Sabtu, September 30, 2017

Tersanjung

Wajah putihnya memerah, terbakar terserang garangnya mentari. Hanya saja senyumnya tetap merekah, masih menunjukkan aura, bahwa dirinyalah perempuan terbaik yang pernah disaksikan mata. 

Siapakah kelak laki-laki itu? Siapapun dia, maka kepadanya layak disematkan ucapan selamat teramat besar. Dialah yang nanti akan membuatku cemburu setengah mati.

Suratku kepada Tuhan, mengapa bukan aku saja? 

Sampai sekarang tidak kunjung mendapat jawaban.

Wahai kamu yang sedang kuperbincangkan dalam khayal. Pertama, maaf karena sering mengacuhkanmu. Tidak ada keberanianku bahkan sekedar untuk menyapa. Aku dilanda gugup setiap melihatmu.

Kedua, terima kasih telah meluangkan beberapa detikmu sekedar untuk memandangiku. Tidak apa, saat tatap kita beradu kamu berpaling. Karena aku juga melakukan hal yang sama. Terima kasih juga karena telah berpindah posisi, mendekat hingga berdiri hanya beberapa centimeter di sampingku. 

Kamu buat aku tersanjung walau tidak bicara sepatah pun kata. Ya, diammu saja membuat aku jadi tersanjung. Bagaimana jadinya jika Tuhan malah membuat kita saling jatuh cinta.


Jumat, September 29, 2017

Pertanian, Ilmu dengan Grade Terendah (?)




Sebelumnya mohon maaf yang teramat besar jika ternyata ada konten dalam tulisan ini yang menyinggung. Bukan maksud seperti itu, melainkan ini hanya pertanyaan yang tidak tahu kemana harus dialamatkan. Barangkali nanti mungkin ada yang bersedia untuk menjawab, atau memperbaiki pendapat-pendapat dalam tulisan ini yang dianggap kurang tepat.

Beberapa waktu yang lalu kita cukup dihebohkan dengan pertanyaan tentang kemana lulusan mahasiswa pertanian? Ya, sebagian mereka ada yang bekerja di bank, di bidang asuransi, atau di bidang apapun yang tidak ada kaitannya langsung dengan dunia pertanian. Sebagai mahasiswa pertanian, bagi saya pertanyaan demikian tentu menjadi perhatian, apalagi saya dibesarkan di lingkungan petani. 

Pertanian sering kali dianggap oleh beberapa orang sebagai bidang ilmu dengan grade terendah di antara bidang ilmu eksakta lainnya. Ini tentu tidak bisa dibenarkan begitu saja. Saya tidak setuju. Tapi hati kecil saya kadang juga harus berkata demikian melihat betapa dunia pertanian negeri ini memang masih jauh dari harapan. Dapat dilihat dari angka kemiskinan yang cukup tinggi jatuh kepada mereka dengan pekerjaan utama sebagai petani. Mungkin alasan ini yang membuat sebagian lulusan pertanian minggat dari dunianya. Dalam waktu dekat, di negeri ini bidang pertanian memang masih terlalu kecil peluangnya untuk mendapatkan masa depan cerah.

Luka, Perih, dan Pedih

Beberapa orang tetap ingin tenggelam dalam perih yang dirasanya, enggan menyembuhkan meski sebenarnya dia bisa. Biasanya ini  adalah perih perihal cinta, perihal kejatuhatian. Seberapa besar kekuatan cinta yang membuatnya bisa bertahan seolah sedang menikmati perih? 

Perih ini juga adalah tentang luka. Yang digores oleh seseorang yang dulu katanya membawa cinta. Sangat akrab dengan kebahagiaan, tapi tidak ada yang bisa memprediksi seberapa baik dia berhubungan dengan kepedihan.

Luka, perih, dan pedih. Demikian cinta tanpa landasan logika.

Lulus Di Waktu Yang Tepat

Hasil gambar untuk toga kelulusan
sumber; google.com
Barangkali salah satu hal yang paling dicemaskan banyak orang adalah waktu. Enggan ketinggalan olehnya, tapi disaat bersamaan juga sering tidak kuasa menjinakkan kelalaian.  Ada berapa banyak orang yang kecewa gegara waktu yang berjalan tidak sesuai keinginan?

Aku saja misalnya, normalnya seorang yang menuju sarjana membutuhkan waktu empat tahun untuk dinyatakan lulus. Tapi bagiku itu waktu yang terlalu singkat. Alhasil, aku masih merasakan dunia kampus yang disebut Semester 9. Mengerjakan skripsi tidak lebih menarik daripada menulis fiksi untuk diikutsertakan lomba, beberapa Alhamdulillah berkah, beberapa lagi hanya berakhir sebagai bagian dari latihan biasa.

Untung saja ada pepatah yang entah kapan munculnya dan siapa pembuatnya mampir ditelingaku. Tidak perlu lulus tepat waktu, tetapi luluslah di waktu yang tepat.

Aku masih sangsi, tapi bisa jadi ini ada benarnya. 

Ketepatan waktu adalah segalanya, karena keterelambatan akan selalu berujung pada penyesalan. 'Tidak perlu lulus tepat waktu' , adalah ungkapan yang hanya dinyatakan oleh orang-orang yang sudah merasakan pahit dan penyeselan perihal keterlambatan, tetapi mencoba menutupinya dengan berbagai alasan penghibur diri.

'Luluslah di waktu yang tepat'. Aku setuju dengan yang ini. Tapi waktu yang tepat bukan berarti lebih dari empat tahun sesuai kenormalan masa studi seorang calon sarjana. Konotasinya seperti berubah, dipengaruhi oleh kalimat pertama yang merujuk kepada masa studi lebih dari yang seharusnya. Seolah waktu yang tepat bukanlah saat berhasil menyelesaikan semua mata kuliah selama empat tahun.

Ini kesalahan, tapi aku berusaha untuk mengimaninya, mau tidak mau. Sebagai motivasi guna menyelesaikan skripsi, sebagai alasan kenapa aku masih tetap menulis prosa-prosa dan karya fiksi lainnya. Artinya, ada orang yang kadang-kadang terpaksa mengikuti pendapat-pendapat yang dia sendiri menyangsikan kebenarannya. 

Senin, September 25, 2017

Prediksi Kejadian Yang Terjadi

Hujan sudah cukup lama tidak menjadi topik bicaraku. Sejak pertemuan denganmu barangkali. Ya, pertemuan kita tempo hari sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hujan. Kita bertemu di suatu kecerahan malam. Di tempat yang gelap, hanya biasan cahaya jejeran lampu jalan yang berhasil masuk ke sana. Tapi itu agaknya sudah lebih dari cukup. Dengan itu saja aku sudah dapat melihat kemilau senyum yang kamu gambarkan di rona wajahmu.

Pertanyaanku, siapa kiranya yang beruntung menjadi pemilik senyum itu?

Setiap orang mungkin berhak mendapatkannya darimu. Tetapi pemilik, jelas hanya satu. Dia yang akan menjaga supaya cahaya senyummu tetap anggun seperti sedia kala.

Aku ingin, tapi merasa bukanlah seorang yang pantas. Yang bisa kulakukan hanyalah berusaha memantaskan diri.

Jika melihat sekitar, maka kepercayaan diriku langsung sirna, berganti dengan kalimat-kalimat yang mengagungkan ketidakmungkinan. Kamu berdiri diantara orang-orang hebat yang berkelebihan. Mereka siap sedia selalu dengan itu, memengedepankan keunggulannya untuk menarik perhatian. Sementara aku, bukan seorang yang bisa kamu harapkan.

Tentunya tidak ada yang tahu. Semua yang akan terjadi nanti hanyalah berupa prediksi, sampai tiba waktunya dia terjadi. Apapun bisa menjadi kemungkinan. Bisa saja aku yang bukan apa-apa ini yang justru kelak membuatmu jatuh hati. Bisa saja esok atau lusa aku menemukan diriku sendiri dalam keadaan yang berbeda. Kejadian yang akan membuatmu bergantung padaku, tidak ada yang bisa menolaknya jika demikian takdir meminta.

Rabu, Juli 12, 2017

Kabar Dari Edmonton

Aku melihat lagi chat beberapa hari yang lalu, mengulang membacanya dari awal sampai akhir untuk meningkatkan motivasi. Ya, aku kehabisan akal bagaimana caranya supaya bisa melewati semester tua yang masih belum nampak akhirnya ini. Sebagian temanku sudah tidak lagi terlihat wujudnya mondar mandir di kampus. Tinggal aku dan beberapa orang saja. Semakin hari semakin muak melihat tulisan yang tiada habis revisinya, setiap kali konsultasi, setiap itu pula ada revisi yang harus dikerjakan. Lalu itu membuatku berpikir, apa yang sebenarnya salah dengan caraku di semester akhir ini? Mengapa terlalu susah rasanya? Aku tidak minta agar semester terakhirku ini berjalan lebih mudah, tetapi aku berdoa kepada Tuhan supaya lebih dikuatkan, supaya lebih disabarkan dalam menghadapi semester ini. Beratnya perjuangan akan menjadi modal tersendiri untukku kelak menghadapi situasi yang mungkin lebih buruk dari pada sekedar menyelesaikan tugas akhir

Malam itu aku dilanda kebingungan. Sumpek dan pusing kepala terasa, dada juga sesak tidak karuan. Tidak ada hal menyenangkan yang rasanya bisa dikerjakan. Menulis? Sudah tidak ada ide lagi untuk membuat tulisan. Mengerjakan revisi sambil berdoa bahwa ini adalah yang terakhir? Sudah kucoba, tetapi keinginan itu sendiri yang sedang tidak ada mau diapakan lagi, tidak bisa dipaksakan. Dipaksakanpun akan percuma, hasil yang akan didapat sudah jelas, adalah revisi lagi, lagi, dan lagi.

Apa dan bagaimanapun suasana hati, tidak dapat dipungkiri gadget adalah pilihan terbaik untuk mengalihkan perhatian maupun kesibukan. Gadget adalah hiburan paling sederhana namun efektif di milenium ini. Gadget adalah mood booster, gadget adalah kawan setia (kecuali ketika baterai lemah, tapi tidak ada charger atau colokan). Siapa zaman sekarang ini yang tahan tidak memegang gadget selama seharian penuh? Tidak ada.

Kembali ke topik, tentang chat yang sudah berlalu beberapa waktu yang lalu. Tidak panjang, namun ada secuil motivasi di dalamnya, sayangnya masih terlalu kecil untuk membungkam rasa malasku mengerjakan revisi. Ingin lagi aku melanjutkan chat itu. Jika gayung bersambut maka dia yang aku hubungi akan membalasnya, jika tidak, ya mungkin aku belum beruntung.

Pertama kulihat jam, pukul 00.58 tertulis di arloji yang sudah kulepas semenjak beberapa jam yang lalu. Perbedaan waktu Malang dan Edmonton sekitar 13 jam. Artinya di sana sekarang sekitar pukul 2 siang. Sejenak aku berpikir, tepatkah waktunya untuk menghubungi. Kupertimbangkan dan akhirnya tidak ada alasan kuat yang membenarkan untuk mengurungkan niat.

Minggu, Juli 09, 2017

Impian Mahasiswa Semester Tua

Aku seorang mahasiswa semester tua yang (semoga) sebentar lagi akan lulus. Amiin. Biasanya ketika ngopi atau nongkrong, pembahasan mahasiswa semester tua sudah naik sedikit sekitar satu level. Rata-rata yang mereka bahas kini adalah hal yang akan dilakukan setelah lulus. Mungkin bekerja di salah satu perusahaan dengan benefit tinggi. Mereka lalu mempertimbangkan, membandingkan, dan memperkirakan gaii yang akan didapat jika bekerja di salah satu perusahaan tersebut. Atau ada yang tengah giat mencari beasiswa untuk melanjutkan kuliah, entah dalam negeri atau luar negeri. Dan ada juga yang mulai memikirkan calon. Tidak hanya perempuan, laki-laki sepertiku juga sebenarnya juga memikirkan hal itu. Tapi kami para laki-laki dituntut untuk punya jam terbag lebih dulu. 

Beberapa orang diantara kami termasuk aku pernah punya pikiran kotor tentang hal ini, tentang jodoh. Bagi kami para lelaki, menikah masih nampak jauh dan belum menjadi prioritas, masih banyak yang harus dikejar, jadi masih masuk untuk dibuat bahan candaan. Percakapan itu terjadi secara tidak sengaja. Mengalir begitu saja tanpa rasa bersalah.

"Jadi kau ingin perempuan yang seperti apa Boy?"

"Belum kepikiran, aku mau kerja dulu. Kau sendiri bagaimana?"

"Aku? Aku mau jodohku nanti perempuan yang cantik, baik, rajin ibadah."

"Itu doang?"

"Kalau bisa yang anak orang kaya, anak tunggal, dan Bapaknya udah mau KO IT (meninggal). Jadi aku dapet warisannya."

Wahai para perempuan. Jangan tersinggung dengan percakapan kami, karena kalimat apapun bisa terlontar saat duduk melingkar bersama dan di depan kami ada segelas kopi atau sejenisnya. Aku akui itu impian setiap laki-laki jauuuuuuhhh di dalam hati mereka. Artinya mereka tidak perlu bekerja keras, tidak perlu takut bagaimana nanti memenuhi kehidupan dan kebutuhan wanitanya.

Oke, lupakan tentang itu, karena aku punya cerita kecil tentang kelanjutan setelah menjadi Sarjana.

Selasa, April 11, 2017

Tidak Mudah Ditebak, Dan Tidak Ada Romantis-Romantisnya

Jika kau ingat dari detik ini sampai ke belakang sana saat kita bertemu pertama kali, menurutmu apa dan kapan detik teromantis yang pernah kita lalui? Jangan bertanya balik. Aku bertanya karena bingung, dan sampai saat ini kurasa tidak ada sesuatu yang begitu romantis yang pernah kita lewati. Entahlah, aku tidak begitu paham dengan yang disebut romantis. Kata orang rasanya berbunga-bunga, ketika sudah lewat dan dikenang lagi akan membuat tersenyum, lalu mengkhayalkannya. Benar demikian?

Setiap kali mengingat apa-apa tentangmu -maksudku tentang aku dan kamu, tentang waktu yang pernah kita habiskan bersama, aku selalu tersenyum saat membayangkannya. Apakah itu artinya setiap detik yang kita lewati adalah sebuah keromantisan? Tapi kamu selalu bilang, aku bukan laki-laki romantis, aku pun mengakuinya. Aku tidak merasa dekat sekali dengan romantis yang kamu dan orang-orang maksud, aku bahkan tidak kenal dengannya. Aku tidak pandai berlaku layaknya laki-laki yang membuat perempuan yang disayangnya menjadi berbunga-bunga. Tidak, aku bukan tipe yang seperti itu. Terakhir kali kamu protes, aku hanya bisa diam saja. Harus dengan kalimat yang bagaimana, aku bingung menjawabnya.

Hanya kamu juga selalu bilang, aku tidak mudah ditebak. Apa yang kulakukan selalu menjadi surprise buatmu. Katamu kamu tidak pernah bisa menerka apa yang kulakukan, terutama di hari-hari penting kita. Yang kulakukan selalu berada di luar yang kamu sangka. Apakah boleh aku menganggap laku demikian sebagai sesuatu yang romantis? Setidaknya untuk mengurangi bebanku karena protesmu yang selalu menganggap aku tidak ada romantis-romantisnya.

I L U S I

Aku tidak akan pernah bisa menyentuh perempuan-perempuan sepertimu. 

Tidak akan pernah aku dan kamu berada di satu jalur yang sama. 

Kita selalu saja akan melangkah secara  tidak beriringan. 

Sedetikpun adalah ketidakmungkinan untuk aku dapat membersamakan diri denganmu. 

Aku tidak cukup berhasil mengimajinasikanmu dalam masa depanku.


Karenanya aku mulai diam, mulai tidak bersuara, dan mulai memperlambat langkah. 

Kamu memang sebaiknya berada di depan sana. 

Jauh di sana yang bahkan punggungmu saja hanya dapat kulihat samar

Begitulah kita. . . . . .


Selama ini kita terjebak, aku dan kamu sama-sama tidak sadar

Pertemuan kita nyata, tapi tidak untuk harap dan imajinasi yang terangkai

Semuanya semu dan palsu 

Rencana yang kita buat tidak lebih dari sekedar wacana

Tidak akan pernah ada wujud nyatanya


Percuma. . . . . . . .

Sebaiknya aku berhenti menghubungimu

Pun kamu sebaiknya tidak perlu meresponku

Ini ilusi, dan selamanya akan menjadi ilusi

Selasa, April 04, 2017

Karena Dipermainkan Oleh Jarak

Kamu yang pernah bertemu denganku, masih ingat dengan liburan yang pernah kita rencanakan tempo hari? Ah, aku rasa sudah lupa. Jangankan dengan rencana liburan, denganku saja mungkin kamu susah untuk mengingat lagi. Aku sudah tertelan oleh kesibukanmu, terbenam oleh banyaknya orang-orang baru yang kamu kenal. Jarak juga sama, berkolaborasi dia dengan waktu untuk membuat kita seperti dua orang yang tidak saling kenal. Mereka kejam, egois juga kurasa. Sedikitpun tidak mau mengalah. Dia buat kita terpisah dalam hitungan kilometer yang entah berapa ribu, juga dalam jeda waktu yang tidak tahu sampai kapan batas akhirnya.

Malam tadi rasanya aku baru saja memimpikan kamu. Tidak begitu jelas kuingat, tapi cukup berhasil membuka lagi lembaran pertemuan kita yang sudah lama berlalu. Rasanya seperti membersihkan debu pada kulit buku yang lama sekali tergeletak di atas meja di rumah tak berpenghuni. Tidak ada selama ini tangan yang menyentuh. Luput dari perhatian dan kepentingan.

Sama denganku, aku bukan seorang yang layak untuk dapat perhatian, bukan juga seorang yang bisa kamu anggap penting. Aku seorang yang layak terlupakan, seorang yang tidak ada gunanya untuk diingat. Sampai kapanpun sepertinya akan begitu.

Ya sudah, mungkin sudah begitu garis hidupku, aku tidak akan mampu membangun komunikasi yang baik denganmu. Kita terlalu fokus pada banyak hal di luar ini. perhatian aku kepadamu atau kamu kepadaku tidak pernah berjalan baik, yang ada adalah perhatian kita tercurah pada kehidupan masing-masing, dan kita -khususnya aku seperti tidak berusaha untuk membersamakannya.

Membersamakannya pun buat apa? Aku dan kamu agaknya tidak akan pernah bisa menjadi kita. Aku yang saat ini sedang rindu, bukanlah merasakan rindu yang sebenarnya. Hanya rindu semu, rindu yang tercipta karena dipermainkan oleh jarak.




Sabtu, Maret 25, 2017

Tidak Ada Pertemuan Yang Salah

Apapun itu, aku percaya bahwa pertemuan tidak akan pernah ada yang namanya salah tempat, tidak akan pernah ada yang namanya salah waktu, tidak juga akan pernah ada yang namanya salah orang. Itu mustahil. Tuhan telah merancang semuanya. Kau anggap kebetulan pun tidak akan berpengaruh apa-apa. Lagi pula kebetulan yang kau maksud dapat terjadi juga adalah akibat dari ulahmu sendiri di waktu sebelumnya.

Sementara aku, tidak pernah ada alasan untuk mengimani yang namanya kebetulan. Setiap yang terjadi adalah sebuah kesinambungan. Yang hari ini terjadi adalah muara dari yang terjadi di hari sebelumnya. Dan yang terjadi hari ini adalah alasan mengapa kejadian selanjutnya terjadi di hari esok.

Aku ingat pada pertemuan denganmu. Seolah kental sekali nuansa kebetulannya. Padahal unsur kebetulan hanyalah fatamorgana saja. Sebenarnya ada banyak hal yang sebelumnya sudah terjadi, yang berakibat kita bertemu di waktu itu, di waktu yang tidak pernah aku dan kamu sangka, di tempat itu, di kota arang yang sama sekali tidak pernah aku ataupun kamu membayangkannya.

Jadi, tanya yang mungkin akan kamu lontarkan saat ini, mengapa kita bertemu kalau ternyata hanya untuk sekedar saling tahu nama? Mengapa juga kita bertemu jika pada akhirnya berpisah lagi dan tanpa bisa kita pastikan kapan pertemuan selanjutnya?


Harus kamu pahami bahwa pertemuan terjadi bukan saja untuk menciptakan pertemuan selanjutnya. Seperti aku dan kamu misalnya. Aku sampai detik ini belum melihat adanya kemungkinan kita akan bertemu lagi. Tapi lebih dari itu, kamu yang hadir sudah membantuku untuk menyikapi hubunganku yang sempat longgar dengan Tuhan. Mungkin sulit kamu pahami apa maksudku. Tapi demikianlah adanya. Pertemuan denganmu membuat hubunganku dengan Tuhan menjadi dekat lagi. 

Rabu, Maret 22, 2017

Jarak

Kau takut pada jarak, kira-kira begitu yang kamu sampaikan waktu itu. Barangkali semua orang juga punya ketakutan pada hal yang sama. Hubungan macam apa yang bisa diperbuat saat jarak ikut andil di dalamnya?

Pastinya pernah kamu baca sebuah kalimat, bahwa jarak adalah penghasil rindu, dan rindu adalah pertanda adanya rasa. Tapi kamu bilang selalu takut pada jarak. 

Jarak seperti apa yang sebenarnya membuatmu takut? 

Sekarang jarak sudah bisa diperkecil. Kita bisa saling bercerita di kolom-kolom chat atau via telfon. Kita bahkan bisa melihat ekspresi masing-masing lewat video call. Lalu apalagi yang kamu takutkan?

Jumat, Maret 17, 2017

Jarak Yang Jauh Sangat Dekat Dengan Ketidakpastian

Satu dari sekian detik termenyenangkan dalam hidupku adalah saat notifikasi gadget memunculkan sebuah pesan darimu. Ya itulah kebahagiaan sederhana yang akhir-akhir ini gemar datang menyambangi. Sebuah pesan dari seorang yang jauh, sekaligus begitu dekat dengan ketidakpastian, kau tahu itu.

Perempuan selalu membenci ketidakpastian, laki-laki sebenarnya juga. Tapi hebatnya, perempuan seringkali berhasil menjadikan ketidakpastian sebagai tameng, sebagai alasan untuk mengatakan tidak. Sebagai alasan untuk menolak pria-pria yang coba mendekat. Tidakkah kalian para perempuan menyadari bahwa laki-laki yang coba mendekat adalah mereka yang berhasil memasung ketidakpastian yang mereka pikirkan tentang kalian?

Francois Hollande, seorang yang pernah menjabat sebagai Presiden prancis, juga sangat membenci ketidakpastian. Tidak ada yang lebih buruk dari ketidakpastian. Ketidakpstian seringkali menghasilkan prilaku tidak rasional. Tapi itu tidak ada hubungannya. Ini situasi berbeda, Hollande benci ketidakpastian karena waktu itu Inggris tidak kunjung menyatakan sikap terkait kebijakan mereka untuk keluar dari Uni Eropa. Sementara kamu benci ketidakpastian karena takut terluka.


Oke, lupakan sejenak tentang ketidakpastian. Aku telah berusaha meredamnya –untuk diriku sendiri dan mungkin berhasil. Hanya saja kini kamu berlindung di balik jarak. Untuk urusan ini aku harus memutar otak lebih keras. Jarak adalah momok, adalah ketakutan, adalah dasar kecurigaan, adalah sumber dari prasangka-prasangka tidak baik. Bagaimana meredamnya?

Kamis, Maret 16, 2017

Casual

Untuk siapa prosa-prosa itu kutulis, tidak perlulah rasanya kamu bertanya. Semenjak kita bertemu November tahun lalu, aku tiba-tiba saja gemar mengandaikanmu. Dalam tulisan akhirnya aku introduksikan semuanya. Semua yang berhubungan dengan kamu terasa baik untuk dilukiskan dalam desain-desain kata yang sedang aku coba merangkainya. 

Seorang perempuan tanpa penutup kepala, berambut panjang sepinggang, berkulit putih, bertubuh tinggi dan bermata sedikit sipit. Itulah gambaran kamu yang pernah kuterjemahkan dalam prosaku.

Barangkali kamu geli ketika membacanya, atau semoga lebih baik dari itu, kamu tersenyum, menyaksikan diri sendiri tengah dipuji oleh seorang yang tidak begitu kamu kenal. Ada orang yang diam-diam, hanya dalam 2 atau 3 kali bertemu, ternyata dia menyukaimu. Seorang yang gesturnya ketika bertemu denganmu sama sekali tidak menyiratkan apa-apa, tidak memunculkan pertanda barang setitik. Ya, itulah aku dengan segala keterdiaman dan penyembunyian hasrat.

Perempuan bergaya Casual. Kamu menunjukkan bahwa tampil sempurna tidak harus mewah. Tampilan biasa saja sudah bisa menampakkan pesona yang kamu punya. Dan kamu tahu, bahwa ke-Casual-an mu itulah yang sebenarnya memikatku. Aku benar-benar jatuh cinta pada gaya Casual.

Sayang, aku belum dapat mengenalmu lebih jauh. Sempitnya pertemuan kita adalah alasan, yang mengharuskan aku pandai menerjemahkan tampilanmu untuk dapat kuperkirakan seperti apa kamu sebenarnya. Dan sepertinya aku sudah cukup mahir walau tidak mahir-mahir amat. Karena apa-apa tentang kamu yang dapat kusaksikan kasat mata, sedikit banyaknya dapat diperkirakan bagaimana kamu yang sebenarnya.

Senin, Maret 13, 2017

Permainan Waktu dan Tanggal Main Pertemuan Berikutnya

Sediakan sedikit waktumu, sama sekali aku tidak akan minta banyak. Cukup di penghujung senja saja, atau saat beberapa menit setelah hujan reda. Itu waktu favoritku. Waktu damai yang membuat semua perhatianku akan tercurah utuh kepadamu. Pun kamu menginginkan hal yang demikian juga bukan?

Aku masih tidak habis pikir dengan yang kemaren kita bicarakan. Aku tidak peduli kamu menganggap bahwa yang kita bahas itu hanyalah candaan atau memang ada terbersit niat olehmu. Tentang pertemuan kita yang selanjutnya, apakah masih mungkin terjadi dengan keadaan yang sekarang ada?

Yang aku pikirkan, bagaimana aku dan kamu akan menyiasati pertemuan itu? Kita jelas terbatas oleh 2 kota yang jaraknya berjauhan. Kamu tidak ada alasan untuk mampir ke kotaku, aku pun tidak punya keperluan untuk singgah di kotamu. Jadi bagaimana sebaiknya?

Sampai detik ini kita adalah 2 orang yang masih dalam tahap saling mengenal. Yang akan muncul jika aku datang ke kotamu atau kamu mampir ke kotaku hanyalah kecanggunan. Dan kita bertemu untuk sebuah kecanggungan? Jelas tidak. Tidak ada orang yang mau terjebak dalam kecanggungan.

Lagi pula, katamu kamu pendiam, maka apa pula yang akan terjadi jika dua orang pendiam yang baru kenal tiba-tiba bertemu? Dapat kamu bayangkan bagaimana mencekam dan membosankannya suasana yang nanti tercipta?

Yang kupaham, ini adalah permainan waktu, yang sudah berkolaborasi apik dengan cara kita memainkan keadaan, memerankan diri, dan mencoba saling memasuki dan mengenal. Kamu paham maksudku? Aku rasa tidak, maka baiklah, akan kujelaskan dengan bahasa yang semoga lebih mudah kamu memahaminya.


“Aku percaya bahwa setiap pertemuan mempunyai kelanjutan. Karenanya, jumpa kita beberapa waktu yang lewat akan terulang lagi suatu hari. Tempatnya sudah berbeda, dan suasanya pun tidak lagi sama. Kita akan bertemu lagi untuk sebuah alasan yang lebih kuat. Tunggu saja tanggal mainnya.”

Sabtu, Maret 11, 2017

Kagum, Dan Ekspresi Yang Tidak Muncul

Berkalang dengan bimbang adalah satu mozaik hidup yang tidak menyenangkan. Kepala dibuat panas karena berpikir keras, dada dibuat terpaksa bergemuruh lebih kencang, dan perasaan dibuat luntang lantung tidak beraturan. Agaknya percakapan kita tempo hari, yang berakhir setelah larut malam menjadi penyebabnya. Bagaimana bisa? Ya, apapun bisa terjadi bukan? Dunia ini banyak sekali ketidakterdugaan di dalamnya.

Aku sudah cukup lama menjadi pengagummu. Dan menjadi seorang pengagum menurutku tidaklah harus memunculkan ekspresi sebagaimana mestinya. Cukup dalam keadaan tertentu yang dinyatakan layak saja. Berbulan-bulan aku berhasil menutupnya rapat-rapat. Mulanya aku beranggapan bahwa kagum itu akan menguap diam-diam, seiring dengan waktu yang terus berjalan tanpa perhentian, berikut dengan jarak yang membuat kita semakin kecil peluangnya untuk berjumpa, bahkan hanya untuk sebuah ketidaksengajaan. Nyatanya ada banyak sisipan-sisipan Tuhan yang terlambat aku menyadarinya.

Hari itu melalui kolom chat, tabir-tabir lama mulai terbuka lagi satu persatu. Perlahan dia menyibak di permukaan, memunculkan diri dalam keadaan yang sedikit di luar dugaan. Jika saja aku pandai berkata-kata, maka pastilah suasana berbeda sudah tercipta dari lama. Tapi tidak masalah, karena inilah yang menjadi penguat cerita, yang layak untuk diangkat menjadi satu topik pembahasan baru. Bahwasanya kagumku sepertinya mulai menetas, atau mungkin mulai berevolusi menjadi bentuk perjuangan.


Bagaimana menurutmu? Layakkah? Tidak, aku tidak sempat lagi berpikir bahwa ini layak atau tidak. Berjuang bukan karena sebuah kelayakan, tetapi karena ada yang memang perlu diperjuangkan, ada titik yang mutlak harus dicapai. Detik ini rasanya aku sedang ditikam kesadaran baru. Percakapan denganmu baru saja menyiratkan satu hal, yang tanpa aku jelaskan pun, rasanya kamu bisa menebak kemana arah bicaraku.

Kamis, Maret 09, 2017

Batas Mampu

Ada banyak hal sederhana yang dunia ini ciptakan untuk dapat membuat penghuninya tersenyum. Satu diantaranya sudah dunia haturkan kepadamu. Dan itu agaknya adalah cara yang paling sederhana diantara yang sederhana, hanya lewat beberapa baris tulisan yang terpampang bebas di dunia maya. Di dalamnya ada satu atau dua kalimat semi romantis yang menjadi inti dari semuanya. Menjadi sumber senyum untuk bibirmu, dan hatimu juga barangkali.

Kamu tahu, kadang kalimat-kalimat yang demikian terbilang indah dapat tercipta bukan karena jiwa sastra penulisnya, bukan pula karena kemahirannya merangkai kata yang sarat makna. Kepiawaiannya memadu-madankan kata dapat saja muncul tanpa sengaja, akibat mulut tidak mampu berkolaborasi baik dengan kata hati. Pita suaranya tidak mampu bergetar untuk ukuran yang dapat didengar manusia. Tidak bisa mulutnya meneriakkan kalimat yang sudah disusun rapi oleh hati. Akhirnya, apa-apa yang hati rasakan, lewat rangkaian tulisan sajalah semuanya dapat dia teriakkan.

Jadi, bagaimana perasaanmu saat tahu reaksi hatinya setelah kalian bertemu, dan setelah dia berhasil membuatmu tersenyum dalam diam? Jangan kamu coba menodong dia dengan pertanyaanmu yang bernada tegas dan sangat menjurus, tidak akan sanggup dia menjawabnya. Jika pun ada kata yang terdengar, bukanlah itu jawaban yang sebenarnya, bukan demikian kata yang disusun oleh hatinya di dalam sana. Kamu perlu lebih peka, misalnya membuat dia tidak perlu menjelaskan lebih jauh tentang apa yang sudah terjadi. Dia sudah coba mengungkapkan, dan hanya di situlah batas mampunya. Giliranmu sekarang untuk mengambil peran lebih. Jangan biarkan gejolak hatinya meredup begitu saja karena tidak lagi mampu bekerjasama dengan waktu. 

Jumat, Februari 24, 2017

Kalimat Yang Mengubah Semangat


Kau tahu bagaimana cara menjadikan hidupmu baik? Bermakna? Berarti? Bahagia? Layak diingat setiap detiknya? Jangan risau jika kau rasa belum mendapatkannya. Hanya waktu dan keadaan saja yang belum berpihak. Semua akan menyapamu jika kau sendiri pandai bermain dengan peran dan keadaan yang ada.

Ada banyak orang yang berlalu lalang disetiap harimu, sebagian dari mereka menyapa, tetapi yang lain tidak. Sebagian dari mereka cukup akrab denganmu sementara yang lain tidak peduli sama sekali bahkan tidak kau kenal, banyak malah. Kau perlu paham bahwa sebagian makna kehidupanmu ada pada kehadiran mereka yang menyapa. Mereka, jika kau berdamai dengan peran dan keadaan, maka akan membuat hidupmu terasa baik dan berarti.

Jangan tanyakan dulu apa kau bahagia atau tidak dengan kehadiran mereka, kau hanya perlu menyadari, apakah hari-harimu setelah dan sebelum ada mereka berbeda? Apakah kehadiran mereka membuat setiap detik di hari-harimu layak untuk diingat?

Aku sendiri yakin, dari sekian banyak mereka yang hadir, ada satu yang mempengaruhimu secara menyeluruh. Jika kau bicara dengannya, maka setiap kata yang terbit dari pita suaranya bagimu adalah suara merdu yang menimbulkan semangat. Dan jika kau dan dia saling berbalas pesan atau chattingan, maka setiap kata dalam tulisannya akan berevolusi menjadi kalimat-kalimat yang khidmat sekali kau resapi.

Senin, Februari 20, 2017

Percakapan Tanpa Ujung

Ada pertanyaanku yang rasanya butuh sekali untuk kamu dapat menjawabnya. Tidak begitu penting, tetapi penasaran seperti memaksa untuk aku terus menagih jawabanmu melalui gejolak-gejolaknya.

Menurutmu apa yang membuat kita tiba-tiba menjadi akrab? Aku tidak begitu yakin dengan jawabanku. Barangkali karena baru saja aku telah menemukan watak yang memang sedang dibutuhkan. Sebuah pikiran yang pandai menyesuaikan dengan keadaan. Satu sikap yang mahir sekali memainkan peran. Itu versiku. Lalu versimu, apa yang sebenarnya membuat kamu tiba-tiba enggan mengakhiri percakapan?

Sejauh ini aku dan kamu masih berusaha untuk sekedar saling mengenal. Entahlah yang akan terjadi di hari berikutnya. Kita sudah cukup banyak membahas hal, mulai dari yang remeh temeh sampai yang sedikit berbobot, mulai dari yang konyol hingga yang agak serius. Tidakkah kamu merasa ada yang janggal?

Terlepas dari kamu sadar atau tidak, kita nyatanya telah mengobrol lebih dari sekedar untuk mengisi pembahasan hari ini saja, melainkan sedikit demi sedikit juga tanpa sadar sudah kita coba sematkan tentang hari di depan nanti meski belum jelas betul ujung pangkalnya. Jadi inti pertanyaanku, ada apa antara aku dan kamu yang sedang larut dalam percakapan tanpa ujung?


Sabtu, Februari 11, 2017

Fotogenik

Padang, Januari 2017

“Tidak, yang seperti itu bukan wajah orang sini. Nampak beda sekali. Kulitnya tidak sawo matang melainkan putih, matanya juga terlalu sipit untuk ukuran orang sini. Tapi bahasa dan logatnya sangat kental, sepertinya terlahir dan besar di sini.”

Memangnya kenapa? Ada masalah apa kalau dia memang bukan orang sini tapi lahir dan besar di sini?

“Tidak, aku hanya tertarik saja ketika dia datang, ketika dia ikut bergabung lalu membuat suasana menjadi lebih ramai. Suaranya lebih dominan daripada yang lain, gerakan tangannya lebih aktif daripada yang lain. Dan terakhir, ketika dia tertawa atau tersenyum, kedua mata sipitnya itu nampak hilang tertelan kulit pipi dan alis tebalnya.”

Kapan kamu saksikan?

“Waktu aku main ke kampusnya. Di kantin kampus kami duduk, dengan kawan-kawannya awalnya –yang hari itu baru kukenal secara nyata, sebelumnya cuma via media sosial. Dia lalu datang dan ikut bergabung.”

Sudah kenalan?

“Waktu itu kami berjabat tangan, menyebutkan nama masing-masing yang sebenaranya jika tidak disebutkan pun kami sudah sama-sama tahu. Dia sendiri yang bilang begitu, mungkin karena kami sudah saling berteman di dunia maya.”

Lalu apa yang membuat dia jadi menarik?

“Aku tidak begitu paham. Mungkin karena sebelumnya dia sering muncul di timeline, kadang kami saling berbagi like tanpa berpikir apa-apa kecuali ‘main sosmed’. Dan hari ini ternyata ketemu aslinya.”

Jika dipandangi, lebih menarik di Sosmed apa yang asli?

Setiap orang nampaknya adalah fotogenik dengan aura tersendiri. Aku rasa itu sudah cukup mampu menjawab, kan?”

Itu percakapanku dengan kawan lama, menggunakan bahasa daerah yang telah dimodifikasi kalimatnya, tapi sama sekali tidak mengubah maksud dan benang merah topik pembicaraan. Hingga akhirnya kota malam itu diguyur hujan deras, entah sampai jam berapa, aku sudah terlanjur larut dalam kenyamanan bersama selimut tebal sebelum tengah malam menjelang. Yang masih kuingat sebelum mata benar-benar terpejam, terakhir kali aku menyaksikan layar gadget yang menampilkan fotonya, foto perempuan yang tadi aku dan kawanku bicarakan, sepertinya dia akan mulai menjadi topik di beberapa tulisan di blogku. 

Kamis, Februari 09, 2017

Pluviophile; Aroma Kopi dan Detik-Detik Terbaiknya

Aroma seduhan kopi panas? Itu sama sedapnya dengan aroma tanah yang muncul setelah hujan reda. Rona harumnya berbeda, tetapi keduanya sama-sama menghasilkan nuansa penenang jiwa. Adalah nikmat istimewa ketika seorang pecandu kopi menyadari ternyata dirinya juga seorang Pluviophile. Nikmat yang tidak terbiaskan ketika suasana dingin sesaat setelah hujan berhenti menyiram bumi berpadu dengan kepulan asap dari segelas kopi yang terhidang. Beradu baunya, lalu menyatu menghasilkan aroma baru yang semakin membuat candu.

Tidak jauh berbeda denganmu, kehadiranmu adalah bagaikan senja. Pembatas siang dan malam yang jingganya tiada sungkan memberi pesona. Dibuat candu? Rasanya iya. Tapi tidak, ini candu yang berbeda. Entah bagaimana pula rasanya ada kamu saat kopiku terhidang, ketika sedang menikmati senja yang baru saja berhenti diguyur hujan. Mungkin jingganya tidak sepekat biasa, tetapi berkatmu hari menjelang malam menjadi tidak surut indahnya.

Begitulah kadang. Jiwa butuh beberapa nuansa yang tidak sama untuk saling dipadukan, hingga akhirnya didapat suasana terbaik yang diinginkan hati guna menciptakan detik-detik terbaiknya.

Kamis, Februari 02, 2017

Candu

Jika kamu tanyakan semenjak kapan aku menjadi seorang Pluviophile, maka tidak bisa kujawab tepatnya kapan. Aku lupa, maksudku aku tidak pernah peduli dengan segala macam istilah tentang hobi anehku ini. Menyukai hujan? Tidak, aku tidak begitu tertarik. Hujan seringkali membuatku malas. Tetapi hujan reda membuat semuanya jadi indah. Bukan, bukan pelangi seperti yang disangka banyak orang. Yang selalu memamerkan keeleganan warnanya begitu butir-butir air berhenti menyiram tanah. 

Yang kusuka saat hujan reda adalah ketika tanah yang disiraminya menimbulkan aroma. Barangkali tidak dapat kamu nikmati sensasinya. Aku pun mulanya tidak peduli, tetapi aroma tanah setelah hujan selalu mendatangkan candu. Seringkali menghadirkan inspirasi, sedikit cerita selalu diukirnya, atau dibawanya aku ke kisah masa lama yang sarat makna. Juga, alasan lain yang membuatku candu, aroma tanah setelah hujan selalu mampu menangkal rindu.

Selasa, Januari 17, 2017

Hanya Sebatas Nyaman

Menuangkanmu dalam imajinasi adalah serasa melihat ketidakmungkinan. Saban hari aku menyemogakanmu tidak akan berguna. Bagaimanapun juga pada akhirnya nanti setiap yang aku semogakan akan tetap menjadi pahit, yang setiap saat aku semogakan hanya akan menjadi harap yang tidak akan pernah berubah nyata.

Kadang percaya diri menguap dengan sangat mudah, menghilangkan banyak harapan dan rencana ke depan. Apa boleh buat, ini risiko dari ketahudirian. Tidak begitu baik sebenarnya, tetapi tuntutan lingkungan, tuntutan kehidupan, dan tuntutan dunia sekalipun memaksa untuk harus berlaku demikian. Karena percaya diri juga punya batas sejauh mana ia boleh melaju.

Dapat saja sebenarnya kamu membawakan diri, menyelaraskan dengan tempat dimana aku berdiri, seperti yang belakangan ini coba kamu terapkan. Tapi tidak sayangkah? Kamu sudah raih apa yang hari ini sedang aku usahakan. Dan kamu seharusnya terus melaju, menatap ke depan sana yang lebih cerah, bukannya menunggu bahkan berbalik badan mengiringi dan menunggu aku datang.

Harus kamu ambil pelajaran dari setiap hal yang terjadi, dan pertemuan kita adalah salah satunya. Boleh jadi ada rasa yang mengikat kita dipertemuan yang terjadi, tetapi tidak melulu dapat diterjemahkan ke dalam bahasa tubuh dan ungkapan.  Kadang rasa hanya sebatas nyaman yang tidak menetap lama, akan lenyap seiring dengan pertemuan yang semakin tidak intens bahkan tidak lagi pernah terjadi.


Jumat, Januari 13, 2017

Embun Yang Jatuh Senja

Embun senja, aku jarang mendengar sebelumnya. Apakah benar ada embun yang jatuh di waktu senja? Bagaimana rupanya? Dan menjadi seperti apa suasana sekitar dibuatnya? Apakah dia sejuk seperti embun pagi? Ragam pertanyaan muncul, membuat sore seringkali menjadi sedikit terkhususkan. Ingin melihat langsung, ingin menyaksikan ada tidaknya embun yang jatuh di waktu senja, dan jika ada ingin juga merasakan sejuknya.

Aku sejauh ini tidak percaya. Tidak ada embun apalagi menjelang malam, barangkali yang kamu maksud adalah hujan yang belum sempurna, gerimis orang menyebutnya. Butirnya kecil, tidak sebanyak hujan sesungguhnya, dan itu sangat berbeda dengan definisi embun yang kutahu.

Jadi, kapan dan dimana kamu saksikan embun senja yang katamu romantis?

Ah, barangkali sama saja, gerimis yang kamu sebut embun senja itu hanyalah butiran air yang turun dari langit. Mungkin suasana hatimu saja yang saat itu sedang damai, sedang jatuh rindu pada seseorang sehingga bagimu terasa sejuk dan romantis sore itu. Hmmm, entahlah. Aku sudah lama tidak jatuh hati, merasakan rindu apalagi. Sudah lupa aku bagaimana rasanya.