Sabtu, Mei 31, 2014

Mengertilah

Ada keanggunan di tatapan matamu
ada keindahan di manisnya senyummu
Ada getaran yang membuatku terpaku
Indahnya dirimu ada di hadapanku

Pernahkah sedikit kau sadari
Ada aku yang selalu memandangmu
Di sini ku menanti
Di sisiku kutunggu kehadiran(hadirnya) dirimu

Datanglah membawa kebahagiaan
Melangkah dan mendekatlah kepadaku
bawalah sejuta kebahagiaan itu
Yang padamu, telah tuhan titipkan

         mengertilah ada aku di sini
         temanilah aku di kehidupan ini
         Jadilah engkau permaisuri
         Yang membuat hidupku jadi lebih berarti
       


(Sepenggal lirik lagu pesanan kang Ahmad Idhan Rifaldi untuk soundcloudnya, semoga ntar juga bisa di masukin ke dapur rekaman ya kang)



Kesan Rantai IV, Awal Rantai V

Sebuah pengumuman di mading forkano menyatakan aku diterima di kepanitiaan Rantai V. Acara yang pada intinya adalah penyambutan mahasiswa baru yang sebentar lagi akan datang menduduki bangku perkuliahan. Aku menyadari betapa pentingnya acara ini. Penyambutan selalu di ibaratkan dengan OSPEK. Dan ospek selalu identik dengan marah-marah, hardik menghardik, baku pukul dan juga identik dengan pingsan atau sakit. Para senior biasanya mengedepankan dada mereka, seolah mereka adalah yang terbaik. Seolah mereka adalah yang berkuasa hanya karena mereka lebih dulu berada di sini. Acara yang seharusnya bermanfaat dan menimbulkan kesan mendalam yang sangat baik malah menjadi sangat tidak diminati oleh mereka yang baru, bahkan sebagian berpendapat bahwa ospek adalah neraka dalam perjalanan hidup. Acara yang seharusnya memberikan ilmu dan pengalaman baru justru menjadi acara tak berguna dan menjadi unjuk kekekaran otot bagi para senior. Mereka adalah juara, mereka adalah pemberani dan mereka harus dihormati, dihargai, disanjung dan di di di sebagainya untuk meninggikan mereka. Bukannya peserta (mahasiswa baru) takut berhadapan dengan para senior yang jumawa, tetapi mereka masih mengerti aturan, dari hati atau tidak, yang jelas mereka memahami aturan yang berlaku di tempat baru mereka. Mereka tidak seperti para senior yang menganggap aturan sudah berada di bawah kendali mereka. Dan kini mereka menindas semiua yang bisa mereka tindas. Dalam hal ini korbannya adalah mahasiswa yang baru saja melepaskan pakaian putih abu-abu mereka. Paada akhirnya kegiatan-kegiatan tidak berguna ini akan melahirkan sebuah dendam di luar sana. Ada perasaan tidak senang dari maba yang menuntut balas dendam terhadap apa yang dilakukan senior kepadanya. Acara yang seharusnya mengenalkan disiplin dan tata tertib kampus justru tersalahgunakan oleh orang-orang yang tidak memahami makna ospek (baca senior).


Tetapi kita di sini berbeda. Ada alasan tersendiri mengapa aku mau mengikuti kegiatan ini sebagai panitia. Ini termasuk dalam kegiatan OSPEK. merupakan rangakaian kegiatan terakhir masa perkenalan sebagai mahasiswa. OSPEk yang khusus diadakan untuk maba Agroekoteknologi yang di dalamnya berisi semua tentang keagroekoteknologian. KAmi tidak menyambut mereka dengan hardikan, tidak menyambut mereka dengan teriakan, dan juga tidak menyambut mereka dengan bentakan, tetapi di sini, kami menunggu mereka dengan senyum dan merangkul agar mereka tidak canggung menghadapi bagaimana kerasnya bangku perkuliahan. Kami mengajarkan bagaimana bangku perkuliahan yang keras itu di ubah menjadi sebuah hobi dan kesenangan, tentu hanya berdasar ilmu da pengalaman yang kami punya. Di sana, mereka akan tahu sendiri, mereka akan paham sendiri bagaimana memaknai perkuliahan. Bagaimana bekerja sama dalam banyaknya laporan dan bagaimana menciptakan solidaritas yang baik dan kekal. Bagaimana mereka memahami arti kuliah yang sesungguhnya. Kuliah yang identik dengan individualisme dan menakutkan, kita berusaha untuk merubah mainset itu menjadi kebalikannya. Memang harus di akui, bahwa masa SMA memag yang terindah dalam perjalanan hidup, tetapi di sini kita juga berupaya bagaimana meyakinkan mereka bahwa sebenarnya perkuliahan juga sesuatu yang menyenangkan. Memberikan sedikit kesan bagaimana gambaran perkuliahan yang akan mereka hadapi, bagaimana tugas yang akan datang terus menerus, bagaimana tidur mereka akan berkurang drastis dan banyak lagi perubahan yang akan terjadi dari masa putih abu-abu dulu.

Kini aku menjadi bagian dari ini. Dulu aku selalu menganggap ini adalah acara tidak berguna yang akan penuh hardikan, bentakan dan hukuman yang tidak masuk akal. Nyatanya tidak. Ketika salah, mereka membimbing untuk bagaimana aku dan yang lain berbuat semestinya. Berbuat sesuai dengan yang seharusnya. mereka tidak mengeluarkan cacian dan kata-kata kasar, tetapi mereka merangkul kami dengan senyuman. membuat kekeluargaan itu benar-benar terasa dan sangat kental. Mereka tidak menganggap diri mereka senior. Tetapi mereka lebih mengedepankan bahwa mereka memang memiliki pengalaman yang lebih (fakta) dan itu yang akan mereka berikan untuk adik-adiknya. 

Sebuah kesan indah dari Rantai IV lalu telah menyakinkan dan mengubah pola pikirku tentang OSPEK. Acara yang sebelumnya menurutku tak berguna itu justru memberikan manfaat dalam keseharianku kini sebagai mahasiswa. Setidaknya aku tidak kaget ketika tugas menumpuk hadir, aku diajarkan bagaimana membagi waktu dengan baik, dan di kenalkan dengan lingkungan yang akan di hadapi ketika ijazah S1 sudah di tangan nantinya.

Aku menatap daftar yang terpilih menjadi panitia di tahun depan. Nama ku ada, tetapi tidak pada divisi yang aku pilih. Aku jatuh ke divisi antah berantah. Entah apa alasan mereka aku tidak dimasukkan ke divisi yang aku inginkan. sedikit kecewa, namun mereka tentu lebih tau mana yang terbaik. Memang, dari beberapa kepanitiaanku sebelumnya, aku sangat akrab di divisi ini. Dan mungkin sebuah kewajaran jika aku kembali terdampar ke sana. 

Ketika rapat pertama, langsung terasa bagaimana aku bergabung dan berpartner dengan orang-orang yang terbuka. Tidak lagi ada kecewa hari itu karena aku tidak di tempatkan di posisi yang aku inginkan. kegokilan mereka membuat aku yakin, tugas kami ini akan berjalan dengan baik tanpa hawa panas di dada. Dan juga pengertian yang sangat baik dari sang CO membuat aku sedikit leluasa dalam bergerak. Mengajarkan ku bagaimana melahirkan sebuah ketenangan dalam melalui sebuah kesibukan (masalah) yang akan terjadi ke depan. Tidak hanya dalam kepanitiaan, secara tersirat dia telah menggambarkan bagaimana seorang mahasiswa berperan, membagi waktu dan juga bekerja sama. Hal yang tidak akan ditemukan jika hanya duduk di dalam ruangan ber AC mendengarkan ocehan dosen yang ngalor ngidul dan membuat mata mengantuk.

Minggu, Mei 25, 2014

Spartacks de Java Bernyanyi

"Terima Kasih AREMANIA
Terima Kasih AREMANIA
Dari Kami
SPARTACKS de JAVA"


Tepat di menit ke 90 nyanyian itu muncul dari beberapa orang berbaju merah. Terdengar sayup-sayup di lautan manusia berbaju biru. Segelintir orang bersuara dengan penuh suka cita melihat papan skor digital yang ada di seberang lapangan. Berteriak tiada henti dan meloncat-loncat kegirangan. Mulut terbuka karena tertawa lebar menyaksikan sebuah fakta yang terjadi di depan mata. berbanding terbalik dengan puluhan ribu orang yang ternganga seolah tak percaya atas suatu kenyataan yang sedang terjadi. Drama besar lahir malam itu ketika Kerbau Merah berhasil menanduk Singa Gila di kerangkengnya sendiri. Tidak ada ketakutan lagi setelah semua itu. Mereka membuktikan bahwa mereka adalah pahlawan dan layak untuk diberi dukungan. Perjalanan jauh mereka menghasilkan sesuatu yang akan di bawa pulang ke kota bengkuang.

Dari base camp sekitar 1 jam kami menempuh perjalanan menuju Kepanjen. Kota yang baru saja menjadi Ibukota dari Kabupaten Malang. Kota adipura yang sekarang menjadi lautan biru Aremania. Hanya berangkat menggunakan 6 motor saja karena tiada koordinasi yang jelas ketika itu. Hanya pemberitahuan lewat media sosial dan berangkatlah semua yang bisa berangkat sore itu.

Perjalanan kami dimulai dari sebuah pertamina di depan Universitas Brawijaya. berada dibawah bendera SPARTACKS De JAVA kami bersiap menuju stadion Kanjuruhan yang menjadi medan perjuangan kabau sirah malam ini.

Malam telah menyelimuti langit Malang Raya ketika 6 motor yang konvoi memasuki gerbang dan pelataran parkir stadion. Selama perjalanan hampir semua orang terlihat memakai baju biru dan syal mengalung di leher mereka. Bergerak menuju suatu tempat dan akan berpesta ketika 2x45 menit berakhir (sayang sekali tidak untuk hari ini)

Tepat ketika muadzin selesai mengumandangkan azan yang merdu, saat itulah kami sampai di gerbang Stadion. Beberapa tukang parkir menawari kami sebuah tempat yang sepertinya, cukup baik, cukup aman, dan juga tidak susah untuk keluar nantinya. Sekitar 100 meter jarak parkiran dari pintu utama stadion. Kami berjalan di tengah-tengah aremania yang masih mondar mandir diterangi lampu luar stadion. Aku benar-benar merasakan hawa Kota Malang seperti yang aku lihat di televisi. Polisi terlihat masih duduk-duduk di warung sekitar stadion menunggu beberapa saat lagi mereka akan segera bertugas.

singkat cerita kami langsung membuka jaket ketika tepat berada di depan pintu stadion. tampak hampir semua orang berbaju biru memperhatikan kami yang berbaju merah. Suasana seperti terkendali ketika itu. Mereka melihat jelas bahwa kami memakai baju yang jelas-jelas mendukung tim tamu. keberanian luar biasa, sengaja datang ke kandang singa untuk mendukung lawannya. Beberapa polisi mengingatkan kami agar berhati-hati karena masa pendukung tuan rumah sangat tidak sebanding dengan kami yang hanya berjumlah 20 orang (bertambah 6 orang dari jumlah yang berangkat bersama). Sekali terjang maka remuklah kami malam itu.

Suasana di dalam stadion masih terbilang sepi ketika kami masuk. Setiap sisi memang sudah terisi dan pemain pun sudah tampak melakukan pemanasan di lapangan. "Pantek Amak Ang, Selamat Datang Sadonyo." itulah kata sambutan dari Aremania yang menyambut kami ketika berada dalam stadion. BAhasa Padang yang sangat tabu dan jarang dikeluarkan di keramaian. Kami berteriak melambai kepada tim yang akan berjuang, menyadari kehadiran kami yang hanya segelintir mendukung mereka, mereka pun membalas dengan lambaian dari tengah lapangan sambil terus melakukan pemanasan. 

Hampir satu jam aku dan rombongan menunggu untuk benar-benar peluit berbunyi sebagai tanda dimulainya laga. Tidak banyak yang dapat kami lakukan malam itu. Langkah serba salah dan harus perpikir dahulu apa yang akan kami lakukan. Salah-salah, bisa jadi nyawa menjadi taruhannya. Puluhan ribu orang berbaju biru siap memborbardir kami yang hanya berjumlah 20 orang. Itupun tanpa senjata pengaman. Hanya kecintaan terhadap kampung halaman yang akhirnya membawa kami hadir di salah satu tribun kanjuruhan. Sempat spanduk Spartacks de Java mengelilingi stadion lewat jalur atletiknya. Pasukan biru yang bernyanyi di stadion menyambut dengan senyum dan beberapa dari mereka mengabadikan momen tersebut. respek yang baik dari tuan rumah yang malam ini kedatangan tamu dari luar pulau. tetapi tetap saja kesalahan yang kami lakukan pada saat laga berjalan nanti akan sangat membahayakan. Bisa-bisa nyawa berakhir di stadion meskipun Malang sangat terkenal dengan barisan suporternya yang sangat rapi dan disiplin.

Soundtrack Fair Play berkumandang ketika para pemain memasuki lapangan. Kami berdiri dan menyambut kedatangan para pandeka minang dari sudut stadion berkapasitas 40 ribu orang itu. tepuk tangan dan teriakan yang kami beri tidak lagi terdengar, kalah jauh dibandingkan tuan rumah yang mencapai angka 20.000 orang. Namun semangat kebanggan terhadap ranah minang tidaklah membuat semua itu surut, Dukungan tetap dan akan selalu hadir dimanapun mereka berjuang. Sayang sekali pihak penyelenggara tidak menyediakan sebuah tribun khusus untuk kami, karena memang kami datang dengan jumlah yang sangat sedikit. Membuat kami harus berbaur dengan Aremania dan ini sedikit mengancam. Bukan dari Aremania nya sendiri, tetapi dari mereka yang bertujuan mengacau mengatasnamakan pendukung arema. 

Pertandingan yang sedang berlangsung tidak bisa membuat kami berteriak sering karena tim kebanggaan urang awak berada dalam tekanan. hanya diam dan duduk sambil mengelus dada kegiatan yang kami lakukan di 25 menit pertama. barulah memasuki menit ke 30 nyanyian-nyanyian dari Minangkabau mulai berkumandang. Hingga di penghujung babak pertama sebuah gol membuat keadaan berubah. Aremania yang sejak tadi heboh menyanyikan yel-yel mereka dengan sangat kreatif tiba-tiba hening menyaksikan sebuah gol bersarang. Dan di saat bersamaan ke dua puluh orang yang berada diantara Aremania meloncat dan berjingkrak atas gol yang terjadi. Suasana yang sangat kontras terjadi antara Lautan Manusia berbaju biru dengan segelintir orang berbaju merah. Tidak lagi peduli akan keselamatan, kami terus bernyanyi, melompat dan berteriak tepat di balik pagar pembatas. sementara ribuan Aremania terdiam membisu melihat apa yang terjadi di lapangan dan menyaksikan sukacita kami malam itu. Tua muda laki perempuan dan anak-anak semuanya sunyi, hanya suara kami yang terdengar meski dalam jumlah yang sangat minim. Namun kami tidak terlalu lama menguasai keadaan. Aremania kembali bernyanyi dengan lantang memberikan semangat kepada pejuang-pejuang mereka, membenamkan suara-suara dari ranah minang.

Ketika babak kedua mulai bergulir, Aremania semakin lantang meneriakkan nyanyiannya. Lirik-lirik yang mereka keluarkan terdengar jelas, dentuman bass pun mengiringi dengan sempurna ditambah tarian yang indah terlihat dari kejauhan. Secara responsif, kami ikut menyanyikan lagu-lagu yang sedang berkumandang, menggerakkan kaki dan mengikuti gerakan mereka. Kami berbaur meski masih tampak jelas sekat pemisah. Aremania kembali jeda sesaat menyaksikan Osas Saha yang dengan mudah kembali menjebol gawang I Made Wardana. Saat itulah suasana terbalik kembali terjadi. Dalam hening itu, kami berloncat dan berteriak kegirangan sambil memanjat pagar pembatas. tak terkira senang hati ketika itu melihat papan skor digital di seberang memberikan angka 0 untuk kepala singa dan memberikan angka 2 untuk kepala kerbau. 

Pertandingan terus berlanjut hingga akhirnya waktu 2x45 menit benar-benar habis, dan selama itu kami menari, bernyanyi dan berteriak tiada henti, membuat mereka yanga da di depan kami sedikit marah, kecewa dan semacamnya. Mungkin saja mereka ingin memukul kami karena kehebohan ditengah duka yang sedang mereka dapat, namun bagi kami itu adalah suatu kenikmatan. Di penghujung waktu tidak lupa kami menyanyikan lagu penghargaan dan ucapan terima kasih kepada tuan rumah Aremania yang ternyata begitu sportif dan menyambut kami dengan tangan terbuka.

Lampu Stadion mulai dimatikan namun kami masih berada dalam. Tribun sudah sangat sepi, hanya tinggal kami dan beberapa orang polisi yang mengawal yang masih tinggal di dalam. Menunggu suasana di luar stadion sepi dan kondusif sehingga kami dapat keluar dan meninggalkan stadion dengan tenang. Kami tidak lagi menggunakan baju warna merah bergambar gonjong Rumah Gadang dan tulisan Semen Padang FC yang di bawahnya di ukir gambar kepala kerbau dan Tugu Kota Malang sebagai lambang dari Spartacks de Java, yaitu barisan suporter padang yang berada di tanah Jawa khususnya daerah Malang, Surabaya, Bojonegoro dan sekitarnya. Atas saran polisi, Baju merah itu kini ditutupi dengan jaket untuk menghindari hal yang tidak di inginkan.

Begitu keluar stadion, tempat yang kami tuju adalah Regent Park Hotel di pusat Kota Malang. Tempat para pemain, manager dan official team menginap. bersalaman dengan para pemain dan jajaran pelatih, berfoto bersama dan mendapat jamuan makan malam istimewa bersama mereka. Sungguh luar biasa rasanya, bersalaman dan melihat secara langsung wajah Eka ramdahani, Airlangga Sucipto. Yu Hyun Ko, uda Hengki Ardiles, Mak itam 'Baru' Osas Saha dan masih banyak lagi, serta bercanda ria dengan Uda Rony yang saat itu mewakili Pak Asdian sebagai manager tim.

Terima Kasih Untuk Keluarga Besar kabau Sirah Semen Padang yang Telah Memberikan yang terbaik dan Menghibur Kami di perantauan. 

Jumat, Mei 23, 2014

Hijau, Hitam Berkilauan

Sinyal itu sepertinya ada, namun sayang sekali tidak ada balasan yang membuat sinyal itu benar-benar terasa ada. Bukan terlalu percaya diri, tetapi ketika sekilas terlihat wajah itu menampakkan cahaya yang sangat meyakinkan. Paling tidak ada sinyal yang menyatakan tidak ada masalah baginya apabila terjadi suatu kedekatan.

Malam ini lorong di sebuah ruangan mempertemukan kami. Ketika aku keluar dari kelas dan berniat menuju gedung seberang untuk melanjutkan mata kuliah. Di depan pintulah ini semua terlihat. Banyak orang yang lalu lalang berdesakan menuju dan keluar ruangan. Berburu dengan waktu agar tidak ketinggalan.

Rambut hitam panjang miliknya terurai tanpa ikatan. Tertiup angin dan tersentuh beberapa orang yang lewat dengan terburu-buru. Akupun melihat dengan jelas, bagaimana pesonanya yang indah begitu menarik perhatian. Cahaya lampu menyinari wajahnya yang berkilat. Wajah semok yang mulai berminyak akibat seharian meratapi diri dalam sibuknya bangku perkuliahan. Dia sedang tersenyum ketika mataku tertuju pada sosoknya yang sedang berdiri tidak jauh dari pintu tempat aku keluar. Sayang sekali dia tidak tersenyum padaku. Seseorang sedang berbicara dengannya ketika aku keluar. Aku terus berjalan menuju tangga melewati dia yang sedang berdiri. Sebisa mungkin sudut mataku menangkap dan melihat apa yang tengah ia lakukan. Berusaha menikmati keindahan yang kini tepat berada di depan mata. Tidak ada keberanian untuk melihat secara langsung, apalagi menyapa. Berusaha sebisa mungkin agar dia tidak melihatku. Paling tidak jika ia melihatku nanti, ia berfikir bahwa aku tidak tahu akan keberadaannya. Karena itulah aku mengandalkan sudut mata untuk terus berusaha melihatnya selama mungkin.

Beberapa meter ketika aku berada di belakangnya seorang mencegatku. Berbicara sejenak atas menangnya klub kebanggaan kami dari kampung halaman yang baru saja mengalahkan klub yang menjadi ikon dari kota ini. sedikit menceritakan pengalamanku kemarin yang menjadi minoritas berbaju merah di lautan manusia berbaju biru.

Terlihat di ujung sana, wanita yang berpakaian hijau itu berbalik dan kini menghadap ke arah aku berada bersama salah seorang teman sekelasnya. Awalnya dia tidak menyadari, sehingga dengan leluasa aku bisa memperhatikannya, memandangi senyumnya yang indah dan juga rambut hitam pekatnya yang bergerak tertiup angin malam yang masuk ke lorong.

Ingin sekali aku menyapanya dan ketika dia menjawab dengan senyumnya, sungguh tak terbayang betapa senangnya hati menyaksikan keanggunan senyum itu. Sayang sekali kami berada pada jarak yang tidak memungkinkan untuk saling menyapa. Aku tahu dia bersama seorang temannya melihat ke sini. ketempat aku dan teman sekelasnya sedang berbicara dan tertawa. jelas mata itu menuju kesini. dan bodohnya aku berusaha untuk tidak melihatnya, kalaupun ingin melihat, selalu agar mataku tak beradu tatap dengan matanya.

Lagi-lagi kesempatan yang seharusnya bisa kugunakan agar lebih dekat dengan sang pujaan terbuang lagi, setelah beberapa kali sahabat-sahabat karibnya telah menjadi comblangers diantara kami. Dan itu sepertinya gagal karena aku belum bereaksi hingga mereka akhirnya bosan dan mundur satu persatu. Padahal hatiku sangat berharap agar mereka terus seperti itu hingga akhirnya aku dengannya bisa benar-benar dekat. Sehingga yang terlihat bukan aku mengejarnya, tetapi sebuah keadaan yang secara tidak sengaja membuat kami punya koneksi yang melahirkan kedekatan.

Semua kesalahan ada padaku karena tidak ada reaksi di saat-saat yang seharusnya aku ambil bagian secara lebih. Dia bahkan sudah memberikan sinyal-sinyal kuat untuk membuat aku segera bertindak, namun sayang sekali kebodohan ku saat itu datang. Dia menyadari bahwa tidak mungkin seorang wanita yang memulai, sehingga dia hanya mampu memberikan tanda bahwa dia siap untuk membuka diri. tetapi di sisi lain, di sini, aku juga punya alasan kuat mengapa aku hanya diam terpaku menyaksikan usaha orang-orang terdekatnya agar kami mendekat. Aku menyadari posisiku kini yang sedang bergantung banyak pada orang lain. Aku terlalu berekspektasi ke depan, membuat aku tidak bisa menikmati indahnya masa-masa yang sedang aku jalani. Aku terlalu fokus untuk apa aku di sini, terlalu tertutup untuk sebuah kedekatan baru. Membuat aku selalu jalan di tempat dan tidak maju-maju dalam bidang ini. Sangat berbanding terbalik dengan teman-temanku yang kini semuanya sudah mempunyai  bidadari mereka masing-masing. Sementara aku semuanya masih jauh, masih dalam bayangan dan khayalan. belum seperti mereka yang nyatanya sudah memiliki tempat bersandar.

terlalu jelas kenaifan ku saat ini. Dalam hati aku sangat ingin mengikuti dua jejak temanku yang semakin intim dengan kaum hawa. Aku juga ingin memiliki tempat berbagi yang membuatku lebih bersemangat dalam menghadapi perjalanan dalam kehidupan. Aku juga ingin menjadi tempat sandaran bagi orang yang benar-benar bisa mengerti akan hadirku. Aku ingin menghapuskan duka dan air matanya, menggantinya dengan senyum dan keceriaan. Aku juga ingin menjadi bagian dari kebahagiannya. Tapi kapan aku mulai memiliki keberanian?

Entahlah akan semua itu. Yang pasti, aku berterima kasih kepada kota ini yang telah mempertemukan kami. yang menjadi saksi bisu pertemuan kami dan menjadi saksi akan payahnya aku menghubungkan sebuah rasa.

Selasa, Mei 20, 2014

Senyum, Innocent

Pintu kamar nomor 7 tidak lagi pernah terkunci sejak 2 bulan lalu. Dan selama itu pula barang-barang berharga berserakan di dalamnya dan tak pernah hilang. Malam sudah menyelimuti ketika aku tiba di depan pintu karena beberapa hal membuat tertahan di kampus. Pintu kamar terbuka ketika jam digitalku menunjuk angka 18.02. hawa tidak enak langsung menusuk hidung begitu lampu kamar kunyalakan. jelas sangat terlihat sisa-sisa berantakan semalam yang disebabkan ketidakjelasan pikiranku. Bungkus rokok masih terlihat di atas meja belajar berikut dengan asbak dan debunya. Juga minuman bersoda yang masih tersisa seperempat. Tidak sempat aku membereskan kamar pagi tadi karena terlalu terburu-buru menuju medan pertempuran. Ada tugas yang belum terselesaikan sehingga tidak mempunyai banyak waktu. Pun aku tidak punya banyak waktu untuk bisa beristirahat malam ini. Banyak tugas yang harus kembali diselesaikan dan esok pagi harus dikumpulkan.

Aku memulai kegiatan bersama pulpen biru dan kertas HVS berukuran A4 setelah menunaikan kewajiban magrib yang telat hampir setengah jam. Aku mulai mencetak huruf-huruf dengan senjata yang warnanya sesuai dengan warna kehidupanku. Biru !!!! Dan juga mulai bermain-main dengan margin 4333

Hingga waktu menunjukkan angka 21.00 aku masih terus berjuang dengan kegiatanku yang kini mulai  terasa melelahkan. Hingga akhirnya 15 menit kemudian kegiatan itu benar-benar berakhir. Permainanku selesai dan tamat (stidaknya untuk hari ini). aku meneguk minuman yang tersisa, melihat bungkus rokok yang isinya baru habis beberapa biji, ingin rasanya kembali mengulang masa-masa putih biru dan putih abu-abu yang dulu begitu kelam. Beruntung ada ilham muncul di tegukan terakhirku yang menjauhkan aku dari barang setengah haram itu. pilihanku berubah melihat laptop yang ada di kasur, terhimpit buku dan beberapa lembar kertas.

Disinilah semua senyumku mulai mengambang. Begitu smadav berhenti beroperasi google chrome langsung menggantikan posisinya. Mengantarkanku ke dunia lain hanya dengan beberapa klik. Beberapa sosmed langsung menjadi penghibur malam ini. Mulai dari yang familiar dan paling ramai hingga yang hanya beberapa orang dan itu-itu saja yang muncul dalam beranda. Teringat aku akan tulisan yang aku posting diblog tadi malam, ditemani beberapa batang rokok yang hanya aku hisap beberapa kali. Bahkan puntungnya masih ada lebih dari setengah sampai sekarang. Sedikit aku berpikir mengapa aku jatuh kembali ke lubang yang sama yang dulu membuat angka sembilan di raporku mengalami kecelakaan parah hingga terbalik menjadi angka enam. Sulit untuk memahami semuanya karena memang ketika jenuh dan lelah itu tiba semua bisa saja terjadi. Tidak ada kejernihan yang memandu untuk berpikir secara logis

Aku hanya berencana melihat berapa viewers yang telah membaca tulisan penuh typo ku yang amburadul. Membaca kembali tulisan aneh yang membuatku malu sendiri dan ingin menghapusnya. Namun ketika melihat viewers yang jumlahnya lebih banyak daripada postingan lain sudah pasti membatalkan niatku untuk menekan pilihan delete pada menunya.

Tidak sengaja aku melihat sebuah postingan dari blog tetangga yang kelihatannya masih baru. Hanya beberapa postingan yang ada dan yang terbaru adalah sebuah puisi keresahan hati. Dia sedikit menceritakan derita bathin dan berusaha seorang diri untuk melawannya. Memperlihatkan ketegaran diri, menggambarkan kedewasaan sifat penulis. sedikit aku paham maknanya karena memang baru saja aku mendapat cerita dari yang mengalami. rangkaian kata yang bergabung menyatakan perasaannya yang tersusun secara acak pada saat itu. Sedikit susah dimengert, tidak lain akibat merembesnya pikiran sang penulis yang juga abstrak karena beberapa lembaran kisah hidup yang baru saja ia alami membuatnya sedikit lelah.

Puisi itu menusuk, membuat aku seolah merasa dan benar benar memahami apa yang terjadi dalam keadaan hati sang pembual kata :D . Aku amati rangkaian kata itu hingga mencapai baris terakhir. Berlanjut kebawah, ada postingan baru lain berupa paragraf yang lebih menarik perhatian. Ada sesuatu dalam postingan itu. Beberapa kata terasa tidak asing bagiku. Kata yang sangat familiar dan sangat akrab.

Tanpa aku sadari, senyum mulai menghiasi bibirku yang baru saja merasakan nikmatnya rendang asli buatan tangan perempuan padang. Ada beberapa kata yang pernah aku tulis di tempat lain dan kini aku temukan dalam postingan itu. Tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa hanya kebetulan sama kata-kata dalam postingan itu. Lagipula tak ada kata khusus dan semuanya adalah kata-kata umum yang sama sekali tak menunjukkan bahwa aku memiliki hak paten atas beberapa kata tersebut. Ya, mungkin hanya kebetulan aku terus lanjut membaca. Ketika tiba di akhirlah, aku baru benar-benar yakin bahwa ada aku dalam tulisan itu (lebih tepatnya kata yang menggambarkan tentang aku). sebuah kalimat dari bahasa Indonesia yang di akhirnya ditutup dengan sebuah kata dari kepulauan nusantara yang dibumbui oleh bahasa impor dari belahan bumi bagian utara.

Ada perasaan senang saat aku membacanya. Senyum tiba-tiba hadir menghiasi bibir yang masih merasakan pedasnya masakan urang awak. Hati yang tadi mendung dan lelah kini mulai terasa damai. Awan gelap sudah berganti cahaya pelangi yang indah tanpa dihugungkan oleh hujan. Terima Kasih hadir dari sini, dari penghuni kamar nomor 7 yang tanpa kau sadari merasa tersanjung dan terhibur. Terima kasih karena telah mebuatku tersenyum kala galau ku sedang menjadi-jadi. terima kasih atas semua tulisan itu, yang membuat aku sadar akan keindahan hidup yang kadang tak bisa aku temukan sendiri. Terima kasih telah mengantarkan senyum untuk seseorang disini, seseorang yang sedang membutuhkannya.

Semoga kelak kau dapati langkah yang akan mengajakmu menuju kebahagiaan, Di sini aku akan selalu tersenyum melihat indah dirimu bersama seorang pembimbing yang kau idam. Yang tidak lagi membuatmu pilu, tetapi menemani dan merasakan apa yang kau rasa.

Setidaknya kau akan tersenyum dalam lelapmu ketika suatu malam membaca tulisan ini. Seperti aku yang kini tersenyum dalam pembaringanku setelah membaca apa yang kau tulis.

Minggu, Mei 18, 2014

Indah itu Semu

sore yang mendung di langit kota Malang menjadi saksi kekecewaan seorang laki-laki yang kini sedang berbaring di kamar kos nya yang berantakan. Berbagai jenis dan ukuran kertas bertebaran di ruangan berukuran 3,5 x 3,5 meter yang menjadi tempatnya berteduh selama berada di perantauan.  Wajah itu segera berubah saat berbaring, setelah sebelumnya dia memperhatikan laptop yang sedang menyala. laptop itu kemudian segera ia tutup tanpa menekan tombol off terlebih dahulu. Pun bantingannya agak keras. Wajah tidak senang jelas tampak dari sorot matanya. Ada hal yang membuatnya menjadi lemah saat baru saja ia lihat di laptop barusan. 

ya, memang benar. Baru saja ia melihat seorang wanita berparas manis di laptop itu. Melalui akun facebook nya seseorang baru saja mengupload beberapa foto, sekaligus mengganti foto profil dan juga foto sampulnya. Dengan latar belakang Ranu Kumbolo, tampak sang wanita sedang berpelukan mesra sambil mengalungkan syal klub kebanggaan kota ini bersama seorang laki-laki berparas tampan dan berkaca mata. 

Tampak mereka menghasilkan kehangatan dalam dinginnya suhu di surganya gunung semeru. Tampak dalam foto itu mereka tertawa lepas saat seseorang menjepret momen-momen bahagia mereka ketika itu. Tidak hanya satu kemesraan, tetapi belasan atau mungkin puluhan foto mesra ada dalam akun facebook bernama Melia Putri Hidayati itu. Berbagai pose ia lakukan bersama sang kekasih yang membuat Galih cemburu setengah mati. Ada rasa sesal yang menghinggapi hatinya yang kini menjadi beban berat yang membuatnya benar-benar merasa bodoh. teringat kesalahan besar yang ia lakukan beberapa bulan lalu yang mengantarkan Melia ke pelukan kekasih barunya. Mulai dari berdiri berdampingan, berpegangan tangan, bergandengan, cubit hidung, gendongan dan juga pelukan hadir menghiasi beranda Galih Dharma Ramadhan. terlihat sangat mesra mereka dalam pose-pose itu. Wajah Melia yang putih dengan hidungnya yang mancung terlihat sangat anggun saat senyumnya mengambang. Giginya yang bersusun rapi terlihat membuatnya semakin cantik. begitu sempurna fisik yang Melia miliki hingga wajar penyesalan Galih begitu dalam menyaksikan apa yang ada di foto. Perih sangat ia rasakan ketika salah satu foto menggambarkan Melia sedang berpelukan mesra dengan sang kekasih yang entah dimana ia temukan. 

Tidak ada yang menyadari bahwa ada yang menangis ketika di tempat lain seseorang sedang tersenyum bangga menyaksikan foto yang baru saja ia unggah di akunnya. Sang pengunggah pun, tidak memikirkan apa yang terjadi di rungan kecil sana. Seorang laki-laki tengah berbaring dalam kesedihan dikala ia mempublikasikan foto-foto mesranya. Sama sekali ia tidak tahu apa yang terjadi, bahwa di balik senyum kebanggaannya seseorang tengah meneteskan air mata. Berbaring sendiri tanpa ada yang mencoba menghiburnya. Orang yang seharusnya menjadi penyemangat kini sedang merasakan bunga-bunga tumbuh lebih mekar dari sebelumnya.

Galih berusaha melupakan apa yang baru saja dilihatnya, berusaha untuk tetap tenang, tetapi tiada seorang pun yang mampu membohongi diri sendiri tak terkecuali Galih sendiri. ia berusaha memejamkan mata agar dapat sejenak melupakan semua yang baru saja tertangkap oleh matanya. Dalam gelap ketika ia memejamkan mata, sesosok wanita berkerudung hadir ditemani sebuah cahaya kemilau yang begitu indah. senyum yang tidak berubah sejak dulu, yang sangat dikenali Galih. Senyum bahagia yang sebenarnya ingin ia bagi, namun itu lebih membuat Galih merasa sakit, mengingat senyum yang sama persis dengan senyum yang terdapat dalam foto-foto mesra Melia. 

Galih membuka mata seketika menyaksikan semua itu. pandangan yang seharusnya gelap saat mata terpejam tidak ada, nyata yang terjadi adalah cahaya terang yang tadi hadir. Yang membuat sebuah goresan luka di lubuk hati Galih. Ini cukup menjadi bukti bahwa tidak hanya perempuan yang selalu mengandalkan perasaan dalam bertindak. Ada kalanya juga saat laki-laki tidak mampu mengandalkan logika mereka untuk melangkah. 

Ada pikiran yang menyangkal hati galih yang membuatnya tak bisa melupakan foto-foto yang baru saja dilihatnya. Ketika ia terpejam, matanya seolah melihat ada cahaya di kegelapan yang menampakkan senyum Melia. Ketika mata nya terbuka dan menatap loteng kamarnya, Wajah melia menggoda dengan senyum manisnya . Ketika ia memandang cermin, terlihat dalam cermin itu Melia sedang merangkulnya. Ketika ia keluar dari kamar, tampak kepala Melia muncul dari balik pohon hijau yang sedang tertiup lembut oleh angin sore. Saat ia memandang Syal Arema yang tergantung, terlihat di balik jendela Melia dengan Syal di leher dan jersey arema yang dikenakannya bersiap mengajaknya segera menuju Stadion. 

Aremanita itu benar-benar mebuat Galih tidak lagi punya pegangan sore itu. Mendadak ia tidak memiliki antibodi dalam menghadapi masalah barunya ini. Dia lebih seperti pecundang yang kalah total dan dicap sebagai pengecut. Seorang wanita telah membuatnya rapuh. Membuatnya hilang kendali dan tidak mampu melihat dan membedakan mana yang nyata dan mana yang ilusi. seolah semua baginya sama. dan kini memusingkan kepalanya yang sudah berat oleh tugas kuliah yang terus menumpuk.

Diraih Galih gelas di atas meja yang berisi seperempat cappucino yang hampir dingin. Dia duduk sejenak sambil meneguk minumannya. beberapa saat ia berada dalam diam. Wajahnya tampak sangat kusut. rambutnya yang mulai memanjang melebihi ukuran rata-rata rambut pria terlihat menutupi telinga dan sebagian matanya. Jelas terlihat rambut itu jarang disisir sehabis mandi. 

Kaki Galih melangkah keluar setelah tegukan terakhir kopi cappuchinonya. Dia meninggalkan kamar tanpa menguncinya, meninggalkan laptop di lantai dan 2 buah handphone di atas meja belajarnya. Lembaran-lembaran kertas yang bertebaran bergerak tertiup angin ketika pintu kamar dibuka. Dia terus melangkah hingga pagar, merogoh saku celana pendeknya dan mengambil kunci gerbang yang gantungannya bertuliskan UB, dua huruf besar yang sangat tidak asing di kota ini. 

15 menit kemudian Galih kembali dengan bawaan satu kresek kecil di tangan kanannya. Ia tidak perlu merogoh saku lagi untuk mengambil kunci gerbang, karena gerbang kini terbuka dengan gembok tergantung di bagian atas pagar sebelah kiri. Ia tercenung sejenak menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Ada keraguan di tengah kegalauannya bahwa ia lupa mengunci kembali pagar ketika keluar tadi. Hanya 15 menit yang lalu peristiwa itu terjadi, namun otaknya tidak mampu bekerja mengingat semuanya. Sosok wanita baru saja membendung ruang pikirnya. Membuatnya tak tahu apa yang baru saja terjadi dan tak menyadari secara total apa yang telah ia lakukan. Langkah galih terus menuju ke dalam, melewati beberapa kamar hingga ia sampai di depan pintu kamar yang bertuliskan angka tujuh. Pintu ternganga separoh dan lampu dalam keadaan mati. Cukup bingung ia menyaksikan apa yang terjadi di depannya kini. 

mendadak suasana membawanya terus berjalan hingga menuju kamar mandi. Galih melepaskan hasrat yang sedari jalan pulang tadi mengganggunya. Kresek ia gantung di gagang pintu kamarnya yang setengah terbuka. sekitar 10 menit ia ada di kamar mandi hingga akhirnya keluar dengan wajah yang sedikit lebih fresh. Ia kembali menju kamar nomor tujuh yang entah kenapa kini lampunya telah hidup. Dan kresek yang ia gantungpun kini berada di atas meja belajarnya, disamping dua handphone yang tadi ia taruh. Tetapi tidak ada laptop di lantai. Lembaran kertas juga tidak semuanya lagi sesuai dengan posisi awal saat ia tinggalkan. Dia duduk di kasurnya, disebelah meja belajar, mengambil kresek dan mengeluarkan sebotol big Cola dari kresek tersebut. Juga setelah tegukan pertema Galih mengeluarkan sebungkus rokok dari kresek tadi. 

Kepulan asap sedikit menenangkan hatinya. Menyegarkan otak yang keadaannya tidak dapat di definisikan. Lelah, capek, berat dan sebagainya sedikit terobati setelah ia menghirup nikotin dan tar. Ia menikmati apa yang sedang ia lakukan. tampak jelas ada sedikit kecanggungan saat asap itu keluar dari mulut galih. Sudah lama ia tidak merasakan nikmatnya bahaya Nikotin. 3 tahun lalu, terakhir kali ia mengepulkan asap dari  mulut dan hidungnya. Dan kini, ia kembali melakukan hal yang sama dengan rokok yang sama pula. seorang wanita ternyata lebih dari cukup untuk membuatnya melanggar janji yang dulu ia ikrarkan bersama beberapa orang berandalan. (continyu)

Memelihara dan Memiliki

Aku tidak menginginkan apa-apa dari semua percakapan ini, setidaknya sampai aku menulis ini. Aku hanya tidak ingin percakapan ini berakhir, karena akan sangat susah dan tidak ada alasan untuk kembali memulainya kelak. Jujur, aku tidak berharap terlalu banyak, aku menyadari betapa itu sebenarnya terlalu jauh. Aku terlalu jauh di bawah, dan dalam hal ini aku adalah seorang pecundang yang tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya berani bermimpi dan berkhayal yang bahkan hatipun menolak untuk melakukan semua ini.

Dalam hati, memang aku merasakan kenyamanan saat hubungan itu terjadi. Namun niat yang kini ada terasa sangat tidak pantas melihat keanggunan yang ia miliki. Dia melebihi apapun sementara aku memiliki kekurangan dari siapapun. Sangat bertolak belakang. 

Dalam bahasa kasarnya, aku hanya ingin 'memelihara' agar dia tidak lari begitu jauh. Suatu saat ketika nanti aku merasa sudah pantas, semua itu akan aku ungkap dan akan aku jaga, tidak ada lagi kata 'pelihara' dalam semua ini. 

Di sini, aku mulai benar-benar mempercayai bahwa tuhan selalu mendengar doa setiap umatnya. Tetapi hanya waktu yang tahu kapan tuhan akan menjawab doa-doa itu. Sebatas mana kesungguhan doa itu, dan sejauh mana kita membutuhkan doa itu. Tuhan maha tau apa yang terbaik untuk makhluk yang berdoa padanya.

Dan kini, setelah semuanya berjalan, aku mulai benar-benar bisa memahami makna dari kisah ini. Makna doa yang aku ucap dan sekaligus makna kehidupan yang aku jalani. Dulu aku berdoa agar bisa mengenal dan berinteraksi dengannya, doa yang terbatas yang aku ucap kepada tuhan sambil malu-malu. Kini yang maha kuasa mengabulkannya. Ada sedikit sesal mengapa aku malu-malu dalam berdoa ketika itu. Aku tidak berani mengungkap keinginanku yang sebenarnya di hadapan sang illahi. Aku tidak meminta apa yang sebenarnya ku inginkan ketika itu. Aku tidak berani, bahkan terhadap tuhan yang maha tahu pun aku tidak berani mengungkapkannya.

Sesal itu kini menjadi hal yang sedang aku jalani. Mengapa aku tidak berdoa sedetail mungkin ketika itu. Jika seandainya aku lakukan ketika itu, mungkin tidak akan ada kata 'memelihara' dalam perjalan hidupku ini. Aku hanya berusaha keetika semua ini telah terlanjur terjadi, berusaha agar tidak lepas apa yang akan ku panah. Berusaha untuk mendapatkan apa yang sebenarnya aku ingin namun tak berani ku akui. Bahkan di hadapan Tuhan sekalipun. Betapa aku menyadari rendahnya aku ketika itu. Aku memahami konteks bahwa pembeda manusia di sisi Tuhan hanya dari segi Iman. tetapi tidak bisa dipungkiri, dunia yang kejam ini ikut menggolongkan manusia dalam tingkatan-tingkatan tertentu. Yang membuat aku akhirnya malu mengakui apa yang aku ingin dapatkan. Seolah aku menyatakan bahwa ada ciptaan Tuhan tidak baik. Seolah Tuhan menggolongkan setiap ciptaannya berdasarkan kelas-kelas. Dan itu diawali dengan 'Dia". Banyak hal yang ada padanya yang membuat aku melirik ke atas. 

Setelah semua berjalan, aku mulai memahami bahwa Tuhan memang sebenarnya yang paling kuasa dari apapun. Aku mulai menyadari bahwa tuhan memang tidak membedakan makhluknya dari segi duniawi. Yang aku anggap tinggi dulu kini ada di depan mataku. Aku tidak lagi melirik ke atas, aku hanya perlu menatap ke depan jika ingin melihatnya. God is the Best. 

Aku hanya membutuhkan langkah akhir dari apa yang aku minta kepada Nya dulu. setelah semua ini terjadi tidak lagi aku merasakan ada sekat pembeda. Kuasa Tuhan memang benar ada, dan dia mengetahui apa yang tidak makhluknya ketahui. Dan yang di sana bersabarlah hingga aku mampu mengucap apa yang hari ini masih menjadi rahasia ku dan Tuhan. Yakinlah bahwa ketika tiba saatnya nanti, kau akan memberikan senyum manismu sebagai ungkapan 'Ya' dalam permintaanku yang kelak akan terungkap dalam ketulusan hati. Kata 'pelihara' akan berubah menjadi 'memiliki'

Kamis, Mei 15, 2014

Kuisioner, Flashback Masa Kedekilan

Ucapan suwun yang keluar dari bibirnya sambil menatap dengan muka yang jelas menunjukkan itu keluar dari hati yang benar-benar tulus. bahkan seorang anak kecil pun mengerti, betapa mereka sangat menghargai seseorang yang telah membantu (dalam hal ini membuat hatinya senang). 

terlihat dia terus berjalan mengikuti kami dari belakang yang sedang menuju ke arah pak Subanan. Dia berjalan degan sangat lincah di pematang sawah yang padinya sudah mengeluarkan bulir-bulir yang masih kosong. Sesaat terlihat dia berbelok dan tidak lagi mengikuti kami. Kakinya yang mungil terus melangkah dengan sangat lincah. Di bawah pohon kersen di tengah sawah itu, dia berhenti. duduk di bangku kecil yang ada di sebelahnya. sementara kami terus mengikuti langkah kai pak Subanan yang juga sepertinya mengerah ke sana, satu-satunya tempat yang teduh di tengah sawah yang luas itu. Beberapa mahasiswa terlihat cantik dan gagah dengan Almamater kebesaran kampus mereka. Kampus yang katanya merupakan salah satu yang terbaik di negeri ini. Bisa dikatakan sangat modis pakaian yang mereka kenakan, termasuk aku mungkin saja. Dan itu sangatlah kontras dengan seorang yang kami ikuti. Dia dengan senantiasa menerima kami dengan pakaian sehari-harinya ketika berada di sawah. Dia menerima dengan tangan terbuka dan bersiap akan ke kepoan beberapa saat lagi. 

Dua orang perempuan dari kami mulai membuka percakapan dengan bahasa jawa yang sangat tidak familiar bagiku. Sudah 8 bulan aku berada di tanah jawa. Entah sudah berapa banyak ragam dan macam mahasiswa dan mahasiswi Jawa yang aku temui, beragam pula cocotan yang mereka keluarkan. Namun tak pernah sekalipun bahasa yang dua orang perempuan itu gunakan saat berinteraksi dengan pak Subanan aku dengar. Bahasa yang sama sekali tidak aku pahami maknanya. Kromo halus kata mereka. Bahkan beberapa yang lain yang juga jawa asli tidak bisa berbicara seperti itu. Mereka sedikit paham, namun tidak bisa melakukan interaksi. Ruweet daaahhh..

Beberapa saat aku mendengarkan interaksi dan pertanyaan teman kelompokku yang di landasi kuisioner setebal 28 halaman. Awalnya sedikit aku mengerti karena mereka berbahasa setengah Indonesia. Namun lambat laun, seiring semakin klopnya percakapan mereka, bahasa-bahasa yang tak aku mengertipun keluar. Dan sudahlaahhh.

Aku kemudian pindah memperhatikan sekitar karena semakin pusing dengan bahasa antah barantah yang mereka gunakan. Tanpa satu pertanyaan pun dari kertas kuisioner itu yang keluar dari mulutku. Aku kini lebih tertarik bertanya pada serorang bocah yang tadi duduk di bawah pohon kersen. Bocah yang masih SD yang ketika aku bertanya dia menjawab dengan bahasa Jawa. 

Aku melihat di tangannya, pancingan tanpa pemegang yang panjang talinya sekitar 1 meter. dan di lihat dari mata pancingnya, itu bukanlah mata pancing untuk memancing ikan. Aku sangat familiar dengan benda itu. Dulu ketika seumuran dia, ketika ingusku juga masih belum terhapus, persis seperti Tono (nama si bocah) aku melakukan hal-hal yang sama dengan yang kini menjadi kegiatan sehari-harinya kal libur sekolah. 

jelas saja, tanpa menghiraukan mereka yang sedang sibuk dengan kuisioner, aku mengajak Tono mencari cacing sebagai umpan. Kami berjalan menyusuri pematang sawah mencari cacing. TAk susah, dan cacing itupun kini tewas di tanganku yang tertusuk mata pancing. langsung saja, pancing itu masuk ke lubang yang ada di pinggir sawah. Sangat jarang dilihat, seorang mahasiswa dengan almamater kebanggaannya memancing belut di tengah sawah bersama seorang bocah dekil, kurus dan juga hitam, yang sebenarnya menggambarkan bagaimana ketika aku kecil dulu. Sama persis !! Hitam, dekil, kurus, ingusan. Hanya daerah dan bahasa yang menunjukkan perbedaan masa kecilku dan Tono. Sangat-sangat tidak terawat, namun itulah masa kecil, bukan karena tidak ada perhatian dari orang tua, tetapi itu adalah masa-masa bandel dimana kata-kata orang tua seolah adalah penghalang keceriaan.

Sempat beberapa orang temanku tertawa di tengah Pertanyaan bertubi-tubi yang menyerang pak Subanan. Begitupun beliau, yang tersenyum melihat aku jongkok, menungging dan berjalan di pematang sawah bersama Tono. Satu jam lebih aku berkeliling sawah mencari lubang belut bersama Tono. Beberapa teriakan akhirnya memanggilku untuk segera kembali ke pohon kersen. Kami melakukan foto bersama petani, namun sayang sekali Tono lebih tertarik memainkan game yang ada di hapeku dari pada ikut mengabadikan momen bersama kami. 

Tono, sibocah kecil menyadari bahwa kami telah selesai dengan tugas yang kami lakukan. Dia mengembalikan hapeku dan berjalan lebih dulu meninggalkan kami. Ketika di panggil (sambil memperlihatkan pancingannya yang masih di tanganku), dia menoleh sebentar dan berbalik lagi sambil berkata, "ambil saja untukmu mas" dalam bahasa Jawa yang tidak terdengar jelas. 

Aku kembali memanggil dan dia berhenti lagi, kali ini aku menyusulnya. Beberapa orang telah mulai berjalan meninggalkan persawahan bersama Pak subanan melalui jalan lain. Aku mengembalikan pancingnya yang baru saja menjerat beberapa mulut belut. Kemudian aku merogoh saku dan memasukkan selembar uang dalam saku bajunya yang terlihat kotor (lagi-lagi menggambarkan aku masa lalu). Dan ketika itulah ucapan Suwun keluar dari bibirnya dengan wajah polos yang sangat tulus. Sungguh menggambarkan seorang anak-anak yang membuatku teringat akan masa laluku yang persis sama dengan nya, Juga mengingatkan ku akan adikku yang sedikit lebih tua dari Tono, yang kini aku tinggalkan di Pulau seberang sana. 

Sebelum berpisah, aku menepuk pundak Tono dan memegang kepalanya dengan rambut yang juga persis sama dengan rambutku dulu, sebelum mengenal berbagai macam gaya rambut yang kini menggerayangi kawula muda. kakunya yang kecil dan lincah kemudian meninggalkan ku. dia berlari-lari kecil di pematang sawah yang kecil dan licin. sedikit kesalahan, maka sudah dipastikan air sawah sudah siap membasahi. Tapi Tono tampak sangat hafal dan tidak gamang melintasi jalan yang sangat kecil tersebut. 

Sebuah pengalaman yang mengantarkan ku kembali balik ke pulau sumatera. tempat dimana aku meninggalkan kenangan-kenangan masa kecil yang dulu begitu melekat dalam ingatan hingga kini. Aku merasa ada sesuatu yang di titipkan Tuhan melalui seorang bocah kecil dari desa Ngenep, Karangploso, Malang itu

Rabu, Mei 14, 2014

Datang lagi?

Pernahkah kalian sedikit meluangkan waktu untuk sejenak berfikir tentang kata-kata yang lumrah dan tidak asing di telinga? Mereka sebagian berpendapat, Ketika seorang laki-laki berpikir tentang suatu hal secara logika, sebaliknya dengan kaum hawa. Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa mereka berpikir, bertindak, dan melakukan sesuatu dengan berlandaskan isi hati dan perasaa. Perasaan wanita yang amat lembut dan begitu lunak (katanya). Benar begitu? Mungkin dalam beberapa hal. Tetapi juga ada saat dimana wanita jauh lebih egois dan tidak memiliki perasaan (pendapat berdasarkan pengalaman). 

Aku mengingat kembali masa dikala seragam putih abu-abu sangat akrab dengan tubuh yang dulu begitu kurus seperti pemakai narkoba, pipi yang cekung seperti penghisap ganja, dan mata yang hampir setiap saat merah seperti orang kurang tidur. Jangan dibayangkan karena aku begitu dekil saat itu (sampai sekarang pun masih sama). Hanya saja, disini aku sedikit lebih berisi, sedikit lebih gemuk walaupun susahnya minta ampun mengajak perut berkompromi menyesuaikan dengan makanan yang ada.

Kembali ke masa SMA dulu, ketika aku merasakan cinta monyet (katanya). Seorang siswi berkaca mata menjadi favoritku untuk objek pandang. Itu dulu, dua tahun lalu ketika aku melalui masa yang sebagian orang menganggap masa paling indah yang di lalui dalam hidup. 

2 tahun lamanya, hingga masa SMA berakhir tak ada satupun kalimat positif yang disambutnya dari semua caraku mendekatinya. Selalu sinis, selalu jutek, dan tampang yang sangat tidak menyenangkan ketika dia berhadapan denganku. Entah kenapa, aku sama sekali tidak pernah mendapat perlakuan baik. Sedikit sedih rasanya ketika melihat 2 orang temanku sedang duduk berdua di pojok, tertawa bersama, dan belajar bersama. sementara aku masih menatap dalam diam dan berharap dalam gelap kepada seseorang yang jelas-jelas tidak memberi respon posititif. Ah, sungguh kebodohan benar-benar menggerayangi ketika itu. Dan kini, 2 tahun lebih sejak peristiwa-peristiwa dimana aku memulai kisah itu, dan hampir setahun ketika aku melihatnya terakhir kali di gerbang sekolah kami.

Aku menatap sebuah foto yang kutempel di pintu lemari sejak aku berada di sini. Memang tidak ada wajahnya disana, tetapi foto itu mengingatkan kisah panjang yang aku rajut selama menajdi seorang remaja yang beranjak dewasa. Foto itu sudah cukup mengingatkan dan membawaku ke lamunan masa SMA yang dulu penuh bumbu. Pernah dulu aku hampir menyatakan perasaan, namun taka ada sama sekali kesempatan ia beri. Tanpa respon begitu menyakitkan. Dan itu perlahan membuatku mundur setelah berharap hampir 2 tahun lamanya. 

Lalu, itukah yang namanya perasaan? Dua tahun bukan waktu yang sebentar, dan tak pernah sekalipun aku mendapat tanggapan baik. paling tidak ada hal yang dia katakan untuk menyatakan penolakan. tetapi yang terjadi adalah... ah sudahlah. Tidak baik mengingatnya. 

foto itu aku cabut dari double tip penempelnya, kemudian aku berbaring di kamar yang malam ini begitu sepi, lingkungan yang sangat pas untuk flash back masa-masa kedekilanku dulu. Aku menatap seorang yang ada dalam foto itu. Laki-laki itu berpengaruh besar dalam perjalanan hidup (bukan homo).

Tiba-tiba pantatku bergetar karena handphone yang tak sengaja aku tiduri. Malas rasanya untuk melihat karena sedang dalam keadaan klimaks mengenang kisah zaman dahulu. namun getaran yang membuat tidak nyaman itu membuat aku mau tidak mau harus mengambil dan membuka sms dari hp bututku.

Tertulis nama yang sangat familiar bagiku, namun sangat tidak familiar bagi kotak masuk di hape bututku yang sampai sekarang masih menemani. Aku sangat mengenal nama itu, dan adalah sesuatu yang sangat langka ketika sms itu masuk. Jangankan untuk memulai duluan, bahkan selama 2 tahun sms ku yang di balasnya masih bisa dihitung dengan jari. sungguh miris sekali. Dan kini apa yang terjadi? di bajak kah? sangat tidak mungkin hal itu terjadi jika di lihat dari bunyi sms dan susunan huruf yang tertera. 

Seperti suatu keajaiban ketika sms itu datang. Hanya saja, sangat sayang sekali, sangat-sangat terlambat semua itu datang.Aku bahkan hampir lupa ketika aku menjadi seorang pecundang selama 2 tahun. Dan kali ini, apakah dia akan datang dengan harapan palsu lagi atau dia baru saja menyadari kehadiranku yang selama ini sebenarnya adalah penghias dan warna warni hidupnya? 

Handphone bututku ini kan menjadi saksi apa yang akan terjadi antara kami, adakh hal baru yang akan menyusun hidupku, entahlah. Yang selas handphone butut ini akan mengetahui semuanya, paling tidak hingga dua bulan lagi ketika nanti aku kembali berada di kampung halaman, berada di tempat yang menjadi latar pertemuan dan perkenalan kami dahulu.

Selasa, Mei 13, 2014

Sadarilah

Tidak sadarkah dirimu kini apa yang sedang terjadi, apa yang sedang kau perbuat, apa yang sedang kini kau lakukan, di hadapanku. Tidak kau sadari bahwa yang kau lakukan kini adalah kesenangan semu bersamanya yang akan segera hilang. Dia memang tidak sekedar membuatmu tersenyum, tetapi dia membuatmu nyaman, membuatmu bahagia dan membuatmu tertawa. Seolah sudah yakin dan sudah pasti, bahwa kau akan melangkah bersamanya. Semua yang kau miliki sudah tercurah padanya. Sudah fokus pada satu titik yang kini membuatmu melayang.

Tetapi kau lupa satu hal, kau melupakan hal penting yang kini sama sekali tidak kau ketahui. Kau melupakan sesuatu yang begitu penting. Kau masih belum menyadari siapa kelak yang akan memberikan itu semua padamu. memberikan dengan segala ketulusan yang akan membuatmu melayang dalam sebuah kesadaran.
Sayang sekali, hal terpenting yang kau lupakan begitu mengiris hati. Kau tidak menyadari, seharusnya kau tidak melakukan itu semua tepat di hadapanku. Tidak seharusnya kau mengumbar kemesraan di depan seorang yang kelak akan menghapus deraian air matamu. Dia dengan setengah kebahagiaan denganmu akan mengantarkanmu pada kenyataan kehidupan. Tidak menjanjikanmu kemewahan seperti yang kini ia berikan, tidak juga mengumbar cinta semu seperti dirinya yang sebentar lagi akan sirna.

Memang tidak ada janji kemewahan yang akan kau dapat jika bersamaku, tetapi juga tidak akan ada cinta semu yang aku hadirkan untukmu. Semua akan bertolak belakang dengan yang kini kau hadapi, semua akan berbanding terbalik dengan kenyataan yang sedang terjadi kini.

Begitu mesranya kau bersamanya kini, tidak kah kini kau sadari, bahwa orang yang sebenarnya tempat kau bersandar adalah orang yang kini bukan siapa-siapa bagimu. Dia hanya menatapmu dalam diam. Tidak ada sesuatu yang ia tunjukkan, ia tidak memberikan kode dan sinyal tentang kesalahan yang kau perbuat. Dia hanya duduk manis menunggu kesadaranmu datang. Tetap dalam diam meski kau sempat memperhatikannya. Dia memandangmu tanpa ekspresi, dan juga kau balas dalam ekspresi kosong ketika menatapnya. Satu hal yang tidak kau yakini adalah bahwa suatu saat nanti ketika waktunya tiba, 2 tatapan itu akan bersatu dan berubah menjadi wajah penuh keceriaan. Kau hanya belum menyadari bahwa itu aku.

Sadarlah lebih cepat agar aku tidak menunggumu terlalu lama. Agar aku tidak merasakan luka lebih dalam. Dan agar kau bisa merasakan indah yang sebenarnya. Pada akhirnya kita akan melangkah bersama dalam sebuah kisah hidup yang nantinya akan kita ceritakan kepada keturunan kita kelak.

Senin, Mei 12, 2014

Merah Muda di Pintu Keluar

sangat cukup kemesraannya membuat bulir-bulir mutiara ini jatuh. Tepat di depan mata, hanya berjarak kurang dari 1 meter, kemesraan mereka umbar di depanku. Sungguh hal yang sangat tidak indah terjadi sore ini. Sore yang mendung di langit Malang Utara yang sudah sangat gelap. Kini ditambah suasana hati yang juga mendung akibat 2 insan yang sedang duduk berdua tepat di depan mata. Mengumbar kemesraan mereka yang semakin hari semakin intim

Sejenak terlihat sangat indah dia dengan kerudung merah mudanya ketika keluar dari ruangan di lantai 2. Selaras dengan wajahnya yang putih berseri, sungguh cantik dan itulah keindahan dunia. Sempat aku lihat dengan jelas wajah itu ketika aku berdiri di depan pintu. Dalam jarak yang sangat dekat, tampak lebih cantik dia dari sebelumnya. terlihat jelas kelembutan di raut wajah itu. Mata ku tak berpaling sedikitpun dari apa yang kini aku lihat, sampai di sebuah kursi dia duduk bersama seorang yang sehari-hari selalu terlihat bersamanya. Langsung saja tanpa aba-aba, tanpa kode, dalam cuaca mendung di dada ketika itu, petir mulai sambar menyambar semakin menggelegar seirama dengan semakin mesranya mereka kini.

Tak kuasa berlama-lama melihat kejadian ini, aku berusaha melangkahkan kaki menuju keruangan sesegera mungkin di tengah padatnya pintu ketika itu. Jadilah aku berdesak-desakan dengan mereka yang keluar ruangan dan juga yang masuk ke ruangan, tersendat di lubang penghubung yang hanya kurang lebih 1,5 meter.

Entah apa yang kini mereka perbuat, tidak lagi leher ini mau berpaling, tidak lagi mata ini menjadi ingin menatap, dan tidak lagi hati ini menyruh otak untuk membayangkan keindahan bersama sang pujaan. Hanya saja tak terelakkan bahwa rasa suka itu tidak hilang begitu saja hanya karena sebuah kemesraan yang dia perbuat dengan orang lain.

tidak ada hak sama sekali untuk aku melakukan apapun. Aku bukan siapa-siapa. Dia juga kini tidak ada hubungannya denganku. Pun begitu juga dengan pacarnya itu. Bahkan sama sekali kami belum pernah berinteraksi sekalipun, walau sudah memasuki tahun bulan ke 8 sejak pertemuan pertama dulu, kecuali tatapan mata dari jarak yang jauh yang dulu sering terjadi. Selebihnya sama sekali tidak ada dan tidak pernah.

pernah beberapa kali dulu, dulu ketika dia belum memiliki pacar, aku berselisih dengannya. sangat jelas, sangat jelas ketika itu, mata kami beradu pandang lebih dari 5 detik, waktu yang tergolong lama untuk sebuah tatapan mata dengan seorang yang membuat dada berdebar. Namun ketika jarak semakin mendekat, semua berubah, mata berusaha mencari objek yang lebih menarik (meski sebenarnya tidak ada) dan tepat ketika jarak semakin dekat........................ Tidak ada sama sekali sesuatu yang spesial. Layaknya dua orang manusia yang tidak mengenal satu sama lain sedang berselisih di jalan umum.

Begitulah, ketika tidak ada keberanian untuk mengungkap dari awal dulu, ketika puncak rasa itu sedang mendidih di dada. Paling tidak, akan ada interaksi dan aku menjadi saksi dalam kebahagiaannya. Setidaknya ucapan selamat akan keluar dari bibirku dengan keikhlasan dari hati ketika dirinya menemukan seorang yang bisa membuatnya tersenyum setiap waktu

Minggu, Mei 11, 2014

Malam Minggu di Gazebo

Langkah 4 orang mahasiswa terdengar tidak beraturan di jalan raya yang sedang sesak dan penuh putaran roda kendaraan bermotor. Diam sejenak di pinggir jalan, menunggu jalanan sedikit sepi kemudian bergerak cepat melintas agar tidak di sambar sang penguasa jalan. Tampak keramaian mulai terlihat. Parkiran gazebo sudah dipenuhi kendaraan begitu juga halaman depan laboratorium pengolah kompos. Penuh sesak oleh motor yang terparkir tanpa pemilik.

Tepat di depan kami ada sebuah pagar sekitar 2,5 meter yang menghubungkan jalanan dengan gazebo utama kampus. Sudah pasti gerbang tersebut ditutup karena memang belum diresmikan penggunaannnya. Tidak ada plihan lain bagi selain memanjat pagar agar lebih cepat sampai ke tujuan. Memang sebenarnya gerbang utama yang siap sedia buka 24 jam tidak terlalu jauh, tetapi kalah dekat dibandingkan gerbang kecil yang masih tersegel ini. 

Tidak sampai menghabiskan waaktu 20 detik untuk memanjatnya hingga sampai ke seberang. Kalah jauh dibandingkan melewati gerbang utama yang harus memakan waktu paling cepat 2 menit lagi. Ketika sampai di balik gerbang, pemandangan yang terlihat jauh lebih menarik dari ketika masih di jalan tadi. Tampak dari belakang panggung, beberapa warna menghiasi area gazebo malam ini. Cahaya lampu sorot yang dibentuk dan bergerak sedemikian rupa, sangat jelas menggambarkan acara seni yang tengah berlangsung. Puncak acara yang berlangsung pada ULTAH UKM SENI KE 34 ini berjalan cukup meriah. Gazebo memang tidak disesaki pengunjung, tapi keramaian dapat terlihat dari stan-stan yang ada yang mengatakan dagangan mereka laris manis. 

Beberapa orang terlihat sedang menikmati acara ketika kami berjalan di trotoar kampus. Mencari pintu masuk sambil menikmati udara gazebo yang tergolong asri dibandingkan fakultasku yang sedikit lebih panas. Ada banyak orang yang tidak aku kenal disana. Wajah wajah aneh menghiasi malam minggu yang bagiku biasanya selalu suram. Yoga berjalan ke sisi kanan panggung dan menemukan tempat sepi yang sangat bagus untuk menikmati acara. Tanpa diajak pun aku, Reza dan Adi mengikuti langkah kaki Yoga ke sudut yang ternyata dekat dengan pintu keluar. 

Beberapa saat lamanya 4 orang kumbang yang malam ini tidak menemukan kembangnya menikmati acara seni yang disuguhi puisi, tarian kuda lumping, dan mendengarkan nada-nada tak jelas dari Rektor yang baru saja berakhir masa jabatannya. Kemudian ditutup dengan alunan indah paduan suara yang baru saja terbang ke Italia untuk mengikuti lomba tingkat internasional. 

Kami pindah bertepatan dengan lagu pertama dari paduan suara berakhir. Mencari tempat yang view nya lebih baik untuk melihat wajah-wajah bening yang kebanyakan tanpa kerudung ada di atas panggung. Beberapa wajah di sana sudah tidak asing lagi ternyata, karena berasal dari fakultas yang sama. Alunan-alunan indah terus melantun dari anugerah tuhan yang diberikan pada mereka. Suara indah itu menghibur banyak orang yang membuat penikmat khidmat mengikuti satu kesatuan suara di atas panggung. Terdengar hening beberapa saat dibuai oleh indahnya suara yang telah melalang buana ke berbagai negeri. Yang menjadi salah satu andalan kampus untuk berbicara dalam dunia internasional.

Begitu sang dirigen menutup penampilan mereka, tepuk tangan terdengar riuh berirama dari para penonton, dan baru berhenti ketika mereka mulai menghilang di balik panggung. Suasana kembali heboh seketika setelah beberapa saat lamanya terdiam, ternganga dan terlena oleh buaian indah suara lembut yang bersatu padu menjadi satu. Acara pun terus berlanjut.

Tak sengaja ketika menghadap ke belakang, sebuah banner sebagai latar belakang foto tampak bergerak tertiup angin malam. Aku mengajak 3 orang kawanku yang masih menatap ke panggung untuk mengabadikan momen malam ini. Bertepatan dengan itu, kepala ku di jitak oleh seseorang yang langsung saja menghilang. Dalam kaget aku berusaha mencari tangan jahil siapa yang menyentuh kepalaku. Rasanya feellingku tidaklah salah, dan ternyata memang benar. Tubuh agak gemuk dengan rambut kusut tak kuasa menahan tawa melihat kebingunganku mencari sang pelaku. Dialah Wahid, salah satu teman akrab dan teman pertamaku semenjak resmi menjadi mahasiswa di tanah jawa ini. 

Dan sangat kebetulan sekali karena dia saat itu sedang menenteng Kamera SLR bermerk Cannon, tepat disaat aku baru saja mengajak mereka berfoto di depan banner. Kami berjalan menuju banner dan bersiap dalam antrian. Hanya beberapa detik saja setelah itu kami mendapat kesempatan. Beberapa jepretan diabadikan wahid. Dan sesi foto pun selesai dengan gaya pose yang sangat amburadul. Sangat tidak ada bakat menjadi seorang model. 

Ketika aku hendak kembali menikmati acara, tampak disamping banner duduk orang yang aku kenal. Ternyata masih ada beberapa yang aku kenal setelah di awal tadi aku berasumsi tidak ada yang aku kenal di sini. Aku menyapanya, perempuan berkerudung yang kali ini memakai kacamata bingkai putih. dan dia membalasnya dengan senyuman. Senyuman indah yang disinari lampu sorot warna warni yang bergerak kesana kemari. Manis sekali dia tampak malam itu. Ingin aku memujinya, tapi tidak jadi. Tidak ada alasan penting bagiku ketika itu. Aku hanya teman biasa yang ketika bertemu hanya saling senyum. Lebih tepatnya teman satu program studi yang aku kenal lewat kepanitiaan dalam penutupan ospek jurusan beberapa bulan yang lalu. 

Beberapa kali aku melirik ketempat dia duduk. Bukan apa-apa, ini diluar kesadaran, mata seolah dengan sendirinya selalu berada di luar kendali. Ingin melihat lagi senyum manisnya yang indah yang dibayangi sinar lampu temaram warna warni yang menyorot wajahnya dari atas panggung. 

Rabu, Mei 07, 2014

Pandangan itu Tidak Berubah

Aku berjalan menuju tangga setelah keluar dari laboratorium pemuliaan tanaman setengah jam setelah azan zuhur berkumandang. Masih dengan menggunakan jas lab sambil menyandang tas, aku melangkah bersama erwin. teman sekelas ku yang juga berasal dari sumatera. Dia menenteng laptopku yang masih dalam keadaan terbuka. Mencari tempat untuk meletakkan laptop karena ada beberapa data yang akan dia pindahkan dari laptopku.   Di lorong sekitar 4 meter itu, dia berhenti dekat sebuah tangga.Tepat di depan tong sampah kecil dan meletakkan laptopku di sana. Di dekat tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua dan juga menjadi jembatan antara 2 laboratorium, yaitu pemuliaan tanaman dan fisiologi tumbuhan di gedung megah berlantai tiga ini. Tampak beberapa orang keluar dari lab fisiologi juga dengan mengenakan jas lab yang sama denganku.

Beberapa saat aku memperhatikan Erwin yang tengah asik dengan laptopku. Memindahkan data tugas kelompok yang harus segera di kirim untuk diolah kembali. Dijadikan makalah dan di jadikan power point untuk bahan  presentasi. Beberapa orang terlihat berdiri dan berfokus pada satu titik di tengah-tengah mereka. tampak ada sesuatu ayng sedang mereka bahas. sejenak pandangan ku terdiam di sana. 4 orang perempuan dan satu laki-laki sedikit gemuk dan tinggi dengan kacamata berbingkai hitam. di samping laki-laki yang tidak kuketahui namanya ini, berdiri seorang wanita berhijab dengan warna ungu tua dan baju ungu serta jeans panjang sedikit ketat yang menutupi lekuk-lekuk tubuhnya. sesaat aku sangat hafal body seperti itu. Postur tubuh yang sangat aku kenali karena dulu selalu menjadi perhatianku saat masih semester awal. Aku memandang dengan terkadang sedikit mengelak ketika dia memandang lurus kepadaku. Aku kenal betul orang itu. tapi apakah dia juga mengenal aku, entahlah. Yang jelas matanya yang liar selalu akan menjadi saksi apakah memang benar dia mengenalku atau tidak. 

pandangan itu ternyata masih ada. Masih tidak berubah bahwa mata itu masih tetap terus ingin memandang seorang yang sedang tengah di dera kegalauan ini. dia tidak berubah. sama sekali ia tak berubah meski sekarang ada orang lain yang telah memilikinya. Ada tempat kemana dia seharusnya memandang. Bukan kepadaku yang jelas-jelas sampai saat ini belum pernah berinteraksi dengannya. Ada seseorang kini yang seharusnya menjadi perhatian utama, ada yang telah memilikinya dan membimbingnya, telah ada orang yang selalu berada di sisinya kini. Jujur itu sungguh membuat aku sedikit kecewa dan merasa bodoh. Seandainya di kesempatan dulu, ketika melakukan fieldtrip di Jatikerto, ada kesempatan untuk aku bisa berbicara, namun ketiadaan keberaniaan membuat hanya diam yang menguasai tubuh ketika itu. sangat menyesal hingga kini atas apa yang aku lakukan ketika kesempatan yang datang ternyata memang hanya satu kali. di tambah kedekatannya yang semakin menjadi-jadi dengan laki-laki tinggi berkacamata dan agak gemuk itu. 

Laki-laki itu tidak mengetahui bahwa pandangan mata anggit ketika itu adalah aku. Tepat berada di samping sang kekasih, Anggit tetap memasukkan bayanganku dalam bola matanya yang hitam. Seolah hidung mancungnya menghembuskan napas dengan namaku mengalir di dalamnya. Tidak ada senyum ketika itu, hanya sabuah pandangan yang terus berusaha untuk memperhatikan gerak gerikku.

Aku adalah laki-laki. Aku tahu apa yang sedang diperbuatnya. aku sangat paham bahwa pandangan ini adalah pandangan awal saat pertama kali bertemu. Pandangan awal ketika masih menjalani masa ospek. Sama sekali tidak berubah. Ada ketertarikan lebih dari sorot mata yang anggun itu. Ada keinginan untuk dapat melihatnya setiap hari. Ada keinginan  untuk dapat memilikinya. Dan itu sangat sulit. Tidak ada keberanian adalah penghalang dari semuanya. Posisi sebagai anak rantau yang hidup jauh dari kecukupan, membuat anggit terlalu tinggi untuk di gapai. Seolah dia berada di eklas yang jauh lebih atas dibandingkan posisi ku saat ini.

Niat untuk menyatakan aku menyukainya, tidak pernah terealisasi akibat tertimbun oleh keadaan yang tidak memungkinkan. Terkubur jauh di dasar dan belum saatnya untuk di bangkitkan. Waktu terus berlalu dan terus berputar meninggalkan ketidakberanianku. Aku mulai mencoba untuk lupa dan berusaha memainkan peranku sebagaimana posisiku yang ada di bawah. Jauh di atas sana sesosok anggit brdiri dengan anggun siap menanti sang pembimbingnya.

Beberapa bulan berlalu tanpa ada pertemuan karena jadwal yang berbeda. Lalu tiba-tiba hari ini, ketika aku yang seharusnya berada di lab genetika dipindah ke lab pemuliaan, memberikan kesempatan ku untuk melihat sang pujaan yang kini telah merajut kemesraan dengan orang lain. Sakit memang, ketika sentuhan-sentuhan hangat terjadi diantara mereka, tapi tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain suatu harapan agar senyumnya selalu mengembang, bersama siapapun dan siapapun yang ada di sisinya. Itu sudah membuat getaran hati ini mengalun indah.

Aku berjalan dan memandang ke depan dan dia tertangkap jelas sedang melihat wajahku yang sedikit mengantuk. Mungkin memang kalah jauh dibanding kekasihnya yang berkonstruksi wajah dan layak disebut ganteng. tapi ketulusan yang aku pancarkan lewat mata juga kalah jauh dari yang diberikan pacarnya. seolah dia mengetahui semua itu. Mata anggit berulang kali tertangkap sedang memandangku. PAndangan dan sorot mata yang tetap tidak berubah sejak 8 bulan yang lalu, sejak ketika dia belum memiliki 'peliharaan' yang akan membuatnya berderai air mata beberapa saat lagi. Aku sangat meyakini itu, karena ketulusan yang sebenarnya untuk seorang anggit ada dalam diriku. Hanya ada 1 ketulusan yang benar-benar sejati dan itu adalah aku. Mungkin hanya waktu yang belum memberikan jawaban kepada Anggit secara utuh. Hanya sorot mata yang seolah meyakinkanku bahwa sedikitnya anggit menyadari keberadaanku. Meski tiada satu kali pun interaksi pernah terjadi di antara kami. Tatapan matanya seolah masih mengatakan keraguan yang tengah berkecamuk. Dia menyadari akan kehadiranku, namun belum  ada keyakinan yang utuh untuk benar-benar meyakinkan. Dia menyadari kehadiranku yang ingin bersamanya, namun dia belum meyakini sepenuhnya, ketulusan dan kesungguhan kah yang akan aku hantarkan???

Dulu aku hanya butuh keberanian jika seandainya kesungguhan benar-benar aku miliki. NAmun sayang sekali kesungguhan yang hampir matang itu harus terkubur oleh perbedaan kasta antara kami. Lalu kini? Ketika seorang telah mendapatkan hatinya, aku juga malah ingin berharap lagi dengan rasa yang lebih menggebu-gebu. bersiap menjadi orang ketiga atas kesalahnku sendiri di masa lalu. jika dulu aku berani mengungkap yang ada di hati, meski tidak ada jawaban pasti, paling tidak aku telah menyatakan apa yang aku yakini. Apapun yang terjadi kemudian tergantung dari keputusannya. Sayang sekali itu sudah terlambat. Jikapun kini tertaklukkan, akan ada yang menghalangiku terlebih dahulu sebelum hati itu benar-benar bisa ku gapai. Anggit tidak akan lepas genggaman begitu saja dari sang pacar. Masih ada secuil cinta yang akan mempertahankannya. Tergantung penilaian anggit selanjutnya dan langkah yang akan dia lakukan setelah itu. Apakah ia memilih secuil cinta lewat nafsu, atau memilih ketulusan nyata yang aku bawa jauh dari seberang laut sana hanya untuk seorang agdis jawa yang begitu elok. 

terlepas dari semua itu, sedikit syukur tetap terucap di hatiku yang kini teriris melihat kemesraan yang mereka umbar. Aku sedikit senang karena mata itu tidak berubah. tetap memilih aku sebagai objek pandangnya. tetap dengan cara yang sama seperti awal dulu. ketika belum ada peliharaan yang selalu mengawalnya. Aku hanya bisa berdoa semoga kini ia tengah tersasar mennuju hatiku yang sebenarnya jauh lebih indah. keindahan nyata yang ada dariku untuknya, tidak seperti keindahan semu dalam masa pencariannya yang kini masih terus berlanjut. Selamat berjuang anggit. teruslah tersenyum dan teruslah mencari jalan, karena hatiku telah menunggumu di sini. Jangan sampai menyerah hingga kau benar-benar jatuh di pelukanku. Aku juga akan berjuang untuk persiapan masa depan indah yang akan kita rajut bersama. teruslah melangkah hingga hati ini bisa kau lihat dengan jelas cahaya ketulusan yang akan kuberi.

Minggu, Mei 04, 2014

[Bab 1] Dia

                Tidak lagi bisa menyalahkan siapa-siapa jika seandainya rasa ini benar-benar muncul. Pertemuan yang sering meski tanpa komunikasi dan kontak melahirkan sesuatu yang terasa aneh dalam jiwa. Ada sedikit hal yang tidak biasa namun juga sulit dijelaskan. Terlalu sulit untuk diterjemahkan bagaimana rasanya kini ketika rasa aneh itu hadir. Kata-kata seolah kini menjadi pecundang yang tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa menerjemahkannya. Dan juga dia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Kata-kata seolah tidak lagi penting ketika semuanya sudah menjurus pada masalah hati dan perasaan. Ada keadaan dimana keindahan menghiasi hati saat konstruksi wajahnya itu ada di pelupuk mata. Dan apabila tersenyum, sungguhlah sangat indah bentuknya. Paras sempurna yang diberikan tuhan, Keindahan nyata yang membuat hati bergetar dan darah berdesir saat berada di hadapannya.
                Aku tidak bisa berbohong pada siapapun bahwa sebenarnya kaum hawa yang satu ini begitu mengguga hati. Ada rasa saat dia hadir, dan ada rindu ketika dia tak menampakkan diri. Kadang rasa yang tidak terungkap itu sedikit menyiksa karena hanya berani berbicara di dalam, namun keberanian juga tak kunjung segera datang untuk menuntaskannya. Mata ini begitu ingin memandang selama mungkin. Melihat corak wajah, dan bahkan memperhatikan dengan seksama pori-pori wajah mulus yang sama sekali tidak di tumbuhi jerawat itu. Waktu yang berjalan mulai menjawab apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan aku ulai mengerti. Aku mulai memahami kehidupan yang sebenarnya kini terjadi. Keadaan dan lingkungan kini membuat aku tahu apa yang sebenarnya di inginkan bathin yang Selama ini menjadi petanyaan tak terjawab dan sedikit menyiksa.
                Mereka pada hari tertentu selalu terlihat berdua. Saling bermanja dan menampakkan kemesraan. Kadang terlihat menangis atau raut wajah sedih. Namun mereka tak pernah sendiri. Setiap kondisi, senang, sedih, kacau selalu ada satu wajah lain yang menunjukkan ekspresi sama. Beberapa kawan ku tak pernah merasa sendiri. Rasa hati yang mereka rasakan selalu dirasakan oleh dia yang selalu ada di sisinya. Seolah masing-masing dari mereka tidak pernah merasa sendiri karena selalu ada belahan yang menemani mereka setiap saat di setiap hal.
                Aku pernah merasakan hal yang sama beberapa waktu yang lalu. Dulu, ketika seorang kaum hawa bernama vivi menjadi bagian daari hari-hariku. Dulu, dulu sekali ketika semua itu sangat jauh dari yang terjadi sekarang, aku pernah merasakannya. Aku sangat paham dan mengerti, begitu nyaman ketika semua itu dijalani bersama. Sangat indah hari yang dilalui meski di iringi masalah. Selalu ada senyum dan semangat yang hadir ketika sebuah masalah datang menghampiri. Badai masalah yang datang, adalah  bumbu penyedap dalam menghadapi hari-hari indah bersamanya. Tapi itu dulu. Sudah menjadi masa lalu kini. Dia telah punya jalan lain untuk menuju kebhagiaannya, dan aku pun kini memiliki ajlan lain untuk menemukan kebahagianku. Kebahagiaan yang nyata bersama seseorang di sini yang masih dalam pencarian. MAsih belum berjumpa sang bidadari yang akan membawa aku dalam kehidupan penuh lika-liku yang bahagia. Mengahnyutkan aku dalam masalah-masalah yang akan dihadapi bersamnya kelak. Menumbukan pohon bernama keluarga bersamanya.
                Siapa? Entahlah, yang jelas aku akan menemukannya di sini. Langkah kaki meninggalkan kampung halaman dan pergi jauh ke tempat antah berantah ini akan menuai hasil yang aku yakini sesuai dengan harapanku. Aku sudah bertemu berbagai macam orang di sini, bertemu berbagai macam sifat, dan juga bertemu berbagai macam karakter. Latar belakang kultural yang berbeda, dan kini aku berada di tempat yang sama sekali budayanya berbeda, menunjukkan kayanya negeri ini. aDalah sebuah kewajaran saat menyatukan berbagai perbedaan itu terasa sangat sulit.

                Kini, memasuki bulan ke 4 aku berada di sini, seorang perempuan tidak berjilbab mulai menjadi perhatianku. Ada kenyamanan saat memandangnya. Tubuh semoknya menghadirkan keindahan sendiri. Sorot matanya yang lembut jelas terlihat di balik kaca mata minus dengan bingkai hitam yang ia kenakan setiiap hari. Sebuah acara puncak di fakultas mengenalkanku pada wajah itu. Beberapa orang yang aku kenal juga mengenalnya. Sempat kami mengabadikan momen secara bersama-sama dengan latar belakang ny banner acara tersebut. Entah apa yang terjadi sebelum-sebelumnya, yang jelas tiba-tiba saja beberapa saat sebelum jepretan pertama, aku berdiri tepat di sampingnya. Bahu kanannya menyentuh bahu kananku. Dengan jelas aku lihat dengan sudut mata, ujung kepalanya sama dengan leher bagian atasku. Jadi jika aku berpikir sedikit nakal, seandainya aku mengecupnya, kecupan itu akan mendarat tepat di keningnya yang cukup lebar.
                Cahaya flash dari jepretan pertama sedikit mengagetkan lamunanku tentang kecupan yang tengah berlangsung. Sontak aku terkaget dan reflex melihat dia yang berada di sisiku ketika itu. Baju pink mengkilat yang menutupi tubuh bagian atasnya terlihat sedikit memantulkan lampu temaram panggung yang berada tidak jauh dari sisi kami melakukan pemotretan. Juga wajahnya yang sedikit mengkilat karena minyak ikut memantulkan kerlap kerlip lampu malam itu. Beberapa jepretan selesai ketika lagu mars aribisnis berkumandang. Kami menikmati acara beberapa saat dan mulai berangsur meninggalkan kampus beberapa waktu kemudian ketika acara mulai tampak membosankan. Tepat di sebuah jalan besar di tengah kampus, kami mulai berpisah, beberapa orang berbelok ke kiri, beberapa lainnya, tetap lurus melewati gedung bertingkat di kedua sisinya, sementara aku dan juga beberapa yang lain berbelok ke kiri.

                Di perjalanan pulang, aku memandangi sebuah smartphone yang di dalamnya ada beberapa foto yang baru saja di abadikan. Seorang diri aku memandanginya sementara mereka sangat rebut di depanku. Fokusku tertuju pada bagian kiri, dimana aku berada paling sudut kemudian perempuan yang tadi berbaju ping, berada tepat di sebelahku. Memang benar prediksi dalam khayalanku tadi, memang jika aku mengecupnya, maka kecupan itu tepat jatuh di jidatnya. Terlihat cantik ia dengan tubuh semoknya. Dan tampak sangat dewasa denan kacamata yang ia pakai. Sorotan matanya menunjukkan dia tidak lagi seorang anak manja yang terus bergantung pada orang tua. Ada sosok kedewasaan dalam dirinya. Hanya saja, aku tidak tahu namanya. Ingin aku bertanya kepada mereka yang kini ribut di depanku. Tetapi untung saja niat itu segera terurung karena pikiran ku tiba-tiba saja melintas, bahwa akan terjadi sesuatu jika aku menanyakannya. Akan ada bullyan besar seandainya keinginanku barusan  tak tertahan. Aku membatalkannya dan terus berjalan dengan membawa sebuah rasa penasaran dan ingin tahu yang sedikit menyesak hati.