Senin, November 21, 2016

Pergantian Musim

Lagi-lagi senja ini diguyur hujan, menimbulkan aroma khas yang membawa lamun ke ujung masa lampau yang tergalau. 

Kedatanganku yang membawa hujan, atau memang sudah waktunya musim penghujan naik tahta di kota kecil ini? Ah, biarlah alam sendiri yang menentukan, mungkin hadirku saja yang memang kebetulan berbarengan waktunya dengan pergantian musim. 

Terlepas dari itu, aku selalu menyukai hujan di sore menjelang malam. Aromanya menyenangkan, dingin-dingin tanggungnya baik sekali untuk dibawa bermalas-malasan. Membaringkan diri di kasur empuk, sembari mencigapi jendela luar yang basah terkena percikan, atau mendengarkan suara seseorang dibalik gagang telfon. 

Lama sekali aku tidak merasakannya, tidak ada suara yang saat ini bisa didengar. Aku seorang diri, di usia yang seharusnya tidak lagi patut disinggahi sepi. 

"Kemana perempuanmu tempo hari?"

Ada banyak pertanyaan yang memantul di kepalaku. Dan tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Perlu memilih kata yang tepat agar sesuai dengan intonasi pertanyaan, agar tidak memalukan betul jawabanku.

"Dia menemukan yang pas, Kang."

Si empunya pertanyaan mengangguk mahfum. Seakan mengerti rasa hati yang ditanyainya. Padahal tidak, seorang pun tidak ada yang bisa memahami. Lukanya dalam sangat, sedihnya tak terkira, dan irisan di hati perih luar biasa, sungguh.

Lusa, aku disuruh datang. Menyaksikan hari bahagianya.

"Jadi bagaimana sebaiknya, Kang?"

"Itu terserahmu. Pertimbanganmu untuk datang atau tidak, tidak termasuk ke dalam urusanku. Baik buruknya kamulah yang lebih paham. Tapi anak muda, menjaga silaturahmi adalah penting"

Aku mengangguk.

"Kau perlu menambah besar irisan luka untuk membersihkan kotoran yang masuk, agar dapat kamu sembuhi luka itu secara utuh." Lanjutnya.

Sabtu, November 19, 2016

Menghadirkan Diri

Aku menghadirkan diri di depan rumahmu, di malam minggu pekan awal kita berjumpa. Sambutanmu sederhana, seuntai senyum dengan penampilan seadanya. Ini bukan mauku saja. Ini janji kita tempo hari. Mana berani aku datang sendiri tanpa persetujuan dan ajakan darimu. Memangnya siapa aku?

Katamu di sini sepi. Tidak seperti saat kamu hidup di kota dulu, yang mana waktumu lebih banyak terhabiskan di luar rumah.

"Yah, di sini ada apa, Gi? Tidak ada. Hanya perumahan karyawan perusahaan yang orang-orangnya bersembunyi di dalam rumah setelah senja selesai."

Keluhmu tampaknya cukup serius. Dan kamu tidak punya jalan keluar untuk menghilangkannya -selain mendatangkan aku di malam minggu ini

Untuk apa? Memangnya kita seirama dalam beberapa hal sehingga yakin kedatanganku dapat menghilangkan jenuhmu?

"Tidak juga, tapi setidaknya aku punya seorang yang dapat digunakan untuk sedikit merubah suasana."

Digunakan?

"Ya, ada yang salah?" Tanyamu.

Senyummu muncul tipis di ujung bibir, sepertinya paham tentang kemana makna kata 'digunakan' yang aku pertanyakan.

Tidak, kalau begitu aku juga akan 'memakaimu' untuk menghabiskan hari selama di sini.

"Boleh saja selagi kamu merasa betah dan nyaman."

Aku tersenyum mendengarnya.

"Kadang aku agak sedikit menjengkelkan." Lanjutmu.

Minggu, November 13, 2016

Sastra Dan Kamu

Alasannya sederhana, karena lewat sastra kutemukan sebuah kata bernama prestasi. Itu tahun 2000, hanya sekali dan semenjak itu sastra rasanya semakin jauh saja, terlupakan oleh perjalan waktu. Hingga akhirnya setelah belasan tahun aku dibuat berkenalan lagi setelah berjumpa dengan seorang mahasiswi Sastra Jepang Asal Ibukota. Ya, dengan kamu saat kita tidak sengaja hadir dalam sebuah acara Unit Kegiatan Kampus.

Antara badung dan tidak, itu pribadiku yang pernah dijelaskan saat pengambilan rapor semasa taman kanak-kanak. Suka berteriak, dan banyak bicara. Kurasa itu karena kegirangan kelewat batas atas hari sekolah yang sudah lama aku memimpikannya. Aku menikmati dan mengekspresikan hari-hari bersama seragam, bersama waktu masuk dan bersama waktu pulang.

Menjadi siswa setengah badung bukan berarti tak bisa diandalkan. Dari itu agaknya aku merasakan yang namanya juara. Melalui puisi, kubuat sebuah momentum baru, bahwasanya piala yang akan memenuhi lemari reot di ruang tamu itu tidak hanya 1, akan ada piala-piala selanjutnya yang akan kubawa pulang. Pertama kali (sebut saja bakat, bair aku tampak keren) bakatku ditemukan kepala sekolah, aku diminta ikut latihan membaca puisi untuk dilombakan. Kabupaten awalnya, dan jika lolos maka levelnya akan naik satu tingkat, provinsi. 

Tidak akan kubahas jika aku hanya sebagai peserta biasa. Tidak ada yang menyangka bahwa aku dapat nilai terbaik hari itu, dengan senang hati dan bangga (saat itu aku belum tahu arti kata bangga), kunaiki podium tertinggi yang dibuat dari bangku panjang. Sederhana dan seadanya sekali. Aku juga tidak mengerti dengan kata juara yang saat itu disebutkan panitia. Yang  kudengar, tepat 2 minggu dari hari itu, aku dan peraih juara 2 akan diberangkatkan ke Padang mewakili kabupaten untuk lomba tingkat provinsi. 

Aku diam saja sementara di bawah sana Ibu dan Kepala Sekolah berteriak girang, disaksikan banyak mata yang mengarah kepada mereka. Aku menyadari satu hal tepat sehari setelah hari pengumuman. Kata-kata juara itu menyebalkan. Waktu mainku berkurang sangat banyak, dan aku harus pulang lebih lama dari yang lain, di rumah aku tidak bisa nonton tv seperti biasa, dijadwalkan waktunya, hanya beberapa jam saja.

"Ayo latihan dulu, sebentar lagi kamu lomba."

Latihan dan persiapan. Itulah alasannya. Aku tidak begitu menikmati hari selama 2 minggu sebelum keberangkatan. Bahkan seminggu terakhir aku sama sekali tidak boleh keluar rumah, meski di rumah pun aku tidak sering latihan. Untuk menjaga suara saja agar tidak paraw ketika nanti tiba di panggung. Aku harus memakan panggangan tebu, meminum jahe yang baunya membuat muntah, dan banyak lagi.

Dan bukankah tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan? Waktu main yang hilang dan waktu nonton tv yang semakin sedikit adalah bagian kecil dari banyak yang kukorbankan untuk lomba yang saat itu aku tidak begitu suka kecuali tepuk tangan yang mengiringi saat aku berjalan menuruni panggung. Singkat cerita, raihan juaraku tidak berubah, aku tetap berada di podium nomor wahid, berfoto dengan memegang piala setinggi 80 cm, sementara tinggiku hanya 120 cm. Jadilah ketika melihat hasil cetakan, lebih dari setengah mukaku tertutup piala. 

Dari sana aku mulai mengenal apa itu sastra. Sayang, keluargaku tidak begitu kuat menerjunkanku ke sana karena tidak ada biaya sisa dari kehidupan sehari-hari kami. Aku tidak pernah membeli buku-buku sastra, bahkan buku pelajaran wajib saat SD, SMP, dan SMA saja, hanya kubeli saat itu memang diwajibkan.

Aku dialihkan untuk berpidato, yang tidak begitu mentereng prestasinya. Menjadi juara kedua ternyata tidak prestisius. Lalu aku diterjunkan lagi untuk menjadi seorang hafiz penghafal Al-Quran. Malas-malasan. Dalam sebulan bahkan aku hanya dapat menghafal 4 halaman surat Al-Baqarah tanpa terjemahan. SD, SMP, dan SMA ku agak membosankan jadinya. Aku menjadi seorang yang agak terkekang, yang susah keluar rumah dalam jadwal yang tidak biasa. 

Ternyata itu adalah penyesalan. Saat menjadi seorang mahasiswa, aku tidak punya keahlian apa-apa untuk dapat ditonjolkan. Kemapuan hafiz dan hafalan Al-Quran turun drastis, prestasi akademik dari dulu tidak pernah mentereng, tidak juga piawai dalam bergaul. Puisi? Sastra? Ah, aku bahkan pernah lupa dengan kata-kata itu. Selama bertahun-tahun aku tidak menyentuh bidang yang membawaku 'meraih nama' diusia yang baru menginjak 5 tahun lebih sedikit. 

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba aku ingin menjadi seorang penulis. Bukan untuk diterbitkan, hanya sebagai pengisi waktu saja. Kamu agaknya yang pertama kali menginspirasi tulisan-tulisanku. Ketika berkenalan dan kamu sebutkan jurusan, aku merasa ada yang menarik. entah karena kamu good looking dan ramah, atau memang karena ada kata 'sastra' yang kamu sebutkan saat perkenalan. Pastinya semenjak itu aku mulai menghabiskan waktu dan menempatkan diri di perpustakaan mahasiswa Sastra dan Ilmu budaya, membaca novel-novel karangan perangkai kata handal. Jujur saja, aku buta sekali dengan nama-nama penulis sastra, rata-rata setiap nama yang terpampang adalah baru bagiku.

Detik ini, tidak banyak keapikan sastra yang menarikku, hanya karena berkenalan denganmu saja, lalu itu membawaku ke cerita lama tentang prestasi pertama yang kuraih. Aku ingin merasakan lagi prestisiusnya pengumuman juara pertama. Catatan penting yang harus digaris bawahi, kamu melakukan satu hal berarti, membuatku jatuh cinta pada 2 hal sekaligus, kepada sastra dan kepadamu.

Sabtu, November 12, 2016

Senja Kita

Tupak, Agroforestri dan Agrowisata Bukit Asam

Kutulis senja dalam karangan-karangan kecilku, kamu lukiskan juga pengharapan di waktu yang sama. Seberapa magis sebenarnya senja memikatmu sehingga kamu agungkan begitu? Kutuliskan bahwa aku menaruh harap pada senja. Dan kamu, apa maksudmu melibatkan senja juga dalam postinganmu? Sebentar, aku tidak sedang mengadilimu, hanya pertanyaan yang didalamnya terselubung sedikit kesemogaan, apakah itu balasan untuk tulisan kecilku tempo hari?

Kamu, mahasiswi sastra yang tidak begitu kukenal, sedikit saja pernahkah merasa tersanjung pada karangan-karangan tentangmu? Memang tidak terpampang namamu diantara kata-kata yang kurangkai, tetapi pahamilah, bahwasanya kamu adalah maksud dari susunan kata yang kuhampar di berbagai media sosial.

Dan tentang senja yang kamu tulis, mengapa rasanya itu tersambung dengan senjaku kemarin lusa? Aku mahfum betul jika saat ini terlalu cepat untuk menuduh. Lagipula aku tengah dirundung harap, yang barangkali setiap apa yang tak pasti selalu terhubung dengan inginku, tidak objektif jadinya. Boleh jadi kenyataannya kamu sedang menghabiskan waktu bersama seseorang, yang membuat kamu selalu teringat akan kemenawanan senja yang kalian habiskan bersama. Apapun mungkin sekali terjadi.


Karena kita sudah terlanjur berada dalam pembahasan senja, membuat aku jadi ingin menyamakan. Bagaimana langit senja kita hari ini? Sekitar 2000 kilometer jaraknya. Masih samakah rona jingga sore di kotamu sekarang dengan rona jingga sore di desa tempat aku berada? Di ujung timur pulau Jawa kamu berdiri, dan di ujung selatan Sumatera aku disaat yang sama, dapatkah kita bertukar kisah tentang sama dan beda senja yang hari ini kita nikmati?

Wanita Penunggu, Laki-Laki Yang Tidak Berani

Hari ini aku mengerti, kamu pernah nyatakan perasaan dengan cara memainkan kata yang sarat makna, menghadirkan bingung hingga sulit memaknai kemana arah bicaramu menuju. Yang aku paham saat itu kita saling mengisi, aku dan kamu terlibat kedekatan yang mungkin sedang tidak kamu alami dengan yang lain. Sayang sekali aku bukan seorang yang berani, aku bukan seorang yang piawai mengambil langkah cepat untuk dapat mengerti apa inginmu. Dan kamu tentunya juga tidak akan memulai lebih dulu jika aku tidak juga tampak mengawali. Itu membuat kita terjebak dalam kediaman yang tidak mengenakkan. 

Sekali aku pernah ingin mengatakan bahwasanya aku jatuh cinta. Itu dimana kita dapat mengumbar senyum lebih lama dari hari-hari sebelumnya, saat kita berdiri diatas ubin yang tak seberapa jauh jaraknya. Kamu wanita penunggu, dan aku laki-laki yang tidak berani. Akan sulit menemukan waktu dimana aku punya nyali, lalu membuat penungguanmu berakhir. Kecil sekali peluangnya untuk kita dapati detik-detik berharga saat butir cinta memunculkan diri ke permukaan. 

Senin, November 07, 2016

See You Too

Dari negeri Jiran sungguh? Tapi bahasa yang digunakannya tidak memperlihatkan sama sekali bahwa Malaysia negara kelahiran perempuan putih berhidung mancung yang tidak tinggi-tinggi amat itu. Mungkin karena sudah lama menghabiskan waktu di Jogja, logat dan aksen Indonesianya benar-benar fasih. Dan kami bertemu di pedalaman Sumatera dalam kegiatan yang sebenarnya tidak berkaitan. Aku sedang melakukan orientasi dan belajar tentang analisis sifat fisika tanah untuk tanah-tanah bekas kegiatan penambangan guna membantu keberhasilan reklamasi, sementara dia, perempuan yang berasal dari Negara bagian Penang itu mengambil sampel batubara utuh untuk diuji traxial dan kandungan kimia yang tidak begitu kupahami. Tidak tanggung-tanggung, pengujian akan dilakukannya di Jepang, sebuah negara yang maju sekali teknologinya.

Tapi sempat dikatakannya, alat yang akan dia gunakan ternyata sama persis dengan alat yang ada di laboratorium mekanika tempat kami bertemu secara tidak sengaja. Lalu pertanyaanku, untuk apa jauh-jauh ke Jepang jika di sini bisa dilakukan dengan alat dan metode yang sama?

Perempuan itu tidak menjawab, melainkan hanya tersenyum saja karena aku bertanya sambil menampilkan wajah yang terlalu datar tanpa terfikir bahwasanya tentu ada alasan lain mengapa rela dia jauh-jauh ke Negeri Sakura. Mungkin aku tampak polos sekali baginya.

Dia kuliah di salah satu kampus terbaik negeri ini. Orangnya ramah dan seolah dia menampilkan diri sebagaimana kami sudah kenal lama. Sayang sekali waktunya tidak banyak. Tidak banyak pula informasi yang dapat kukorek jadinya. Mungkin lain kali dapat bertemu lagi, semoga saja ada pengunduran keberangkatannya ke Jepang agak beberapa hari sehingga masih ada yang dapat kuperoleh darinya, itu pun jika kami bertemu. Tetapi untuk percakapan 2 jam hari ini sudah cukup memuaskan. Terasa sekali aura hebat yang ditampilkannya. Merinding aku bercerita dengannya.

"Kok Indonesia-nya fasih banget kak?"

"Mau denger aku ngomong melayu-nya Malaysia?"

Aku mengangguk beberapa kali.

"Kamu balas pake bahasa Minang ya?"

Aku tersenyum, bukan berarti mengiyakan, melainkan hanya untuk mempercepat saja agar dia segera menggunakan bahasa aslinya. Manager Laboratorium yang berada di belakang kami tersenyum kecil sepanjang aku dan gadis Negeri Jiran itu bercakap-cakap. Maklum, Manager itu berasal dari Jawa Timur, jauh dari Minangkabau dan Malaysia yang terkenal sebagai ranah serumpun bangsa sehingga masih banyak kesamaan, bahasa salah satunya.

Diakhir 2 jam itu, sempat kutanyakan siapa namanya. Ternyata 2 jam bicara nyambung membuat aku lupa untuk bertanya sesuatu yang sebenarnya penting untuk ditanyakan di awal, nama.

"Mezzi, See you next time Uda"

Dia teriakkan namanya ketika pintu mobil operasional yang akan membawanya meninggalkan laboratorium terbuka. 

"Follow Instagram."

Teriaknya lagi, bersamaan dengan itu pintu mobil tertutup. Kaca hitam menghalangi pandangan untuk menembus masuk ke kabin mobil yang perlahan mulai melaju melewati jalanan tambang yang berdebu.

"See you to, Kak Mezzi"

Minggu, November 06, 2016

Mahasiswi Sastra Ibukota

Selamat pagi Mahasiswi Sastra Jepang yang entah sedang berbuat apa sekarang ini. Sibukkah minggu pagimu kali ini? Atau hanya kau isi dengan membaringkan diri di kasur empuk sembari memainkan gadget? Aku melihat foto terakhir yang kamu unggah tadi malam. Boleh aku berkomentar?

You're amazing girl.

Kamu adalah satu dari tidak ada sebelumnya perempuan ibukota yang membuatku tertarik. Sederhananya, kamu satu-satunya sejauh ini yang membuat aku suka pada mahasiswa asal Jakarta di kota ini. Aku tidak begitu akrab dengan kehidupan metropolitan tempat asalmu, karena berasal dari sebuah dusun kecil di balik tebing yang susah tertembus sinyal. Kehidupannya berbeda dan bahkan bertolak belakang, itu yang agaknya membuatku tidak begitu menikmati apa-apa yang berbau Jakarta. Jakarta itu tinggi sekali rasanya, tidak terjangkau sehebat apapun usahaku, karena faktanya aku adalah seorang anak kampung yang Alhamdulillah mendapat rezeki Tuhan untuk kuliah di kampus yang sama denganmu. 

Jakarta itu hebat, dan aku bukan bagian dari sebuah kehebatan. Hanya penuntut ilmu yang ingin sedikit merubah hidup, agar tak dianggap terlalu rendah oleh mereka, termasuk olehmu mungkin saja. 

Tidak jelas alasan apa yang mendatangkan ingatan tentangmu lebih lama mampir dari yang lain, juga lebih sering muncul saat aku sedang tidak berkegiatan. Mungkin aku suka dengan caramu berlaku. Entahlah, padahal biasanya laku anak Jakarta tidak begitu dapat membuatku tertarik. Aku minder dan merasa kalah duluan.

Kamu, perempuan sastra asal Jakarta, tampaknya harus bertanggung jawab atas perasaanku saat ini. Kamu tidak salah, tetapi tetap harus bertanggung jawab, karena sudah ambil bagian di dalamnya meski tanpa sengaja sekalipun. Sekarang, bersiaplah. Tidak lama lagi aku akan mampir menghampiri. Aku tengah berusaha memberanikan diri. Jangan keluarkan rona kaget di wajahmu saat nanti aku tiba-tiba ada di depanmu. Dan jangan ternganga, itu dapat menurunkan nilaimu yang hebat. Dan satu hal lagi, jangan membuat usahaku memberanikan diri setengah mati belakangan ini menjadi sia-sia.

Sabtu, November 05, 2016

Mengingat

Halo Theresia !!!

Aku tiba-tiba mengingatmu hari ini. Kau kawan pertamaku yang benar-benar berasal dari Malang, sekaligus kawan pertama yang dimana aku dan kamu berada di satu meja dengan hidangan sederhana, namun cara kita mengucap syukur agak berbeda. Aku menadahkan tangan, sementara kamu khusyuk sambil menyatukan dua tanganmu yang saling mengisi sela jemarinya, lalu saling menggenggam erat tangan yang lain.

Apa karena caruk maruk atas hilangnya toleransi beragama yang akhir-akhir ini tidak karuan beritanya di media, atau memang karena aku sedang merindukan waktu saat kita menghabiskan malam di kotamu. Ah, entahlah. Aku bukan seorang fanatik agama, dan sejauh ini dapat berkenalan denganmu adalah hal yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Aku mengingatmu bukan karena keyakinan kita yang berbeda. Mungkin karena sedang sepi saja, karena aku kini jauh dari kotamu, tempat kita bertemu dulu.

Bagaimana kabarmu kini? Ingin lagi aku menghirup udara malam bersama, sembari menuruti jalan-jalan yang anginnya menghadirkan dingin. Begitu mudah cara kita berkenalan, mudah pula cara kita untuk mencari waktu luang agar dapat keluar bersama. Apa masih ingat kamu denganku? Mahasiswa baru yang menyusahkanmu di awal-awal dulu.

Tentang kita yang berbeda, belakangan ini aku merasa tertarik. Mungkin itu jugalah yang membuat kamu muncul lagi dalam lintasan ingatanku. Ada keinginanku yang mencuat untuk mencoba sesuatu yang tidak biasa. Bukan kamu jadi bahan percobaanku, maksudku aku hanya ingin punya kedekatan yang lebih dari seharusnya. Aku ingin lebih paham dengan apa yang disebut perbedaan, keyakinan khususnya. Mohon jangan tersinggung. Tapi jika boleh, maka aku ingin hadir lebih sering dalam hari-harimu. 

Jumat, November 04, 2016

Pengagum

Jika aku kau anggap baik, barangkali tidak salah penilaianmu. Setidaknya jika kau lihat aku secara sekilas. Namun jika ingin kau tahu lebih jauh mungkin ada baiknya bersiap dahulu dengan segala keterkejutan, kenyataan yang kau anggap sebuah ketidakmungkinan sebelumnya. Aku bukanlah seorang yang baik-baik amat, hanya kebetulan diselubungi oleh sifat pendiam saja, yang akhirnya memaksa lingkungan memberikan sebuah pemahaman yang keliru.

Jangan hanya maknai apa yang tertangkap oleh retinamu, tidak objektif, karena ada yang terlihat ada yang tidak. Karenanya lagi, seorang tidak pernah dibolehkan untuk melayangkan penilaian dari penampilan yang terlihat saja. Kusarankan jangan terburu-buru untuk menilai. Setiap yang terlihat belum tentu sebaik yang terpandang, akan selalu ada sisi yang tidak tampak, yang mungkin saja itu tidak relevan dengan inginmu.

Ceritaku ini bukan untuk siapa-siapa, bukan juga kepada siapa-siapa. Aku hanya membawakan satu dari banyak realita hidup ke dalam keadaanku saja. Mungkin ini wujud dari rasa frustasi.

Beralih kisah, aku kini sedang ingin bertemu seseorang. Ingin aku muncul tepat di depannya, mengawani kesibukannya yang melelahkan. Seorang aktivis kampus, yang namanya kian hari kian tenar, yang keterkenalannya makin hari makin meningkat, yang jumlah penaksirnya setiap hari terus bertambah. 

Problemnya, punyakah aku sedikit saja peluang untuk coba menaklukkan?

Orang hebat, yang dikelilingi orang-orang hebat pula, tertarikkah denganku yang tidak punya daya tarik? Ah, serasa bermimpi di siang bolong, serasa pungguk merindukan bulan, serasa tidak mengukur bayang setinggi tegak. Siapa kamu, siapa aku?

Ini sebuah pengharapan kosong tak berlandas. Tidak ada detik waktu yang akan kau gunakan untuk mengingatku. Terlalu sibuk, terlalu sayang waktumu habis hanya untuk memikirkan aku yang tidak penting. 

Aku sudah menulismu dalam sebuah buku, berisi tulisan yang tidak jelas ujung pangkalnya, sama seperti perasaan kepadamu. Maaf jika itu membuatmu risih, jijik, atau geli. Maklumi saja, sebagai seorang pengagum, aku ingin mengeksplor segala macam perasaan tentangmu, yang di suatu waktu berubah menjadi kekonyolan tingkat dewa yang membuatmu merasa tidak ingin mengenalku lagi.

Rabu, November 02, 2016

Momen

Pernah aku menulis tentang Malang, bahwa kota di pegunungan itu adalah tanah keduaku. Bukan saja karena hawanya yang sejuk, atau karena biaya hidup yang relatif murah, atau karena keramahan warga dan kefanatikan Aremania-nya. Melainkan ada satu lagi alasan yang membuat kebetahanku tinggal di Malang naik beberapa persen. Seorang 'Aremanita' yang bahkan tidak pernah menggunakan istilah itu untuk menyebut dirinya, juga tidak pernah sekalipun menginjak stadion Kanjuruhan atau Gajayana saat Arema berlaga. Seorang anak tunggal dari keluarga berada yang mendiami sudut kota, dialah penyebabnya. 

Kepadanya aku pernah jatuh cinta, entahlah untuk saat ini. Semenjak tidak lagi pernah bertemu, seolah kami adalah dua manusia yang sebelumnya tidak pernah saling bertegur sapa. Sulit menjelaskan apa yang kini terasa, aku tidak ahli dalam memahami ingin hatiku sendiri, tidak begitu familiar aku dengan istilah-istilah tentang perasaan. Yang kupahami hanyalah, ada bahagia yang hinggap saat potretnya tergambar di layar gadget yang kugenggam, dan aku ingin sekali memandangnya dalam waktu yang lama. 

Sekali waktu, saat angin segar masih menyertai, beberapa waktu yang lampau, sempat aku dan dia mengekspresikan sebuah senyum yang diabadikan melalui jepretan kamera. Itu satu-satunya momen berdua yang dapat kukenang. Yang dapat kusaksikan secara nyata, yang menjadi bukti bahwa ceritaku tidak sekedar fiktif belaka penghibur rasa. 

Onya's

[KELIMA]
                

Siapa sangka, anak pendiam yang tidak pintar-pintar amat, tidak piawai dalam bergaul, dan jarang terlihat di hari biasa tiba-tiba berkabar bahwa dia sedang berada di ujung timur pulau jawa melanjutkan kuliah. Itulah aku. Dalam diam aku masih memegang kuat cita-cita yang dari SMP hanya kepada Tuhan saja kuceritakan. Terlalu malu aku untuk mengumbarnya, karena berasal dari keluarga yang tidak begitu mentereng ekonominya, dan tidak pula bintang di kelas karena berotak cemerlang.

Sedikit aku berbagi, sebelum membahas Onya dalam versi terbaru, bahwa termujudnya cita-citaku untuk kuliah di salah satu kampus elit di Jawa adalah karena aku percaya pada kemampuanku. Bukan takabur, melainkan aku yakin bahwa Tuhan sudah menyelipkan sesuatu dalam diriku. Tentu saja keyakinan yang aku bangun tetap diiringi dengan doa dan usaha yang keras bukan main.

Tahun ini, maksudku tahun depan, semoga menjadi tahun terakhirku menjadi mahasiswa tanpa beasiswa di kampus ini. Amin. Secepatnya aku ingin lulus supaya orang tuaku tidak lagi diharuskan membiayai kuliahku yang mahalnya di luar dugaan.

Bukannya disibukkan dengan tugas akhir, di tahun-tahun akhir kuliah aku malah disambungkan lagi dengan Onya setelah tidak pernah berjumpa dan berkomunikasi dalam waktu yang lama. Aku tidak pernah melihat Onya semenjak dia lulus SMA, tidak juga pernah tahu kabar tentang apa yang dilakukannya setelah lulus, bahkan aku tidak ingat bahwa pernah mengenalnya. Hidup yang terlalu kompleks membuat ingatanku menjadi tak begitu baik. Apalagi Onya bukanlah sesuatu yang begitu penting, hanya kawan lama (baca: pernah sekedar kenal) yang sempat menjadi kawan les zaman SD hingga SMP, lalu menjadi kakak kelas di masa SMA, kemudian hilang begitu saja setelah lulus.

Perkembangan Sosial media dewasa ini memberikan jalan untuk aku bicara lagi dengan kawan lama, bernostalgia dengan apa yang pernah terjadi di era usia belasan tahunku. Dengan Onya salah satunya, yang ternyata juga sudah lupa bahwa aku pernah mampir sebentar di jalan kehidupannya.

Hari itu aku merasakan sesuatu yang umumnya pernah dirasakan mahasiswa perantauan, homesick bahasa kerennya. Setahun lebih tidak pulang membuat ingatanku ingin terus-terusan terbang jauh ke kampung halaman. Kampungku di pedalaman Sumatera sana. Diantara lembah dan bukit yang membentuk topografi keindahan alam secara alamiah. Dikelilingi hutan hujan tropis yang dingin hawanya. Tenteram bukan luar biasa.

Tidak ingat betul bagaimana mulanya aku mengetik nama-nama yang sekiranya pernah ada di sana saat aku belum meninggalkan kampung halaman. Yang pasti aku pernah menulis nama Onya di kolom pencarian. Tidak ingat pula alasan apa yang menjadi penyebab tiba-tiba jempolku menekan tombol-tombol menyusun rangkaian huruf menjadi nama lengkap Onya.

Dari mana pula aku ingat seorang bernama Onya.

Tidak ingat bukan berarti aku lupa semuanya. Hanya saja mungkin tercecer entah kemana sehingga jangkauan ingatanku melewatkan beberapa hal. Onya adalah salah satunya.

“Anak Lintau?”

Begitu pertama kali tulisan Onya mampir dalam kolom chatku, yang akhirnya berlanjut hingga detik ini dengan pembahasan ngalor ngidul tidak berjung tidak berpangkal. Mulai dari cerita zaman les, carita ketika SMA, kegiatan saat ini dan kemaren, hingga rencana ke depan. Dari sekian banyak cerita-cerita yang Onya dan aku kicaukan, yang paling menjadi ingatan adalah tentang rencana hangout saat nanti aku mampir ke Padang, kota tempat Onya mendekam di akhir-akhir kuliahnya.