Senin, Mei 23, 2016

MENEMUKAN KEPERCAYAAN

Pernah terlintas, namun tak sedetail kenyataan yang benar adanya. Pikiran itu dulu terlintas saat kau beritahu bahwa hanya ada satu mahkota dalam hidup mereka, itulah dirimu. Sekitar hampir setahun lalu kau berkata, setengah bercerita karena kita masih saling ragu untuk coba membuka diri. 

Kala itu aku berhasrat ingin mendapat kepercayaan dari mereka yang menjadi tembok kokoh pembelamu di garda depan. Aku berharap agar mereka dengan terbuka dapat menerimaku. Mempercayaiku sebagai anak -lain- yang selalu siap menemani sepimu. Sayang, bertemu saja hingga detik ini belum jua terlaksana.

Masih terlalu awalkah? Atau mungkin aku terlalu cepat dan mudah bereaksi dengan pengharapan? Banyak pertanyaan yang muncul saat kita berbagi cerita. Beberapa tersampaikan namun tanya-tanya yang lebih pribadi tak mampu kuangkat ke permukaan.

Hari-hariku pernah kau isi beberapa saat. Saat dulu kita terlibat dalam suatu kerja sama yang tak sengaja. Setelah itu kita bertanya kabar dan kesibukan jika tak sempat berjumpa, dan saling melempar senyum saat bertemu di antara kesibukan yang maha padat.

Sore ini sengaja aku mampir, mengembalikan apa yang dulu ku 'pinjam'. Sudah habis waktunya dan barang itu harus kembali kepada yang punya. Senyummu menyapa saat muncul di balik pintu. Berbalas senyum kita disaksikan pagar hitam rumahmu di ujung kota. Langit mendung di musim penghujan yang tahun ini datang terlambat menyaksikan kita yang sama-sama kaku, saling tersipu dan hanyut dalam pikiran masing-masing.

Tidak banyak kata yang kita ucap. Kita ragu. Hati berkata, namun raga hanya mampu menampilkan ekspresi seadanya tanpa bisa diungkapkan seutuhnya. Hingga akhirnya suara dari dalam rumah menyapa kita. Bersamaan dengan itu mendung dengan cepat sudah bermetamarfosis menjadi butir-butir yang menghujam deras.

Mau tidak mau aku harus turut pada perintahmu, pindah ke teras dan duduk di kursi di ujung kiri. Kau tahu, bahwa saat itu sungkan sekali rasanya. Sepasang mata lain seolah mengawasi meskipun pemabawaannya sangatlah ramah. Dan aku menjadi kikuk. Sulit memulai kata, menatap lurus ke arahmu saja membuatku berkeringat. Untungnya butir hujan tadi sempat mendarat di beberapa bagian tubuh, sehingga tercampur bersama keringat dingin. Tak begitu kentara bahwa sebenarnya aku gerogi setengah mati.

"Ya sudah, berbuka di sini saja, Mas." Suara itu, suara yang membuatku takut sekaligus berharap. Tidak, tidak berharap atas ucapan yang baru terdengar. Tetapi lebih pada sapaan dan intonasi pengucapannya. Tingkat keramahan yang sedari tadi kuprediksi ternyata tak lebih tinggi dari nada barusan. 

Kupandangi arloji hijau tentara yang melingkar, Kurang dari 15 menit lagi, dan hujan tampaknya masih akan terus berlangsung hingga malam. Dari samping tiba-tiba muncul sesosok laki-laki lain -yang untungnya tersenyum ramah-. Aku tersenyum mengangguk, semakin gerogi dan semakin kaku. Semakin berusaha untuk lebih sopan pula aku berlaku.

"Ya sudah, di sini saja kalau begitu." Tambah beliau.

Kau bisa bayangkan apa yang hatiku rasakan saat itu? Sumringah dan senang luar biasa yang sekaligus bercampur aduk dengan sungkan yang membabi buta. Dan kau malah menatapku dengan pandangan yang seolah berkata, "Selamat menikmati". Saat itu aku segera ingin mengubur harapan-harapan untuk bisa mengenalmu lebih jauh, dan berdoa sepanjang waktu tersisa agar hujan segera reda. Nyatanya tidak.

5 menit pengharapan terkahirku, hujan justru semakin ganas saja lakuknya. Dentumannya di atas genteng semakin kencang terdengar. Aku pun pasrah dengan apa yang berikutnya akan terjadi. 

"Ayo, nunggu di dalam saja." Saat itu benar benar sudah tidak ada pilihan lain. Aku mengikutimu sesuai perintah. Dan kau tahu, betapa lamanya waktu terasa saat menunggu kala itu? Waktu seperti diberhentikan karena bedug tak kunjung muncul bunyinya. Suasana agak mencekam, menggerogoti kepercayaan diri yang biasanya tinggi ketika berhadapan denganmu.

Skip.........................

Saat bedug terdengar sayup, aku memperhatikan setiap wajah yang  ada di ruangan itu, dengan sudut mataku tentu saja, karena akan semakin memojokkan gerogiku jika ketahuan sedang menatap salah seorang dari mereka, termasuk kau tentu saja. 

Akhirnya aku ikut dalam tradisi berbukamu. Ditemani beberapa teguk es teh dan menu buka puasa ala keluarga kecilmu. Lalu secara berjamaah melaksanakan kewajiban Magrib. Setelah itu kita kembali ke meja coklat tempat hidangan tersaji dengan posisi duduk yang sedikit berubah. Aku duduk tepat di hadapan dua wajah yang telah terkombinasi menjadi kenggunan dirimu kini. Dan kau duduk tepat di sampingku.

............................

Saat ini aku belum bisa menceritakan secara detail, apa-apa yang baru saja berlalu dan tentang apa saja percakapan yang baru saja terjadi -akan kuceritakan di  judul berikutnya-, bahkan kepadamu yang jelas-jelas berada di sana. Satu hal yang pasti, sambutan yang kudapatkan penuh kehangatan, senyum tulus terasa menjamuku dengan baik. Walau mungkin belum sepenuhnya, tetapi perlahan aku mulai merasa ada kepercayaan yang coba mereka beri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar