Jumat, Mei 23, 2014

Hijau, Hitam Berkilauan

Sinyal itu sepertinya ada, namun sayang sekali tidak ada balasan yang membuat sinyal itu benar-benar terasa ada. Bukan terlalu percaya diri, tetapi ketika sekilas terlihat wajah itu menampakkan cahaya yang sangat meyakinkan. Paling tidak ada sinyal yang menyatakan tidak ada masalah baginya apabila terjadi suatu kedekatan.

Malam ini lorong di sebuah ruangan mempertemukan kami. Ketika aku keluar dari kelas dan berniat menuju gedung seberang untuk melanjutkan mata kuliah. Di depan pintulah ini semua terlihat. Banyak orang yang lalu lalang berdesakan menuju dan keluar ruangan. Berburu dengan waktu agar tidak ketinggalan.

Rambut hitam panjang miliknya terurai tanpa ikatan. Tertiup angin dan tersentuh beberapa orang yang lewat dengan terburu-buru. Akupun melihat dengan jelas, bagaimana pesonanya yang indah begitu menarik perhatian. Cahaya lampu menyinari wajahnya yang berkilat. Wajah semok yang mulai berminyak akibat seharian meratapi diri dalam sibuknya bangku perkuliahan. Dia sedang tersenyum ketika mataku tertuju pada sosoknya yang sedang berdiri tidak jauh dari pintu tempat aku keluar. Sayang sekali dia tidak tersenyum padaku. Seseorang sedang berbicara dengannya ketika aku keluar. Aku terus berjalan menuju tangga melewati dia yang sedang berdiri. Sebisa mungkin sudut mataku menangkap dan melihat apa yang tengah ia lakukan. Berusaha menikmati keindahan yang kini tepat berada di depan mata. Tidak ada keberanian untuk melihat secara langsung, apalagi menyapa. Berusaha sebisa mungkin agar dia tidak melihatku. Paling tidak jika ia melihatku nanti, ia berfikir bahwa aku tidak tahu akan keberadaannya. Karena itulah aku mengandalkan sudut mata untuk terus berusaha melihatnya selama mungkin.

Beberapa meter ketika aku berada di belakangnya seorang mencegatku. Berbicara sejenak atas menangnya klub kebanggaan kami dari kampung halaman yang baru saja mengalahkan klub yang menjadi ikon dari kota ini. sedikit menceritakan pengalamanku kemarin yang menjadi minoritas berbaju merah di lautan manusia berbaju biru.

Terlihat di ujung sana, wanita yang berpakaian hijau itu berbalik dan kini menghadap ke arah aku berada bersama salah seorang teman sekelasnya. Awalnya dia tidak menyadari, sehingga dengan leluasa aku bisa memperhatikannya, memandangi senyumnya yang indah dan juga rambut hitam pekatnya yang bergerak tertiup angin malam yang masuk ke lorong.

Ingin sekali aku menyapanya dan ketika dia menjawab dengan senyumnya, sungguh tak terbayang betapa senangnya hati menyaksikan keanggunan senyum itu. Sayang sekali kami berada pada jarak yang tidak memungkinkan untuk saling menyapa. Aku tahu dia bersama seorang temannya melihat ke sini. ketempat aku dan teman sekelasnya sedang berbicara dan tertawa. jelas mata itu menuju kesini. dan bodohnya aku berusaha untuk tidak melihatnya, kalaupun ingin melihat, selalu agar mataku tak beradu tatap dengan matanya.

Lagi-lagi kesempatan yang seharusnya bisa kugunakan agar lebih dekat dengan sang pujaan terbuang lagi, setelah beberapa kali sahabat-sahabat karibnya telah menjadi comblangers diantara kami. Dan itu sepertinya gagal karena aku belum bereaksi hingga mereka akhirnya bosan dan mundur satu persatu. Padahal hatiku sangat berharap agar mereka terus seperti itu hingga akhirnya aku dengannya bisa benar-benar dekat. Sehingga yang terlihat bukan aku mengejarnya, tetapi sebuah keadaan yang secara tidak sengaja membuat kami punya koneksi yang melahirkan kedekatan.

Semua kesalahan ada padaku karena tidak ada reaksi di saat-saat yang seharusnya aku ambil bagian secara lebih. Dia bahkan sudah memberikan sinyal-sinyal kuat untuk membuat aku segera bertindak, namun sayang sekali kebodohan ku saat itu datang. Dia menyadari bahwa tidak mungkin seorang wanita yang memulai, sehingga dia hanya mampu memberikan tanda bahwa dia siap untuk membuka diri. tetapi di sisi lain, di sini, aku juga punya alasan kuat mengapa aku hanya diam terpaku menyaksikan usaha orang-orang terdekatnya agar kami mendekat. Aku menyadari posisiku kini yang sedang bergantung banyak pada orang lain. Aku terlalu berekspektasi ke depan, membuat aku tidak bisa menikmati indahnya masa-masa yang sedang aku jalani. Aku terlalu fokus untuk apa aku di sini, terlalu tertutup untuk sebuah kedekatan baru. Membuat aku selalu jalan di tempat dan tidak maju-maju dalam bidang ini. Sangat berbanding terbalik dengan teman-temanku yang kini semuanya sudah mempunyai  bidadari mereka masing-masing. Sementara aku semuanya masih jauh, masih dalam bayangan dan khayalan. belum seperti mereka yang nyatanya sudah memiliki tempat bersandar.

terlalu jelas kenaifan ku saat ini. Dalam hati aku sangat ingin mengikuti dua jejak temanku yang semakin intim dengan kaum hawa. Aku juga ingin memiliki tempat berbagi yang membuatku lebih bersemangat dalam menghadapi perjalanan dalam kehidupan. Aku juga ingin menjadi tempat sandaran bagi orang yang benar-benar bisa mengerti akan hadirku. Aku ingin menghapuskan duka dan air matanya, menggantinya dengan senyum dan keceriaan. Aku juga ingin menjadi bagian dari kebahagiannya. Tapi kapan aku mulai memiliki keberanian?

Entahlah akan semua itu. Yang pasti, aku berterima kasih kepada kota ini yang telah mempertemukan kami. yang menjadi saksi bisu pertemuan kami dan menjadi saksi akan payahnya aku menghubungkan sebuah rasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar