah kelopak matanya. Adalah tugas Nusa untuk membuat Wed tersadar. Tanpa belas kasihan dihantamnya pinggang Wed.

"Gggak bangun kalau gak gitu." Alasan Nusa ketika Ambon atau Ivan menyarankan cara yang lebih manusiawi.

#######################

Jam 6 kurang sedikit mereka berangkat, Elsa sudah menunggu di depan rumah. Masih agak pagi memang, tetapi ini sudah perhitungan dari Fahri yang sangat meghargai waktu. Jarak dari rumah ke Jalan Ijen tempat CFD sekitar 10 km. Dengan kecepatan yang diperkirakan hanya 30-40 km/jam maka waktu yang dihabiskan adalah kurang lebih 20 menit. Belum lagi ditambah beberapa kali melewati lampu merah, memilih parkiran dan sebagainya, total mereka akan tiba di jalan Ijen pada pukul setengah Tujuh.

"Hitungan yang berkelas." Wed mengapresiasi dengan kedua jempol tangannya.

"Temenmu ganok sing melu Sa?" Tanya Nusa kepada Elsa, merupakan yang paling cantik diantara mereka karena satu-satunya perempuan.

"Ada sih Mas, yang mau CFD juga."

"Yo wes, ajak gabung ae Sa. Kali ada yang nyantol sama Fahri, kasian jomblo sejak lahir."

"Alensanmu Nus, kayak kamu udah laku aja."

Seperti biasa, Elsa hanya membarengi obrolan mereka dengan senyum. Elsa kenal hanya dengan Hans, sementara dengan yang lain, hanya Nusa yang hampir dapat dikenal baik, itu pun baru akhir-akhir ini karena sama-sama orang Jawa.

###############

"Bener kan Wed."

Fahri menunjukkan jam di pergelangan kirinya kepada Wed. Dilihat Wed jam itu menunjuk angka 06.27. Setengah tujuh kurang sedikit, yang artinya hitungan Fahri tidak meleset. Mereka kemudian berjalan ke arah jalan Besar Ijen, mulai tenggelam dalam rombongan-rombongan kecil yang sudah datang lebih dulu.

"Anak-anak Basecamp udah pada di sana." Ivan menunjuk bangku di ujung jalan. Tidak terlihat memang, terhalang punggung-punggung yang bergerak kesana-kemari.

"Ada Putri?" Tanya Ambon.

Ambon dari semester awal sudah tertarik pada Putri. Tetapi sampai detik ini sama sekali tidak terlihat usahanya. Dia bahkan hanya menemui Putri dalam keadaan rombongan seperti ini. 

Dari ujung sana, mulai terlihat beberapa perempuan duduk mengarahkan pandangan pada mereka, lalu berteriak dan melambai. Di balas lambaian oleh Ivan dan Ambon. Fahrid an Nusa tersenyum. Hans perlahan sekali memperbesar jarak dengan Elsa, sementara Elsa menunduk, berjalan memelototi aspal yang diinjaknya.

Ada 4 orang yang menunggu mereka. Dan bagi Elsa, hanya satu yang menjadi fokusnya. Faza. Dia tidak kenal, tapi tahu kalau itu Faza. Elsa tiba-tiba merasa menjadi aneh. Merasa menjadi orang lain, orang yang sangat lain. Agak timbul sesalnya mengapa ikut Hans dan kawan-kawan, harusnya dia memilih ikut Dina saja. Tidak dia pikir kalau ternyata ada pertemuan macam ini. Yang dipikir Elsa kemaren hanya jika berangkat bersama Hans dan kawan-kawan maka dia tidak harus berangkat sendirian. Tetapi jika janjian dengan Dina, maka dari rumah ia sendirian dan hanya bertemu di CFD saja, pulang pun nanti juga sendirian. Dina dan kawan-kawannya tinggal di dekat kampus yang notabene hanya berjarak tidak sampai 2 km. Sementara Elsa, rumahnya di ujung kota. 

Keempat orang yang sudah menunggu, memandang Elsa agak lama, membuat Elsa semakin ciut dan tundukannya semakin dalam, sebentar saja dia memperlihatkan wajahnya untuk sekedar menyapa, lalu disembunyikannya lagi. Bukan karena dia, hanya Elsa tahu dia dalam posisi yang kurang baik. Elsa paham, anggapan keempat orang itu yang mengajaknya ikut adalah Hans. Kenyataannya memang begitu apa boleh buat.

Faza, bagaimana dia akan menghadapi Hans? Bagaimana Faza akan menghadapi dirinya? Dan bagaimana pula Hans akan menghadapi Faza? Timbul caruk maruk tidak jelas dalam kepala Elsa. Timbul rasa cemburunya. Elsa sadar betul bahwa hubungan Hans dan Faza belum berakhir sepenuhnya. Tidak mungkin apa yang terjadi selama 3 tahun lebih akan lupa begitu saja. Kini Elsa menyesali betul keputusannya tadi malam, memilih untuk tidak ikut Dina, dan memilih bergabung dengan Hans adalah kesalahannya. Dan Hans pun tidak memberitahunya kalau ternyata pagi ini mereka akan bertemu Faza juga.

Bersambung. . . . . 

Minggu, Desember 11, 2016

Menikmati Dingin di Malang

[PART I]

Malang sudah larut dalam dingin ketika Hans masuk kota dari arah Arjosari. Belum dapat dilihatnya apa yang berubah dengan Malang setelah 8 bulan dia tinggalkan. Travel yang Hans tumpangi berbelok ketika tiba tepat di stasiun kota Malang, tempat yang paling menjadi kenangan baginya.

Hans bahkan tidak tahu kemana ia minta supir untuk mengantarkan. Dalam rencana dia akan menumpang menginap di rumah kontrakan Ivan, kawannya di awal kuliah dulu. Mereka ada 5 orang, dan semuanya Hans kenal cukup dekat. Fatalnya, Hans lupa meminta alamat rumah Ivan, sama sekali tidak dia pertimbangkan delay pesawat dari Jakarta yang membuatnya harus tiba di Malang sekitar pukul 12 lebih sedikit, terlambat 7 jam dari jadwal yang seharusnya.

Untung saja, Wed masih di luar. Satu-satunya anak yang bisa Hans hubungi malam itu, yang membuatnya tidak harus mengemper di jalanan hingga pagi tiba.

"Turun saja di depan bundaran pesawat."

Senyum kecil Hans muncul di sudut bibir, bersemangat dia memberi tahu supir kemana tujuan pastinya.

"Bundaran pesawat ya Pak."

20 menit berikutnya Hans tidak lagi berada di dalam travel. Kini ia sendiri berdiri di pinggir jalan tepat di depan bundaran. Sepi, di warung ujung sana hanya tampak beberapa orang yang masih duduk berhadapan dengan gelas kopi mereka yang hampir kosong. Dulu warung itu adalah favoritnya dan Ivan menghabiskan malam, di sana juga dia bertemu dengan Wed. Dikiranya Wed masih di sana, sehingga di suruh turun di bundaran saja.

Dipandanginya, satu-satunya bangunan yang masih menyisakan orang, yang masih terang dan masih ada aktifitas. 

"Wed." Sapa Hans ketika tiba di depan warung dan dipastikannya yang berbaju hitam dan topi terbalik itu adalah kawan yang akan ditumpanginya.

Seperti setiap pertemuan, semua diawali dengan jabatan tangan. Entah kebiasaan semua mahasiswa, atau hanya mahasiswa Malang saja.

15 menit berikutnya Hans sudah berada di motor Wed, dan mereka meluncur ke Jalan Ikan-ikan.

"Aman Hans?"

"Udah kangen Malang parah."

Sudah tidak ada sungkan meskipun Hans baru pertama kali masuk ke dalam rumah Wed dan kawan-kawan.. Selalu sama, berantakan dan abu rokok bertebaran di mana-mana.

Wed menyuruh Hans masuk ke kamar di ujung. Kamar Ivan yang ternyata sedang pulang kampung ke Bandung.

############################


Sore, hampir selalu rumah itu ramai. Dan Hans sedang berada di antara pemilik rumah kecuali Ivan. Wed, Fahri, Ambon, dan Nusa sedang menyambut Hans dengan menikmati oleh-oleh khas Sumatera Selatan dari Hans.

Asap rokok mengepul diantara cerita mereka. Hanya Nusa yang tidak begitu akrab, dia orang yang baru 2 semester terakhir ini dikenal Hans. Tetapi Nusa orang yang terbiang supel. Tidak butuh waktu banyak untuk mengakrabkan diri sama seperti kepada yang lain.

"Anak 2014 yang dulu deket sama kau siapa, Hans?"

"Yang mana?" Jelas Hans bingung menjawab pertanyaan Ambon. Belum mengerti dia apa yang sedang di bahas Ambon.

"Yang itu lho, sering kau cerita ke Ivan."

"Elsa?" Hans tidak begitu yakin, dia masih berpikir nama lain saat menyebut nama itu.

"Nah iya, rumahnya itu di depan."

Tanpa aba-aba, semuanya melongo ke pintu yang terbuka setengah. Jelas orang yang mereka sebut tidak ada, pintu rumahnya di seberang jalan juga tertutup.

"Masih deket Hans?"

"Udah gak terlalu Ri, udah 8 bulan gak di sini juga."

"Tunggui aja sore jam 5 an di depan, dia balik kampus."

Hans diam saja, tetapi sudah bertekad untuk sore ini menghabiskan waktu di teras rumah, mengikuti saran Fahri.


####################

"Elsa."

Seseorang dipanggil Hans dari balik pagar rumah. 

Yang merasa terpanggil menoleh, Berhenti dulu dia sejenak tepat di depan pagar rumahnya yang setengah terbuka. Yang perempuan itu lihat Hanya Hans. Tidak ada orang lain di situ, lagi pula ini menjelang magrib. Sudah barang pasti kompleks itu menjadi perumahan yang sangat sepi.

"Hans."

Agak lama Elsa menjawab. Dia pastikan dulu bahwa yang dilihatnnya adalah Hans.

"Kok bisa di sini?" Lanjut Elsa.

"Numpang. Dari mana?"

"Dari kampus."

Terasa sekali oleh Hans bahwa pembicaraan mereka sangat kaku. Maklum saja, semenjak Hans terbang ke Sumatera 8 bulan yang lalu, mereka tidak pernah berkomunikasi lagi. Juga sebelumnya mereka tidak sempat untuk cukup akrab. Hanya sempat dekat beberapa bulan saja, dan itu hanya lewat chattingan, senjata mendekati perempuan zaman itu.

"Aku masuk dulu ya."

Elsa akhirnya mengundurkan diri setelah didengarnya Azan Magrib berkumandang di Mushola di utara komplek.

"Dia gak manggil Kak, apa Mas, apa Bang gitu Hans?" Ambon ternyata mendengar percakapan Hans dan Elsa, tidak sengaja tentu saja.

"Nggak."

Ambon juga tidak ambil pusing sebenarnya, pertanyaan itu hanya untuk menyapa Hans saja.


#########################


"Hans, hari ini gotong royong ya."

"Tumben."

"Ini perintah wajib Pak RT, liat aja rumah di sini pada bersih."

Sebagai tamu Hans menurut saja, diambilnya gunting rumput lalu dipangkasnya dahan Beringin hiasan di depan rumah yang sudah mulai tidak beraturan bentuknya. Fahri mengambil sabit, dibersihkannya halaman di pojok kiri yang sengaja tidak di semen untuk menumbuhkan bunga. Wed, Ambon dan Nusa juga tidak ketinggalan. 

"Seng bersih yo le."

Seorang ibu yang kebetulan lewat menyapa, tertarik melihat 4 mahasiswa minggu pagi sudah gotong royong. Bu Ani, itu Ibunya Elsa.

"Nggeh Bu." Nusa yang satu-satunya orang Jawa diantara mereka menjawab.

"Dari mana sampean Bu?" Lanjut Nusa dengan bahasa Indonesia yang sangat medok.

"Oh iki." Bu Ani memperlihatkan kresek hitam yang dibawanya.

"Opo iku?"

Nusa tidak ingin tahu, tetapi sudah terlanjur bertanya karena saraf sensoriknya yang terlalu aktif. Lagipula dia sebenarnya juga tidak terlalu peduli.

##############


Hampir dua jam mereka di halaman, terakhir ditutup dengan duduk bersama di teras. Ambon baru saja menghidangkan kopi hitam, minuman rutin mereka setiap pagi. 

"Kosong aja gak ada gorengan atau roti?"

"Ada di tasku, ambil gih."

"Ah nantilah." Ambon menolak masuk ke rumah lagi, sementara Hans juga enggan mengambil roti di tasnya.

Duduk di teras adalah kebiasaan mereka. Aroma udara di teras itu sejuk, pengaruh bunga mawar dan melati yang campur aduk, juga bunga-bunga lain milik tetangga yang cukup tajam harmnya. Dan juga pemandangan sore dari teras rumah mereka begitu menarik. Dapat langsung disaksikan matahari terbenam diantara gelombang bukit-bukit yang mengelilingi Malang.

"Mas."

Seseorang memanggil di seberang sana. Tidak jelas memanggil siapa, yang pasti arahnya adalah kepada Hans dan kawan-kawan. 

"Ini ada gorengan. Sini ambil."

"Nah tuh Wed, yang tadi kamu tanyain."

Wed memang baru saja menanyakan gorengan, tetapi untuk berdiri menjemput gorengan yang ditawarkan, terlalu berat pantatnya terasa.

"Hans, kali aja bisa liat Elsa, sekalian PDKT sama camer." Ucapnya.

"Ah alesan lah." Hans tidak menolak, dia lalu berdiri dan berjalan ke seberang.

"Baru ya Mas di sini, kok gak pernah liat?"

Pertanyaan Bu Ani memaksa Hans untuk tertahan beberapa menit di sana, mengakibatkan kedatangan gorengan menjadi terlambat.

"Iya Bu, saya baru selesai magang."

"Dimana?"

"Di Sumatera Selatan."

"Adohee."

Hans tidak menjawab lagi. 

"Ini bawa ke sana. Buat nyemil abis kerja."

Diambilnya piring yang berisi gorengan lalu dibawanya. Hans berterima kasih, tetapi dia tidak melihat Elsa seperti harapannya.

"Oh iya, sek Mas."

Hans berbalik.

"Elsa, bawa agar yang di meja ke sini."

"Iki Mas, ada tambahan lagi."

"Aduh, banyak amat Bu." Hans merasa sungkan sendiri.

Bu Ani masuk ke rumah, bersamaan dengan itu Elsa muncul dengan sekotak agar di tangannya.

"Banyak bener, jadi gak enak."

"Gapapa Mas. Bawa aja, penghilang capek abis kerja" Suara Bu Ani terdengar, tetapi orangnya sudah tidak kelihatan.

"Ekhhmm." Wed berdehem kecil, tapi suaranya terdengar sampai ke telinga Elsa.

"Yuk gabung ke sana." Hans menawarkan Elsa.

Elsa tidak menolak. Diikutinya langkah Hans dari belakang. Tidak sampai semenit mereka sudah tiba di seberang lagi.

"Apa kata camer tadi Hans?"

Ambon langsung menyambut Hans dan Elsa dengan pertanyaan Dahsyat, menyambut kedatangan gorengan dan agar lebih tepatnya. Sementara Wed mematikan rokoknya melihat Elsa datang. Nusa menawarkan kopi yang sudah jelas ditolak Elsa, Fahri diam saja. Sementara itu Elsa tersenyum, berniat menjawab pertanyaan Ambon tapi tidak jadi, kemudian memilih duduk di samping Hans yang berhadapan dengan Fahri dan Nusa.

"Ngapelmu deket berarti ya Hans." Wed mulai membuka obrolan dengan melibatkan Elsa di dalamnya.

"Yo iyo to, sebrangan kok, ganok sak menit nyampe." Justru Nusa yang menyambut pertanyaan Wed kepada Hans dengan bahasa Jawanya.

"Hans, tinggal di sini aja deh. Biar kita sering-sering dapat berkah." Ucap Fahri meraih agar dan menjebloskan ke mulutnya. 

"Iya bener tuh, sekalian ngapelmu gak butuh biaya Hans", Ambon ikut meramaikan obrolan.

Elsa tersenyum mendengar percakapan mereka, yang membicarakan dia dan Hans, yang sesekali diiringi tawa dan candaan, yang bahkan ia juga ikut tertawa dibuatnya. Tanpa disadarinya, Elsa menyimpan harap dari obrolannya dengan Hans dan kawan-kawan. 


Bersambung. . . . . . . .

Kamis, Desember 08, 2016

Peluang Nol Koma Sekian Persen

Ternyata semakin ke sini, semakin banyak anak tangga yang jadi pemisah. Kamu terus menanjaki hingga semakin dekat dengan puncak. Sementara aku, boleh dikata tidak beranjak dan hanya jalan di tempat. Semakin ke sini aku semakin tidak yakin. Menaklukkanmu adalah hal yang rasanya hampir mustahil. Berkaca pada keadaan, aku bukanlah seorang yang dapat menggapaimu dengan usha-usaha yang sangat biasa. Tidak lagi seperti beberapa waktu yang lewat, ketika aku dan kamu berada pada satu anak tangga yang sama. 

Melihat yang sekarang sedang terjadi, rasanya tidak lagi mungkin untuk mendapatkan apa yang aku damba. Aku bukan daya tarik, bukan juga sesuatu yang berefek. Ada dan tidak ada akan sama saja.

Ibaratanya, hari ini aku melihatmu dari jarak ratusan meter. Beberapa meter dari sisimu, berdiri orang-orang yang lebih piawai dalam banyak hal, termasuk dalam hal menaklukkanmu barangkali. 

Jika perlahan aku coba melangkah mendekat, masihkah berkesempatan untuk berjuang? Adakah peluangnya barang nol koma sekian persen saja?

Semoga saja kamu tidak menolak kenyataan, bahwasanya kita pernah dekat dan kamu pernah kubuat nyaman. Dapatkah hal itu kita teruskan lagi? Jika aku dapat memotong jarak tempat sekarang kita berpijak, adakah kemungkinan untuk aku dapat menjadi seorang yang paling sering muncul di pikiranmu?