Kamis, Mei 15, 2014

Kuisioner, Flashback Masa Kedekilan

Ucapan suwun yang keluar dari bibirnya sambil menatap dengan muka yang jelas menunjukkan itu keluar dari hati yang benar-benar tulus. bahkan seorang anak kecil pun mengerti, betapa mereka sangat menghargai seseorang yang telah membantu (dalam hal ini membuat hatinya senang). 

terlihat dia terus berjalan mengikuti kami dari belakang yang sedang menuju ke arah pak Subanan. Dia berjalan degan sangat lincah di pematang sawah yang padinya sudah mengeluarkan bulir-bulir yang masih kosong. Sesaat terlihat dia berbelok dan tidak lagi mengikuti kami. Kakinya yang mungil terus melangkah dengan sangat lincah. Di bawah pohon kersen di tengah sawah itu, dia berhenti. duduk di bangku kecil yang ada di sebelahnya. sementara kami terus mengikuti langkah kai pak Subanan yang juga sepertinya mengerah ke sana, satu-satunya tempat yang teduh di tengah sawah yang luas itu. Beberapa mahasiswa terlihat cantik dan gagah dengan Almamater kebesaran kampus mereka. Kampus yang katanya merupakan salah satu yang terbaik di negeri ini. Bisa dikatakan sangat modis pakaian yang mereka kenakan, termasuk aku mungkin saja. Dan itu sangatlah kontras dengan seorang yang kami ikuti. Dia dengan senantiasa menerima kami dengan pakaian sehari-harinya ketika berada di sawah. Dia menerima dengan tangan terbuka dan bersiap akan ke kepoan beberapa saat lagi. 

Dua orang perempuan dari kami mulai membuka percakapan dengan bahasa jawa yang sangat tidak familiar bagiku. Sudah 8 bulan aku berada di tanah jawa. Entah sudah berapa banyak ragam dan macam mahasiswa dan mahasiswi Jawa yang aku temui, beragam pula cocotan yang mereka keluarkan. Namun tak pernah sekalipun bahasa yang dua orang perempuan itu gunakan saat berinteraksi dengan pak Subanan aku dengar. Bahasa yang sama sekali tidak aku pahami maknanya. Kromo halus kata mereka. Bahkan beberapa yang lain yang juga jawa asli tidak bisa berbicara seperti itu. Mereka sedikit paham, namun tidak bisa melakukan interaksi. Ruweet daaahhh..

Beberapa saat aku mendengarkan interaksi dan pertanyaan teman kelompokku yang di landasi kuisioner setebal 28 halaman. Awalnya sedikit aku mengerti karena mereka berbahasa setengah Indonesia. Namun lambat laun, seiring semakin klopnya percakapan mereka, bahasa-bahasa yang tak aku mengertipun keluar. Dan sudahlaahhh.

Aku kemudian pindah memperhatikan sekitar karena semakin pusing dengan bahasa antah barantah yang mereka gunakan. Tanpa satu pertanyaan pun dari kertas kuisioner itu yang keluar dari mulutku. Aku kini lebih tertarik bertanya pada serorang bocah yang tadi duduk di bawah pohon kersen. Bocah yang masih SD yang ketika aku bertanya dia menjawab dengan bahasa Jawa. 

Aku melihat di tangannya, pancingan tanpa pemegang yang panjang talinya sekitar 1 meter. dan di lihat dari mata pancingnya, itu bukanlah mata pancing untuk memancing ikan. Aku sangat familiar dengan benda itu. Dulu ketika seumuran dia, ketika ingusku juga masih belum terhapus, persis seperti Tono (nama si bocah) aku melakukan hal-hal yang sama dengan yang kini menjadi kegiatan sehari-harinya kal libur sekolah. 

jelas saja, tanpa menghiraukan mereka yang sedang sibuk dengan kuisioner, aku mengajak Tono mencari cacing sebagai umpan. Kami berjalan menyusuri pematang sawah mencari cacing. TAk susah, dan cacing itupun kini tewas di tanganku yang tertusuk mata pancing. langsung saja, pancing itu masuk ke lubang yang ada di pinggir sawah. Sangat jarang dilihat, seorang mahasiswa dengan almamater kebanggaannya memancing belut di tengah sawah bersama seorang bocah dekil, kurus dan juga hitam, yang sebenarnya menggambarkan bagaimana ketika aku kecil dulu. Sama persis !! Hitam, dekil, kurus, ingusan. Hanya daerah dan bahasa yang menunjukkan perbedaan masa kecilku dan Tono. Sangat-sangat tidak terawat, namun itulah masa kecil, bukan karena tidak ada perhatian dari orang tua, tetapi itu adalah masa-masa bandel dimana kata-kata orang tua seolah adalah penghalang keceriaan.

Sempat beberapa orang temanku tertawa di tengah Pertanyaan bertubi-tubi yang menyerang pak Subanan. Begitupun beliau, yang tersenyum melihat aku jongkok, menungging dan berjalan di pematang sawah bersama Tono. Satu jam lebih aku berkeliling sawah mencari lubang belut bersama Tono. Beberapa teriakan akhirnya memanggilku untuk segera kembali ke pohon kersen. Kami melakukan foto bersama petani, namun sayang sekali Tono lebih tertarik memainkan game yang ada di hapeku dari pada ikut mengabadikan momen bersama kami. 

Tono, sibocah kecil menyadari bahwa kami telah selesai dengan tugas yang kami lakukan. Dia mengembalikan hapeku dan berjalan lebih dulu meninggalkan kami. Ketika di panggil (sambil memperlihatkan pancingannya yang masih di tanganku), dia menoleh sebentar dan berbalik lagi sambil berkata, "ambil saja untukmu mas" dalam bahasa Jawa yang tidak terdengar jelas. 

Aku kembali memanggil dan dia berhenti lagi, kali ini aku menyusulnya. Beberapa orang telah mulai berjalan meninggalkan persawahan bersama Pak subanan melalui jalan lain. Aku mengembalikan pancingnya yang baru saja menjerat beberapa mulut belut. Kemudian aku merogoh saku dan memasukkan selembar uang dalam saku bajunya yang terlihat kotor (lagi-lagi menggambarkan aku masa lalu). Dan ketika itulah ucapan Suwun keluar dari bibirnya dengan wajah polos yang sangat tulus. Sungguh menggambarkan seorang anak-anak yang membuatku teringat akan masa laluku yang persis sama dengan nya, Juga mengingatkan ku akan adikku yang sedikit lebih tua dari Tono, yang kini aku tinggalkan di Pulau seberang sana. 

Sebelum berpisah, aku menepuk pundak Tono dan memegang kepalanya dengan rambut yang juga persis sama dengan rambutku dulu, sebelum mengenal berbagai macam gaya rambut yang kini menggerayangi kawula muda. kakunya yang kecil dan lincah kemudian meninggalkan ku. dia berlari-lari kecil di pematang sawah yang kecil dan licin. sedikit kesalahan, maka sudah dipastikan air sawah sudah siap membasahi. Tapi Tono tampak sangat hafal dan tidak gamang melintasi jalan yang sangat kecil tersebut. 

Sebuah pengalaman yang mengantarkan ku kembali balik ke pulau sumatera. tempat dimana aku meninggalkan kenangan-kenangan masa kecil yang dulu begitu melekat dalam ingatan hingga kini. Aku merasa ada sesuatu yang di titipkan Tuhan melalui seorang bocah kecil dari desa Ngenep, Karangploso, Malang itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar