Selasa, Juni 21, 2016

Gaduh

Kamu adalah jauh yang dengan sedikit usaha coba untuk aku dekatkan. Menunggang harap sembari menyelipkan beberapa doa kusebut tentang inginku untuk menghabiskan waktu di depan tatapmu. Aku bukan seorang yang menarik, jelas. Juga bukan seorang yang dengan kepiawaiannya mampu membuat orang-orang tertarik, itu bukan aku. Aku hanyalah secuil sosok, melangkah gontai dengan tatap lesu, adalah aku, laki-laki yang termakan lelah dalam langkah.

Aku, sesosok laki-laki yang tergolek lemah dan tak berkelebihan, menatapmu saban hari dengan ribuan khayal. Dari jauh tentu saja. Jangan kamu tanyakan tentang keberanian, karena aku tidaklah punya. Yang ada di genggamku hanya ribuan cinta, dan jutaan setia yang tidak akan pernah membuat kecewa. Aku sebatangkara, terserang terik yang membuat peluh, dan dengan menatapmu aku merasa teduh. Kegaduhan dunia menyiksa pendengaranku, lalu dengan melihatmu aku seolah mendengar suara merdu, mensenyapkan gaduh-gaduh yang tidak berguna.


Senin, Juni 20, 2016

Tidak Menyapa

Jika aku menulis, maka ada sesuatu yang terjadi denganku. Rangkaian-rangkaian huruf dan kata yang kususun tidak berasal dari keadaan hati yang biasa-biasa saja. Termasuk hari ini. Kini hatiku sedang tidak biasa karena kamu muncul, berjalan di depanku. Dari jauh sudah kulihat, kamu pun sudah mengetahui ada aku yang sedang duduk di tempat yang tidak lama lagi akan kamu lewati. Ada beberapa detik yang menjadi saksi bahwa kita berada di area yang mensyaratkan untuk saling tersenyum, dekat sekali jaraknya. Namun aku dan kamu memilih untuk diam, seolah tidak tahu kalau kita hanya terpisah jarak yang tidak begitu jauhnya. Seolah baik aku ataupun kamu sama-sama enggan untuk menyapa, memilih untuk beranggapan tidak melihat saja. Padahal sebelumnya, beberapa detik lampau mataku dan matamu beradu pandang, kita saling menatap.

Bagaimana sebenarnya kita? Dari jauh aku melihatmu, kamu pun sadar bahwa ada aku saat itu. Lalu kenapa di jarak yang semakin dekat kita justru saling berlomba untuk tidak menyadari keberadaan masing-masing? Kita terlalu angkuh dalam bersikap. Selayak kita tidak saling peduli dan tidak pernah mau berkomunikasi.

Detik itu aku ingin menyapa, sekaligus melayangkan pujian, bahwa kamu terlihat ayu hari ini. Bukan maksud untuk berkata bahwa kamu tidak ayu di hari lain, hari ini kamu berbeda. Aku menyukai gaya sederhanamu hari ini. Jeans hitam berteman sepatu casual, kemeja biru tua lengan panjang yang berpadu jilbab pink yang dibentuk biasa dan sederhana tanpa banyak gaya, mengukuhkanmu untuk tetap berada di hatiku.


Sabtu, Juni 11, 2016

Ayah, Simbol Perjuangan untuk Pendidikan

Latar tempat dan saksi bisu perjuangan Ayah

Tanyakan saja, siapa saat ini orang yang berada dalam daftar kemarahanku. Aku tidak akan berbohong, bahwa keluarga ayah adalah yang paling sulit untuk dijamahi kata maaf. Bukan aku tidak menghormati mereka, tetapi kemiskinan yang Ayah terima sebagai takdir hidup, yang bertolak belakang dengan kehidupan mereka yang berada, telah menimbulkan cerita yang tidak harusnya terjadi. Bahwasanya harta telah berpengaruh begitu besar, mengucilkan ayah dari kehidupan. Lagi pula mereka semua hidup di perantauan yang disadari ataupun tidak, tingkatnya sedikit lebih tinggi. Hanya ayah yang bersedia tinggal di rumah, menjadi petani kecil dan menggarap beberapa petak lahan untuk memenuhi kebutuhan.

Aku tidak mengerti bagaimana kisah masa lalu ayah dengan saudaranya, hanya saja apa yang akhir-akhir ini terjadi, membuat aku merasa iba akan keadaan ayah. Mereka tidak tahu bagaimana ayah kini berjuang, kalau saja mereka yang kini berada di posisi ayah, aku yakin tidak satu pun dari mereka yang sanggup.

Ayah tak begitu tinggi pendidikannya, tetapi beliau sadar betul betapa pendidikan itu teramat penting. Beliau juga tahu bahwa pendidikan itu mahal, namun tetap yakin bahwa untuk pendidikan, apapun kesulitannya pasti ada jalan. Termasuk saat saudara-saudaranya sendiri mematahkan semangat ayah untuk membiayai kuliahku di Jawa.

"Ayah tidak bisa menjanjikan bahwa kamu akan hidup nyaman dan berkecukupan selama di sana, tetapi ayah janji selama kamu kuliah, ayah tidak akan berhenti mencari biaya, ayah akan berusaha."

Kata-kata itu yang membuat aku teramat kagum pada ayah, pasalnya kehidupan kami saat itu adalah kehidupan yang sangat susah dari segi ekonomi. Tanpa beasiswa, ayah berani memberangkatkanku ke Jawa guna melanjutkan pendidikan ke tingkat Universitas. 

"Kita sama-sama berjuang, kamu berjuang di sana untuk kuliah, kami di sini berjuang untuk biaya kuliahmu."

Selama 3 tahun terakhir, ayah menunjukkan powernya yang luar biasa. Di tengah tanggungan ekonomi yang menghimpit, diantara cemoohan, dan penjatuhan yang dilakukan saudara-saudaranya, ayah ternyata mampu bertahan dengan tetap tersenyum, meski dengan keadaan yang dapat kubilang mengenaskan. Dari subuh hingga malam ayah bekerja, lelah yang beliau rasa tidak pernah terloncat diucapnya saat menelfon, beliau selalu menunjukkan nada ceria dalam setiap katanya. 

"Muhammad saja menyuruh ke Cina untuk menuntut ilmu, dan itu dari Arab, tidak tahu berapa lama baru sampai di sana dengan keadaan yang ada di zaman itu, ini kamu hanya dari Sumatera ke Jawa, belum ada apa-apanya. Setengahnya saja belum."

Semangat Ayah yang begitu keras, namun dengan cemoohan saudaranya yang tak kalah kuat, serta cara licik mereka menjatuhkan Ayah dengan mengucilkan bahkan memiskinkan, telah melahirkan sedikit butiran kecewa yang berlanjut menjadi benci kepada mereka. Mereka mencemooh dan menjatuhkan Ayah ketika mengambil keputusan untuk menyekolahkanku ke Jawa (saat itu aku lulus SBMPTN di salah satu Universitas Negeri di Jawa). Tentu saja cemooh karena Ayah miskin. Mereka takut jika ditengah jalan Ayah akan mengadu dan meminjam uang. Tetapi tidak, untuk 3 tahun ini, sekalipun ayah ternyata tidak pernah menghubungi mereka untuk meminjam uang, Ayah lebih memilih mencari biaya dari tangan orang lain yang tidak menyakitkan sikapnya.

"Siapa bilang murah, pendidikan itu memang mahal, tetapi pasti selalu ada jalan buat orang-orang yang mau terus berusaha." Begitu kata Ayah, dikutipnya dari pidato sambutan Bupati pada hari pendidikan beberapa tahun lalu.

Ayah kemaren sore bercerita melelalui telfon. Ayah menceritakan pengalamannya selama membiayai kuliahku dari minggu ke minggu, bulan ke bulan hingga tahun ke tahun. 

"Untuk alasan pendidikan, ayah tidak begitu kesulitan mencarikan biaya. Entah kenapa untuk alasan pendidikan Ayah selalu bisa mendapatkan pinjaman, bahkan tidak hanya kita yang minta dilapangkan, kita juga sudah beberapa kali dapat melapangkan beban pendidikan orang lain walaupun hidup susah."

Satupun tidak terdengar kata keluhan yang nyata muncul. Ayah bercerita dengan nada gembira. Yang terdengar adalah intonasi ceria, curhatan dan semangat dari pengalaman ayah yang berhubungan dengan sesama orang miskin peduli pendidikan.

Untuk saudara ayah yang sukses di perantauan, yang hidup nyaman sebagai pengusaha, yang memiliki jabatan sebagai direktur perusahaan di ibukota, yang duduk elegan di birokrasi pemerintahan, dan yang berprofesi sebagai dosen bergelar doktor (yang seharusnya lebih tahu tentang pendidikan), aku hanya ingin menitip satu pesan sekaligus permintaan yang semoga sampai kepada kalian. Satu saja dan aku rasa itu tidak berat untuk melaksanakannya. 

"Mohon maaf atas semua laku Ayah jika pernah menyinggung kalian. Ayah kini menderita beban moral karena selalu dianggap salah tetapi kalian sendiri tidak dapat menunjukkan kesalahannya. Dan jika saat ini tidak sudi membantu Ayahku dari segi materi, setidaknya tolong jangan sakiti Ayah dengan cara kalian berprilaku dalam keluarga."


"Ayah, Simbol Perjuangan untuk Pendidikan"

Jumat, Juni 10, 2016

4 Tahun Lagi


Jika kau tanya tentang takutku, maka pikiranku akan berlari menuju 4 tahun yang akan datang. 4 tahun lagi, itulah batas terakhir dimana kau katakan sanggup untuk menungguku, atau mungkin lebih cepat. Saat semua orang takut dengan nilai yang katanya semester ini akan anjlok, ketika semua orang takut karena belum menemukan tempat magang yang cocok, dan ketika semua orang takut menemui dosen karena judul skripsi yang belum jelas, aku justru tidak peduli. Yang kutakutkan hanyalah jika keadaanku tidak berubah hingga 4 tahun lagi.

Aku tahu, kita adalah manusia dari dua latar belakang berbeda. Kamu dengan kehidupan elitmu tidaklah seharusnya duduk berdua dengan aku yang berasal dari pedalaman di rimba sumatera. Bagiku hidup hanyalah sekedar mencukupi kebutuhan, tetapi bagimu? Jelas hidup tidak sesederhana itu bagi manusia metropolitan bukan.

Buku Merah


. . . . . . Sambungan

"Masih mau bertahan?" Tanya Rivi padaku.

Saat itu kereta cepat dari Jakarta menuju Bogor baru saja memulai larinya.

Aku duduk diam, bersandar di dinding kereta dan membelakangi jendela, setengah mengarah badanku pada Rivi.

"Dia itu keluarga berada, nggak cocok sama kamu." Tambahnya lagi.

Kata-kata Rivi itu menyakitkan. Seolah ada kasta yang sengaja diciptakan Tuhan untuk membeda-bedakan, untuk mengubur mimpiku yang hanya laki-laki miskin untuk dapat bersama Citra di masa depan. Tetapi memang harus kuakui kebenaran apa yang dikatakannya. Citra lahir dari keluarga berada yang semua kebutuhannya terpenuhi, pastilah keluarganya juga berharap kelak Citra akan bersanding dengan laki-laki yang setidaknya setara dengannya.

"Kamu realistis aja sekarang, ini bukan masa kuliah lagi. usiamu dan Citra sudah layak untuk menikah. Citra itu perempuan, dia gak bisa nunggu lama-lama. Apalagi ketidakjelasanmu yang kayak gini."

Rivi tampaknya kesal dengan sikapku yang hanya diam dan keras kepala. Sama sekali tidak menghiraukannya yang sudah mau menemaniku dan malah menikmati dunia dalam alam pikirku sendiri.

Aku sadar apa yang sebenarnya kini terjadi. Dan seharusnya aku tidak kaget. Ini sudah terprediksi, bahkan jauh sebelum aku melangkah lebih jauh dengan Citra. 5 tahun lalu, ketika aku menyatakan perasaan kepada Citra, aku sudah menyadari bahwa kami berasal dari latar belakang berbeda yang sulit dibersamakan. Sudah tergambar dalam kepalaku bahwa besar kemungkinannya peristiwa ini akan terjadi, dan benar saja hari ini terjadi.

"Bukankah menikah sebelum mapan itu dianjurkan?"

Rivi hanya menarik nafas menanggapiku. Tarikan yang lebih dalam dari biasanya.

"Lagipula apakah mungkin mencari yang sempurna, jika kesempurnaan itu akan ada setelah menikah?"

"Alah, omongan bulshit itu Ga!!!" Rivi setengah berteriak.

"Semua orang tua pingin anaknya nikah sama laki-laki yang benar-benar bisa menafkahi. Bukan dengan seorang yang masih terkatung-katung hidupnya." Menusuk sekali kata-kata Rivi.

"Kamu punya apa? Dan kamu bisa apa buat ngajak Citra nikah?" 

Rivi tidak berhenti memberondolku. Bukannya menghibur dan menguatkan, dia malah semakin menjatuhkan. Hingga kereta tiba di stasiun Bogor, ocehan Rivi tak kunjung berhenti, untung saja ada sedikit tragedi pencopetan di stasiun sehingga perhatiannya teralihkan melihat orang-orang yang saling kejar. 

Malam sebelum mataku dapat terpejam, kuraih buku bersampul merah yang sudah agak lecek tampilannya. Dalam buku itu ada tulisan Citra, tentang apa yang dirasakannya ketika sedang menulis, dan juga tentang rencana masa depan yang akan ia arungi. Memang pernah ada tulisan Citra bahwa ia ingin menikah di usia maksimal 25 tahun. Harapan-harapan masa depan Citra yang sengaja ia tulis di bukuku dimaksudkan sebagai penyemangat, bahwasanya aku punya batas waktu jika ingin menyeriusi hubunganku dengannya. 

Dan kini aku kehabisan waktu, kami sama-sama memasuki usia 25 tahun. Persyaratan yang dulu Citra ajukan belum mampu aku penuhi, bahkan masih sangat jauh. 2 tahun lalu seorang pria yang bekerja di Bursa Efek melamarnya, namun Citra menolak. Entah apa alasan yang sebenarnya, yang jelas Citra menepati janjinya untuk menunggu hingga batas waktu yang dia tulis. Batas Waktu itu berakhir hari ini. Dan aku sudah tidak lagi punya kesempatan. Semua rencana yang kutulis di lembar belakang buku merah itu tak sudah expired

Malam itu aku menangis untuk kegagalanku. Untuk kegagalan mengutuhkan Citra dalam menjalani hari bersamaku.

                                                                             ********

"Apa Kabar Ga." Sapa Profesor Ingga di ruangannya.

Sejenak kuperhatikan ruangan itu, tidak banyak yang berubah. Masih ada dispenser, gelas, kopi, dan teman-temannya di pojok kiri ruangan. Jejeran skripsi masih ada di rak yang menempel di dinding bagian depan. Hanya kini mejanya berganti meja jati yang lebih mewah dengan warna yang lebih terang.

"Alhamdulillah Baik, Bu." jawabku.

Sesuatu disodorkan Prof Ingga kepadaku.

"Apa ini Prof?" Spontan aku bertanya.

"Baca dulu sebelum bertanya!!" Nada Prof Ingga agak tinggi. Kebiasaannya ternyata tidak berubah. beliau selalu marah ketika seseorang bertanya sebelum berusaha mencari tahu.

Dengan khidmat aku membacanya. Sejenak setelah selesai, aku menatap Prof Ingga yang sudah semakin keriput wajahnya.

"Kamu tertarik?" Tanya beliau.

"Ini kan. . . . ."

"Ini tawaran yang dulu kamu tolak. Sekarang bagaimana bahasa Inggrismu?" beliau memotong pertanyaanku.

"Sudah lebih baik." Jawabku mantap.

"Artinya kamu bersedia?" Prof Ingga memastikan.

"Why not." Jawabku memamerkan sedikit bahasa Inggris-ku.

Prof Ingga tertawa. Berkas yang disodorkannya diberikan padaku agar dipelajari. Dan aku pun pamit.

Aku meninggalkan ruangan itu.

"Eh, Ga, kamu sudah menikah?" tanya beliau ketika aku belum hilang sempurna dari balik pintu.

"Kalau saya menikah, anda pasti saya undang Prof." jawabku

Beliau tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Pintu ruangan kututup rapat dan aku melangkah pergi dari gedung 3 lantai itu.

                                                                         ******

Dalam kontraknya tertera bahwa membawa keluarga diperbolehkan. Semua biaya perjalanan dan kehidupan ditanggung. Namun ketika selesai diharuskan untuk mengabdi paling tidak 10 tahun. Aku bergetar membacanya. Satu hal yang menjadi pertanyaan serius, mengapa Prof Ingga menawarkan kepadaku? Memang topik itu mirip dengan penelitianku ketika skripsi, tetapi bukankah ada orang yang jauh lebih berkompeten? Bukankah banyak mereka yang sangat lacar berbahasa Inggris tanpa harus ikut training terlebih dahulu? 

"Ah kesempatan kedua itu memang seringkali ada." Hatiku bergumam sebelum lelap.

Terpikir Citra ketika itu. Setahun tak berhubungan dengannya, bagaimana kabarnya kini? Apakah dia sudah menikah? Atau dimana dia sekarang? Ah sudah lama ternyata, hampir setahun tidak saling berbagi kabar. Malam itu kuhabiskan waktu untuk mencari tahu keberadaan dan aktivitas Citra selama setahun terakhir.

                                                                    *******

Tower megah di pusat kota itu dulu pernah kulihat. Bahkan aku pernah berteduh di bawahnya hingga di usir satpam yang berjaga. Hari ini aku datang lagi. Pukul 11 siang karena besar kemungkinannya aku dapat bertemu Citra saat jam istirahat. Sudah kucari secara detail, dimana ruangan dan keseharian Citra selama bekerja.

"Maaf Pak, kalau belum ada janji, kami tidak bisa mengizinkan anda bertemu Bu Citra." Begitu kata resepsionis kepadaku.

Bahkan untuk dapat bertemu Citra pun aku harus sedikit berjuang. Hingga akhirnya baru dapat kutemui ketika sore sebelum jam 5. Itu pun karena tak sengaja berpapasan di depan lift. Saat kusapa Citra tampak tidak menunjukkan bahagia bertemu denganku.

"Eh, Haga. Ada apa Ga?" Datar sekali.

Aku maklum karena mungkin dia sudah melupakanku dan mungkin juga sudah ada yang menggantikanku. Tetapi ini adalah cara terakhir untuk meyakinkan Citra. Dalam hati aku berdoa, semoga Citra belum menikah, belum bertunangan, atau sejenisnya.

Aku di ajak Citra duduk di cafe lantai 1 di bagian ujung gedung megah 30 lantai itu. Gelagatnya jelas tidak ingin bertemu lama-lama denganku, namun untuk menolak secara langsung agaknya ia cukup keberatan.

"Tapi maaf ya Ga, aku gak bisa lama-lama. Masih ada perlu di luar." Katanya.

Aku tersenyum.

"Cit, seandainya masih ada kesempatan, aku masih berjuang setahun terakhir ini. Stahun kita gak saling ada kabar aku masih. . . . . ."

Kukatakan sembari mengeluarkan berkas yang beberapa hari lalu kuterima dari Prof Ingga. Kubuka halaman yang berisi kontrak kerja berikut persyaratannya, kuhadapkan ke Citra.

Lama Citra terpaku, ia menunduk membaca. Beberapa menit kutunggu, namun kepalanya tak juga mendongak. Dalam perkiraanku hanya butuh waktu paling lama 3 menit untuk memahami apa yang kuperlihatkan. Namun melebihi 5 menit Citra masih terpaku menunduk.

"Cit."

Citra kemudian melihat ke arahku, menutup berkas-berkas itu dan menaruhnya di atas meja. Matanya berkaca, namun tidak lama berubah menjadi air mata yang banyak, mengalir bak sungai berpola dendritik di pipinya.

Bersambung. . . . . . .


Rabu, Juni 08, 2016

KEJENUHAN


Perempuanku, tengah malam ini aku ingin menangis di hadapanmu, meneteskan air mata yang sudah lama sekali tertahan. Jika nanti nyatanya aku tidak kuat, maka sudilah bahumu itu menjadi sandaran kepalaku barang sejenak. 

Dari semua yang telah berlalu, banyak sekali sebenarnya keluh yang membuat lelah, teramat banyak kesah yang sudah menyurutkan langkah. Apakah belakangan ini banyak salah yang kuperbuat? 

Maaf jika iya. Maaf jika aku sangat tidak ahli untuk memahami. Silahkan hakimi aku dengan segala bentuk kejenuhanmu, boleh kamu menodongku dengan sikap dinginmu. Tetapi berjanjilah untuk tidak merubah irama langkah yang sudah sedemikian rupa kita berusaha menyamakannya.


Pertanyaan Hana

. . . . . .Sambungan

"Kau lihat perempuan cantik di ujung jalan itu?"

Aku mengangguk mengiyakan. Bukan mengiyakan kecantikannya, tetapi mengiyakan bahwa aku melihat juga apa yang sedang dia lihat.

"Bagaimana menurutmu?" Tanyanya.

Aku mengangguk. Setuju, bahwasanya setelah diperhatikan agak lama perempuan itu wajahnya enak dipandang. Meneduhkan mata.

"Pilihanmu oke juga." Kataku.

"Tapi pilihan dia yang tidak oke jika menerimaku." Fadli merendahkan dirinya sendiri.

Terbahak aku mendengarnya. 

"Jadi kapan akan dieksekusi?" Tanyaku.

Fadli diam sejenak. Nafasnya pun berhenti beberapa saat. Mungkin pertanyaanku barusan menyinggung hatinya. 

"Ayolah kawan." Kataku merangkul pundaknya.

"Mari pulang saja." katanya berbalik.

Aku tidak langsung mengikuti Fadli. Mataku tertarik memperhatikan perempuan yang tadi kami bicarakan. Perempuan itu baru saja menyeberang, beberapa detik lagi akan berjalan di depanku. Memang manis terlihat. Semakin dekat, semakin teduh mata dibuatnya. Wajar saja Fadli minder, pasti banyak laki-laki lain yang juga tertarik pada perempuan itu.

"Hana." Panggilku.

Perempuan itu menoleh. Awalnya dia menengok ke tenggara, padahal aku berada di timurnya. 

"Hana." sekali lagi kupanggil.

Kali ini dia menoleh ke arah yang benar. Langsung tersenyum ketika dilihatnya aku melambaikan tangan.

Tampak dia berpikir sejenak, kemudian berteriak agak kencang hingga Fadli yang sudah beberapa langkah berada di ujung sana mendengar dan berbalik.

"Mas Yudha!!!" sapanya setengah berteriak.

Kami bersalaman lalu saling bertanya kabar. Di ujung jalan sana Fadli tampak mentap dengan wajah heran. 

"Kok ada di sini Mas? Lagi ngapain?" Tanya Hana padaku.

"Liburan."

"Ada teman di sini?"

"Itu." Aku menunjuk seorang yang masih menatap heran di ujung sana.

Wajah Hana berubah seketika.

"Itu temen Mas Yudha?" 

Pertanyaan Hana nadanya sangat jelas berharap, meyakinkan hatinya bahwa jawabanku adalah salah. Nyatanya jawabanku adalah sebuah kebenaran yang sangat mutlak. Fadli adalah temanku. Bahkan kami sudah saling kenal semenjak kata perkenalan belum dapat kami definisikan. Kupanggil bocah mancung yang mirip Iko Uwais itu jika kepalanya botak. Agak ragu dia melangkah namun akhirnya sampai juga. Sementara di depanku Hana menunduk menatap tanah berordo Vertisol yang sedang mengembang akibat panasnya cuaca.

"Hana." Sapa Fadli malu-malu.

Tampak enggan Hana membalas. Namun akhirnya dia tersenyum juga.

"Pilihanmu oke juga, Fad." Kataku membuka kartu.

"Maksudnya Mas?" Hana yang belum nyambung dengan arah pembicaraanku bertanya spontan.

Dilihatnya Fadli yang tersenyum, agak kencong bibirnya. 

Tidak banyak Fadli berkata. Hanya tersenyum saja dia kepadaku dan Hana. Mungkin dalam pikirannya sedang berjubel banyak pertanyaan, salah satunya "Mengapa kau bisa kenal Hana juga, Yud?"

Bersambung. . . . . .