Selasa, Desember 31, 2013

if you know what i mean

keberadaanmu menjadi suatu keindahan yang berharga dikala semua seperti ini. walaupun tidak ada kata sapaan satupun yang pernah terucap diantara kami. tapi pandangan mata selalu seolah berkata lebih dari apapun. tidak banyak memang. tapi paling tidak mata ini dapat memberikan sebuah komunikasi yang lebih dari cukup untuk saling mangagumi. begitu hal kecil ini berdampak besar. tatapan di awal ketika pertama kali bertemu, seolah terlanjutkan oleh keadaan dan lokasi yang berdekatan dalam kehidupan.
sorot mata memandang itu benar-benar sebuah keindahan dan semangat. kekaguman yang berlebih hadir untuknya. begitu indahnya mata itu, tiada kata yang mampu terucap sehingga mata saja sudah lebih dari cukup untuk mengungkapkan sesuatu yang ingin dibicarakan mulut. seowang wanita dengan senyum manis. gadis pribumi dan tuan rumah kota ini. warga asli yang menunggu kedatangan kami untuk sampai di perantauan.
tatapan itu, sungguh sangat ingin sebuah sapaan aku hadirkan untukmu. tekat untuk itu semakin hari semakin kuat dan sangat sulit terkendali. namun, ketidakberanian terus saja menghalangi untuk itu. aku hanya seorang anak rantau sebatang kara dengan uang pas-pasan setiap bulannya. tidak berani dan sangat merasa minder untuk berbuat lebih jauh dengan seorang yang begitu sempurna. sampai terbawa mimpi, begitu sangat inginnya aku untuk menjadi yang bersandar di hatimu. menjadi pengisi hari yang membuatmu selalu menampilkan keceriaan dan senyum yang membuat banyak orang beralih pandang padamu.
4 tahun lamanya aku akan berada di sini. dan aku yakin, sebelum waktunya berakhir aku akan menjadi yang spesisal bagimu. kau akan merindu ketika tiba saatnya untuk aku kembali ke tanah kelahiranku. kau akan memiliki hasrat untuk menemuiku dan rela untuk menyebrangi lautan hingga akhirnya sampai di hadapanku yang sebenarnya juga sangat mnyimpan rasa rindu yang begitu dalam. untuk mu aku tulis ini, sebagai ungkapan hasrat yang ingin memilikimu. hanya ini yang mampu berkata karena ketidakmampuanku untuk berucap secara langsung. benar adanya jika aku menyukaimu. pandangan matamu ketika itu menghadirkan benih-benih rasa yang membuatku menjadi seperti ini. aku akan mengungkapkannya suatu saat nanti ketika aku merasa sudah bisa menyamaimu. kini aku masih di bawah. masih banyak yang ingin aku lakukan hingga aku benar-benar bisa setara denganmu. tunggulah karena waktu itu akan benar-benar tiba. dan kau akan berada di pelukanku

Selasa, Desember 10, 2013

CdBA

Perjuangan itu tidak akan pernah berakhir. Dan inilh tanah Jawa. Tempat yang dari dulu selau aku impikan untuk bisa mencicipi ilmu di sini. Belajar di Pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia. Dan hari ini semuanya akan segera di mulai. Adi mengantar ke tempat peristirahatan dan setelah itu berkunjung ke rumah seorang khatolik yang akan menjadi orang tua dan keluarga bagi kami selama berada di kota apel.
2 hari yang menyenangkan berada di perantauan bersama seorang sahabat yang selama 3 tahun ini selalu hadir di setiap peristiwa yang aku alami. Dan kini kami mengalaminya di tempat berbeda, bukan kampung halaman. Ini adalah daerah orang. Tidak akan semudah hidup di kampung sendiri. Tapi begitulah, 2 hari ini adalah awal dari semuanya. Adi memperkenalkan akan kota Malang secara lebih dekat. Kota yang mulai aku cintai sejak beberapa waktu sebelumnya, dan bermimpi akn menginjakkan kaki di sana, dan sekarang tuhan mendengar mimpi-mimpi itu. tinggal aku menjalankan dengan sebaik-baiknya apa yang telah Ia anugrahkan untuk seorang bocah dari kampung ini.
Ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang akan penuh dengan tantangan. Sejak ditinggal adi, 2 shari sejak aku sampai di Malang, perjalanan itu mulai terasa. Kesenangan sesaat ketika bersama sahabat berada di perantauan ternyata hanya memang benar-benar sesaat. Kini perjuangan itu benar-benar sendiri.
Aku hanya mencicipi puasa selama seminggu di kampung halamanku, setelah itu harus terbang ke Malang utuk menylesaikan masalah administrasiku dalam melanjutkan sekolah. Ya, malang adalah tempat yang aku pilih untuk menuntut ilmu lagi setelah lulus dari SMA. Sisanya, aku menjalani puasa di perjalanan dan di malang sendiri.
                merasakan bagaimana pahitnya hidup, melakukan segala sesuatu sendiri, dan yang paling terasa ketika itu adalah dimana harus sahur dan berbuka sendiri dalam sebuah kamar berukuran 4x4 meter dengan lauk seadanya. Tidak ada saudara, tidak ada keluarga, dan tidak ada siapapun orang disini yang mengenalku. Berjuang melewati badai kesepian, paling tidak 3 minggu lagi hingga bulan suci penuh berkah ini berakhir. Dan itu terasa sangat lama sekali.
Terkadang air mata mengalir tanpa disadari saat, suapan pertamaku berbuka puasa. Delapan belas tahun aku hidup di dunia, inilah moment berbuka puasa yang terasa sangat menyedihkan. Bahasa dan adat mereka yang berbeda menambah kesusahan untuk jiwa yang sedang bergejolak ini.

Terkadang muncul sebuah penyesalan. Mengapa aku berani mngambil tindakan bodoh seperti ini. Berada di tempat yang jauh, berada di sebuah tempat yang sama sekali belum pernah dikunjungi keluargaku. Hanya bermodal dari search engine bernama google, di situlah aku mengenal apa yang aku lakukan sekarang, dimana ragaku berada saat ini, dan bagaimana aku saat ini. Hanya saja, yang lagi-lagi terbayang hanyalah sebuah penyesalan. Semangat yang dulunya sangat menggebu ingin kuliah di tanah jawa, yang sekarang sudah tercapai hilang seketika hanya karena sebuah kesepian. Kesepian yang benar-benar mencekam. Dilebaran yang seharusnya berbahagia, aku hanya bisa meratapi kesepian dan kesedihan akan keputusan yang baru saja aku ambil.

Terasa hilang janji keindahan yang pernah disampaikan oleh bayangan putih yang menemaniku sejak meninggalkan rumah sampai keluar dari stasiun kota malang beberapa waktu yang lalu. Kini dia entah kemana. Aku sedang kesepian dan tidak ada yang menemani. Tentu saja aku berharap akan kehadirannya, namun rasanya sebuah kemustahilan setelah waktu itu aku ditinggalkannya dan harus berjuang sendiri untuk menjalani kehidupanku di sini, di bumi Arema

Senin, Desember 09, 2013

Dia Manis

                Sekelebat cahaya flash yang tidak sampai satu detik lamanya, cukup punya daya Tarik yang kuat untuk mengubah fokusku yang sebelumnya tertuju pada panggung. Sorotan dari samping kanan itu langsung membuat pergerakan reflex di bagian kepalaku. Terlihat seorang berkerudung kuning di sana sedang memandangi layar kamera SLR di tangannya. Sedikit focus untuk melihat hasil jepretannya barusan. Memandangi setiap sudut yang baru saja berhasil ia abadikan.
                Kini pandangannya berubah, tidak lagi melihat kamera yang sedang dipegangnya. Pandangannya kini tertuju pada objek yang baru saja ia abadikan. Dan objek tersebut adalah benda hidup yang sedang menatapnya karena membuyarkan konsentrasi. Yang tadinya kearah panggung, Kini justru kepada seorang gadis manis yang sedang melaksanakan tugasnya.
                Ketika pandangan itu berubah, sebuah senyum ia hadirkan kepadaku yang baru saja menjadi objek jepretannya. Terlihat sangat manis senyum itu. ditemani dengan suara tak karuan dari atas panggung, dan sinar kerlap-kerlip dari remangnya cahaya lampu. Menghadirkan sebuah keanggunan yang sungguh luar biasa.
                Sebuah senyum yang jika di balas dengan senyum pula, terkadang menyisakan sebuah getaran yang sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Pesona semakin membahana membuat tidak ada objek lain yang lebih enak untuk dipandang. Dan itu adalah sebuah anugerah. Sebuah senyum indah di hadirkan Tuhan untukku di bawah cahaya remang-remang malam itu.
                Jam digital yang melingkar bersama gelang di tangan kiriku ketika itu menunjukkan angka 22.30, yang seharusnya mnjadi akhir dari semua rangkaian acara, tetapi tidak dalam kenyataannya. Masih ada kehebohan yang terjadi kala itu. dan aku memutuskan untuk mundur sebentar menghilangkan sesak nafas akibat desakan di depan panggung.
Seorang wanita tampak sedang duduk di bawah pohon yang tempatnya tidak terlalu ramai lagi dari jangkauan penikmat acara. Menyendiri dengan mengarahkan mata ke panggung adalah caranya untuk menikmati kemeriahan malam itu. kemudian aku hadir di hadapannya. Senyumnya menyambutku yang baru saja datang dan mempersilahkan aku duduk di bawah pohon yang sama tepat di sampingnya. Wajahnya tetap masih kelihatan samar-samar akibat pantulan cahaya panggung. Tatap menatap bola mata adalah awal dari percakapan kami untuk pertama kalinya.
                Setiap momen ketika itu terasa begitu sangat indah. Tanah jawa mempertemukan orang luar dan mungkin sebuah perasaan lain akan hadir di antara itu semua. Aku merasa kini benihnya sudah mulai tumbuh. Pandangan awal dengan sebuah senyum tadi selalu membayang. Membuat aku betah untuk duduk berlama-lama dibawah pohon malam itu, dan tidak ingin acara ini segera usai.
                Percakapan itu terjadi. Betapa sangat tenteram rasanya. Sungguh luar biasa malam itu. Duduk berdua di bawah pohon sambil menikmati musik walaupun kedengarannya tidak terlalu enak. Beberapa saat lamanya ketenteraman itu menyelimuti hati yang sedang kesepian ini. Angin malam berhembus menemani. Dan beberapa deheman dari panitia lain menyindir dan memprediksi akan terjadi sesuatu setelah ini. dan kita tentunya sama-sama tahu, apa hal tersebut. Aku tidak berani berharap banyak, tapi sekedar untuk diakui, bahwa aku bukan seorang munafik, hati ini tidak bisa berbohong akan apa yang terjadi dan berkecamuk di dada sebenarnya
                Tapi mungkinkah? Apakah ketenteraman ini hanya aku yang merasakan? Pertanyaan itu menghalangi untuk merasakan ketentraman yang benar-benar nyata. Banyak hal yang bisa aku bicarakan dengannya. Tapi tidak untuk hal yang satu ini. hal yang yang justru sangat penting. Apakah aku bisa merasakan ketenteraman yang lebih dari gadis Sumatera yang aku mulai menaruh rasa padanya?
                Tidak ada kata “YA” ataupun kata “TIDAK” sebelum yang dirasakan tersampaikan. Dan Itu adalah hal yang sangat berat. butuh kekuatan dan keberanian untuk menyampaikannya. Hanya saja kekuatan itu tidak ada saat ini. dan goresan tinta ini, hanya akan menjadi saksi akan sebuah rasa yang sangat sulit terungkap lewat rangkaian kata.

                 



Minggu, Desember 08, 2013

Catatan dari Bumi Arema 1

                Paling tidak aku tahu sekarang, dia adalah anak Malang asli. Entah asalnya memang benar-benar dari Malang sejak dulu atau hanya sebagai perantau yang singgah di kota pendidikan dan pariwisata ini. Yang aku tahu hanyalah, dia sebelumnya adalah lulusan dari salah satu SMA di kota ini. Yang letaknya entah dimana tidak aku ketahui. Mungkin sedikit jauh, karena aku sudah sering berkeliling di sekitar tempat aku tinggal dan kampus, tidak pernah aku lihat papan yang menunjukkan bahwa di sana terdapat bangunan yang menjadi bekas tempatnya menuntut ilmu. Mungkin agak berada di bagian tepi, karena brawijaya sendiri terdapat di tengah-tengah kota, dan di kisaran tersebut tak pernah aku melihat bangunan bertuliskan SMA Negeri %-) Malang.
                Mengetahui hal ini, semakin menambah semangat dan dorongan ku untuk mengenal si manis itu. Kulit putih dan hidung mancungnya sangat mempesona apalagi di tambah sebuah senyum yang anggun disertai sorotan mata yang elegan.
                Rencana awal yang aku tulis sebelum menginjakkan kaki di sini sepertinya mulai mendapatkan pintu untuk melanjutkannya. Ketika itu, tepat sehari sebelum berangkat, di tengah dinginnya malam pada hari ke 7 bulan Ramadhan, sebuah bayangan seorang dengan memakai pakaian putih hadir di awang-awang kamarku dan membuat aku tertegun dan fokus ke sana berapa saat. Sebuah pencerahan datang, ketika sebuah kebimbangan masih menghantui akan pilihan dan langkah besar yang akan aku lakukan beberapa saat lagi. ini adalah hari terakhir aku memandangi langit-langit kamar untuk satu tahun ke depan. Dan aku akan pergi meninggalkan tanah kelahiranku, mengikuti jejak pendahulu-pendahuluku yang sudah menjadi kultur dan keharusan, mengikuti pepatah minang yang tidak bertentangan dengan syariat, melangkahkan kaki keluar dari tanah kelahiran, menuju perantauan yang masih gelap, entah bagaimana adat istiadat dan gaya hidupnya orang-orang di sana.
                Semua berkecamuk dalam benak, apa aku memang harus melakukan seperti generasi-generasi sebelum kami bertitah, “ketek di kampuang, gadang di rantau”. Ya, itulah yang di pegang pemuda minang sampai sekarang. Harus meninggalkan kampung halaman, harus meninggalkan orang-orang yang di sayang, harus meninggalkan semua kenangan yang pernah diukir. Dan sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan. Melelehkan air mata tanpa sadar ketika dalam pertimbangan ini.
                Tetapi, bayang-bayang putih di awang-awang tadi, memberikan sedikit inspirasi yang tidak bersebrangan dengan hal-hal yang dititahkan para leluhur. Pergilah merantau, dan akan ada hal baru yang akan ditemukan disana. Pengalaman baru yang akan di dapat yang tidak ada jika hanya berdiam diri di kampung halaman.
                Bayang-bayang itu seperti berkata, inilah yang harus aku lakukan. Ini adalah malam terakhir untuk satu tahun ke depan. Ini adalah sebuah perpisahan sementara. Dan air mata yang mengalir dari orang-orang yang menyayangiku esok hari, adalah awal dari sebuah kebahagiaan yang akan aku antarkan ketika pulang nanti.
                Dan aku terlelap dalam beberapa saat bersama bayangan putih yang menemaniku. Seperti memastikan bahwa ketika bangun esok hari, aku tidak berubah pikiran. Aku akan mengikutinya ke tempat yang tidak aku kenal. Dia menemaniku dalam tidur yang penuh dengan lelehan air mata yang dijanjikannya adalah awal dari sebuah kebahagiaan yang menanti, ketika aku pulang kelak.
                Mata sembabku sulit untuk dibuka ketika ada suara panggilan dari luar kamar untuk bangun. Enggan rasanya karena sudah sangat nyaman. Tidak ingin aku bercerai dengan dipan tua yang menjadi alas tidurku selama 18 tahun ini. Namun lagi-lagi, bayangan tadi hadir kembali disaat mataku belum terbuka sepenuhnya. Memberikan semangat dan sebuah pengharapan. Dan mengingatkan bahwa ini adalah sahur terakhirku di sini dan kembali untuk satu tahun ke depan. Seakan selalu membayangi agar aku mengikuti langkahnya. Itu adalah makan bersamaku yang terakhir bersama keluarga sebelum melangkahkan kaki menuju tempat masih yang sangat gelap bagiku. Dan merupakan ilham cahaya menurut bayang-bayang tadi, dimana aku akan dapat menyinari banyak kegelapan dari sinar cahaya tadi.
                Sebuah hal yang sulit dipercaya namun nyata, akhirnya aku mengikuti kemana bayang-bayang tadi melangkah. Sedikit waktu perpisahan diberikannya kepadaku untuk aku pamit dengan orang-orang yang menggoreskan pengalaman dan dirinya di hidupku. Keluarga dan teman sebayaku, orang-orang yang kutemukan setiap harinya, di sekolah, di rumah, di jalan, dan di mana saja. Terasa sangat kurang waktu untuk mengucapkan perpisahan dan berpamitan kepada mreka. tapi apalah daya, bayangan itu kemudian memaksa kakiku untuk melangkah mengikutinya. Mengikuti langkah anggun dengan sepatunya yang tidak terlalu tinggi, pakaian nya yang bertiup di sentuh angin ketika itu, serta sorotan matanya yang penuh keyakinan bahwa aku akan baik-baik saja di tempat baru nanti.Sorotan yang sama persis dengan sorotan mata kedua orang tuaku walau mereka memandang dengan lelehan air mata dan nafas yang sedikit tertahan.
                Kini aku mulai melangkah mninggalkan mereka semua, meninggalkan orang yang aku sayangi, meninggalkan tanah kelahiran, meninggalkan pengalamanku, dan meninggalkan semua kenangan yang pernah aku lakukan. Bayangan itu merangkulku, meyakinkanku untuk terus melangkah dan tidak melihat lagi ke belakang. Tidak melihat mereka yang sedang melepasku dengan mata sembap, walau dengan sebuah keyakinan bahwa inilah yang terbaik.
                Aku tidak di izinkan lagi untuk melihat kebelakang, walaupun hanya untuk melemparkan sebuah senyum yang menandakan bahwa aku akan kuat dan tahan di tempat baru nanti. Bayangan tadi merangkulku dengan sangat erat sehingga aku hanya bisa melangkah ke depan dan menatap apa yang ada di depanku saat ini. tidak bisa untuk menoleh kiri dan kanan, apalagi untuk menoleh kebelakang, walau hanya untuk memberikan sebuah senyum perpisahan yang bersifat sementara.
                Rangkulannya semakin erat, seolah semakin meyakinkanku bahwa aku melangkah pada hal yang tepat. Meyakinkan akan debaran yang tidak karuan yang aku rasakan sejak tadi malam hanyalah bunga perjuangan layaknya bunga mimpi. Seolah dia mengetahui apa yang aku rasakan. Kegalauan yang sedang berkecamuk dibatinku seakan menjadi tanggung jawab baginya. Dia berusaha untuk menghilangkan itu semua dan meyakinkanku untuk terus melangkah.


                Banyak kendaraan yang aku naiki untuk bisa sampai di tempat yang aku tuju. Dan tidak sedetikpun, bayangan putih tadi meninggalkanku, termasuk ketika aku tidur, dia menemaniku dengan setia. Seakan aku berada di dalam pelukannya yang sangat meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja. Dekapan mesranya yang selalu memberikan semangat, dan sorotan mata penuh keyakinan yang ia berikan, membuat aku mulai menyadari semua yang baru saja terjadi adalah hal yang terbaik.
                Malam ini, aku berada dalam sbuah kereta, pukul 23.40. saat itu aku terbangun dari tidurku yang entah karena kelelahan perjalanan atau karena lelah mengingat semua kenangan yang baru saja aku tinggalkan. Sebuah senyum terasa hadir menyapa saat aku membuka mata. Senyuman yang lebih bersemangat karena aku sempat membalasnya walau hanya sekejab. Sorotan matanya yang anggun berubah menjadi sebuah kerdipan mata yang penuh arti. Membuat aku menjadi lebih bersemangat menikmati perjalanan yang kurang lebih menyisakan waktu 8-9 jam lagi. Angin malam yang sejuk dan dingin menemaniku untuk segera sampai di tujuan. Rangkulan dan pelukannya menemaniku disaat2 dingin yang menusuk itu sebelum sebuah nada melepaskannya.
                Handphone ku bordering, tidak untuk nada telepon, lagi pula tidak ada yang akan menelpon tengah malam seperti ini. sebuah sms dari orang yang sangat aku kenal. Dan ucapan selamat hari ulang tahun dengan berbagai ucapan doa dan harapan ia berikan untukku. Aku tersenyum. Membalasnya, kemudian menunggu untuk beberapa saat balasannya datang lagi. Malam itu aku punya kesibukan ketika mataku tidak bisa lagi dipejamkan hingga pagi menjelang. Sekilat aku melihat, banyangan putih tadi masih setia menemaniku walupun kini aku mulai sibuk dan tidak menghiraukannya lagi. senyumnya yang penuh makna adalah balasan yang ia berikan saat aku menatapnya. Senyum yang sangat sulit untuk ku artikan ketika itu.
                Waktu Sembilan jam berakhir. Aku turun, menginjakkan kaki di tanah jawa. Sebuah bisikan berdengung di telingaku. “Inilah tempatmu sekarang, inilah yang akan memberikanmu pengalaman berharga. Ini lah tempat yang akan menjadi rumah kedua mu. Dan inilah hidupmu sekarang. Selamat datang di kota Malang”. Aku hanya tersenyum dan melangkah mengikutinya menuju keluar stasiun, dan bengong untuk beberapa saat.
                Sebuah tangan menepuk pundakku dan kembali kata yang tadi aku dengar, “selamat datang di kota Malang”. Suara itu benar-benar aku kenal. Bahkan terkadang sudah muak untuk mendengarnya.. menjabat tanganku mengucapkan sesuatu yang untuk kali ini hanya dari dia bisa kudapat. Dialah satu-satunya orang yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku secara langsung. Karena memang hanya dialah yang aku kenal di sini, perjuangan kami semasa SMA akan kembali berlanjut walau kini hanya berdua, tidak lagi 9 orang seperti ketika SMA dulu. Dia mengambil barang-barangku, membawakannya keluar dari pintu satasiun. Melangkah di depanku, dan aku mengikutinya dari belakang.
                Aku seakan lupa pada sesuatu yang menemani dan menguatkanku untuk sampai di kota fanatic sepakbola ini. tepat di depan pintu stasiun, dengungan di telingaku kembali berbunyi, seolah seorang sedang berbisik, “tugasku sudah selesai, lanjutkan perjuanganmu, dan secepatnya kita akan bertemu lagi”.
                Aku sadar akan bayangan yang selama ini menemaniku, yang selalu setia mengawal dan memberikan semangat untukku. Aku menoleh ke samping, dan dia mulai menjauh. Senyumnya seakan memintaku untuk segera mencarinya. Tanpa ada sesuatu yang memudahkanku untuk menemukannya di tengah keramaian dan kesibukan ini kecuali senyum itu. senyum yang benar-benar berbeda dari yang lainnya. Dia menghilang begitu saja dengan senyum indah yang mempesona, tanpa aku sempat membalas ucapannya.
                Dia menyadarkankanku, bahwa perjuanganku dimulai dari sekarang. Tepat di hari ketika aku dilahirkan ke dunia. Dan untukmu yang menemaniku, yakinlah aku pasti akan menemukanmu dan membawamu kembali ke tempat dimana kamu pertama kali merangkulku dan mengajakku melangkahkan kaki hingga sampai ke tempat sejauh ini.