Rabu, Mei 25, 2016

Senin, Mei 23, 2016

MENEMUKAN KEPERCAYAAN

Pernah terlintas, namun tak sedetail kenyataan yang benar adanya. Pikiran itu dulu terlintas saat kau beritahu bahwa hanya ada satu mahkota dalam hidup mereka, itulah dirimu. Sekitar hampir setahun lalu kau berkata, setengah bercerita karena kita masih saling ragu untuk coba membuka diri. 

Kala itu aku berhasrat ingin mendapat kepercayaan dari mereka yang menjadi tembok kokoh pembelamu di garda depan. Aku berharap agar mereka dengan terbuka dapat menerimaku. Mempercayaiku sebagai anak -lain- yang selalu siap menemani sepimu. Sayang, bertemu saja hingga detik ini belum jua terlaksana.

Masih terlalu awalkah? Atau mungkin aku terlalu cepat dan mudah bereaksi dengan pengharapan? Banyak pertanyaan yang muncul saat kita berbagi cerita. Beberapa tersampaikan namun tanya-tanya yang lebih pribadi tak mampu kuangkat ke permukaan.

Hari-hariku pernah kau isi beberapa saat. Saat dulu kita terlibat dalam suatu kerja sama yang tak sengaja. Setelah itu kita bertanya kabar dan kesibukan jika tak sempat berjumpa, dan saling melempar senyum saat bertemu di antara kesibukan yang maha padat.

Sore ini sengaja aku mampir, mengembalikan apa yang dulu ku 'pinjam'. Sudah habis waktunya dan barang itu harus kembali kepada yang punya. Senyummu menyapa saat muncul di balik pintu. Berbalas senyum kita disaksikan pagar hitam rumahmu di ujung kota. Langit mendung di musim penghujan yang tahun ini datang terlambat menyaksikan kita yang sama-sama kaku, saling tersipu dan hanyut dalam pikiran masing-masing.

Tidak banyak kata yang kita ucap. Kita ragu. Hati berkata, namun raga hanya mampu menampilkan ekspresi seadanya tanpa bisa diungkapkan seutuhnya. Hingga akhirnya suara dari dalam rumah menyapa kita. Bersamaan dengan itu mendung dengan cepat sudah bermetamarfosis menjadi butir-butir yang menghujam deras.

Mau tidak mau aku harus turut pada perintahmu, pindah ke teras dan duduk di kursi di ujung kiri. Kau tahu, bahwa saat itu sungkan sekali rasanya. Sepasang mata lain seolah mengawasi meskipun pemabawaannya sangatlah ramah. Dan aku menjadi kikuk. Sulit memulai kata, menatap lurus ke arahmu saja membuatku berkeringat. Untungnya butir hujan tadi sempat mendarat di beberapa bagian tubuh, sehingga tercampur bersama keringat dingin. Tak begitu kentara bahwa sebenarnya aku gerogi setengah mati.

"Ya sudah, berbuka di sini saja, Mas." Suara itu, suara yang membuatku takut sekaligus berharap. Tidak, tidak berharap atas ucapan yang baru terdengar. Tetapi lebih pada sapaan dan intonasi pengucapannya. Tingkat keramahan yang sedari tadi kuprediksi ternyata tak lebih tinggi dari nada barusan. 

Kupandangi arloji hijau tentara yang melingkar, Kurang dari 15 menit lagi, dan hujan tampaknya masih akan terus berlangsung hingga malam. Dari samping tiba-tiba muncul sesosok laki-laki lain -yang untungnya tersenyum ramah-. Aku tersenyum mengangguk, semakin gerogi dan semakin kaku. Semakin berusaha untuk lebih sopan pula aku berlaku.

"Ya sudah, di sini saja kalau begitu." Tambah beliau.

Kau bisa bayangkan apa yang hatiku rasakan saat itu? Sumringah dan senang luar biasa yang sekaligus bercampur aduk dengan sungkan yang membabi buta. Dan kau malah menatapku dengan pandangan yang seolah berkata, "Selamat menikmati". Saat itu aku segera ingin mengubur harapan-harapan untuk bisa mengenalmu lebih jauh, dan berdoa sepanjang waktu tersisa agar hujan segera reda. Nyatanya tidak.

5 menit pengharapan terkahirku, hujan justru semakin ganas saja lakuknya. Dentumannya di atas genteng semakin kencang terdengar. Aku pun pasrah dengan apa yang berikutnya akan terjadi. 

"Ayo, nunggu di dalam saja." Saat itu benar benar sudah tidak ada pilihan lain. Aku mengikutimu sesuai perintah. Dan kau tahu, betapa lamanya waktu terasa saat menunggu kala itu? Waktu seperti diberhentikan karena bedug tak kunjung muncul bunyinya. Suasana agak mencekam, menggerogoti kepercayaan diri yang biasanya tinggi ketika berhadapan denganmu.

Skip.........................

Saat bedug terdengar sayup, aku memperhatikan setiap wajah yang  ada di ruangan itu, dengan sudut mataku tentu saja, karena akan semakin memojokkan gerogiku jika ketahuan sedang menatap salah seorang dari mereka, termasuk kau tentu saja. 

Akhirnya aku ikut dalam tradisi berbukamu. Ditemani beberapa teguk es teh dan menu buka puasa ala keluarga kecilmu. Lalu secara berjamaah melaksanakan kewajiban Magrib. Setelah itu kita kembali ke meja coklat tempat hidangan tersaji dengan posisi duduk yang sedikit berubah. Aku duduk tepat di hadapan dua wajah yang telah terkombinasi menjadi kenggunan dirimu kini. Dan kau duduk tepat di sampingku.

............................

Saat ini aku belum bisa menceritakan secara detail, apa-apa yang baru saja berlalu dan tentang apa saja percakapan yang baru saja terjadi -akan kuceritakan di  judul berikutnya-, bahkan kepadamu yang jelas-jelas berada di sana. Satu hal yang pasti, sambutan yang kudapatkan penuh kehangatan, senyum tulus terasa menjamuku dengan baik. Walau mungkin belum sepenuhnya, tetapi perlahan aku mulai merasa ada kepercayaan yang coba mereka beri.

Minggu, Mei 22, 2016

Khilaf


Harus kukatakan bahwa belakangan ini aku kalah oleh kerasnya dunia. Aku terjerumus dan sempat melupakan Tuhan beberapa saat lamanya. Komplikasi permasalahan membuat jiwa-jiwa yang dulu di bentuk dalam pondasi kuat bernuansa surau tiba-tiba goyah dengan mudah dan hancur perlahan. Semboyan "ABS-SBK" yang tertanam sejak lahir seakan tercecer. Semakin jauh kaki melangkah meninggalkan kampung, semakin pudar pula norma-norma yang sebelumnya kuat mengalir dalam darah.

Benteng-bentengku ternyata terlalu keropos. Bahkan untuk sekedar mengucap syukur atas setiap nikmat saja berat sekali rasanya. Kewajiban-kewajiban seringkali tertinggalkan. Aku yang dulu lahir di antara kekuatan iman dan agama, yang lahir di tanah para ulama dan cendekiawan, kini justru terseok lalu roboh karena ujian yang tak seberapa.

Aku terjerembab ke kubangan yang aku sendiripun tak pernah membayangkan. Sajadah yang dulu sengaja ku bawa dari rumah terlipat rapi di ujung kamar berikut sarung dan peci yang menjadi kombinasi. Tak pernah tersentuh, hanya menjadi hiasan dan sekedar penanda tanpa pernah lagi digunakan. Kehidupan yang maha berat di tanah antah barantah ini membuat jiwa-jiwa lelahku begitu mudah terasuki kesesatan. Aku tak lagi secakap dulu, tak lagi mampu membagi waktu, dan juga tidak lagi bisa  tersenyum dengan ikhlas. 

Hati yang dulu tenang kini sering meronta. Selalu gelisah tanpa ada sebab yang nyata. Ragaku tak pernah nyaman dimanapun berada. Kepada siapapun hatiku tak pernah bisa percaya. Kesadaran setiap hari mengawali kesalahan dan khilafku. Hanya dia tak cukup mampu untuk membendung nafsu-nafsu tak bertanggung jawab yang terlalu membabi buta. 

Kepada Ayah dan Ibu di sana, maaf atas penghianatan yang telah terlajur terjadi. Melalui surat yang bahkan tak sanggup untuk kubaca ulang ini, aku ingin mencurahkan segalanya. Bukan aku tak mampu menahan godaan dunia seperti yang kalian wanti-wantikan dulu. Hatiku saja yang tak terlalu kokoh memenjarakan iman dan kepercayaan. Maaf atas jiwaku yang kolaps, yang pernah lupa akan Pencipta, yang pernah berdusta dalam berkata, yang tak mampu bersikap seperti yang selama ini kalian harap.

Sisa Waktu Kita


Katamu untuk melepas rindu, kita seringkan waktu luang agar dapat bertemu. Sebentar lagi kita akan jauh dari pandangan masing-masing. Dalam waktu yang terbilang lama, kita tak akan dapat saling berjumpa. Entah bagaimana kita nanti menjalaninya, yang pasti di sisa waktu yang masih ada kesempatan untuk saling menatap, kita akan coba terus melakukannya. 

Di antara sibuk yang terus mendera, setiap detik begitu mahal harganya. Sepicing kerdipan mata terasa begitu penting. Kita akan melangkah di jalan berbeda. Kita berpisah, entah akan dapat bertemu lagi atau tidak. Baik aku ataupun kamu, kita tak dapat saling berjanji. Kita terlalu lemah dan mudah sekali dipecundangi jarak. Kita juga menyerah saat berhadapan dengan waktu. 

Jagalah dirimu wahai raga yang kucinta. Jaga rasamu wahai jiwa yang luar biasa. Suatu saat, jika kelak dunia berpihak, aku akan datang lagi dengan pengkabulan satu permintaan yang dulu kau sebut. Percayailah aku sebagaimana kau yakin terhadap dirimu sendiri. Detik ini memang aku bukan siapa-siapa. Tak begitu berarti, juga tak ada yang dapat kulakukan untukmu. Aku tak memberikan apa-apa, sama sekali. Tetapi satu cinta yang datangnya benar-benar dari kedalaman relung, akan menjadi kekuatanku ketika nanti waktunya tiba.

Sabtu, Mei 21, 2016

Kewajaran

WHO AM I ???
Entahlah, aku seringkali bingung dengan apa yang menyibak pikiran-pikiran dalam jiwanya. Dikatakannya yang aku minta kali ini adalah suatu kewajaran, namun tak pernah dia gubris. Jelas aku heran dan bimbang. Terasa ada yang ganjil, seperti ada hati yang dia jaga di kota sana. Permintaanku tempo hari bukanlah sesuatu yang terlalu muluk. Yang -sekali lagi- sangat wajar, dan itu jelas telah diakuinya.

Sesulit apa hal itu sebenarnya? Dan mengapa begitu sulit? 

Apakah benar seseorang di sana telah lebih hebat meluluhkannya? Atau masih ada rasa yang tertinggal di ujung kota sana hingga dia berpikir untuk suatu saat menjemputnya lagi? Dia hanya tersenyum saat aku bertanya. Senyum yang manis seperti biasa, tetapi kali ini aku tak begitu menikmatinya. Aku tak mendapat alasan jelas yang cukup meyakinkan dan dapat diterima. Apa yang dikatakannya, yang menjadi penghambat permintaanku, pernah dilakukannya saat belum terjadi apa-apa. Lalu kini, ketika keadaannya sudah semakin mendukung, dia katakan permintaanku berat untuk dilakukan.

Sedari awal sebenarnya sudah banyak yang mengganjal, dari hal-hal kecil nan sepele hingga sebuah permintaan nyata yang kuajukan. Apakah -baginya- aku benar-benar ada? Di sisi lain, saat hanya ada aku dan dia, aku mengakui bahwa hatinya setara dengan malaikat. Dia peduli, dia baik sekali lakunya, perhatiannya sangat luar biasa. Namun saat berada di lautan manusia semua itu kadang seperti sirna entah kemana.

Sejak hari itu, aku tak dapat lagi menerjemahkan apa yang terjadi. Mungkin saja dia malu. Pertama aku adalah orang daerah dan dia adalah anak metropolitan. Dua latar belakang berbeda yang sangat kontras dan sulit dicocokkan. Kedua, kami tidaklah pernah saling melengkapi. Dialah yang selalu melengkapi kekuranganku. Aku laki-laki yang tidak bisa diandalkan, jadi mungkin tidak begitu berguna baginya. 

Di hati kecilku memang benar adanya pengakuan akan hal itu. Dan aku masih manusia perasa dan tahu diri. Tetapi apa yang telah terjadi juga menimbulkan goresan yang sakitnya masih terasa. Sebegitu tidak pentingnyakah aku hadir dalam cerita perjalananya? Aku adalah manusia yang juga butuh untuk sedikit dihargai dan diakui.

Minggu, Mei 15, 2016

Terjemahkan

Berikan aku selembar kertas dan sebatang pensil, dengan gayaku akan kutulis beberapa hal tentangmu yang menjadi ciri khas dan tidak dimiliki orang lain. Berdasarkan kacamata dan persepektifku tentu saja. Hanya saja aku sedikit memberi pinta, setelah aku tulis dan berikan padamu, mohon simpanlah dengan baik. Barangkali suatu saat, saat kau tak lagi akan pernah melihatku, catatan kecil itu dapat menjadi senjatamu dalam bertindak dan menentukan keputusan maha penting. 

Jangan kau lihat model tulisannya, tak sebagus jenis-jenis font di komputer tentu saja. Cukup kamu pahami kata demi kata yang terukir, simpan dan terjemahkanlah baik-baik. Gunakan hatimu untuk mendapatkan makna, karena aku yakin pikiran saja tak akan mampu untuk melakukannya.

Kelak jika benar adanya kita berpisah, selembar kertas itu akan membuatmu mengingat tentang seorang yang tak begitu penting namun cukup berpengaruh dalam hidupmu. Tersenyumlah saat nanti kau tiba di momen-momen itu. Kau akan merindu serindu-rindunya dan tak mampu untuk bertemu. Hatimu akan menangis, tetapi ketika hatimu ternyata mampu menuai makna dari tulisan-tulisanku, maka air matamu akan segera berubah menjadi senyum yang sempurna

Rabu, Mei 11, 2016

Memperbaiki


Tidak banyak, hanya beberapa untai kata saja yang ingin aku lemparkan ke luar sana agar terbawa angin malam, sehingga sesakku sedikit lebih lega dibuatnya. Belakangan ini situasi tak begitu baik menyapa hati. Ada gondok yang sedikit menyumbat, menghambat aliran nafas dan menyamarkan senyum di bibir. Beberapa hal yang telah terjadi meninggalkan pertanyaan dan pemikiran yang berakibat pada rusaknya keharmonisan. Gesekan-gesekan kecil penyulut api amarah seringkali terjadi, percikan bunga-bunga api pertengkaran menghias, hingga tidak ada tarikan nafas yang cukup kuat untuk mendamaikan dan melegakan hati akhir-akhir ini.

Mungkin saja sedang lelah, karena kita sudah cukup lama berjalan, sudah cukup jauh jarak yang kita tempuh, sudah kita keluarkan banyak sikap yang selama ini tersembunyi. Di balik itu semua hanya akan ada satu pertanyaan, Bisakah kita saling mengerti dan menerima?

Adalah suatu ujian ketika semua ini terjadi. Aku menyadari secara utuh, namun tak cukup mampu untuk bersikap lebih baik. Kelabilan hati, rasa, dan pikir masih harus merupakan hal yang menjadi sorot untuk dapat diperbaiki. Barangkali di sini tempatnya aku belajar, diantara masalah-masalah yang kita hadapi. Mungkin dengan ini aku dapat lebih menghargai, dapat lebih mendengar, dan dapat lebih memahami.

Aku mengutarakan pengakuan kepada sunyinya malam. Kekanak-kanakanku sangatlah tidak sepadan untuk dibersandingkan dengan kesabaran dan kedewasaanmu. Tetapi aku juga ingin untuk belajar, mejadi lebih baik bukanlah hal yang mustahil. Walau sedikit menyakitkan dan tampaknya mesti ada yang harus mengurut dada.

Sikapmu

Untuk saat ini nafasku agak memburu, pertanda perasaan tidak baik sedang menyambangi hati. Beberapa hari belakangan memang ada syak yang menggelantung, membuat kenyamanan yang sebenarnya sudah tergerus kini semakin menjadi. Perkara jatuh cinta, semakin lama waktu bergulir, jenuh rasanya semakin menjauh. Tidak seperti yang banyak orang rasakan, waktu yang terus berputar kerapkali menimbulkan bosan sementara aku sama sekali tidak mengalaminya. Justru dari lamanya waktu yang tiada henti aktivitasnya barang sejenak itu, aku merasa semakin takut kehilangan. Ada kewas-wasan yang seringkali menyambangi saat lamunan sedang berkuasa di sore dan malamku.

Beberapa hal tentangmu tidak jarang membuatku takjub, aku tersenyum bangga atas sikap yang kamu tampilkan, dan merasa menjadi seorang yang beruntung karena dapat melumpuhkan hatimu. Namun tak sepanjang waktu, beberapa sikap kecil yang kamu perbuat telah memaksa prasangkaku untuk tidak percaya sepenuhnya.

Jelas sekali yang kurasakan adalah bahwasanya kita selalu berjalan di belakang. Kita tak dapat menyaksikan ekspresi mereka, melainkan hanya punggung-punggung yang tak bermata. Kita tak pernah melangkah dengan iringan senyum mereka. Bagai sedang bermain petak umpet, rasanya aku dan kamu melangkah di rumput kisah dengan cara mengendap, berharap tak seorang pun tahu apa yang kita perbuat.

Aku pun sebenarnya tak begitu memahami, sikap-sikap yang kamu tampilkan memang masih terlalu absurd maknanya. Namun dari kacamataku yang terus terang saja tengah berada dalam suasana harap, apa yang kamu lakukan seolah berusaha menghilangkan aku saat ada mereka, dan memunculkanku lagi ketika mereka sudah tak ada. Apakah kebetulan? Tidak, kebetulan tidak berlangsung berkali-kali dan dalam waktu hampir 2 tahun berturut-berturut.


Rabu, Mei 04, 2016

Harap di BIM

Minangkabau International Airport 
sumber: google.com

Kemaren sore aku melihatmu di penghujung senja, di akhir jam kuliahku yang agak terlambat selesainya. Satu hal yang menjadi pertanyaan sekaligus harapan yang selalu terlintas adalah, "Kapan kita akan bertemu di BIM?"

Pertanyaan itu sedikit membuat sesal karena aku dan kamu seharusnya saling mengenal. Temanmu adalah kawanku, dan kawanku sebagian adalah teman dekatmumu juga, lalu mengapa kita tidak saling peduli? Kita hanya diam di saat sesuatu yang penting seharusnya kita bicarakan. Bukankah kita seharusnya berdiskusi tentang beberapa hal yang sedang hangat di kampung halaman sana? Leluhur kita mengajarkan untuk angkat kaki sementara dari ranah kelahiran, lalu kembali suatu saat dengan ilmu dan materi yang didapat. Juga ditanamkan bahwasanya kita satu darah di atas tanah perantauan.

Mungkin kamu sedikit sungkan untuk memulai kata. Pada dasarnya kamu adalah seorang yang aktif dan banyak bicara kulihat, tetapi kenapa sulit sekali rasanya untuk mengajakku ikut dalam obrolanmu?

Aku? Jujur saja sedikit sungkan rasanya untuk memulai. Kamu lihat perbedaan kita, barangkali kamu sangat tahu akan hal itu. Dalam perkembangan yang ada, kamu telah melangkah lebih cepat, jauh meninggalkanku di belakang yang berjalan terseok. Ingin sebenarnya untuk berdiskusi denganmu, lalu di akhir nanti kita berdedikasi untuk mereka yang di sana kita tinggalkan sementara. Juga untuk tanah yang menjadi saksi sebagian besar budaya kita yang masih dapat bertahan. 

Dari seorang bernama Sonia, aku mengetahuimu, dikatakannya juga bahwa kamu tahu aku. Jadi, bukankah kita sebenarnya sudah saling tahu satu sama lain? Kita juga sudah pernah bertemu, beberapa kali bertatap agak 3 detik lamanya saat berpapasan di jalan. Kita hanya berlalu begitu saja. Bukankah seharusnya kita saling menyapa? Atau setidaknya kita dapat saling tersenyum.

Selasa, Mei 03, 2016

Rindu Yang Tak Tahu Diri

Source image: google.com

Belakangan ini kerapkali secercah bayang melumat kenyamanan tidurku. Dalam mimpiku ada kamu yang tersenyum duduk anggun di sampingku. Itu membuatku terbangun dalam keadaan yang tak baik. 

Berhari-hari demikian, mimpiku melahirkan rindu yang sulit dibenamkan. Kesibukanku tak cukup mampu untuk mencairkannya, yang agaknya sudah kronis. Sedikit saja termenung, maka pikiran tentangmu kembali menjamah relung-relung kosong dalam hati. Sebegitu merindunya yang entah kenapa bisa terjadi.

Nyatanya aku dan kamu bukan apa-apa, maksudku kita tidak punya hubungan yang sedikit lebih spesial dari yang lain. Sebatas kenal saja dan bahkan hanya sedikit sekali kuketahui tentangmu. Dan aku menyalahkan diriku sendiri, rasa penasaran telah membuat rindu bergerak kian kemari mengikuti langkah dan arah pikirku. 

Dunia seperti tidak rela memberi satupun alasan agar aku dapat bertemu denganmu, bahkan dengan berkedok kebetulan. Kita terus saja diarahkan pada langkah yang berbeda, yang tak akan bertemu selama apapun waktu memberi toleransi. Barangkali rinduku saja yang teramat keterlaluan. Kamu tidak akan pernah berharap dikangeni manusia awur-awutan sepertiku, yang tidak sesuai dengan style keseharianmu. 

Minggu, Mei 01, 2016

Menusuk Mata


Butir-butir keringat muncul membasahi raut wajahmu. Kebetulan malam itu kita sedang berjalan membelah malam, katamu kau ingin sekali menyaksikan pentas seni di depan rektorat. Ya, itu adalah satu-satunya hiburan yang dapat kita saksikan dalam keadaan yang sekarang ini.

Sembari melangkah kau bicarakan tentang perpisahan yang tidak lama lagi akan terjadi. Pikirku hanyalah karena kita akan balik ke kota masing-masing menghabiskan libur. Tidak terbayang barang secuilpun dalam otakku bahwasanya maksudmu tidaklah demikian. Kita sedang tidak berdiri di atas lantai prasangka yang sama.

Di langkah terakhir sebelum kita menduduki tembok panjang di samping rektorat itu, kau berkata lagi mengingatkan beberapa hal, lalu kau tersenyum dalam gelap.

Kita dudukkan raga dalam waktu yang lama. Tujuan awalnya adalah untuk menikmati pentas seni, tapi sedetikpun kita tak mengarahkan pandang ke panggung. Justru kita saling hadap, menusuk mata masing-masing dengan tatap teramat tajam.