Jumat, Februari 27, 2015

Adik Kelas

Hai. Apa kabarmu hari ini? Lama sudah kita tak bertemu. Beberapa bulan terakhir aku tak pernah melihatmu. Kemana dirimu wahai adik kelas? Menghindarkah? tapi rasanya tidak mungkin. Kita bahkan tak saling mengenal, lalu buat apa menghindar.

Masih ingatkah dengan aku? Setidaknya ingatkah dengan mataku yang selalu melirikmu waktu itu? Ya, malam dimana kita terlibat dalam satu kegiatan yang sama. Kau manis sekali dengan baju merah berenda. Sibuk dengan sebuah kamera SLR yang tergantung di lehermu. Mengabadikan beberapa momen penting, sebagian juga ada yang tidak penting. Seperti aku yang kau potret ketika memanjat pohon trembesi untuk memasang kabel. itu tak seharusnya kau abadikan. Aku seperti monyet kelaparan di malam hari.

Rabu, Februari 25, 2015

Pulang

Bolehlah kalau sekedar homesick. Tapi hati benar-benar ingin pulang. Meninggalkan semua rutinitas menjengkelkan ini rasanya jauh lebih baik daripada harus menahan siksaan rindu yang terus-terusan bergelayut. 

Hanya setetes senyum cerah. Itu yang aku inginkan. Sepertinya disini sudah punah. Derita dan sakit merajalela di tanah ini. Aku ingin segera pulang. Derita luar biasa membuatku ingin menyerah saja.

Bagaimana dengan cita-cita? Entahlah, mungkin harus dilupakan. Aku tidak sanggup. Aku lelah dan ingin menyerah. Cita cita hanyalah sebuah harapan palsu yang jauh dari kata nyata. 

Depresi? Mungkin saja. Tak ada alasan untuk membuat hati sedikit tersenyum di sini. Tanah kelahiran jauh lebih baik dengan segala kesederhanaannya. Sementara tanah ini hanya diisi dengan ketidakpedulian, persaingan, dan saling menjatuhkan.

Sabtu, Februari 14, 2015

2 1 0

Sedikit waktu yang kita habiskan bersama. Ya, Itulah yang sering aku inginkan. Dan ternyata semua hanya harap, hanya khayal dan permintaan yang teramat konyol yang tak tahu kapan akan terpenuhi. Kau tidak ada, bahkan sebenarnya kau tidak nyata. 210 hari bukan waktu yang tergolong singkat untuk kita saling memahami tentang hal ini. 210 hari rasanya juga sudah cukup untuk membuat kita saling mengerti dan saling memberi ruang untuk sebuah keinginan. Waktu yang benar-benar kau dan aku bisa habiskan bersama. Bukan waktumu bersama mereka yang harus aku sita beberapa saat agar ada ruang untuk kita bisa bertemu.
Egois? Bisa jadi aku begitu. Lalu? Hanya itu saja. Aku juga tentunya punya sedikit permintaan. Bukankah hal itu wajar? Bahkan sangat wajar kurasa. Kita adalah kekasih. Bukan hal aneh jika salah satu dari kita punya permintaan yang ingin dikabulkan. Tunggu !!!! Kita adalah kekasih?? Aku tak bisa menjawabnya sendiri. Ada kata 'kita' dalam kalimat itu. Yang berarti aku juga harus meminta persetujuan terlebih dahulu dari orang yang selama ini kuanggap kekasih. OWh Shit. Hatiku berkecamuk.

Jumat, Februari 06, 2015

Aku Kekasihmu (?)

Maaf. Bukan sekedar kata itu yang sebenarnya ingin terucap. Rasa penasaran adalah yang paling  bertanggung jawab sehingga membuatmu kesal malam ini. Coba kau hitung, berapa hari yang telah kita lewati sejak peristiwa magrib itu? Selama itu kita menjalani semuanya dengan baik, diiringi pengertian dan kesabaran yang akhirnya membuatku berpikir, sebagai apakah aku dalam ceritamu? Tidak seperti mereka yang kisahnya penuh bumbu, kita selalu mengarungi dengan senyum dan canda tawa tanpa gesekan. Apakah memang benar bahwa kita adalah sepasang kekasih? Apakah benar dalam hatimu namaku tertulis sebagai seorang kekasih?

Aku tak pernah bisa tau apa yang kau rasa. Aku sadar cara ini mungkin sedikit egois. Tapi tak dapat kubendung penasaranku tentang seperti apa rasa yang kau simpan. Maaf atas kejadian malam ini. Membuatmu sedikit cemburu adalah satu-satunya cara yang terpikir olehku untuk mengetahui apakah aku memang benar kekasihmu. Kadang sikapmu membuatku tak merasakannya saat kita bersama. Dan malam ini tak perlu lagi kau berbicara banyak, cukup dengan ekspresi yang kau tampilkan. Aku telah mendapat jawaban yang ku ingin. Bahwa dalam hatimu, namaku memang tertulis dengan titel KEKASIH

Rabu, Februari 04, 2015

Has Felt the Pain

si Bungsu Ibu yang nakal Ahmad Mitsaqon Ghalizan (Mizan)


Meski kau kini hidup dengan kekurangan fisik sejak berusia 3 tahun, bukankah kau memiliki banyak teman yang selalu mencarimu saat kau tak ada di rumah? Mereka menyusulmu ke ladang ketika kau membantu ayah. menunggu bahkan membantumu hingga pekerjaanmu selesai dan pergi bermain jika ayah mengizinkan. Tak ada teman yang menertawaimu karena kekurangan yang kau derita. Pernah beberapa kali dulu, dan itu tak berlangsung lama. Kau bisa membuatnya terdiam. Bukankah itu hebat?

Senin, Februari 02, 2015

Kita Sama

Dapat kutebak bahwa pernyataan kemaren sore bukanlah kata bermakna biasa yang muncul dari pita suaramu. Kita sama menyadari apa yang terjadi, sama paham apa yang kita rasa, dan sama tahu apa yang kita ingin. Suara yang tak sekedar rangkaian kata bersambung itu adalah sebuah kalimat yang sulit dimaknai. Hanya kita dan Tuhan yang benar-benar mengerti tentang apa ini sesungguhnya.Ada kisah dan harap di balik perjalan hidup yang menghiasi kita. Sayang kita belum berani untuk saling membuka diri. Cinta masih tertimbun di dasar sanubari. Sementara hati juga tampak belum siap untuk mengungkap rasa yang hadir. Kita hanya bisa terpaku dalam umbaran senyum yang terus beradu.