Kamis, Juni 18, 2015

Melancongi Surabaya

Hanya terlintas sebentar saja dalam kepala ketika saya sedang menatapnya saat kami duduk berhadapan di dekat perpustakaan. Saya pikirkan sejenak lalu saya tanyakan kepada dia yang saat itu sedang tersenyum menatap layar laptopnya. Saya tidak yakin dan juga tidak terlalu berharap, kecil kemungkinan apa yang saya pikirkan menjadi daya tarik baginya. tetapi waktu itu tidak apalah, daripada kami bingung mau membahas apa, maka saya ajukan saja sebuah topik yang mungkin membawa pembicaraan kami ke arah yang lebih dalam. Dan ternyata benar.

Saya tanyakan bagaimana seandainya sekali waktu kita (saya dan dia) menghabiskan waktu dengan keluar kota seharian penuh, tentunya kota-kota terdekat yang bisa diakses dengan kendaraan umum. Dia tersenyum, menatap saya sebentar lalu menyetujui ajakan saya yang sebenarnya hanya berupa pendapat dan saran pengisi diam saja. Dari itu mulailah kami merencanakan perjalanan kecil yang akan kami tempuh sebelum ujian nanti.  Berdua menjelajahi kota tetangga. Masing-masing dari kami mengeluarkan uang dalam jumlah yang sama. Dan uang itu disatukan lalu digunakan untuk keperluan selama perjalanan, mulai dari tiket, makan dan sebagainya.

Beberapa kota masuk dalam seleksi lancongan kami. Paling utama adalah Kediri, kota di kaki gunung kelud yang berjarak sekitar 3 jam dari Malang. Tempat wisata bukan tujuan utama yang ingin kami kunjungi. Simpang Lima Gumul lah yang menjadi daya tarik untuk menginjakkan kaki di sana. Bangunannya mirip dengan monumen Arc De Triomphe Paris dan menjadi ikon bagi Kediri. Sudah bulat tekat awalnya, tinggal menunggu hari yang pas. 

Beberapa hari sebelum berangkat ketika mengecek harga tiket lewat internet, ternyata tidak sesuai ekspektasi. Terlalu mahal untuk jarak 3 jam jika menggunakan kereta. Kami sempat berencana pindah armada menggunakan Bus. Tetapi daya tarik kereta api akhirnya membatalkan niat kami mengunjungi Kediri. 

Blitar menjadi pilihan selanjutnya. Adalah Makam mantan RI 1 Ir. Soekarno magnetnya. Setelah berpikir dan berdebat sedikit, kami putuskan untuk tidak jadi saja. Blitar adalah kota kecil, belum ada diantara kami yang pernah ke sana. Karena menggunakan kendaraan umum, tentunya akan menyulitkan kami untuk bertualang di sana.

How about Surabaya? Kota metropolitan ini memang sudah ada dalam benak semenjak sebelum-sebelumnya. Hanya saja kota ini terlalu maenstream untuk dikunjungi. Saya dan dia sudah pernah menginjak tanah ibukota Jawa Timur itu. Saya pernah menggunakan kereta api dan sepeda motor ke sana. Dia juga sudah beberapa kali ke Kota Pahlawan itu menggunakan kendaraan pribadi. 

Beberapa hari kami sempat berpikir. Dan memang satu-satunya tempat yang memungkinkan untuk dikunjungi agar kami bisa pulang hari itu juga adalah Surabaya. Ketika melihat tiket kereta api (lagi-lagi lewat internet) ternyata hanya ada kereta yang berangkat pukul Duabelas siang dan pukul Dua siang. Kendala lagi-lagi di kendaraan yang akan mengangkut kami. Akhirnya kami putuskan saja untuk naik bus dari terminal Arjosari karena setiap jam dipastikan ada bus yang berangkat atau tiba dari Surabaya. Fix. Besok berangkat ke Surabaya menggunakan bus.

Beberapa jam sebelum berangkat, entah saya atau dia yang memulai. Kereta sepertinya lebih menarik untuk dinaiki daripada bus. Debat sejenak kembali terjadi hingga jam sudah menunjukkan pukul Sepuluh lewat sedikit. Diputuskan akhirnya untuk naik Kereta saja -entah ilhamnya dari mana-.

Kami akhirnya berubah haluan dan bergerak menuju Stasiun Malang. Sampai di sana sekitar pukul Sebelas dan melihat antrian panjang pemesanan tiket hari ini. Beruntung ada satpam yang bertanya kepada kami, dan dengan bantuannya kami dapat memperoleh tiket lebih cepat. Akhirnya ke Surabaya tinggal di depan mata.

Setengah jam sebelum kereta berangkat kami masuk ke gerbong 6 kereta bernama Jayabaya. Keretanya saat itu sepi. Setiap gerbong hanya diisi tidak lebih dari Sepuluh orang. Dan sedikit sial, tepat di depan kami adalah seorang pemilik tiket jadi-jadian. Dia laki-laki bernama Thomas Becket Angga -nama yang keren menurut saya-. Sayang tidak sekeren penampilannya. Semua yang melekat di badannya adalah atribut wanita, mulai dari tas, celana, kalung hingga sepatu semuanya adalah milik kaum hawa. Sampai gaya bicaranya juga lebih anggun daripada wanita normal kebanyakan.

Kami putuskan untuk pindah saja ke kursi yang lain. Antara geli, takut dan geregetan melihat wujut yang duduk di depan kami. Barulah setelah itu kami dapat bernapas lega. Setengah jam setelah kereta berjalan, kami membuka bekal yang dimasak tadi pagi oleh seorang yang spesial dan tentu saja spesial untuk bekal selama perjalanan -Terimakasih untuk masakannya, kapan-kapan mau lagi-. Ada ikan asin, sayur kangkung dan tempe goreng yang dimasaknya. Juga sebotol sambal pedas yang dia bawa untuk tambahan bekal agar makan terasa lebih nikmat.

Saya makan dengan lahap. kami makan dengan iringan canda tawa dan cerita-cerita seputar masak memasak. Seandainya dia jadi istri saya nanti :D :D :D Selesai makan, kami lanjutkan dengan bercerita tentang apa saja yang akan dilakukan di Surabaya nanti. Beberapa tempat telah saya cek lokasinya, terutama yang dekat dengan stasiun pemberhentian.  Sekitar pukul setengah Dua kereta berhenti. Kami turun dari kereta dan berjalan menyusuri stasiun mencari musholla. Beberapa saat kami tunaikan kewajiban.
Tiket Keberangkatan Malang-Surabaya

Stasiun Surabaya Gubeng. Saya berteriak dalam hati, mungkin dia juga. Kami putuskan untuk langsung saja membeli tiket pulang. Ada dua pilihan. Pukul delapan malam atau pukul setengah Dua belas. Agar tidak terburu-buru tentu saja kami putuskan megambil yang jam setengah Duabelas saja. 

Tujuan selanjutnya setelah mendapatkan tiket pulang adalah Monumen kapal selam. Tidak ada pilihan lain karena inilah tempat wisata paling dekat dengan stasiun Gubeng. hanya sekitar 200 meter sebelah baratnya atau berjalan sekitar sepuluh menit. Disana yang saya dan dia lihat adalah bagian dan alat-alat yang ada dalam kapal selam yang kini telah direnovasi dan dijadikan tempat wisata. kemudian dilanjutkan dengan menonton film tentang kapal tersebut.



Setelah itu -karena tidak tahu jalan- saya bertanya kepada beberapa orang jalan menuju Kebun Binatang Surabaya (KBS). Bukan untuk melihat harimau ompong, mamalia uzur, ataupun Unta lansia, ini hanya untuk mempermudah saja karena tujuan kami sebenarnya adalah Patung ikan hiu Sura dan Buaya yang menjadi simbol kota Surabaya, kebetulan letaknya tepat di depan KBS. 

Kami terus berjalan ke arah barat. Karena mulai bingung, kami mampir sebentar ke Plaza Surabaya. Beberapa menit saja karena hanya hanya untuk numpang ke toilet. Kepada petugas toilet saya tanyakan jalan menuju KBS. Mendengar jawabannya, kami sedikit kecewa karena jaraknya masih terlalu jauh. Dan angkutan Damri yang katanya bisa mengantar kami ke sana sangat jarang muncul, jika pun ada selalu sesak dan tidak bisa di isi penumpang lagi, bahkan untuk berdiri.

Kami terus melangkah sampai bertemu patung air mancur dan kemudian berbelok ke arah Utara. Setengah jam berikutnya kami bertemu tugu pahawan berupa 3 bambu runcing yang berada di tengah jalan. Di pinggirnya ada penjual bakso, kami mampir sebentar, saya memesan es degan dan dia memesan bakso. Dari keterangan tukang bakso, kami dapat menunggu bus Damri di halte tidak jauh dari situ. Ternyata benar saja. Akhirnya Damri mengantarkan kami bertemu dengan Patung Sura dan Buaya.

Setelah turun dari Damri, untuk sampai ke sana kami harus menyeberang dulu melalui jembatan penyeberangan. Ini adalah yang paling saya takutkan. karena biasanya selalu ada preman yang mangkal di sana dan siap memalak setiap orang yang lewat. 

Benar saja, baru sampai di anak tangga ke 6, seseorang terlihat memandang kami dengan wajah tidak menyenangkan. Dia sedikit kumal, bertato dan seperti penjahat gayanya. Preman itu terus memandang kami. Kaki saya gemetar, tetapi karena saat itu sedang berjalan bersama seorang perempuan saya usahakan untuk biasa saja -biar kelihatan gentle :D- Begitu tepat berada di depan sang preman, saya tersenyum sedikit dan menundukkan kepala sambil menyapa. Preman itu tersenyum. Gigi bagian kirinya ompong. Kami berlalu dengan tatapan sang preman yang tetap saja menakutkan meski sudah disapa dengan sangat ramah.

Tiga menit setelahnya, kami benar-benar sampai di tempat yang sangat-sangat sayang jika tidak dikunjungi seandainya mampir ke Surabaya. Tidak ada apa-apanya memang. tetapi inilah Surabaya dengan Sejarah Ikan Hiu Sura dan Buaya yang sedang berkelahi. Beberapa foto kami abadikan di sana. berlatar patung simbol asal mula nama Surabaya itu, kami mengambil beberapa gambar, baik sendiri ataupun berdua. Saat itu sudah sore dan kami belum sholat Ashar. Kami putuskan untuk ke Masjid dulu, dalam rencana akan kembali ke patung jika hari sudah gelap. karena cahaya lampu yag ditembakkan ke arah patung membuat gambar yang diambil akan lebih baik. 
Halo Surabaya

Satu-satunya mesjid adalah di seberang jalan dekat kami turun dari Damri tadi. dan berarti ahrus melewati jembatan penyeberangan lagi, bertemu dengan preman lagi. yang tadi aman, apakah sekarang juga aman?

Kejadian yang sama terulang ketika kami melewatinya. Buru-buru kami melangkah setelah melewati preman yang masih berdiri di atas jembatan. Kami putuskan untuk istirahat sejenak di Mesjid sambil menunggu Magrib tiba. Sambil mengecas hape juga. 

Setelah itu kami sebenarnya berniat untuk kembali ke patung, tetapi berpikir tentang keamanan dan lagipula kami hanya berdua di tambah tidak ada yang kenal kami di kota ini, akhirnya diputuskan saja untuk melanjutkan perjalanan ke Taman Bungkul, taman yang (kalau tidak salah) memperoleh predikat taman terbaik di Asia Tenggara pada 2013 lalu. Kami ke sana dengan berjalan kaki karena memang tidak terlalu jauh. Di taman Bungkul kami duduk di pinggir batas taman, melihat lalu lalang orang yang mampir sekalian melepas lelah. Saat itu sudah pukul Tujuh malam. Kurang dari 5 jam lagi kami akan angkat kaki dari Surabaya.

Sekitar satu jam kami menikmati malam Surabaya di taman Bungkul. Pukul 8 malam kami sudah angkat kaki karena mengingat begitu sulitnya angkutan di sini. Di halte sekitar 200 meter dari Taman bungkul kami menunggu. Hingga hampir satu jam, tidak satupun Damri yang muncul. Hanya ada beberapa angkot dan tidak tahu tujuannya kemana. Ketika jam hampir menunjukkan pukul sembilan malam sementara Damri tidak juga muncul, akhirnya tidak ada jalan lain. Kami harus berjalan kaki dari sana menuju stasiun Gubeng Baru tempat kami menunggu kereta ke Malang -letaknya juga tidak kami ketahui. kata petugas di pembelian tiket letaknya tidak jauh dari Stasiun Gubeng lama tapi entah dimananya-

Kami terus berjalan ke arah selatan, setelah berjalan ke arah selatan selama satu jam penuh, kami tiba di persimpangan besar yang membingungkan. rasanya tadi bus Damri tidak melewati jalur ini. Bingung beberapa saat, kami bertanya ke seorang satpam yang kebetulan sedang berjaga malam. Jawabannya lagi-lagi mengecewakan. kami sudah berjalan selama satu jam, dan diakatakannya jarak ke stasiun Gubeng Baru masih cukup jauh. Disarankannya untuk naik becak yang ada di seberang jalan saja karena sudah tidak ada lagi angkutan bermotor.

Kami menyeberang jalan dan tidak menghampiri becak. Kami terus melangkah ke arah yang di tunjuk satpam untuk menuju stasiun. Setengah jam lamanya, terlihat dari kejauhan cahaya terang di tengah jalan. semakin dekat semakin jelas bahwa itu adalah tugu pahlawan dekat kami makan bakso tadi siang. Nafas sedikit lega, karena dari sini saya sudah tahu kemana kaki akan dibelokkan untuk menuju stasiun. Tinggal mencari Stasiun Gubeng baru saja. Pedagang bakso yang tadi mangkal sudah tidak ada lagi. Sudah pulang sepertinya, atau sudah pindah ke tempat lain.

Singkat cerita kami meneruskan perjalanan dan berhenti sebentar tepat di dekat stasiun Gubeng -saat itu keringat sudah mengucur deras dan membasahi pakaian kami masing-masing- Kami membeli beberapa perbekalan untuk di kereta dan selama menunggu ketika sampai di Stasiun Malang nanti malam. Bertanya kepada ptugas supermarket kami dapati petunjuk menuju stasiun Gubeng Baru tempat kereta menaikkan penumpang. Sekitar setengah jam kami berjalan dan akhirnya menemukannya. Senang sekali rasanya, tiket sudah di tangan, Stasiun sudah di depan mata, tinggal menunggu kereta datang dari arah Jakarta. Saat itu pukul Sepuluh lewat sedikit. Kurang lebih satu setengah Jam lagi. Di sana kami menunggu bersama beberapa orang.
Penampakan Stasiun Gubeng Baru bersama tiket kepulangan


Lagi-lagi kami melihat tante Thomas juga ada di sana. Artinya dia akan kembali naik kereta yang sama dengan yang kami naiki. Beberapa kali kami berdoa bersama agar tidak satu gerbong lagi dengan dia, setidaknya tidak satu tempat duduk lagi. Bukan bermaksud merendahkan atau melecehkan, tetapi aneh saja rasanya dan kami sangat tidak biasa bertemu orang seperti itu.

Doa kami terkabul, kami tidak satu gerbong dengannya, tapi kali ini keretanya sedikit lebih ramai. Kami tiba di Stasiun Malang pukul Setengah Dua malam. Tiak ada angkot yang membawa kami ke kost jam segitu. Kami berniat menunggu sampai pagi saja sampai ada angkot yang beroperasi sambil makan nasi goreng yang kami beli dekat stasiun Gubeng sebelum berangkat tadi. 

Malang sangat dingin karena bertepatan dengan memasuki awal tahun ajaran baru. Badan menggigil dalam balutan jaket tipis yang kami kenakan. Untung di dalam tas saya ada kartu Uno. Kami mainkan sebagai pengusir jenuh. Kemudian juga ikut seorang petugas Stasiun bermain bersama kami hingga subuh. Dengannya kami bercerita beberapa hal tentang stasiun dan kampus karena dia tidak sempat merasakan suka duka dunia perkuliahan. Pukul 6 pagi kami meninggalkan stasiun. belum ada angkot sepagi itu. lalu kami berjalan ke pasar besar. Melewati balai kota, pasar burung dan alun-alun yang sedang direnovasi. kami duduk di sebuah halte di depan alun-alun. Bodohnya kami duduk di tempat yang salah. Angkot yang akan kami tumpangi tidak melewati halte itu. Wajar saja sampai matahari terang tidak satupun angkot yang lewat. Lagi-lagi kami harus berjalan kaki lagi beberapa menit menuju jalan yang benar -tempat angkot lewat-.

Pukul 7 kami baru duduk dalam angkot. Dari angkot kami berpisah, turun di kediaman masing-masing dan langsung menuju kasur karena seharian tidak tidur. Kepada seseorang terima kasih atas liburan seharinya di Kota orang, terima kasih telah membuatkan masakan yang enak selama perjalanan. Semoga ada liburan kita yang lebih menyenangkan setelah ini. Uang yang kami kumpulkan khusus untuk jalan-jalan ternyata bersisa cukup banyak. Perlahan uang itu kami habiskan di Malang untuk makan dan jalan-jalan

Kamis, Juni 11, 2015

Setahun Berlalu

Kegiatan lama mengingatkan saya lagi pada peristiwa serupa. Setahun sudah kegiatan yang menghadirkan perkenalan itu berlalu. Setahun sudah sejak berkenalan dengan senyum di belakang kamera yang menggantung di leher. Sebuah jepretan mengagetkan yang ketika itu mengawali perkenalan kami. Setahun sudah. Saya ingat sekali detail bagaimana kami bisa memulai percakapan ketika itu. Hal-hal kecil yang mungkin dia sudah lupa masih membayang jelas di pelupuk mata. Magrib bersejarah. Dan magrib itulah penyebab utama dari kecanggungan hari ini.

Dalam kegiatan yang sama seperti tahun sebelumnya, saya dan dia kembali ambil bagian. Bukan sebuah rencana, bukan pula maksud untuk kembali bersama karena kami memang sudah tidak ada kontak lagi sejak 6 bulan yang lalu. Kisah cinta -terungkap, namun tidak terlaksana- pernah menghias hari-hari yang dulu kami lalui. Diawali dari perkenalan di amlam puncak sebuah kegiatan kampus, kemudian berlanjut di hari-hari berikutnya, hingga akhirnya saya mengenal dia cukup jauh. Kesehariannya, kegiatannya, asalnya, orangtuanya, teman-temannya. Pun begitu juga dengan dia. Siapa saya sudah dikenalnya, bagaimana keseharian saya sudah dihafalnya. Semua tentang saya sudah menjadi rutinitas bagi harinya. Kedekatan kami bertambah setiap hari. Dari hal yang sederhana seperti bertanya kabar, tugas atau semacamnya. 

Entah dari mana rasa nyaman mulai datang. Terasa kurang jika tiada kabar ataupun tidak memberi kabar. Awalnya saya menyalahkan tugas sebagai kambing hitam dari kesemuanya. Kami sama-sama disibukkan oleh tugas di akhir semester. Lelah membuat saya langsung terlelap begitu melihat kasur. Dia sepertinya juga begitu. Sehingga kami saling tidak memberi kabar. untuk beberapa hari awalnya, namun kemudian terus berlarut hingga bahkan ketika liburan tiba di penghujung. Sayang yang sedang mengudara, cinta yang mulai mekar, perhatian yang mulai memberi kenyamanan, perlahan mulai meredupkan cahayanya. Tidak ada ucapan selamat malam atau selamat pagi, tidak ada pertanyaan sedang apa ataupun sudah makan. Semuanya lenyap termakan tugas beberapa minggu yang lalu. Cerita panjang kami lalui dengan jalan masing-masing. Dia bersama kawan-kawannya dan saya bersama orang-orang disekeliling yang menemani. Kami tidak lagi berbagi cerita. Tidak ada saya dalam kesehariannya. Tidak ada dia dalam keseharian saya.

Semenjak tugas yang mahabanyak itu, masing-masing kami merasa berat untuk memulai. Takut mengganggu, takut sedang sibuk dan takut-takut lain yang sebenarnya hanya berupa prasangka tidak berguna yang menghabisi sayang dan cinta kami kala itu. 

Saya dan dia akhirnya benar-benar menulis cerita cinta yang berbeda. Beberapa bulan kemudian kami tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Dia punya seorang yang kini begitu dekat dengannya. Saya pun menjalin cinta dengan seseorang yang tidak dikenalnya. Jujur saja sampai saat itu masih ada rasa yang berharap dalam hati saya. Dia juga berkata dengan jujur ketika kami sempat bertemu sekali waktu. Masih menimpan foto kami malam itu sebagai bukti bahwa dia masih ingat dengan saya.

Cinta yang lama biarlah menguap bersama angin, tetapi tetaplah jaga sayang yang sudah hinggap  di dalam hati. Kelak kita akan punya cerita untuk dibagikan. Itu kesimpuan yang kami bicarakan hari itu. Namun tidak semudah mengucap meski sejak hari itu kami benar-benar tidak pernah bertemu.

Saya yakin dia tidak lupa, meskipun kami pernah sepakat untuk melupakan kisah yang lama. Dia berdiri beberapa meter di depan saya. Beberapa kali tertangkap matanya melirik ke tempat saya berada, beberapa kali juga saya ketahuan sedang memandangnya. Namun sampai beberapa menit kemudian tidak tergerak hati untuk menyapa. Berat sekali rasanya bahkan untuk sekedar menyapa dalam bentuk senyum saja. Terasa sekali kecanggungan dalam diri saya. Ingin sekali untuk menyapa, tetapi takut. Takut kalau mengganggu atau dia sedang tidak ingin bertemu atau disapa. Itulah takut tidak berguna yang menguasai hati. Itulah takut yang pernah datang di masa lalu kami. Takut yang menghapus cerita yang sebenarnya bisa kami akhiri dengan bahagia. 

Selasa, Juni 09, 2015

Perempuan Ku

Baik bukan berarti pemberi bahagia. Tidak selalu, karena konotasi dan makna katanya yang tertuju pada topik berbeda. Sedikit aku bercerita bahwa ada pengalaman yang memahamkan aku tentang makna baik dan bahagia. Tentu saja berhubungan dengan seorang makhluk bernama perempuan, dan Cinta.

Perempuanku -sebut saja begitu- seorang yang selalu dipuja setiap waktu oleh mereka yang mengenalnya. Sikapnya yang lemah lembut, tabiatnya yang ramah, dan cara bicaranya yang sopan membuat banyak hati jatuh dalam hipnotis dirinya. Cap baik sudah sangat melekat dalam darahnya. Dia membantu siapapun, siapa yang butuh dan bisa ditolongnya. Banyak orang yang mengumbar kagum di hadapnya. Jiwa sosial dalam relungnya tinggi meski kata jarang terucap dari bibir mungilnya. Aliran pujian sangat deras menghampirinya.

Kemudian suatu cerita di mulai. Tuhan mendekatkan aku dan dia. Memangkas jarak sehingga kami dapat bercengkrama secara dalam. Saat itu bahagia berteman baik dengan kami. tawa dan senyum selalu ada dalam setiap tarikan nafas yang kami hirup. Aku dan dia tampak anggun dalam mesranya sikap yang dibuat sangat biasa. Untaian kagum terus mengalir. Iri juga kadang-kadang singgah dari mereka yang katanya tidak seberuntung aku. Seorang bidadari bisa aku pegang tangannya dan aku ajak untuk bersusah dalam roda kehidupan. 

Lama waktu berlalu tidak banyak yang tahu bagaimana kisah sebenarnya. Layaknya improvisasi dalam skenario, kami tidak sengaja menampilkan dua aura dalam kehidupan. Ketika keramaian mengelilingi, hubungan baik terasa sangat kental, biasa dan tidak berlebihan. Adem ayem tanpa pernah disentuh pertengkaran. Itu di depan mereka. Itu yang mereka lihat dan saksikan. Itu adalah bagian dari topeng tipis yang tidak sengaja kami pakai. Lalu bagaimana keadaan sebenarnya?

Dalam cara yang kadang kekanakan, kami coba menyelesaikan masalah yang ada, namun kerumitannya justru bertambah dalam beberapa situasi. Kami bertengkar karena masalah sepele yang kemudian diangkat untuk dijadikan akar pertengkaran. Lalu tentang kebaikannya. Membuat kesal sering menghampiriku karena merasa sering terlupakan. Amarah membabi buta berkecamuk dalam hatiku karena terus menerus dibaikannya. Kata beruntung yang selalu orang-orang itu lontarkan hanya sebuah bullshit alias omong kosong. Tidak mereka alami bagaimana rasanya diabaikan ketika cinta sedang mekar. Karena dalam kenyataan justru baiknya lah yang membuat aku merasa terpinggirkan.

Tidak seorangpun yang melarangnya untuk berbaik hati. Bahkan oleh aku yang hampir setiap hari berselimut kesal karena selalu dia abaikan. Sebisa mungkin pengertian coba aku kedepankan agar pertengkaran kami dapat dihindarkan. Sayang sekali amarah juga berkuasa. Cemburu menguras sisi baik dari pengertian hati. Berkeringat dingin dibuatnya ketika sering aku coba bertahan dalam situasi seperti itu. Lalu acuhnya akhirnya membuat amarah benar-benar meledak dalam bentuk yang sedikit lebih sopan. 

Dia terdiam, tidak bersuara, tidak berekspresi, tidak juga membantah. Pesan hati yang lama terpendam akhirnya malam itu tersampaikan. Amarah dan kesal sudah lelah untuk terus berdiam diri di relung hati. Lelah pula untuk bercerita bahwa aku juga butuh sedikit perhatian. Kemudian kecewalah yang akhirnya turun tangan mengatasi semua. Dengan nada pasrah dan tidak berharap banyak, muncul cercahan cahaya baik yang membuat aku merasa lebih terperhatikan. Sepiku mulai berkurang, senyumku mulai kembang ketika perlahan perhatian mulai dia cuatkan untuk setiap pagiku. Sikap ini yang dari dulu aku damba -yang dulu tidak pernah aku dapat dan rasakan-. Ada sedikit waktu yang dia khususkan agak sejenak untuk seorang yang benar-benar tulus menyayanginya.

Kepada perempuanku yang berhati mulia, Tiada larangan untuk berbuat baik kepada setiap nyawa yang kau temui. Tetapi sadarilah, bahwa tepat di sampingmu ada satu hati yang menggantungkan bahagia padamu, yang menginginkan perhatian lebih dari apapun dan siapapun. Dia selalu berharap dan selalu merindukan perhatian yang tulus darimu. Dan itulah aku wahai Perempuanku.

"Kata Hati Seorang Sahabat"