Sabtu, Maret 25, 2017

Tidak Ada Pertemuan Yang Salah

Apapun itu, aku percaya bahwa pertemuan tidak akan pernah ada yang namanya salah tempat, tidak akan pernah ada yang namanya salah waktu, tidak juga akan pernah ada yang namanya salah orang. Itu mustahil. Tuhan telah merancang semuanya. Kau anggap kebetulan pun tidak akan berpengaruh apa-apa. Lagi pula kebetulan yang kau maksud dapat terjadi juga adalah akibat dari ulahmu sendiri di waktu sebelumnya.

Sementara aku, tidak pernah ada alasan untuk mengimani yang namanya kebetulan. Setiap yang terjadi adalah sebuah kesinambungan. Yang hari ini terjadi adalah muara dari yang terjadi di hari sebelumnya. Dan yang terjadi hari ini adalah alasan mengapa kejadian selanjutnya terjadi di hari esok.

Aku ingat pada pertemuan denganmu. Seolah kental sekali nuansa kebetulannya. Padahal unsur kebetulan hanyalah fatamorgana saja. Sebenarnya ada banyak hal yang sebelumnya sudah terjadi, yang berakibat kita bertemu di waktu itu, di waktu yang tidak pernah aku dan kamu sangka, di tempat itu, di kota arang yang sama sekali tidak pernah aku ataupun kamu membayangkannya.

Jadi, tanya yang mungkin akan kamu lontarkan saat ini, mengapa kita bertemu kalau ternyata hanya untuk sekedar saling tahu nama? Mengapa juga kita bertemu jika pada akhirnya berpisah lagi dan tanpa bisa kita pastikan kapan pertemuan selanjutnya?


Harus kamu pahami bahwa pertemuan terjadi bukan saja untuk menciptakan pertemuan selanjutnya. Seperti aku dan kamu misalnya. Aku sampai detik ini belum melihat adanya kemungkinan kita akan bertemu lagi. Tapi lebih dari itu, kamu yang hadir sudah membantuku untuk menyikapi hubunganku yang sempat longgar dengan Tuhan. Mungkin sulit kamu pahami apa maksudku. Tapi demikianlah adanya. Pertemuan denganmu membuat hubunganku dengan Tuhan menjadi dekat lagi. 

Rabu, Maret 22, 2017

Jarak

Kau takut pada jarak, kira-kira begitu yang kamu sampaikan waktu itu. Barangkali semua orang juga punya ketakutan pada hal yang sama. Hubungan macam apa yang bisa diperbuat saat jarak ikut andil di dalamnya?

Pastinya pernah kamu baca sebuah kalimat, bahwa jarak adalah penghasil rindu, dan rindu adalah pertanda adanya rasa. Tapi kamu bilang selalu takut pada jarak. 

Jarak seperti apa yang sebenarnya membuatmu takut? 

Sekarang jarak sudah bisa diperkecil. Kita bisa saling bercerita di kolom-kolom chat atau via telfon. Kita bahkan bisa melihat ekspresi masing-masing lewat video call. Lalu apalagi yang kamu takutkan?

Jumat, Maret 17, 2017

Jarak Yang Jauh Sangat Dekat Dengan Ketidakpastian

Satu dari sekian detik termenyenangkan dalam hidupku adalah saat notifikasi gadget memunculkan sebuah pesan darimu. Ya itulah kebahagiaan sederhana yang akhir-akhir ini gemar datang menyambangi. Sebuah pesan dari seorang yang jauh, sekaligus begitu dekat dengan ketidakpastian, kau tahu itu.

Perempuan selalu membenci ketidakpastian, laki-laki sebenarnya juga. Tapi hebatnya, perempuan seringkali berhasil menjadikan ketidakpastian sebagai tameng, sebagai alasan untuk mengatakan tidak. Sebagai alasan untuk menolak pria-pria yang coba mendekat. Tidakkah kalian para perempuan menyadari bahwa laki-laki yang coba mendekat adalah mereka yang berhasil memasung ketidakpastian yang mereka pikirkan tentang kalian?

Francois Hollande, seorang yang pernah menjabat sebagai Presiden prancis, juga sangat membenci ketidakpastian. Tidak ada yang lebih buruk dari ketidakpastian. Ketidakpstian seringkali menghasilkan prilaku tidak rasional. Tapi itu tidak ada hubungannya. Ini situasi berbeda, Hollande benci ketidakpastian karena waktu itu Inggris tidak kunjung menyatakan sikap terkait kebijakan mereka untuk keluar dari Uni Eropa. Sementara kamu benci ketidakpastian karena takut terluka.


Oke, lupakan sejenak tentang ketidakpastian. Aku telah berusaha meredamnya –untuk diriku sendiri dan mungkin berhasil. Hanya saja kini kamu berlindung di balik jarak. Untuk urusan ini aku harus memutar otak lebih keras. Jarak adalah momok, adalah ketakutan, adalah dasar kecurigaan, adalah sumber dari prasangka-prasangka tidak baik. Bagaimana meredamnya?

Kamis, Maret 16, 2017

Casual

Untuk siapa prosa-prosa itu kutulis, tidak perlulah rasanya kamu bertanya. Semenjak kita bertemu November tahun lalu, aku tiba-tiba saja gemar mengandaikanmu. Dalam tulisan akhirnya aku introduksikan semuanya. Semua yang berhubungan dengan kamu terasa baik untuk dilukiskan dalam desain-desain kata yang sedang aku coba merangkainya. 

Seorang perempuan tanpa penutup kepala, berambut panjang sepinggang, berkulit putih, bertubuh tinggi dan bermata sedikit sipit. Itulah gambaran kamu yang pernah kuterjemahkan dalam prosaku.

Barangkali kamu geli ketika membacanya, atau semoga lebih baik dari itu, kamu tersenyum, menyaksikan diri sendiri tengah dipuji oleh seorang yang tidak begitu kamu kenal. Ada orang yang diam-diam, hanya dalam 2 atau 3 kali bertemu, ternyata dia menyukaimu. Seorang yang gesturnya ketika bertemu denganmu sama sekali tidak menyiratkan apa-apa, tidak memunculkan pertanda barang setitik. Ya, itulah aku dengan segala keterdiaman dan penyembunyian hasrat.

Perempuan bergaya Casual. Kamu menunjukkan bahwa tampil sempurna tidak harus mewah. Tampilan biasa saja sudah bisa menampakkan pesona yang kamu punya. Dan kamu tahu, bahwa ke-Casual-an mu itulah yang sebenarnya memikatku. Aku benar-benar jatuh cinta pada gaya Casual.

Sayang, aku belum dapat mengenalmu lebih jauh. Sempitnya pertemuan kita adalah alasan, yang mengharuskan aku pandai menerjemahkan tampilanmu untuk dapat kuperkirakan seperti apa kamu sebenarnya. Dan sepertinya aku sudah cukup mahir walau tidak mahir-mahir amat. Karena apa-apa tentang kamu yang dapat kusaksikan kasat mata, sedikit banyaknya dapat diperkirakan bagaimana kamu yang sebenarnya.

Senin, Maret 13, 2017

Permainan Waktu dan Tanggal Main Pertemuan Berikutnya

Sediakan sedikit waktumu, sama sekali aku tidak akan minta banyak. Cukup di penghujung senja saja, atau saat beberapa menit setelah hujan reda. Itu waktu favoritku. Waktu damai yang membuat semua perhatianku akan tercurah utuh kepadamu. Pun kamu menginginkan hal yang demikian juga bukan?

Aku masih tidak habis pikir dengan yang kemaren kita bicarakan. Aku tidak peduli kamu menganggap bahwa yang kita bahas itu hanyalah candaan atau memang ada terbersit niat olehmu. Tentang pertemuan kita yang selanjutnya, apakah masih mungkin terjadi dengan keadaan yang sekarang ada?

Yang aku pikirkan, bagaimana aku dan kamu akan menyiasati pertemuan itu? Kita jelas terbatas oleh 2 kota yang jaraknya berjauhan. Kamu tidak ada alasan untuk mampir ke kotaku, aku pun tidak punya keperluan untuk singgah di kotamu. Jadi bagaimana sebaiknya?

Sampai detik ini kita adalah 2 orang yang masih dalam tahap saling mengenal. Yang akan muncul jika aku datang ke kotamu atau kamu mampir ke kotaku hanyalah kecanggunan. Dan kita bertemu untuk sebuah kecanggungan? Jelas tidak. Tidak ada orang yang mau terjebak dalam kecanggungan.

Lagi pula, katamu kamu pendiam, maka apa pula yang akan terjadi jika dua orang pendiam yang baru kenal tiba-tiba bertemu? Dapat kamu bayangkan bagaimana mencekam dan membosankannya suasana yang nanti tercipta?

Yang kupaham, ini adalah permainan waktu, yang sudah berkolaborasi apik dengan cara kita memainkan keadaan, memerankan diri, dan mencoba saling memasuki dan mengenal. Kamu paham maksudku? Aku rasa tidak, maka baiklah, akan kujelaskan dengan bahasa yang semoga lebih mudah kamu memahaminya.


“Aku percaya bahwa setiap pertemuan mempunyai kelanjutan. Karenanya, jumpa kita beberapa waktu yang lewat akan terulang lagi suatu hari. Tempatnya sudah berbeda, dan suasanya pun tidak lagi sama. Kita akan bertemu lagi untuk sebuah alasan yang lebih kuat. Tunggu saja tanggal mainnya.”

Sabtu, Maret 11, 2017

Kagum, Dan Ekspresi Yang Tidak Muncul

Berkalang dengan bimbang adalah satu mozaik hidup yang tidak menyenangkan. Kepala dibuat panas karena berpikir keras, dada dibuat terpaksa bergemuruh lebih kencang, dan perasaan dibuat luntang lantung tidak beraturan. Agaknya percakapan kita tempo hari, yang berakhir setelah larut malam menjadi penyebabnya. Bagaimana bisa? Ya, apapun bisa terjadi bukan? Dunia ini banyak sekali ketidakterdugaan di dalamnya.

Aku sudah cukup lama menjadi pengagummu. Dan menjadi seorang pengagum menurutku tidaklah harus memunculkan ekspresi sebagaimana mestinya. Cukup dalam keadaan tertentu yang dinyatakan layak saja. Berbulan-bulan aku berhasil menutupnya rapat-rapat. Mulanya aku beranggapan bahwa kagum itu akan menguap diam-diam, seiring dengan waktu yang terus berjalan tanpa perhentian, berikut dengan jarak yang membuat kita semakin kecil peluangnya untuk berjumpa, bahkan hanya untuk sebuah ketidaksengajaan. Nyatanya ada banyak sisipan-sisipan Tuhan yang terlambat aku menyadarinya.

Hari itu melalui kolom chat, tabir-tabir lama mulai terbuka lagi satu persatu. Perlahan dia menyibak di permukaan, memunculkan diri dalam keadaan yang sedikit di luar dugaan. Jika saja aku pandai berkata-kata, maka pastilah suasana berbeda sudah tercipta dari lama. Tapi tidak masalah, karena inilah yang menjadi penguat cerita, yang layak untuk diangkat menjadi satu topik pembahasan baru. Bahwasanya kagumku sepertinya mulai menetas, atau mungkin mulai berevolusi menjadi bentuk perjuangan.


Bagaimana menurutmu? Layakkah? Tidak, aku tidak sempat lagi berpikir bahwa ini layak atau tidak. Berjuang bukan karena sebuah kelayakan, tetapi karena ada yang memang perlu diperjuangkan, ada titik yang mutlak harus dicapai. Detik ini rasanya aku sedang ditikam kesadaran baru. Percakapan denganmu baru saja menyiratkan satu hal, yang tanpa aku jelaskan pun, rasanya kamu bisa menebak kemana arah bicaraku.

Kamis, Maret 09, 2017

Batas Mampu

Ada banyak hal sederhana yang dunia ini ciptakan untuk dapat membuat penghuninya tersenyum. Satu diantaranya sudah dunia haturkan kepadamu. Dan itu agaknya adalah cara yang paling sederhana diantara yang sederhana, hanya lewat beberapa baris tulisan yang terpampang bebas di dunia maya. Di dalamnya ada satu atau dua kalimat semi romantis yang menjadi inti dari semuanya. Menjadi sumber senyum untuk bibirmu, dan hatimu juga barangkali.

Kamu tahu, kadang kalimat-kalimat yang demikian terbilang indah dapat tercipta bukan karena jiwa sastra penulisnya, bukan pula karena kemahirannya merangkai kata yang sarat makna. Kepiawaiannya memadu-madankan kata dapat saja muncul tanpa sengaja, akibat mulut tidak mampu berkolaborasi baik dengan kata hati. Pita suaranya tidak mampu bergetar untuk ukuran yang dapat didengar manusia. Tidak bisa mulutnya meneriakkan kalimat yang sudah disusun rapi oleh hati. Akhirnya, apa-apa yang hati rasakan, lewat rangkaian tulisan sajalah semuanya dapat dia teriakkan.

Jadi, bagaimana perasaanmu saat tahu reaksi hatinya setelah kalian bertemu, dan setelah dia berhasil membuatmu tersenyum dalam diam? Jangan kamu coba menodong dia dengan pertanyaanmu yang bernada tegas dan sangat menjurus, tidak akan sanggup dia menjawabnya. Jika pun ada kata yang terdengar, bukanlah itu jawaban yang sebenarnya, bukan demikian kata yang disusun oleh hatinya di dalam sana. Kamu perlu lebih peka, misalnya membuat dia tidak perlu menjelaskan lebih jauh tentang apa yang sudah terjadi. Dia sudah coba mengungkapkan, dan hanya di situlah batas mampunya. Giliranmu sekarang untuk mengambil peran lebih. Jangan biarkan gejolak hatinya meredup begitu saja karena tidak lagi mampu bekerjasama dengan waktu.