Kamis, Maret 31, 2016

Hujan Kemaren Sore

Senja kemaren sedikit hujan membasahi tanah-tanah kampus yang tidak tertutup paving dan bangunan menjulang. Untung saja hujan kali itu tidak terlalu deras turunnya, sehingga aku bisa pulang tepat waktu. Tapi ada makna lain dari singkatnya hujan yang turun, yang hanya bisa dipahami oleh manusia-manusia berperasaan lembut.

Antara hujan dan perasaan, seringkali keduanya tiba-tiba saling berkait. Hujan kemaren sore seolah datang hanya untuk sekedar menghapus rasa, menghapus ingatan tentang seseorang yang kini entah dimana keberadaannya. Mungkin juga hujan kemaren bermaksud menghapus rindu. Sayang, rindu yang lama tersimpan sudah teramat menumpuk sehingga butuh jauh lebih banyak butiran hujan untuk menghapusnya.

Tidak banyak yang mampu kutafsirkan terkait hujan, perasaan, dan rindu. Ketiganya adalah hal rumit untuk dijelaskan jika sudah terakumulasi. Hati merasakan, namun ketika tulisan ingin mengabarkan, kata-kata seolah tidak ada yang mampu menerjemahkannya. Adalah hal sulit untuk mengkonversi rasa hati menjadi ungkapan-ungkapan, entah melalui lisan mulut ataupun tulisan pada selembar kertas. Jauh lebih sulit daripada mengkonversi satuan  kilometer kubik menjadi liter atau mililiter.


Rabu, Maret 30, 2016

Pelanjut Bunga Tidur

Daun-daun dan bunga tengah bersiap menanti kehadiran surya yang menurut BMKG akan lebih intens bercahaya untuk 3 hari ke depan. Seperti menolak, udara dingin justru semakin menusuk tatkala air-air pembasuh mulai menyentuh tubuh. Memberdirikan rambut-rambut di tangan yang awalnya tertidur pulas.

Hari-hari terakhir yang dilalui, kehadiran bayang seorang perempuan yang natural cantiknya tidak pernah absen mengisi lamunan pagi, mengkombinasikan siluet mentari dengan suhu yang lebih rendah dari seharusnya. Tidak ada pertanyaan tentang kepada siapa harus bercerita, perempuan itu hanyalah pelanjut bunga tidur di tengah gerogotan malas untuk memulai aktifitas. 

Entah bagaimana kabarnya kini, entah telah berubah rupanya, entah telah bermetamarfosis sifatnya, tidak ada pesan yang disampaikan angin pagi tentangnya. Pun tanah-tanah yang terinjak seolah enggan memberi jalan untuk bertemu walau dengan alasan kebetulan. Tiada tanda untuk kembali dapat berjumpa, belum ada nampak titik yang menguatkan asa bahwa rindu akan segera sirna. Keanggunan dalam kesederhanaannya menuai cerita, memperbarui cerita-cerita lama dengan harapan yang semoga menjadi nyata.

Selasa, Maret 29, 2016

4 Kali Pertemuan

Ada beberapa pertanyaan dariku kepada diri sendiri, yang sampai saat ini, quotes-quotes tentang perasaan yang bertebaran di setiap sosial media belum mampu menjawabnya. Pun pengalaman-pengalaman di usiaku yang menginjak kepala Dua ini juga tak bisa berbicara banyak. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak teringat lagi kapan aku pertama kali mengutarakannya. Meski sudah lama, tetapi sama sekali tidak terlupa bahwa aku pernah bertanya dan sulit untuk dijawab bahkan sampai detik ini.

Satu diantaranya adalah yang pertama, tentang ketertarikanku pada perempuan-perempuan berpenampilan sederhana. Entah dimana dan kapan mulanya, entah kepada siapa awalnya, dari dulu sampai sekarang kenyamananku lebih tinggi tingkatannya untuk berbicara dan berinteraksi dengan yang terlihat biasa-biasa saja kenampakan penampilannya -terlepas dari segala bentuk latar belakangnya-. Dan yang terakhir ini terjadi adalah ketika aku berkenalan dengan seorang mahasiswi cantik dari jurusan Sastra Inggris. Tidak seperti mahasiswi lainnya di jurusan serupa yang sedikit meninggikan penampilan di samping kualitas belajar mereka, perempuan asal ibukota ini terlihat lebih simple -dalam pandangnku-.

Resah

Untuk hati yang pernah bergejolak atas kehadiranku. Maafkan jika aku membuatmu luka. Adalah salahku yang telah memberi goresan-goresan kecil pada hatimu yang mulus dan utuh. Pun aku sebenarnya tidak pernah berfikir untuk sedikit saja merusak. Terakhir ini baru kusadari bahwa ternyata ada rindu. Merana palung hati karena mata tak lagi dapat melihatmu. Dimana gerangan kamu berada? 

Sekali saja, sangat ingin rasanya aku untuk bertemu denganmu, berdua kita berbahasa dengan sangat terbuka. Berkata apa saja sambil tertawa, dan tersenyum saat 2 tatap mata kita saling berjumpa. Terakhir dapat kulihat dirimu adalah saat turun tangga di gedung itu, lalu buru-buru melangkah pergi. Kiranya masih ada noda bersalahku yang masih melekat dalam kesucian hatimu.

Berilah sedikit maaf untuk lelaki yang tak tahu diri ini. Lelah jiwa karena terlalu lama berada dalam kungkungan rasa bersalah. Ditambah suasana kota yang semakin dingin setiap kali pagi memulai hari. Semakin tidak nyaman rasanya perasasaan-perasaan teras membelenggu.

Jatuh cinta, rasa bersalah, rindu yang tak terobati, semuanya menyatu dalam satu resah hati karena sulit untuk bertemu. Maka, jika aku boleh meminta, bahkan mungkin harus memohon, sisakan sedikit saja detik-detik berhargamu untuk menatap mataku, untuk tersenyum bersamaku, dan untuk tertawa di sela cengkerama kita. 

Minggu, Maret 27, 2016

Agak Geser Sedikit


Saya sedang bingung dengan judul penelitian untuk penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan mendapatkan gelar S1. Jangankan judul penelitian, topik pun belum terbayang dalam kepala. Malam itu atas ide dan omong-omong dengan seorang teman yang agak geser sedikit otaknya (padahal selalu di kelas A), muncullah inspirasi kecil yang cukup membuat saya berpikir dua kali. Mungkin kalian tidak akan mengerti banyak karena, hanya orang-orang di jurusan sayalah yang paham betul akan ini, itu pun tidak semua.

Agar sama-sama dapat dimengerti, mari saya perkenalkan terlebih dahulu sebelum membahas topik tersebut. Saya adalah mahasiswa jurusan Ilmu Tanah Kaget? Ya, bisa jadi, karena tidak banyak yang tahu jurusan ini padahal prospeknya lumayan cerah. Di kampus saya, jurusan ilmu tanah tergabung dalam Fakultas Pertanian, di bawah naungan program studi Agroekoteknologi. Meski berkecimpung dalam lingkungan pertanian, tidak semua alumni Ilmu Tanah yang bergerak di bidang pertanian (walaupun sebagian besar memang di sana). Ada yang bekerja di Pertambangan, PNS, Peneliti/Ilmuan, Dosen, Pengusaha, Pegawai Bank, Manager Lapang di Perusahaan Perkebunan dan sebagainya.

Khusus untuk saya yang masih terbilang muda dan bayi dalam Ilmu Tanah ini, semuanya masih dipengaruhi oleh lingkungan yaitu pertanian. Jadi penelitian yang ada dalam kepala saya hanyalah tentang tumbuhan. Malam itu, saat deadline pengumpulan judul tinggal kurang dari 9 jam lagi, seorang teman berpendapat agak miring (menurut saya).

Dalam jurusan Ilmu Tanah, ekspertnya yang dibahas tentulah seputar tanah, entah klasifikasi, jenis, kesuburan, dan sebagainya. Seorang teman itu sudah mendaftarkan topik besarnya, yaitu Hubungan, Air, Tanah, dan Tanaman. Sangat keren, karena menyangkut jurusan yg diambilnya (Tanah) dan fakultas yang menaunginya (Tumbuhan => Pertanian). Lalu air? tentu saja air berpengaruh besar saat pertumbuhan tanaman di tanah. Kalian tentu tahu bukan? tidak perlulah saya sebutkan lagi.

"Hubungan Air, Tanah, dan Tanaman." Sungguh keren dalam kepala saya saat itu.

"Lalu tema dalam penelitianmu nanti apa?" Saya bertanya.

"Hidroponik". Jawabnya antusias.

Hhmmm..................

Haloo. Apakah kalian menyadari ada yang sedikit aneh dari jawaban teman saya ini? Jika kalian menyadari berarti termasuk ke dalam orang-orang yang kritis. Jika tidak, yaa...... berarti bukan.

Hidroponik. kalian tau hidroponik kan?

Gampangnya, hidroponik itu adalah budidaya tanaman tanpa tanah. Bisa pakai air, arang, dan sebagainya. Intinya tidak menggunakan tanah sebagai media tumbuh.

Dan inilah yang agak membingungkan saya atas jalan pikiran teman yang otaknya agak geser itu.

Seorang mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah, yang mempelajari seluk beluk tanah, telah mengambil topik besar Hubungan Air, Tanah, dan Tanaman lalu tiba-tiba tanpa rasa bersalah mengerucutkannya kedalam penelitian menjadi Hidroponik, yang jelas-jelas adalah budidaya tanaman tanpa tanah. 

Salah? Tidak, hanya sedikit kurang pas saja menurut saya. 

Intinya ini hanyalah canda malam saat kami pusing ketika tengah berusaha menghubungkan beberapa ilmu untuk diterapkan dalam penelitian nanti.

Jumat, Maret 25, 2016

Bergejolak

Wahai cinta yang hingga detik ini belum dapat kusentuh. Perbolehkanlah sejenak aku menyanjungmu atas rinduku yang sedang bergejolak. Biarkan aku sedikit berkhayal menikmati indah dunia bersamamu. Izinkan aku untuk sedikit menebar aroma kasih sayang kepada dirimu yang maha indah.

Sekarang aku sedang terserang gundah dalam kesendirian.

Lalu, apa peduliku? Mungkin begitu jawaban ekstrem yang kamu lontarkan.

Memang, gundahku bukanlah gundahmu yang harus kau pikirkan juga. Gundahku adalah gelisah diriku sendiri yang tidak bisa kusambungkan denganmu yang tidak mengerti apa-apa. Tetapi tidak. Sama sekali keyakinanku tak tertuju ke sana. Kamu bukan wanita dengan tipe jawaban seperti demikian. 


Cinta telah membuatku gundah. Cinta kepadamu telah mendatangkan gelisah. Aku terhenyak setiap saat dikala bangun tidurku hanya dapat melihat gambarmu, tiada dapat menanyakan kabarmu, pun mengucapkan selamat pagi saja tak bisa.


Kamis, Maret 24, 2016

Merapikan Hati

Senyummu yang lama hilang di pelupuk mata, pagi ini hadir lagi walau hanya sekilas. Adalah perubah suasana senyummu itu. Mendung hati menjadi sedikit lebih cerah dibuatnya. Rindu sekali aku pada tautan bibir itu. Lama hilang entah kemana tanpa kabar berita.


Sekarang apa? Tidak tahu aku harus berkata apa. Bingung dan bimbang menggelayut di wajah. Kepadamu saja ingin kuceritakan semuanya. Tetapi tidaklah aku paham caranya bagaimana. Pagi ini kamu hanya melempar senyum tak lebih dari 2 detik lalu bergegas melangkah dan hilang di balik daun pintu gedung. 


Ah, mungkin aku harus bersyukur. setidaknya kamu telah menentramkan hati yang sedang tidak baik kondisinya. Kamu tebar sekilas senyum manis itu untuk sedikit merapikan hatiku pagi ini. Terima kasih banyak atas pertemuan sekilas yang tidak direncanakan ini.

Senin, Maret 21, 2016

Pena dan Kisah

Sebatang pena pernah kamu berikan. Awalnya aku pinjam untuk menulis. Penaku hilang, tidak ada di saku tas tempat biasa aku meletakkannya. 120 menit pena yang kamu pinjami itu tidak lepas dari genggamanku. Kutulis beberapa hal penting yang diutarakan dosen di depan sana. Sembari menulis, sebenarnya aku ingin melihatmu. Menikmati kamu yang sedang serius mendengarkan kuliah. Sayang kamu duduk tepat dibelakangku, sehingga sudut mataku pun tak mampu untuk menjangkau sedikit saja ragamu.

Beberapa kali selama 120 menit itu, kamu bertingkah agak nakal. Kamu cubit lengan kiriku, atau kamu tusuk punggungku dengan ujung pena di tanganmu. Aku hanya bisa diam karena suasana kelas yang hening. Tidak bisa berbalik untuk balas mencubitmu karena akan sangat terlihat dari depan sana. Suasana kelas sedang tidak baik untuk kita bercandai.

Ingin sekali aku berkata bahwa aku sedang rindu. 6 semester lamanya, tidak sekalipun kita pernah mengalami hal ini. Kita baru kali ini berada dalam kelas yang sama. Memang aku yang memintanya karena sebuah alasan yang sampai detik ini belum kuutarakan. Nanti saja jika waktunya sudah cocok, mungkin suatu saat sembari mengenang masa muda kita yang banyak cerita. Akan kutulis dalam sebuah kisah menggunakan pena yang kamu pinjami. Suatu saat jika ternyata aku tak mampu bercerita, maka tinta-tinta yang melekat di kertas mungkin dapat mewakili perasaanku untuk kamu ketahui.

Minggu, Maret 20, 2016

Tidak Pantas

source image: google
Denganku, kamu akan menata masa depan? Tidakkah kamu lihat bahwa tatap orang-orang itu sangat merendahkanku atas semua hubungan yang kita jalani? Mereka anggap aku tidak pantas untuk duduk dan berdiri di sampingmu. Menjadi pendampingmu bukanlah jalan yang seharusnya menjadi takdirku, begitu kata mereka.

Setelah selama ini berjalan, setelah belasan bulan lamanya, mengapa baru sekarang komentar-komentar itu muncul? Mengapa tidak dari dulu saja penilaian mereka lemparkan? Apakah mereka hanya iri dengan apa yang kita jalani saat ini? Pertanyaan itu mungkin akan muncul dari bibir tipismu jika kita coba membahasnya. Dan aku yakin kebaikan dan sifat terpujimu masih berdasar pada sikap dan pikir yang positif, kamu akan bertanya demikian. 

Aku jelaskan sedikit, bahwa adalah suatu kewajaran jika komentar mereka muncul belakangan ini. Mengapa tidak dari dulu? Sederhana saja, karena kita dulu berjalan dalam gelap, di belakang mereka dengan cara mengendap.

Tentu sangat kamu pahami, bahwa kita adalah sepasang insan yang lama sekali menutupi perihal jalinan kasih yang kita jalani. Selama ini kita bisu, diam, dan seolah tidak terjadi apa-apa ketika berada di depan mereka. Apakah kita hebat? Barangkali kita hebat, karena mampu menutupi cinta selama belasan bulan tanpa diketahui banyak orang. 

Lalu, apa hubungan cinta yang kita jalani dengan orang-orang itu? Tentu secara langsung jelas tidak ada. Tetapi cinta juga adalah bagian kecil dari sosial. Yakin atau tidak, kita butuh komentar dan penilaian mereka atas apa yang kita jalani. Tidak ada yang bisa menilai diri sendiri atas apa yang dikerjakannya. Termasuk saat menyangkut permasalahan cinta. Kita butuh komentar mereka, entah untuk saling memperbaiki diri, atau sekedar menilai sejauh mana kita telah berkorban.

Apakah kamu sadar, saat ini kamu berada di posisi yang ditinggikan, sementara aku mereka purukkan di jurang dalam yang paling bawah. Tidak masalah karena aku menyadari siapa aku, bagaimana aku, dan sejauh mana kemampuanku. Aku tidak lebih dari kamu, juga tidak lebih dari mereka. Aku hanya lelaki beruntung yang sempat merasakan cinta kepada perempuan yang teramat baik hatinya. 

Setelah ini, mungkin saja kamu tidak lagi mau bertahan, kecuali cinta telah benar-benar mempengaruhimu. Lelaki yang tak pantas untuk duduk dan berdiri di sampingmu ini tidak seharusnya kamu perjuangkan. Bukan salahmu jika kelak kamu pilih untuk pergi. Membiarkanku terpuruk bukanlah dosa yang harus kamu tanggung. Karena aku memang tidak pantas untuk terus kamu pertahankan.

Ingin

source image: google
Terkadang dalam sepi, aku bertanya kepada diriku sendiri. Apa modalku untuk jatuh cinta? Pertanyaan sederhana yang sulit untuk kujawab. Sejauh ini tidak satupun jawaban yang dapat kuutarakan atas pertanyaanku itu. Dalam suasana hati yang bagaimanapun juga, aku tidak mampu memberikan satu kata saja agar dapat jatuh cinta dengan rasa percaya diri yang tinggi. Seolah diam adalah teman karibku, maka bersamanyalah aku memberanikan diri untuk jatuh cinta.

Perempuan itu, yang sedang tersenyum saat berkumpul bersama kawan-kawannya itu adalah kekasihku. Aku memberanikan diri untuk jatuh cinta tanpa sebuah modal. Tidak, tidak bisa bahwa cinta hanya berlandaskan pada ketulusan saja. Dunia yang sekarang terlalu kejam untuk sekedar jatuh cinta atas dasar ketulusan. 

Tentang aku dan kekasihku. Kami tidak pernah bercengkrama ketika berada diantara orang-orang yang mengenali kami. Aku yang menginginkan demikian, karena masih terlalu malu rasanya untuk menjadi kekasih seorang perempuan yang dekat dengan kata sempurna. Aku tidak habis pikir, alasan apa yang dulu dia lihat dalam diriku hingga cinta yang kunyatakan sore itu berbalas senyum. 

Bagaimana mungkin ini benar terjadi? Sepenuhnya kini aku belum bisa meyakini, bahwa benar-benar ada cinta di antara kami. Mungkin akhir-akhir ini dia menyesali apa yang dilakukannya tempo hari. Setahun lebih berlalu, mungkin  baru disadarinya bahwa ada salah dalam keputusan telah dia ambil. 

Sering aku harus bersembunyi dari kawan-kawannya, hanya agar dia tidak merasa malu. Agar dia tidak mendapat cela dari mereka karena memilihku yang tidak bisa apa-apa, tidak punya apa-apa, tidak bisa diandalkan. Selalu aku bertemu dengannya dalam keadaan sepi, atau di tempat yang tiada seorang pun mengenali kami.

Tidak dapat kupastikan, entah sampai kapan hal ini akan terus terjadi. Entah sampai kapan laki-laki yang tak bisa diandalkan ini diizinkan jatuh cinta. Seringkali aku merasa bersalah, hanya mampu menemuinya dalam keadaan yang sangat biasa, yang tidak bisa merayakan hari-hari istimewa di tempat yang diinginkannya. Yang bahkan untuk sekedar mengajaknya keluar di akhir pekan saja tidak bisa.

Dari diriku, dari rasa dan hati yang terdalam, aku berbisik pada bumi yang semoga dengan segera akan didengar oleh langit. Aku ingin membuatnya bahagia. Aku ingin dikenal bahwa kami adalah sepasang kekasih yang utuh tanpa cacat dan ketimpangan. Aku tidak ingin bahwa pertemuan harus terus menerus terjadi di belakang mereka untuk menjaga malunya. Aku ingin sekali untuk muncul dihadapan mereka dengan menggandeng tangan lembut kekasihku tanpa ada cemooh yang mereka lemparkan. Aku ingin.......


Kamis, Maret 17, 2016

Kamis

source image: google
Setiap kamis dia biasanya selalu berada di kantin sekitar pukul 9 hingga setengah 11. Sudah sangat kuhafal hal kecil yang biasa dilakukannya. Biasanya lagi, dia duduk di gazebo dekat gerbang kecil menuju kantin, atau di samping LKM yang tersedia bangku beton di sana. Mungkin karena saking sering memperhatikannya, aku hafal rutinitas kecilnya, terutama ketika Kamis tiba. Pukul setengah sebelas sampai pukul 12 lebih sedikit, dia masuk kelas, setelah itu kembali ke dekat panggung di bagian barat dan bersiap untuk melakukan sesuatu bersama rekan seorganisasinya.

Kali ini Kamis kembali menyapa. Udara pagi tidak sedingin kemaren yang menegakkan bulu roma. Biasa saja. Menyentuh air ketika mengambil wudhu pun tidak sungkan rasanya. Bumi sedang bersemangat untuk menyambut jadwal padatku beberapa belas jam ke depan. 

Teringat olehku beberapa foto yang sekitar 4 hari yang lalu dia unggah. Foto itu menyiratkan bahwa Kamis ini aku tidak akan dapat melihatnya. Dia tidak akan makan di kantin, tidak akan duduk di gazebo atau bangku beton di samping panggung. Tidak juga akan melakukan aktivitas rutin bersama rekan satu oranisasinya. Dia sedang menikmati harinya nun jauh di padang pasir sana.

Entah aku berdoa, berharap, atau meminta, aku sendiri tidak bisa mendifinisikannya. Tetapi satu hal yang dapat kumengerti subuh itu, ada satu pertanyaan yang mewakili semuanya. "Apakah namaku sempat tersebut dalam doanya saat beribadah di sana?"

Untuk dia: Selamat pagi wahai yang di sana

"Dalam teritorial waktu, mungkin kamu masih menjalani dinihari yang panjang. Terpejam nyenyak matamu dalam lelap. Kamu mungkin sedang mengistirahatkan raga setelah menikmati tempat yang tidak biasanya kamu berada di sana. Di sini, di tempat aku mendesain kata tentangmu, di kotamu yang ramah dan penuh cerita ini, aku baru saja selesai menunaikan 2 rakaat kewajibanku. Sembari berdoa semoga setelah ini, ketika kamu pulang nanti, ada lembar baru yang membuat kamu kembali memberi senyum indah nan tulus untukku."


Rabu, Maret 16, 2016

Oh, Inggris

Source Image: google
Terus terang saja, aku sangat-sangat shock ketika mendapat tawaran untuk training di negeri Ratu Elizabeth selama 3 bulan sebelum melakukan penelitian di pedalaman Sumatera. Yup, dapat dibayangkan, bocah kampung yang sedang kebingungan dengan judul penelitian untuk tugas akhir demi gelar sarjana ini awalnya hampir frustasi. Itulah aku. Beberapa temanku sudah mendapatkan tempat magang yang pas, menemukan topik dan judul yang cocok dan sudah di ACC dosen pembimbing masing-masing, bahkan beberapa diantara mereka ada yang sudah mulai penelitiannya.

Pagi itu, -ingin kuceritakan sedikit kronologisnya- Kota Malang sedang berada dalam suhu sekitar 20 derajat Celcius. Cukup dingin dengan embun yang membasahai dedaunan pagi itu. Tidak ada hujan, malah sepertinya mentari sudah bersiap di ufuk timur sana untuk membuat hari ini lebih berkeringat dari biasanya.

Aku berangkat ke kampus -masih- dengan langkah gontai karena tak kunjung menemukan ide terkait penelitian yang harus segera disiapkan proposalnya. Mungkin karena doa pagi ini yang lebih khusyuk dan panjang, Tuhan mengantarkan langkahku untuk dapat bertemu dengan seorang kawan yang saat itu sudah lebih baik nasibnya. Dikatakannya, masih ada tempat jika aku ingin ikut. 

Diajaknya aku bertemu seorang dosen, yang kutahu memiliki beberapa proyek besar. Biasanya beliau melimpahkan proyek-proyek kecil dari sub proyek besar kepada mahasiswa bimbingannya, salah satunya adalah kawanku ini yang kelimpahan proyek penelitian di Sumatera bagian selatan. Tentu menyenangkan jika sudah begitu, tidak perlu pusing lagi, hanya dituntut untuk bekerja keras karena ada deadline yang menunggu tanpa bisa ditolerir.

Diperkenalkannya aku pada dosen tersebut, dosen yang mengajarku di beberapa mata kuliah sebelumnya. Dia buka percakapan pagi itu dengan sopan, diutarakannya maksud ingin bertemu. Sekilas kulihat ada tanya di wajah dosen yang merupakan Doktor lulusan Inggris itu ketika melihatku. 

"Oke, jadi kalian berdua nanti ke sana, dan tinggalkan nama lengkap sekaligus nomor Hp. Nanti saya hubungi orang yang di sana, menyetorkan nama kalian secara informal dulu. Karena kalau yang secara resmi itu kan dari proposal yang kalian kirim nanti." 

Sempat nafasku berhenti sejenak, bertanya dalam hati. Semudah itukah? Hanya selang satu jam, langkah gontaiku berubah langsung menjadi tatapan semangat. Kebingunganku selama berminggu-minggu lenyap setelah bertemu selama kurang dari 5 menit dengan Doktor ini.

Kutanyakan beberapa prosedur yang harus dilalui, beberapa persyaratan yang harus dilengkapi, serta tetek bengek setiap hal kecil yang harus dilakukan. Meski belum 100% resmi, tetapi setidaknya sudah ada gambaran kemana aku akan melangkah selanjutnya.

"Kamu bisa Bahasa Inggris?" Tanya sang Doktor diantara gembira sesaat kala itu.

Sebelum sempat kujawab, beliau melanjutkan.

"Begini, Ini ada proyek dari Inggris, tapi orangnya nggak bisa datang ke Indonesia. Kalau ada SDM dari sini, kalau kamu bersedia dan berani, saya akan tempatkan kamu di Inggris untuk Training selama 3 bulan sebelum mulai penelitian."

"Maaf, Pak?" Aku masih ragu dengan maksud yang Doktor itu ucapkan.

"Kamu bisa bahasa Inggris? Jika kamu bisa, dan kalau kamu bersedia, saya hubungkan kamu dengan teman saya di sana. Kamu ke Inggris. Berani?"

Kalian tahu apa yang aku rasakan saat itu? Mendapat tawaran ke Inggris -yang pastinya dibiayai- adalah sesuatu yang langka yang mungkin entah kapan akan datang lagi. Adalah orang bodoh yang menolak tawaran seperti itu. Apalagi di tengah kegalauan akan masa depan, mendapat tawaran ke Inggris tentu akan menerangkan lingkar masa depan, menjamin kehidupan beberapa tahun kemudian, bahkan mungkin seumur hidup.

Tanpa pikir pajang, aku menggeleng. Menandakan bahwa penolakan baru saja kulakukan. Penolakan ke Inggris, dibiayai penuh, dan training terkait penelitian dengan professor ahli dari sana. Aku menolaknya. Apakah aku bodoh melakukan hal itu? Mungkin saja, banyak sisi yang menudingku sebagai seorang yang bodoh. Banyak orang ingin mendapatkan hal seperti itu, dan aku yang mendapat tawaran, lalu hanya dalam hitungan detik kuputuskan untuk menolak. Ya, aku memang bodoh.

Kebodohan yang dituding kepadaku tidaklah semata karena aku tidak berpikir. Ada satu alasan yang membuat aku menolak tawaran emas tersebut. Satu hal yang menghilangkan jaminan sukses di masa depanku, satu hal yang menghilangkan tangga menuju karir cemerlangku. Aku lebih memilih di pedalaman Sumatera daripada berangkat ke negara maju di Eropa sana.

Langsung malamnya, kutelfon orangtua dan kedua adikku di rumah. Kebetulan keduanya sedang berada di penghujung tingkatan sekolah masing-masing. jadi sedang berkutat dalam ujian-ujian Try Out sebelum kelulusan. Satu pertanyaan yang kuajukan malam itu. 

"Bagaimana nilai bahasa Inggris kalian?"

Kujelaskan dengan sangat detail mengapa aku bertanya demikian. Jelas ibuku kecewa atas peristiwa yang terjadi padaku hari ini, tetapi beliau juga dapat memaklumi bagaimana kemampuanku, memang belum saatnya untuk aku terbang jauh. Kemampuan yang lemah -bahkan sangat lemah- dalam berbahasa Inggris membuat gerak dan kepakan sayapku menjadi sangat terbatas. Memang tidak ada kata terlambat untuk memulai, tetapi waktu sudah banyak terhabiskan sia-sia, hingga akhirnya aku tetap berada di sini dengan ilmu yang mungkin akan berbeda tingkat perkembangannya dibandingkan jika aku menerima tawaran sang Doktor.

Rabu, Maret 09, 2016

Manusia Tanpa Intelegensi

source image:google
Dulu sewaktu kecil, aku meraih beberapa prestasi, menjadikanku bocah tersohor di kampung kecil kami di pedalaman Sumatera sana. Dan kebanyakan orang tua yang saat itu memiliki anak sesusiaku, seringkali menjadikan aku sebagai patokan dalam membimbing dan mendidik anak-anak mereka. Saat itu aku tidak mengerti apa-apa, tidak paham dengan maksud mendidik dan membimbing, juga tidak mengerti sama sekali apa yang disebut dengan prestasi. yang jelas dalam kepalaku hanyalah setiap disuruh ikut lomba, maka aku selalu berusaha untuk menjadi juara, itu saja.

"Lihat Hanagi. . . Contoh dia. . ." Begitu kira-kira kudengar saat orangtua di kampungku memarahi anak-anaknya.
 
Aku pernah mendengar Ibuku beberapa kali mendapat pujian atas piala-piala yang berhasil kubawa pulang -kini tersusun rapi di lemari yang sudah lapuk di dekat ruangan tamu-. Ayah juga dalam bahasa warung kopi sering tersenyum bangga ketika teman-temannya membicarakan aku. Dan aku, atas juara-juara sebelumnya, selalu mendapat tekanan ketika berada di rumah. 

Tekanan terberat semasa hidupku adalah ketika hari pembagian raport. Untuk urusan sekolah, aku memang tidak terlalu mentereng. Walaupun beberapa kali pernah membuat orangtuaku maju untuk mengambil hadiah juara. Tetapi, apapun yang terjadi, bagaimanapun hasil di raportku, pasti aku selalu mendapat teguran, entah itu ketika nilaiku menanjak drastis dari semester sebelumnya, apalagi saat nilaiku terjun bebas, pun sama saja ketika aku mendapat juara kelas. Sebagai bocah yang 90% dalam kepalanya hanya ada bermain dan bermain, aku menganggap ini adalah amarah dari orangtuaku. Sehingga dalam hidupku, salah satu hari yang kubenci adalah saat pembagian raport sekolah.

Kini usiaku sedikit telah melewati 20 tahun. Tidak ada lagi marah di hari pembagian raport. Akhir-akhir ini kusadari bahwa prestasi semakin menjauh dariku. Di usia yang sekarang, aku hanya menjadi seorang mahasiswa biasa dengan IPK pas-pasan. Tidak aktif di kegiatan apapun. Prestasi akan lomba-lomba yang dulu kuikuti merosot dan meghilang bekasnya.

Saat ini, aku ketakutan. Tidak berani melihat masa depan yang entah akan bagaimana dia nanti menerimaku. Aku bukan manusia dengan intelegensi tinggi yang akan menjatuhkan saingan dengan mudah, yang akan menyisihkan lawan dengan gampangnya. Prestasi yang dulu segudang hanyalah cerita lama yang tidak lagi bisa di ungkit. Aku ketakutan, takut setakut-takutnya. 

Aku menangis, berhari-hari. Aku berjalan tengah malam menghilangkan gundahku. Aku kuliah, cerita dosen tentang persaingan masa depan membuat kepalaku ingin pecah. Aku berteriak tanpa sadar. Semua yang mendengar kaget, hening. Lalu aku keluar tanpa izin. Meninggalkan ruangan tanpa pamit. Mereka semua melongo melihatku dengan tatap iba sekaligus takut. Sang profesor hanya diam memaklumi dengan tatap syahdu. Lalu aku menyapa beberapa bocah SD yang sering berlari dan bermain di depanku, kuikuti mereka. betapa menyenangkannya menjadi seorang bocah SD. Tidak perlu memikirkan kerasnya masa depan. Hanya bermain dan terus bermain. Mereka berlari, aku juga ikut berlari. mereka mandi hujan, aku juga ikut bersama mereka. Mereka bermain aku juga ikut bersama mereka. Betapa menyenangkannya. 

"Hanagi." Ibu memanggilku. mata Ibu nampak sembab.

Sejak kapan? Sejak kapan ibu datang ke sini? Jarak kota ini hampir 2000 kilometer dari rumah. Mengapa Ibu tidak memberitahuku terlebih dahulu kalau akan datang? Apa Ibu memberiku kejutan? Ah, ada Ayah juga. Mengapa mereka datang tanpa memberitahu terlebih dahulu? Mengapa harus repot mengunjungiku? Bukankah keadaan keuangan di rumah sedang kacau? Dengan uang pinjaman dari mana Ayah dan Ibu berangkat ke sini?

Ibu berlari mendekat, memelukku erat. Ayah diam membisu sambil menunduk. Mata beliau berkaca, dan itu tidak pernah kusaksikan sebelumnya. Teman-temanku memandangi. Ibu mencium pipiku lama sekali. Membuat aku malu pada teman-temanku. Ayah lalu mengusap kepalaku beberapa kali,

2 hari kemudian aku diajak untuk balik ke rumah. Ayah dan Ibu mengemasi barang-barangku. Semuanya tanpa ada yang tersisa. Mereka tidak menjawab ketika aku bertanya. Justru air mata Ibu dan tatapan kosong Ayah yang kudapat. Kulihat mereka juga bicara dengan pemilik kost tempat aku tinggal selama ini. Aku benar-benar tidak mengerti.

Selasa, Maret 08, 2016

Badai Doa

Adakah namaku terselip dalam rangkaian doamu yang teramat panjang itu? Aku yakin kamu sudah menyusun doa untuk hidupmu ke depan, dan berdoa untuk orang-orang yang menyayangimu. Tetapi aku, yang bukan siapa-siapa bagimu, adakah sekali saja muncul namaku dalam gerak bibirmu saat berdoa di sana?

Aku hanya dapat tersenyum, menyaksikan keberadaanmu dari selembar foto. Jelas aku saat ini tidak bisa melakukan apa yang kamu sedang kerjakan. Kamu adalah seorang yang beruntung, yang bahagia dari sisi dunia. Dulu aku masuki kehidupanmu, nyatanya hanya untuk membuatmu menjadi seorang pembenci.

Kulihat lagi kolom chat lama, bahwa dulu kita tertawa namun sekarang tidak lagi bersapa. Kusentuh satu barangmu yang masih tertinggal. Satu-satunya alasan yang kelak akan membuat aku kembali bicara denganmu.

Biarlah hujan dan badai datang dulu, menyapu bersih semua kenangan dan alasan penyebab kita tidak bisa bersama. Berdoalah agar badai itu tak sampai menghapus cinta.

Senin, Maret 07, 2016

Casual Ladies

image source: sofyandanu.blogspot.com
Dalam banyak hal, kesederhanaan selalu membuatku jatuh cinta. Entah apa istimewanya, pesona dan kesan sederhana yang melekat selalu menghadirkan pikatan yang tidak biasa. Seorang mahasiswi Sastra Inggris menjadi daya tarik yang membuat malam ini terasa panjang untuk sekedar dibawa beristirahat di singgasana malam.

Tidak banyak pujianku untuk meninggikannya. Dibandingkan mahasiswi sastra dan budaya yang lain, jelas dia kalah jauh tak terkira. Mungkin seulas senyum di bibir tipisnya saja yang menjadi keunggulan di samping kulit putih bersihnya yang mulus. Satu hal lagi selain kesederhanaannya dalam berpenampilan, dia terkesan enak diajak bicara. Apapun topik yang kuajukan, dapat ditanggapinya tanpa ada kesan keterpaksaan dalam menanggapi. Aku memanggilnya 'Casual Ladies'. Responnya hanya berupa secuil senyum ikhlas jika sudah panggil begitu.

Pernah ketika itu aku hampir lupa bahwa pernah mengenalnya. Setahun lamanya kami tidak berjumpa. Dia juga tak terlalu aktif di sosial media sehingga update hari-harinya sama sekali tidak menyambangi berandaku. Lalu, gazebo besar kampus membuat kami bertemu malam itu. Di depan Photobooth aku melihatnya, berdiri dengan gaya yang sedikit dibuat kocak yang diabadikan temannya melalui kamera.

Dia, perempuan sastra istimewa nan sederhana. Malam itu tidak banyak kata tercipta. Hanya sekedar saling menyapa, tentunya dengan iringan senyum semanis madu dari bibirnya. Ya, itu saja kurasa. Tidak ada alasan yang cukup atas sesuatu yang perlu dibicarakan, jika pun ada pasti lidah sudah kaku terlebih dahulu. 

Minggu, Maret 06, 2016

Awan dan Topik Penelitian

Image source : google
Masih tidak habis pikir sampai detik ini. Berulangkali kucoba menengadah menatap langit, kiranya Tuhan ada memberi pesan melalui awan-awan di atas sana. Nyatanya tidak. Tak ada awan sama sekali. Langit biru sedang merajai hari bersama teriknya mentari.

Dian menyapaku setengah jam kemudian. 

"Wajar saja Gi, kamu gak dapet topik. Kerjaanmu nulis ginian terus."

Ya, saat itu aku baru saja mengeluarkan laptop dan menulis. Menulis apa saja yang sedang hatiku rasakan, yang membuatnya sesak, yang membuatnya plong, atau yang membuatnya merasa lebih santai dan tenang.

Dian melongo melihat tulisanku. Diam beberapa saat untuk membaca dengan serius. Lalu dia tersenyum, mendekatkan posisi duduknya padaku. Bahunya setengah dia sandarkan. 

"Tokohnya kayak aku ya."

Dian tersenyum manis sekali. 

"Kenapa dulu gak ambil sastra aja?"

Ini pertanyaan berulang yang tidak tahu lagi yang keberapa, sudah terlalu banyak dan sering pertanyaan yang sama muncul. Tetapi pertanyaan Dian kali ini hanya berupa monolog, tidak menagih jawaban karena sudah pernah kuceritakan alasannya.

Sekali lagi aku menatap langit. Berharap sekali lagi agar Tuhan menitipkan pesan melalui awan-awannya. Kubiarkan Dian bersandar, kuabaikan dia sementara. Saat ini dia tidak lebih penting dari awan. 

Awan yang menginspirasi, begitu kutulis di blog pada postingan ke 4 di bulan ini. Walau nyatanya tidak satu pun kata yang dilukiskan awan agar aku segera menemukan topik penelitian.

Sabtu, Maret 05, 2016

Bius

Imgae Source : google
Seperti itukah sinyal jawaban yang kamu layangkan? Masih dalam bentuk sikap bukan kata, tampak sekali kamu begitu angkuh kini, tidak lagi mencerminkan bahwa kita dulu adalah hati yang pernah saling berharap. Kamu diam dan terus melangkah, sedikitpun tidak mengarahkan pandang kepadaku yang jelas memberikan isyarat imgin bicara. Tidak masalah meski hanya sejenak, tetapi tampaknya kamu lebih memilih untuk benar-benar mengakhiri.

Perlu kamu ketahui bahwa ketika tak sengaja bertemu denganmu, dadaku masih bergetar, menunjukkan bahwa perasaan yang sekarang tidak ada ubahnya dengan dulu saat kita pernah berpikir untuk bersama. Namun sekarang, getar itu bercampur sesak karena sedetik pun aku tidak lagi ada dalam pikiranmu. Aku telah lenyap, dan mungkin sudah tergantikan dengan seorang yang menurutmu lebih baik.

Aku bisa terima jika kamu memilih yang lebih baik. Adalah satu kewajaran jika seorang Hawa memilih Adam yang akan membuatnya merasa aman dan terlindungi. Tetapi untuk hilang begitu saja, apakah aku setidakpenting itu?

Mungkin saat ini aku tidak bisa berpikir logis karena masih tersengat cinta yang belum ada biusnya. Masih ada harap yang kadang timbul terutama saat melihatmu dari kejauhan. Ya, aku selalu memperhatikanmu. Tanpa kamu sadari, tanpa kamu ketahui, barangkali setiap gerak gerikmu tidak pernah lepas dari sorot mata dan pandanganku. Jujur saja itu sangat menyiksa karena hanya mata yang mampu menatapmu, sementara lidah tak sanggup bicara dan hatiku tak mampu menaklukkan hatimu.


Rabu, Maret 02, 2016

Kopi Dari Ayah

Source image: google
Ayah adalah pecandu kopi, membuat aku ikut terseret pada laku yang sama. Kopi pagi dengan kepulan asapnya adalah awalan sempurna untuk memulai hari. Seruput kopi panas memang tidak melegakan dahaga, tetapi sentuhannya di kerongkongan membawa pada nikmat yang mendalam. 

Dalam kesepian, kopi adalah teman setia. Tak perlu ditemani sebatang rokok, ayah tidak pernah mengajarkan untuk itu. Cukup kopi saja karena itu sudah lebih dari segalanya. Kepulan asapnya jauh lebih indah daripada kepulan asap rokok yang muncul dari balik bibir dan kedua lubang hidung. Aromanya pun jauh lebih menusuk rasa kenikmatan. Duka, kecewa, dan sedih. Selagi ada kopi semua akan baik saja. Memang tak menghilangkan secara sempurna, tetapi mampu meredakan gelisah. Menenangkan saraf-saraf di jiwa.

Ayah mengajarkan cara hidup melalui seduhan kopi. Tidak dijelaskannya, karena yakin anaknya bisa menangkap setiap makna yang tertera. Tidak perlu untaian kata, suara denting sendok dan gelas diantara air panas sudah menjawab semuanya. 

Selasa, Maret 01, 2016

Tidak Sengaja

archive.kaskus.co.id
Ketika ketidaksengajaan mempertemukan kita, apakah kamu yakin ada sesuatu yang lain yang sebenarnya telah terencana? Bahkan jauh sebelum kita berkesimpulan, Tuhan sejatinya telah memantapkan perhitungannya bahwa di titik yang telah Dia tentukan kita akan menatap dengan satu rasa yang sama. Hanya saja jiwa, hati, perasaan, dan logika kita merespon dengan cara yang tidak selaras.

Mungkin saja kamu merasa biasa dengan rencana pertemuan kita, kamu anggap tidak sengaja karena kita secara kebetulan memulai langkah di detik yang sama, mengarah ke arah yang sama, lalu berhenti di tempat yang sama pula. Sebelumnya sudah sering kutekankan, tidak ada kebetulan dalam kamus kejadian dalam hidup dunia. Semua yang awalnya aku dan kamu anggap tidak sengaja dan tak terduga pada dasarnya merupakan sebuah rencana, bukanlah aku dan kamu yang membuatnya. Entah manusia, entah alam, entah hujan, entah angin, entah siapapun juga.

Sebuah maksud yang kadang tidak tersampaikan saat kita bertemu. Bukan tidak ada, kadangkala waktu menjadi alasan agar kita tidaklah kehilangan asa untuk tetap saling menyapa. Pertemuan pertama tak akan pernah menyampaikan maksud serta alasan utama mengapa kita dipertemukan. Kita dibiarkan sejenak bermain dengan waktu, megendalikan sendiri permainan-permainan dunia fana.

Komentar Dan Selamat


Hari ini kita tampil agak berbeda. Kita sama-sama berlaku dengan sedikit tidak biasa. Dan kamu tentu tahu apa yang aku maksud. Kita sama-sama menghasilkan daya tarik antara satu sama lain. Tidak disengaja, tetapi penampilan hari ini telah membuat kita saling bertatap agak lama. Aku bisa membaca pikiranmu bahwasanya ada sedikit senyum dalam hatimu saat memandangku, dimana aku tidak dapat menaksir maknanya. 

Tentang kamu yang lain dari biasanya. Maaf jika aku berkomentar karena sebenarnya aku tidak punya hak untuk itu. Tetapi sedikit masukan mungkin akan berharga di suatu saat nanti untuk kamu terapkan. Pertama, jadilah dirimu sendiri. Aku tidak berkata bahwa hari ini kamu tidak baik. Bukan juga karena aku tidak menghargai sesuatu yang baru yang coba kamu terapkan. Tetapi alangkah lebih baik seandainya kamu tampil dengan adanya kamu yang seperti sediakala. Karena dari sorot matamu yang tidak sengaja terpandang oleh mataku, ada gurat belum percaya diri dan itu membuat tampilanmu minus hari ini. Sekali lagi, bukan kamu tidak terlihat indah hari ini, mungkin mataku saja yang tidak biasa memandangmu seperti itu sehingga ada sedikit shock saat pupil menjatuhkan bayanganmu di retina.

Kedua, jadilah seorang yang sederhana. Jujur, aku menyukaimu ketika baru pertama melihatmu. Kamu tidak neko-neko dengan diri yang harus kamu tampilkan. Ya, memang pada dasarnya setiap hawa ingin menjadi daya tarik yang membuat Adam-adam di sekitarnya terpikat. Tetapi bukankah alamiah tetap bisa membuat mereka jatuh hati? 

Ketiga, hargai leluhurmu. Sebagai salah satu yang terbesar di pulau ini, bahkan negeri ini, sudah seharusnya kamu berlaku seperti mereka-mereka yang memengang teguh ajaran tetua. Salah satunya adalah dari segi berbahasa. Harus kukatakan bahwa aku tidak suka dengan cara bicaramu yang tidak lagi berkaca pada tanah kelahiranmu. Pahatan wajahmu yang indah memang seharusnya bisa saja mengatakan bahwa kamu berasal dari metropolitan sana. Tetapi, sebagai tuan rumah di sini, seharusnya kamu mengembangkan cara bicara yang memang itulah kamu dan kotamu yang sebenarnya. Bukankah kota ini juga punyai daya tarik sendiri yang tidak dimiliki tempat lain?

Keempat, aku minta maaf atas segala kelancangan atas komentar kepadamu. Silahkan saja marah dan membenci. Tidak sekarang, suatu saat mungkin akan berguna dan kamu akan selalu mengingatnya. Aku pun bukan seorang yang sempurna, tetapi rasanya juga tidak ada salahnya untuk memberi masukan terhadap apa yang aku saksikan.

Terakhir, aku dengar beberapa hari yang lalu kamu merayakan hari jadi ke 20. Selamat atas usia kepala Duamu. Jadilah lebih dewasa dan lebih berguna. Jadilah Jawara bagi Dua pahlawanmu di rumah. Tingkatkan pengabdian yang telah kamu rintis selama ini. Dan maaf untuk kesekian kalinya, aku tidak punyai hak dan juga tidak berani untuk berkata langsung di depanmu. Ingin aku berucap seraya memberimu selamat, tetapi. . . . . ah, mungkin kamu bisa memahami sendiri apa yang terjadi akhir-akhir ini perihal komunikasi kita yang dulu pernah berjalan baik.

Satu doa terakhir dariku, semoga kita bisa kembali seperti biasa, bisa bercanda dan bergurau meski hanya terbatas pada kolom chatting :D