Minggu, Februari 28, 2016

Hukum Kebalikan

Source: www.kompasiana.com
Ingatlah dulu bahwasanya pertama kali kita bertemu adalah dalam sebuah wawancara formal di sudut gedung tua di bawah tangga. Sembari memegang form yang telah kamu isi, aku bertanya terkait beberapa hal tentangmu. Sayangnya ketika itu setiap pertanyaan memiliki batasan sehingga aku tidak bisa bertanya seinginku. Satu-satunya cara agar bisa lebih mengenalmu adalah dengan mendesain pertanyaan supaya kamu bercerita hingga keluar area yang aku tanyakan. Dan aku tidak terlalu bodoh untuk hal itu.

Kamu jelaskan bahwa sebelumnya kamu pernah ambil bagian dalam beberapa kegiatan. Dan kamu tampak sudah berpengalaman dari caramu menjawab. Dari form kubaca bahwa kamu ingin ikut serta dalam acara ini tidaklah sekedar ikut-ikutan. Sayang sekali aku lebih tua darimu. Mau tidak mau, kamu yang sebenarnya lebih berpengalaman dan lebih berbakat harus tunduk pada beberapa pertanyaanku yang notabene berada di bawahmu.

Setelah hari itu, kamu berubah menjadi daya tarik. Semakin bertambah hari, semakin kamu membuat terpikat. Hingga 2 tahun berlalu sejak saat itu. Kini kamu benar-benar memperlihatkan bakat dan kemampuanmu. Kamu kini jauh melebihiku yang hanya bisa berjalan di tempat tanpa mampu mengembangkan diri lebih jauh.

Kini ketika bertemu denganmu aku menjadi agak sungkan. Orang yang dulu berharap satu tempat dariku kini kepakan sayapnya sudah sangat jauh lebih lebar, bahkan ditanganmu kini kursi beberapa orang ditentukan. Betapa luar biasanya kamu dalam memainkan dan memahami potensi diri. Bukankah wajar jika aku semakin kamu buat tertarik?

Jika boleh aku berharap, maka saat ini aku ingin menghabiskan sehari bersamamu. Aku ingin bernostalgia, mengulang kembali cerita dari awal kita bertemu hingga kini kamu mampu melampauiku sangat jauh. Sehari saja, jika kamu membaca tulisan ini, mohon berikan jawaban atas sedikit permintaanku. Sehari saja waktu berharga kamu habiskan untuk orang yang tidak penting sepertiku, sehari saja. Sehari itu aku ingin menyatakan bahwa aku bersalah dalam beberapa sikap kepadamu, dan aku ingin menembusnya walau mungkin tak akan bisa sempurna.

Perihal cinta yang kemudian datang, aku juga ingin minta maaf. Bukan semata salahku jika aku tiba-tiba jatuh cinta. Kamu juga berperan meski tidak layak untuk disalahkan. Sudahlah tentang cinta, aku yakin kamu tidak akan mau menyisihkan sedetik saja waktumu. Sekali saja, aku ingin mendengar responmu, berharap agar kamu miliki satu hari kosong untuk dimanfaatkan bersamaku. Jawablah. 

Terimakasih jika kamu bersedia. Tetapi jika tidak, mungkin di lain waktu malah aku yang akan membuatmu meminta waktuku. Hukum kehidupan selalu begitu dan aku mempercainya. Orang-orang menyebut hukum kebalikan atau karma

Suaramu

www.photoblog.com

Lelah memang tak selalu terhapus oleh lamanya pembaringan. Ketika kelopak mata sudah habis waktunya untuk bersatu, raga kadang masih tetap enggan untuk segera memulai hari. Berat rasanya untuk bangkit dari pembaringan, liat setiap sendi untuk mulai kembali bergerak.

Lalu, ada suaramu yang dalam beberapa hari terakhir membangunkan pagiku. Tak lagi sekedar kopi panas yang menyemangati, suaramu kini juga ikut andil dalam mencerahkan hari. Perpaduan istimewa antara segelas kopi dengan suara yang dicinta.


Rabu, Februari 24, 2016

Celah Derita

Source Image : Google

Tengah malam adalah suasana yang sepi mencekam. Sedikit saja gesekan 2 benda yang terjadi, maka nyaring yang akan terdengar di telinga.

Hujan tadi sore kini tinggal menyisakan dingin. Bersama sedikit suara jatuh butiran air dari atap menuju tanah yang ikut menemani. Sesekali, tidak menghujam seperti tadi, melainkan berkala dan teratur bunyinya.

Aku terbangun dalam keadaan yang tidak gembira. Dering telefon tengah malam yang tidak biasa. Nadanya bagai alarm yang memang harus membangunkanku tengah malam ini. Sedari sore terkapar di kasur, sudah waktunya untuk menunaikan tugas yang tadi tertunda.

Di seberang sana seseorang menangis terisak, menahan agar suaranya jelas terdengar. Tidak biasanya. Sudah bukan waktunya untuk menghubungi seseorang ketika pergantian hari mulai terjadi. Tetapi bukan tanpa alasan telefon itu berdering. Rasa memang tidak  pernah berkhianat dan ikatan bathin ternyata memang benar adanya.

Tanya yang diajukan adalah sama dengan derita yang tengah terasa. Aku diam saja. Jujur memang tidak akan membuat rugi, tetapi malam ini sedikit kebohongan akan lebih memperbaiki suasana.

Aku terkapar sejak sore, lunglai karena tak lagi berenergi. Asupan dan jatah hari ini telah terpakai sepenuhnya oleh beberapa buku yang harus dipunya. Mengistirahatkan badan adalah satu-satunya cara untuk bertahan.

Bersama doa dan segelas air putih, mata mulai terpejam. Sembari berharap besok segera datang dengan senyum pagi yang disapa pangeran bernama matahari. Sayangnya ini adalah malam yang panjang. Banyak yang harus dikerjakan tetapi letih benar-benar terasa karena seharian tak ada kalori. Pun besok sepertinya akan menjadi hari yang jauh lebih panjang, mungkin juga akan lebih melelahkan.

Tidak, aku tidak merasa menderita. Menahan diri 2 hari saja bukanlah hal yang terlalu sulit jika bisa mengerti keadaan. Seharusnya bangga, perjuangan bukan hal yang mudah, dan akan lebih membanggakan jika ternyata mampu melewati setiap rintangannya.

Bahwasanya Tuhan tidak pernah tidur, aku mempercayainya. Jika di detik-detik krusial ini tubuh tak lagi mampu menahan, pasti ada jalan yang akan Dia buka. Ada celah dari setiap kungkungan kesulitan untuk tetap bertahan. 

Selasa, Februari 23, 2016

Pengecut

Source Image : Google
Di detik-detik pertemuan kita -maksudku ketika aku melihatmu- tak hentinya aku menyesali mengapa pertemuan kita lambat terjadi. Mata yang seharusnya kukendalikan tak mampu untuk memandang selain kepadamu. Keinginan yang terbiasa diam kini berontak di dalam bathin. Seandainya dan selalu seandainya, seringkali aku menghabiskan waktu untuk mengkhayalkan sesuatu yang tidak lagi mungkin terjadi, tidak pernah terjadi.

Pengecut !!! Ya, memang benar adanya aku adalah seorang pengecut. Berharap dan terus berharap tanpa berani bertindak. Dan aku yakin kamu tidak akan tertarik dengan aku yang seperti itu. 

Menaklukkan kaum hawa bukan keahlianku. Kepiawaianku hanya berani berharap, berandai dan berangan. Lalu tertidur hingga dirimu yang hanya dalam khayal singgah di bunga tidurku. 

Kapan aku dapat mendengar lagi suaramu? Saat ini tiada alasan untuk kita berbagi mendengarkan suara. Jika pun alasannya cinta, mungkin kepengecutanku lebih memilih untuk diam saja. Kamu juga sepertinya tidak akan pernah peduli. Kamu yang pernah kecewa karena ulahku mungkin sedikit akan mengatur jarak. Aku memahaminya, tetapi bolehkan selangkah saja aku lebih dekat denganmu?

Maaf perihal masa kemaren. Saat kamu menjadi seorang yang berada dalam posisi yang tidak seharusnya. Maaf juga atas keegoisanku yang sedikit membuatmu kecewa. Cinta memang tidak bersuara, tetapi dia punyai hak untuk menjatuhkan pilihan pada siapa saja.

Senin, Februari 22, 2016

Memperlambat Langkah


Cukuplah selama ini rasanya aku melangkah terlalu dekat. Detik  ini aku ingin mulai sedikit lebih mundur, memberikan sedikit ruang agar lebih leluasa mengatur langkah. Aku bukanlah bahagia yang akan membuatmu tersenyum setiap waktu, bukan seorang yang bisa memenuhi segala inginmu saat kamu mau. Ketika berdiri diantara mereka, aku merasa ciut bahkan hanya untuk sekedar menyapamu.  Lidahku kalu. Kadangkala rasanya kehadiranku adalah noda yang membuat putih cerahmu menjadi tak sempurna.

Di suatu malam yang dingin, saat kita baru saja menghabiskan waktu bersama, saat kamu mungkin sudah terlelap dengan nyaman di singgasanamu, aku merenungi satu cerita yang hanya hatiku saja mengetahui. Tidak pernah kuberitahukan kepada siapapun sebelumnya. Sesak rasanya hatiku untuk memikul beban itu sendiri, meminta bantuan pun sungkan rasanya, bahkan malu.

Pertama-tama aku ingin mengapresiasi hatimu yang setia, yang bahkan tak memberi sedikitpun celah untuk hati lain memasukinya. Jujur, aku tidak ingin menyia-nyiakan hati seperti yang kamu punya, tetapi hidup adalah pilihan dan ada kalanya kita berada diantara pilihan yang sama sekali tak bisa dinomorduakan. Di situlah aku kini berada.

Malu hatiku untuk berkata, dan tidak berdaya aku menyimpannya terlalu lama. Sampai sekarang pun aku belum percaya sepenuhnya, kamu yang indah dan sempurna ternyata mau berbagi dan menerima kesah dengan seorang yang tidak bisa apa-apa. Terimakasih untuk semuanya.

Mengapa? Pertanyaan itu selalu mengiang saat aku terjerat sepi dan termenung seorang diri. Bayanganmu yang sedang tersenyum selalu mampir menemani. Mengapa kamu terlalu bodoh untuk mau menggenggam tanganku? Padahal kamu sendiri memahami, tanganku tidaklah bersih, kasar dan akan merusak tanganmu yang lembut lagi halus.

Banyak yang sedang menatapmu dari jauh, berharap ada celah agar hatimu terbuka. Jelas mereka jauh lebih baik, mereka lebih hebat dan lebih sempurna. Lalu, mengapa kamu berdiri mematung dan diam saja? 

Detik ini aku sedikit memperlambat langkah, mempersiapkan ragaku agar lebih layak saat nanti berjalan tepat di sampingmu. Aku butuh persiapan agar kamu tidak malu, untuk meyakinkanmu supaya kamu tidak ragu. Karena meski bukan saat ini, akulah yang sebenarnya kamu tunggu.

Minggu, Februari 21, 2016

Pelajaran dari Obrolan


Apa yang terjadi jika kesepian sedang melanda detik-detikmu yang sebenarnya berharga? Diam, itulah yang sebagian orang lakukan ketika diterjang sepi tanpa tahu harus berbuat apa, termasuk kamu mungkin saja. Ditambah lagi jika di luar sana hujan sedang membahana dan kamu tertahan seorang diri di kamar dimana hanya kamu satu-satunya makhluk yang ada di sana. Kamu seolah merasakan baunya, meresap perlahan dan menyejukkan kepalamu yang sedang tidak baik kondisinya.

Aku jadi teringat akan sesuatu yang boleh dibilang sebenarnya tidak terlalu penting. Tetapi juga bukan hal yang remeh untuk dilupakan begitu saja, karena ternyata cukup berarti. Dulu, aku pernah bicara dengan seseorang di Ibukota, melalui jaringan telefon tentu saja, karena saat itu aku sedang berada di Malang. 

Kami tidak pernah berkenalan sebelumnya, bertemu juga tidak. Yang membuat adanya interaksi saat itu adalah Cinta. Ya, cinta memang memiliki banyak fungsi jika pandai menjinakkannya. Sayangnya itu bukanlah hal yang mudah. 

Oke, tentang nostalgia sederhanaku kali ini. Ketika di Malang, aku jatuh cinta pada seseorang. Dia berasal dari kota yang hampir semua orang di negeri ini ingin menginjakkan kakinya di sana. Kami bertemu di sebuah kampus yang (katanya) namanya cukup tersohor. Jika begitu adanya, berarti kampus ini telah melakukan sebuah kesalahan fatal, yaitu menerimaku sebagai salah satu mahasiswanya. Mengapa? Ah, aku tidak ingin menghina diriku sendiri. 

Rabu, Februari 17, 2016

Gerutu


Aku yakin saat ini kamu sedang menggerutu, sesak pikiran dan hatimu oleh seorang laki-laki yang sebenarnya tidak bisa diandalkan. Ketahuilah, bahwa dia hanya menang dari caranya memainkan peran, dari caranya berkata dan menunjukkan cinta secara pandang yang tak bisa diukur. Dia membuatmu luluh dan tidak dapat berkutik dalam beberapa situasi. 

Mungkin kamu terlalu polos untuk sedikit bermain api dengan cinta. Kepintaranmu seolah tiada berguna saat cinta menyentuh hatimu. Tidak dapat kamu filter mana kesungguhan yang membuatmu benar-benar merasa terlindungi. Kamu tidak jenius untuk hal semacam ini.

Dan aku sebagai yang bertanggung atas kegerutuanmu, hanya bisa menarik nafas dalam sembari coba turut merasakan suasana hatimu. Dari jauh, aku mengingatmu dalam setiap tarikan nafas, lalu mengucap maaf yang teramat besar di setiap hembusan nafas atas semua salahku. 

Boleh kamu kecewa, boleh kamu melangkah pergi, semua adalah keputusanmu. Aku pun merasa, menjadi seorang yang tidak bisa diandalkan adalah sesuatu yang sangat menyebalkan. Ingin rasanya aku menghukum diri sendiri, tetapi dengan cara apa? Sedangkan cinta kepadamu hingga detik ini masih menggelayut dalam sanubari

Selasa, Februari 16, 2016

AC

Tengah hari aku melihatmu, berjalan dari kantin menuju ruang kelas di seberang jalan sana. Hatiku tersenyum ketika itu, lama tak bertemu akhirnya rindu sedikit berkurang ketika sejenak mata menangkap ragamu. Kamu yang tertangkap oleh pandangan seolah adalah AC yang mendinginkan panas siang itu, meruntuhkan kekuasaan terik mentari yang sedang bertahta.

Ingin sekali aku menyapamu, melihatmu tersenyum, lalu sedetik berselang kamu balik menyapaku. Sayang, kamu kini sudah enjoy dengan kita yang tak lagi saling bicara. Sehingga untuk saling menyapa adalah hal besar jika itu bisa terjadi.

Sekali dalam nafas aku menghirup udara dalam sekali, sembari menatap kamu tanpa kedip. Menyaksikan setiap langkah dan gerak tubuhmu yang khas dan mudah dikenali. Tiba-tiba aku iri pada laki-laki yang berada di sampingmu. Sementara aku hanya bisa duduk menikmati indah dirimu dari kejauhan. 

Mengapa dia bisa melangkah seirama bersamamu?  

Mendatangi Kampus


Semester lanjut selalu digerayangi oleh bosan dan jenuh. Semester tua yang rasanya sudah muak dengan ceramah dosen di depan kelas, sudah tidak ingin lagi bergelut dengan berbagai macam tugas yang merepotkan dan mengusik jadwal tidur. Berakhirnya libur semester adalah petaka. Kembali ke rutinitas yang seharusnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Selalu saja libur terasa sangat singkat padahal satu bulan penuh tak bersentuhan dengan materi.

Dan aku adalah salah satu perasa dalam keadaan seperti itu. Malas selalu saja menggeroti detik-detik sebelum kaki melangkah menuju kampus (tercinta). Beruntung, perempuan itu menjadi alasan mengapa mendatangi kampus masih memberikan sedikit hembusan angin penyegar saat panas menyerang, seperti oase di gurun pasir. Hadirnya diperlukan.

Meski tak ada kata yang muncul, dan tak ada sapa yang memulai percakapan, setidaknya ada pemandangan pelepas dahaga pencuci mata. Aku merindukan dia yang sudah lama tak berjumpa, maksudku sudah lama tak terlihat. 

Beberapa kali aku ingin memanggil namanya, lidahku gatal untuk menyebutnya. Tetapi untuk apa? Hanya untuk tersenyum dan berharap dia membalas dengan senyum juga? Ah, bodoh sekali. Atau untuk coba memulai melakukan pendekatan? 

Tidak. Aku tidak akan mendapat respon. Dan aku cukup tahu diri jika orang sepertiku jelas tidak pernah ada dalam kamus pencariannya. Cukuplah dia menjadi motivasi tersembunyi yang tak pernah diketahui, yang menjadi alasan mengapa aku masih menghirup udara kampus. 

Minggu, Februari 14, 2016

Ketidakpercayaan


Satu hal yang mempermanenkan kecewaku di atas segala cinta yang telah tercurah, adalah saat aku terus menerus diragukan dan tak kunjung mendapat kepercayaan. Pengakuanku, bahwa kecewa untuk hal itu adalah kecewa terbesar dan terdalam yang pernah menyambangi nafas pengharapanku. Itulah infeksi rasa sakit yang sampai detik ini para ahli pun tak mampu menemukan vaksin penangkalnya.

Waktu seolah bungkam atas istilah dan kalimat yang seringkali mengagungkannya. Tidak peduli bahwa telah banyak waktu yang terhabiskan hanya untuk mendapat secuil kepercayaan. Kalender lusuh di atas lemari setinggi dada yang tak lagi terurus seperti menertawakan. 

"Perjuananganmu sia-sia kawan, dia tidak melihat dirimu yang sudah lelah untuk meyakinkanya."

Terasa lemari itu memang sedang mengejekku. Kepadanya kemudian aku bercerita, mengadu atas kecewa yang tak kunjung berhaluan bahagia. Kukatakan padanya bahwa aku menyerah untuk cinta. Lelah rasanya, dan aku ingin sedikit beristirahat.

Aku tidak menyalahkan dia yang tidak percaya. Bukan sepenuhnya dia pelaku yang harus bertanggung jawab. Di balik ketidakpercayaan yang menambat hatinya, laku yang kuperbuat juga seharusnya perlu untuk dihakimi. 

Tetapi, apakah dengan demikian dia tidak melihat setitik usahaku untuk meyakinkannya? Tidakkah dia pintar untuk memilah bahwa pilihanku sudah jatuh padanya?

Seadanya


Agaknya tulisan yang terpampang di pagar tembok pembatas itu menelusup masuk ke bagian rasa yang paling dalam. Akibat tulisan itu aku tercenung, terdiam selama beberapa saat hingga akhirnya dikagetkan oleh seorang yang menepuk pundakku. Sore itu grimis, sehingga hati sedang peka-pekanya dalam menterjemahkan semua yang berkaitan dengan rasa.

Suhu pun kali ini agak dingin dari biasanya, mungkin sedang menyambut mahasiswa rantau yang baru kembali dari kampung halaman. Meskipun begitu agak susah juga untuk menarik kesimpulan dari terjemahan-terjemahan rasa yang suasananya hari ini sedikit berbeda. Dinginnya udara ternyata tidaklah terlalu berpengaruh.

Subuh


Subuh seringkali cukup dingin untuk mengungkapkan perasaan. Tidak, tidak kepadamu, melainkan kepada setiap butir embun yang menyentuh dedaunan. Setiap tetesnya mengandung kata untuk mewakili isi hati yang tidak terungkap. 

Berbeda dengan senja, dia lebih mendalam. Subuh membawa kehanyutan dalam bentuk dingin suasana, tetapi senja seringkali menterjemahkannya dalam bentuk kenangan. Mereka berbeda.

Subuh indah dengan gulitanya yang semakin menerang. Sisi timur memberikan pancaran cahaya, perlahan, titik, sedikit, lalu akhirnya menjadi energi yang tidak hanya menerangkan jiwa, tetapi juga mencahayai dunia.


Sabtu, Februari 13, 2016

Semangat dan Prestasi

Rendi Afrineldi, Gubernur BEM FMIPA UNAND

Sudah cukup mudah diprediksi sejak kami sama-sama berseragam SMA dulu. Gebrakan-gebrakan yang dilakukannya memang luar biasa, kadang dianggap pesimis oleh banyak orang, nyatanya dia membuktikan dengan kinerja yang benar-benar terlihat hasilnya.

Assalamualaikum Pak Gubernur, lama kita tidak bertemu, bagaimana kabar anda kini? Lancarkah semua proyek yang akan, sedang, atau yang telah anda jalankan? Ah, sedikit sungkan saya untuk menyapa, anda kini adalah orang terhormat di sana, sementara saya hanya menjadi seorang mahasiswa biasa di kampus dimana saya berkuliah. Bukan seorang yang berpengaruh, bukan juga nakhoda dalam indeks prestasi akademik. Saya tidak seperti anda, saya hanya seorang yang sangat biasa.

Beberapa waktu yang lalu, postingan anda muncul di beranda salah satu laman media sosial saya. Tersenyum saya ketika membacanya, anda memang seorang yang luar biasa. Juga saya sedikit menyesal karena dulu tidak menggali ilmu sebanyak-banyaknya dari anda.

"Perjuangan dalam pergerakan tidak akan pernah pudar ketika semangat juang itu terus berkobar hingga kemenangan hakiki telah ditetapkan"

Itu sebagian isi postingan anda. Sejujurnya saya agak sulit untuk menterjemahkannya dalam bahasa biasa yang santai dan sederhana. Hanya saja ada beberapa kata di dalam kalimat tersebut yang benar-benar melekat pada diri anda. Saya jadi tidak perlu memaknai kalimat anda di atas, karena ada beberapa kata di dalamnya yang sudah sangat mewakili anda.

"Semangat juang itu terus berkobar."

Maaf saya memenggal sebagian kalimat anda. Bukan bermaksud apa-apa, tetapi itulah anda yang tampak di mata saya. Anda adalah seorang pejuang yang semangatnya terus berkobar. Wajar saja jika anda menjadi yang terdepan di FMIPA UNAND saat ini. Dan wajar juga, dalam waktu kurang lebih 3 bulan beberapa prestasi telah anda dan rekan-rekan hasilkan untuk bendera kuning Fakultas tercinta. Satu hal yang dapat saya simpulkan dari sekilas membaca postingan anda. Prestasi akan muncul ketika semangat untuk meraihnya benar-benar dikobarkan, benarkan, Pak Gubernur?

Pak Gub, terlalu banyak yang harus saya tulis tentang anda, jadi saya bingung untuk memulainya dari mana. Satu hal yang pasti, anda adalah seorang yang berbeda, saya salut atas pribadi anda yang sungguh luar biasa. Mungkin lain kali saya buat autobiografi agar tulisan tentang anda lebih tertata.

Isi Sepucuk Surat (Part 4)


Malam tampaknya sudah agak larut. Waktu bertamu sudah tiba di penghujung. Aku berniat pamit pulang meski sebenarnya ada beberapa yang belum tersampaikan. Di seberang meja, kamu tampaknya juga belum menginginkan kita berpisah malam ini. Seperti ada satu rahasia lagi yang sangat penting yang belum terutarakan.

“Ini terakhir kita bertemu?”

Suaramu berubah menjadi serak basah. Saat itu aku sudah tiba di pagar. Dan pertanyaanmu membuat aku mau tidak mau harus berbalik badan untuk menjawabnya. Tidak, ini bukan yang terakhir kita bertemu. Dunia ini tidak luas jika kita sama-sama mau bergerak. Mungkin saja suatu saat nanti kita akan bertemu di kotaku, atau dimana saja Tuhan menginginkannya. Hanya saja sampai detik ini, aku merasa ada sesuatu yang terlalu menusuk jika terus bertahan di sini, di kotamu.

“Sekali lagi aku minta maaf, Gi.”

Aku bersiap minggat, lalu kamu bangkit dari dudukmu. Kita berlaku layaknya sebuah drama Korea dimana si laki-laki memilih untuk pergi setelah mengetahui si perempuan yang dia sayang ternyata punya kekasih lain.

“Jangan terlalu sering minta maaf, aku sudah memaafkanmu. Kita akan menjadi teman baik setelah malam ini.”

Ah, betapa sok tegarnya aku saat ini. Betapa sabarnya aku malam ini. Padahal semua itu hanya cover agar aku terlihat baik-baik saja. Aku laki-laki dan hatiku saat ini sedang menangis. Tidak ada yang salah jika sesekali laki-laki juga menangis, bukan?

                                                XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Malam sudah terlalu larut dan dingin sedang beringas menusuk tulang. Beberapa saat yang lalu hatiku menangis. Kini mata juga ikut mengekspresikan kesedihannya. Pipiku basah, seperti kamu yang beberapa jam lalu pipinya dialiri air mata.

Aku berbaring di kasur, ditemani bantal empuk dan sehelai selimut panas yang dulu kamu temani membelinya. Mataku masih terlalu basah untuk disatukan kedua kelopaknya. Tidak bisa terpejam, rasanya sedikit perih meski tidak seperih apa yang dirasakan hati.

Entah dalam keadaan yang bagaimana akhirnya aku terlelap, ketika bangun kulihat jam yang menggantung di dinding sudah menunjuk pukul Delapan lebih sedikit. Jadwalku hari ini adalah bersiap-siap. Aku mempercepat keberangkatan ke Bandung beberapa hari. Semua Planning yang sudah ada dalam buku rencana terpaksa dirubah kembali.

Tanggal 14, lebih cepat 2 hari dari jadwal seharusnya, aku beranjak meninggalkan Malang melalui Bandara Juanda di Surabaya. Sudah tidak ada lagi yang perlu diurus, tetapi suatu saat aku akan kembali. Tidak ada satu barangpun yang tertinggal, semua sudah di paketkan sejak 2 hari lalu dan adikku sudah mengurusnya di sana.

“Halo, Gi. Kamu dimana?” Kamu menelfonku sore itu.

“Iya. Kenapa?” Jawabku singkat, dan tidak akur dengan pertanyaan yang kamu ajukan.

“Besok aku ke tempatmu, bisa?”

Aku diam, kamu juga diam menunggu jawaban persetujuanku. Sekali lagi ini seperti drama, ditambah saat itu aku baru saja menginjakkan kaki di Bandara tanah Sunda. Hanya kurang backsound dari lagu-lagu galau perpisahan saja.

“Bisa, Gi?” Tanyamu lagi.

“Maaf. Aku sudah tiba di Bandung beberapa menit lalu.”

Sepertinya nafasmu tercekat, aku bisa mendengarnya dengan cukup jelas. Dadamu sesak, terkejut atas jawabanku. Tentu kamu sudah mengerti atas maksud dari jawabanku baru saja, yang berarti bahwa aku tidak bisa menemuimu.


Aku tunggu balasan darimu. Sepertinya kamu masih terlayang. Masih belum yakin atas jawabanku yang mungkin saja tidak kamu harapkan, ah entahlah. Beberapa saat aku tunggu reaksimu. Sambungan telefon tiba-tiba terputus. Owghht, itukah reaksimu? Aku menyimpulkan sendiri.

Jumat, Februari 12, 2016

Isi Sepucuk Surat (Part 3)


Sekitar 15 menit kamu terisak. Pipimu basah oleh derai air mata yang membentuk sungai berikut dengan anak sungainya. Disaat yang bersamaan aku diam seribu bahasa, bingung harus berkata dan berbuat apa. Aku biarkan kamu menangis. Karena menangis adalah luapan ekspresi jiwa. Menangis adalah salah satu cara menghilangkan gundah, merapikan lagi pikiran-pikiran yang berantakan.

“Gi, aku minta maaf.” Ada suara diantara isak tangismu, sementara aku seolah tidak mendengar.

Kali ini aku tidak bersikap romantis, pun sebenarnya aku bukanlah seorang yang romantis. Tetapi setidaknya setiap laki-laki selalu punyai satu sisi bernama kepekaan, yang seringkali diinginkan seorang perempuan tanpa harus mereka ucapkan. Sayangnya untuk beberapa kesempatan termasuk malam ini aku tidak punya.

Saat kamu menangis, aku diam di tempat, tetap duduk elegan di kursi dengan bahasa tubuh yang sangat dingin. Ketika suara permintaan maafmu terdengar, aku diam saja tidak menghiraukan, tidak peduli.

Kamu menunduk semakin dalam, semakin tidak berani memperlihatkan wajahmu, tidak berani menatapku. Seharusnya aku bisa mengambil tindakan agar suasana tidak semakin mencekam. Sedikit sentuhan saja dari ibu jariku pada pipimu yang basah akan mampu mengubah suasana. Ah, gobloknya aku saat itu. Aku tidak melakukan apapun. Beku sekali, sunyi, bahkan jangkrik enggan untuk bernyanyi.

“Kenapa minta maaf?”

Selayang terdengar ucap lirih suaraku. Tanpa aku sadari pita suara bergetar menghasilkan nada. Tidak bersih, tetapi cukup untuk kamu mengerti kata apa yang baru saja aku sebutkan. Perlahan kamu mendongak, dan menatap mataku yang dari tadi memandang kosong.

“Maafkan aku, Gi.” Katamu lagi.

Antara mengerti dan tidak, beberapa saat aku mencerna setiap suku kata yang keluar dari bibirmu. Ingin aku berkata, ‘Sudahlah jangan menangis lagi, kamu sudah menangis cukup lama’. Tetapi otak, hati, dan lidah sedang tidak mau bekerja sama, apa yang diinginkan logika di kepala bertolak belakang dengan yang hati rasakan sehingga membuat lidah memilih untuk bungkam saja.

“Mengapa kamu pura-pura bodoh, Gi? Mengapa kamu tidak marah?” Nada bicaramu sedikit meninggi.

Haruskah aku tersenyum atas pertanyaan bodohmu itu? Siapapun yang sedang berada di posisiku saat ini pasti marah atas semua yang kamu lakukan. Hanya saja setiap orang punya cara berbeda untuk mengekspresikan marahnya.


Marah? Ah, tidak. Mungkin lebih tapat disebut kecewa. 

Bersambung. . . . . .

Kamis, Februari 11, 2016

Isi Sepucuk Surat (Part 2)


Sekitar 11 bulan lamanya kita tidak bertatap muka. Berkirim pesan dan berbagi foto adalah cara yang kita lakukan untuk sama-sama meredam rindu. Juga beberapa kali kita berkabar melalui suara, aku menelfonmu atau kamu yang menghubungiku.

“Kamu kapan balik ke Malang?” Kamu bertanya (lagi).

Seingatku itu adalah pertanyaanmu yang ke 64 di bulan ke 8 aku tidak berada di kotamu. Aku mengikat oksigen sangat banyak dahulu sebelum menjawab pertanyaan yang tiada bosan kamu ulangi. Aku bernafas dalam sekali.

“Aku balik ke sana bulan Juli, sebelum tanggal ulang tahunku.”

Dengan jawaban, nada, kata, kalimat, dan intonasi yang sama aku menjawabnya. Sampai malam itu aku telah mengucapkan jawaban yang serupa sebanyak 64 kali sesuai dengan jumlah pertanyaanmu.

Kini aku sudah berada di kotamu lagi, bahkan saat ini aku berada di hadapanmu. Adakah sesuatu yang ingin kamu sampaikan mengingat seringnya kamu bertanya kapan aku balik ke Malang lagi?

“Nanti dulu.” Katamu.

“Aku lebih tertarik pada surat yang tadi kamu bicarakan.” Kamu melanjutkan.

Aku sedikit terhenyak, sejujurnya aku sudah lupa seperti apa rangkaian kalimat yang ada dalam surat itu. Dapat kamu bayangkan, 11 bulan bukanlah waktu yang sebentar hanya untuk tetap hafal kata demi kata dalam sebuah surat yang panjangnya mungkin sekitar 300-400 kata.

“Inti dari suratmu apa?” Kamu kritis sekali dalam bertanya. Tidak salah sang Presiden BEM menempatkanmu pada jabatan Direktur Jendral.

Tidak ada intinya, apa yang tertulis dalam surat itu adalah sebuah rangkaian kata yang saling terhubung untuk mengungkapkan perasaanku, karena saat itu aku tidak bisa bermain kata menggunakan lidah.

“Kamu ingat rangkaian katanya seperti apa?” Pertanyaanmu membuat aku merasa sedang menjadi seorang tersangka.

“Ya, beberapa.” Aku menjawab pertanyaanmu.

Di luar perkiraanku, kamu ternyata tidak lanjut bertanya. Kupikir awalnya kamu akan melontarkan pertanyaan lagi seperti ‘Boleh aku mendengarnya?’ atau ‘Bisa kamu bacakan yang beberapa itu sekarang?’. Nyatanya tidak, kamu tersenyum kepadaku, tiba-tiba meneteskan air mata.

Bersambung. . . . . . .

Rabu, Februari 10, 2016

Isi Sepucuk Surat (Part 1)


Berharap ada pelangi untuk menghibur, nyatanya sore ini dia tak muncul. Padahal hujan telah lama mengguyur. Telah berhenti dan kini waktunya pelangi untuk naik ke singgasana. Sayang sekali, kali ini ia enggan menampakkan pesona. Sore hanya diisi seberkas cahaya jingga di ufuk barat. Tidak ada barisan warna yang elegan bertahta. Tidak ada setengah lingkar raksasa yang menghias senja.

Lama kita tak jumpa wahai mahkota, aku minggat sesaat dari kotamu. Ada sesuatu yang harus dikerjakan dan itu adalah kewajiban. Aku tinggalkan pesan dalam sepucuk surat sesaat sebelum berangkat, apakah kamu membacanya?

“Surat?” Tanyamu dengan wajah bingung bercampur kaget dan setengah tidak mengerti.

Ya, aku tinggalkan beberapa untaian kata yang kutulis menggunakan pulpen tebal pemberianmu dulu. Di atas secarik kertas berwarna biru yang sebenarnya dulu juga kepunyaanmu. Tapi sampai detik ini tampaknya kamu belum menerima surat itu.

“Aku tidak tahu apa-apa.” Begitu jawabmu.

Aku pun ikut bingung jadinya, dimana surat itu kini berada? Apakah sudah lenyap? Tersapu hujan dan anginkah?

“Pesan apa yang kamu tinggalkan?” Kamu bertanya lagi.

Tidak ada yang terlalu penting sebenarnya, hanya untaian kata yang kurakit sendiri. Bermaksud menceritakan perasaanku saat meninggalkan kamu dan kotamu.

“Seperti apa perasaanmu?”

Pertanyaanmu kali ini membuat aku shock. Kamu bertanya terlalu menusuk. Ah, kamu memang selalu begitu. Tetap tidak pernah mengerti aku bahkan sampai detik ini. Jika mampu mengungkapkan dengan kata, tidak perlu aku bersusah payah menulisnya. Tinggal kupencet saja nomormu dan kita bicara di telefon.

Kamu tersenyum mendengar jawabanku, beberapa saat kemudian kamu menunduk. Aku tahu, tidak perlulah kamu merasa bersalah dengan ketidakmengertianmu akan aku dan perasaanku.

Bersambung. . . . . .

Selasa, Februari 09, 2016

Vin


Viiiiiiiin !!!!!!

Senja ini aku ingin berteriak di depanmu. Bukan karena marah, bukan karena melampiaskan kesal, juga bukan karena kecewa kepadamu. Sebenarnya ini sama sekali tidak berhubungan langsung denganmu, tetapi menurutku berbagi denganmu adalah sesuatu yang rasanya bahkan jauh lebih indah dari pesona pelangi setelah hujan mengepung bumi. 

Satu pesanku sebelum aku bercerita, tolong jangan tertidur karena bagimu ini mungkin akan sangat membosankan, dan juga tolong jangan tertawa sinis karena pasti kamu menganggap semua yang kuceritakan terlalu berlebihan untuk dianggap sebagai berita gembira yang layak untuk diteriaki.

Hari ini (karena terlalu membosankan tidak ada yang harus dikerjakan), aku men-share alamat blog yang biasa ku isi dengan cerita-cerita galau yang tidak jelas ujung pangkalnya.  Tidak banyak, hanya melalui pesan broadcast saja kepada beberapa kontak yang ada di BBM. Satu niat yang saat itu tergambar adalah semoga mereka membuka link yang kubagi sehingga pageviewers-ku meningkat. Tidak peduli dengan postinganku apakah mereka membacanya atau tidak. Bodo amat. Yang jelas, satu klik untuk link tersebut, maka satu tambahan pageviewers untuk blogku.

Oh iya, setelah berteriak, aku juga ingin minta maaf atas beberapa postinganku di blog yang membuatmu kecewa, marah, cemburu, dan sebagainya. Sudah berkali-kali kukatakan bahwa menulis adalah sebuah hobi bagiku, apalagi ketika melihat kaum hawa yang indah rupanya, inspirasiku langsung memuncak untuk bermain kata, tetapi percayalah, aku tidak brengsek dan tidak berniat untuk bermain hati. Bagaimanapun indahnya mereka, kamu tetap nomor 1.

Vin, ada beberapa tanggapan yang menyambangiku ketika aku mem-broadcast alamat blog itu, dan itulah yang membuat aku ingin berteriak. Tanggapan itu muncul dari orang-orang yang semasa sekolah dulu aku memang kagum padanya. Bisa kamu bayangkan, orang yang kamu kagumi ternyata memuji apa yang kamu lakukan, bukankah itu sesuatu yang istimewa lagi membanggakan?

Jadi, siapa saja yang memberi tanggapan positif terhadap postingan di blogku? Ah, sebenarnya aku agak malu dan sungkan untuk menyebutnya, takut dia membaca dan mengetahui. Tapi rasa senangku sudah tidak dapat dibendung lagi, membuat aku ingin mengabari kepada semua orang hasil kerjaku yang awalnya hanya sebuah keisengan, terutama kepada kamu yang super spesial.

Beberapa diantaranya, seorang adik kelas yang dulu menjadi nakoda dalam hal akademik, ternyata dia sudah dari dulu menyambangi blogku dan dia memberikan jempol. Lalu kawan lama yang juga memuji dengan senyum bahkan secara gamblang menyebut beberapa judul postingan yang menurutnya menyentuh. Juga seorang calon dokter yang sedang kuliah di pulau industri sana, dia bahkan memberi saran bagaimana seharusnya agar aku lebih baik lagi dalam mengupdate postingan-postingan selanjutnya.

Tetapi Vin, satu hal yang ingin aku ceritakan juga padamu, mengakhiri kabar gembira sore ini. Apa yang ada di blog ini adalah sesuatu yang hanya dan akan terus menjadi sebuah keisengan sampai kapanpun. Hanya sebagai pengungkap ekspresi saat aku tidak bisa bercerita. Aku tidak berniat untuk mencoba ke yang lebih tinggi, seperti menulis cerpen untuk beberapa surat kabar, apalagi menulis novel. Aku sadar bahwa aku hanya bisa menulis saat keadaanku sedang tidak baik. Aku masih bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan yang lain. Hanya kebetulan saja beberapa orang itu menyukai rangkaian kataku, dan aku sangat mengapresiasi mereka.

Kamu tahu, Vin. Aku adalah seorang mahasiswa yang sudah bisa dikatakan masuk semester tua, dan aku ingin menjadi seorang yang berkecimpung dalam apa yang selama ini kudapat selama kuliah. Aku ingin fokus ke sana. Sangat sayang rasanya, jumlah uang yang begitu besar telah dikeluarkan kedua orangtuaku untuk biaya kuliah, dan itu di tengah keadaan mereka yang serba susah. mengorbankan beberapa hal lain yang sama pentingnya. Aku tahu derita mereka meski tidak pernah bercerita. Setelah mengirimiku uang jajan, Mereka bahkan hanya makan dengan lauk berupa satu buah telur dadar yang dibagi 4 bersama dua adikku. Menyedihkan bukan?

Bukan aku menyepelekan sastra. Juga bukan aku tidak bersyukur atas sedikit kelebihan yang kuterima, tetapi perjalanan hidup dan kenginanku tidak setuju untuk hal itu. Meski dalam akademik aku tidak sepintar kamu, tidak serajin kamu, dan nilaiku tidak ada yang lebih tinggi dari nilaimu, tetapi aku yakin, di sanalah bahagia itu akan benar-benar kutemukan. Disanalah aku benar-benar merasa bisa membahagiakan mereka yang berkorban untukku. Alhamdulillah, jika memang aku punya bakat menulis dan dapat diedarkan untuk dibaca banyak orang, tetapi sampai detik ini aku sama sekali tidak berpikir akan bergerak ke sana, sedikitpun tidak. Bahagiaku tidak di sana, kebanggaan orangtuaku juga sepertinya tidak di sana. 

Hujan Membuat Rindu

       
image source : google
        Kebetulan sekali kita bertemu di awal musim penghujan, yang mana hujan selalu identik dengan kenangan, dengan ingatan cerita lama yang ingin diulang kembali. Bahkan setelah kita tidak berjumpa, hujan semakin sering mengguyur, membasahi tanah kota dan kenangan yang pernah kita injak bersama. Apakah di kotamu saat ini juga sedang diguyur hujan ?
          Ingin aku bertanya akan hal itu, juga tentang kabar dan keadaanmu kini. Tentang kesibukanmu, tentang kegiatan keseharianmu. Namun sampai detik ini aku masih malu. Ragu masih menyelubungi keberanianku, membuat aku hanya bisa terpaku menatap butiran air yang jatuh.
          Suara hujan yang mengujam bumi mengingatkan aku pada suaramu, membuat rindu. Ingatanku tertuju pada suaramu, yang berteriak dengan merdu. Hujan terus memburu, pun nafasku demikian saat memandang potretmu. Sapaku pada hujan sore itu, berulang kali menyebut namamu, menyatakan bahwa aku sedang rindu ingin bertemu.

Memproses Diri


            Kapan? Ya, suatu saat nanti aku akan mampir ke kotamu, dan aku akan menjadi alasan mengapa matamu tidak bisa berkedip. 
            Saat lalu kita bertemu, mungkin saja aku tampak sebagai seorang biasa yang tidak bisa apa-apa sehingga tidak menarik bagimu. Dengan mudah terlupakan. Aku pun mengakui, bahwa diantara mereka, aku memang rendah dan sangatlah tidak menarik. Karena itulah aku masuk dalam lingkar kegiatan ini untuk berproses, agar tidak lagi terlalu rendah dan menjadi sedikit lebih menarik. 
            Tidak dapat dipungkiri ternyata dalam rentang waktu berproses itu, aku bertemu denganmu. Lalu jatuh cinta. Namun kali ini memilih diam rasanya sedikit lebih baik. Aku pun bungkam. Tapi, tahukah kamu? Dalam kebungkamanku, aku tidaklah benar-benar diam. Aku memproses lagi diriku yang bukan siapa-siapa. Melebihi apa yang mereka semua lakukan di sana. Kamu tahu alasannya? Hanya agar aku merasa layak untuk berkenalan dan menjabat tanganmu yang halus jemarinya.

Minggu, Februari 07, 2016

Menyapa


Ada sesuatu di balik rintik hujan hari ini, ada cerita yang hanya dapat dimengerti oleh mereka yang hatinya saling terkoneksi. Setiap butirnya mengandung makna, memenjarakan kita yang diam seribu bahasa di dalamnya.

Jika kamu ikut rasakan, ah, sayang sekali kamu sudah kembali pulang. Bahwa hari ini, kota tempat kita pertama bertemu sedang diguyur hujan, dari pagi dan hingga kini belum berhenti. Dingin yang dihasilkannya telah menerobos ruang istirahatku yang padahal tertutup rapat, membawa serta bayangmu bersamanya. Membuat aku merindu.

Ingin aku berbisik pada dingin yang menyapa, menceritakan keangkuhanmu yang tidak lagi pernah kudengar kabarnya. Kadang aku menerka, sembari berharap dalam doa, sudilah kiranya kamu menyapa jika suatu saat kita bersua.

Sabtu, Februari 06, 2016

Gelut Angin Pagi


Teruntuk kamu yang kelak akan menjadi Ibu bagi anak-anakku, selamat pagi dan semoga mentari pagi ini menyapamu dengan kehangatan. Ketahuilah, aku sedang rindu berat pada senyummu. Terbangun dari rehat beberapa jam, bayangmu langsung mampir menggelantung di pelupuk mata. Sepagi dan sedingin ini, sudahkah kamu beranjak dari singgasana malammu? Atau masih ingin bermanja menikmati gelut dengan sentuhan-sentuhan kecil hembusan angin yang menerobos ruang?


Jumat, Februari 05, 2016

Di Luar Sana


Beberapa orang bertanya dengan inti pertanyaan yang sama karena mataku selalu tertuju pada satu objek yang itu-itu saja. 

"Itukah pilihanmu?"

Aku diam sambil tersenyum. Sejujurnya bukan, karena dia masih kalah terlalu jauh dari apa yang telah Tuhan berikan hingga detik ini. Maaf, bukan maksud untuk membandingkan, tetapi bukankah hal yang wajar jika memilih yang terbaik diantara yang baik, lagipula seseorang 'di luar sana' juga telah lebih dulu membuat jatuh hati, dan aku sudah pernah berjanji untuk tidak berkhianat, untuk tidak membuat kecewa.

Keadaan di sini aneh, memaksa, harus memilih satu diantara mereka untuk setidaknya beberapa hari ke depan. Pilihanku jatuh pada dia, perempuan berjilbab yang sedang duduk memegang HP di ujung sana dekat jendela. 

Aku tidak melakukan pendekatan apapun. Tidak mengajaknya berkenalan, juga tidak mengajaknya bicara. Perkenalan kami lalui seperti air yang mengalir. Terkesan sangat kebetulan dan sama sekali tidak terlihat maksud apa-apa. Namun satu hal, kami sempat bertukar kontak di hari terakhir, yang bahkan sampai detik itu dia belum tahu kalau pilihanku jatuh padanya.

Sesantai mungkin suasana kubuat ketika kami bertukar kontak. Aku tidak ingin membuat gelagat curiga, tidak ingin mengusiknya, juga tidak ingin membuat keruh hubungan yang sudah ada bersama seseorang 'di luar sana'. Diantara yang lain, menurut pandanganku dia memang terlihat jauh lebih menarik. Dia juga terbilang lebih istimewa. Beberapa kelebihan dia miliki tanpa ada yang bisa melampaui saat itu.

Dan sore menuju malam ketika itu, mungkin hanya alun-alun kota yang menyadari bahwa aku mulai sedikit bergerak. Ya, bergerak untuk beberapa hari ini saja, lagi pula besok adalah hari terakhir dan kami tidak lagi akan berjumpa, malam ini adalah puncaknya.

Tidak mengajaknya berjalan berdua, aku memilih untuk bergabung saja dengan rombongan kecil yang ada, lalu kubuat sehingga kami duduk berdekatan dengan sikap yang tidak menjadi perhatian. Biang lala di belakang sana seolah berbisik saat bahuku bersentuhan dengan bahunya. Mengingatkan lagi bahwa dulu aku pernah melakukan hal yang sama dengan seseorang di tempat yang sama pula.

Dadaku berdegup, aku tiba-tiba menjadi kaku, termenung dalam keriuhan suara mereka menghabiskan hari di kota ini. Untuk perempuan yang sedang 'di luar sana'. Maaf, keadaan yang ada menjebak dan mau tidak mau aku harus ikut aturan mainnya. Jangan salah kaprah, bukankah aku sudah menunaikan janji untuk tetap bersama?

Rabu, Februari 03, 2016

Bertemu Ratna


Gemeretuk gigi ketika menyentuh air tak dapat dihindari, gemetar badan saat melangkah juga tidak bisa ditutupi. Bulu-bulu tangan berdiri ketika tersapa angin subuh. Seperti robot gerakan wajib 2 rakaat pagi itu. Masih pukul 4 lebih sedikit.
Setengah 5, udara mulai bersahabat, dingin tidak lagi memenjara. Badan yang lelahnya belum hilang sejak kemaren sore kembali merebah di Kasur empuk sekitar 30 cm dari lantai. Kebetulan tidak ada kegiatan hingga siang ini.
Sekitar 5 menit lamanya, mata pun saat itu belum sempat memberadukan kembali dua sisi kelopaknya, tiba-tiba ada yang bergetar di atas meja. Dengan sedikit gerakan ke arah kiri, kujorokkan badan dan meraih Handphone yang tergeletak manis di sana.
Sebuah pesan masuk dari Kota Bandung. Ini hari ke 4 semenjak acara itu selesai. Hari ke 6 sejak kami pertama berkenalan, dan hari ke 7 sejak aku pertama kali melihatnya. Tidak ada yang penting sepertinya, hanya sebuah ucapan selamat pagi yang menghangatkan dingin pagi itu.
Tersenyum aku membaca dan agak tergesa membalasnya. Mata yang tadinya cukup berat meskipun belum terlelap kembali terasa ringan untuk berkedip. Kutarik selimut dan sedikit agak bermanja pagi itu sambil menunggu balasannya.
Gerangan apa yang membuatnya menyapa pagi ini? Tentunya ada sesuatu yang cukup penting. Tidak mungkin sekedar menyapa dan mengucap selamat pagi saja. Aku menunggu itu, sambil berbaring di kasur yang semakin empuk terasa akibat membaca namanya.
“Kapan mau main ke Bandung, Mas?” Begitu bunyi balasannya.
Sejenak aku berpikir, sampai detik ini aku belum punya rencana apa-apa untuk mengunjungi kota Mode. Memang pernah terniat beberapa kali untuk berjalan-jalan ke sana, beberapa kali pula niat itu batal terlaksana. Dan subuh ini bahkan bayangan kota Bandung pun tidak masuk dalam kepala.
“Insya Allah, kalau ada waktu ya.”
Ah, singkat sekali jawabanku. Ku pikir dengan begitu percakapan kami pagi ini akan berakhir dengan sebuah pesan terakhir darinya dengan kata penutup seperti, “Oh, ya sudah kalau begitu”, atau “oke deh, Mas”. Buru-buru aku menyesal atas apa yang baru saja kutulis dan sudah ada laporan terkirimnya.
Dan memang benar, dia agak lama membalasnya. Mungkin berpikir jawaban apa yang sekiranya pas untuk kata-kataku yang terkesan sombong dan tidak ingin berkomunikasi itu. Sontak saja rasa was-was muncul memburu nafas. Dan aku pun dibuat uring-uringan tidak jelas karenanya.
“Hmmm. . . ya sudah, Mas”
Owgh, dan benar saja, sesuai dengan prediksiku dia membalasnya. Namun kecewaku cukup hilang ketika membaca chat nya di baris kedua dan ketiga.
“Jangan lupa kabarin ya kalau main ke sini.” Itu isi baris kedua dan aku tersenyum.
“Nanti pasti di service kok kalau datang” Dan aku tidak menyia-nyiakan baris ketiga dengan memperpanjang percakapan, hingga akhirnya sampai dia berangkat kuliah kami masih terpaku dalam kolom chatting.
Hari berlalu dengan kegiatannya yang super sibuk dalam beberapa hari dan cenderung lama membalas chattingku. Aku pun memaklumi karena dari apa yang dia ceritakan dia sudah mulai masuk kuliah semenjak beberapa minggu yang lalu sementara aku masih menyisakan libur sekitar 2 minggu lagi.
Awalnya kami terpaku dalam keformalan bahasa saat chatting, dia memanggilku Mas dan aku memanggilnya Teteh. Entah bagaimana mulanya, muncul kesepakatan untuk tidak lagi memakai kata sapaan.
“Gak usah panggil Teteh, kaku banget kayaknya.”
Ya, dengan demikian, dengan langsung menyebut nama, percakapan kami jauh terasa lebih hidup, tidak canggung dan terasa lebih akrab. Hingga suatu malam aku berani menelponnya karena memang sedang benar-benar tidak ada kegiatan malam itu.
“Kamis besok aku ke Bandung.” Begitu kataku di telfon.
“Bener? Ada acara apa di bandung?” Terdengar logat sundanya yang masih kental.
“Cuma menghabiskan liburan. Suntuk juga seminggu lebih nggak kemana-mana.”
“Mau aku jemput?” Tawarannya membuat aku terdiam.
“Memang kamu gak kuliah?”
Tanyaku sedikit berbasa-basi padahal itulah tujuanku sebenarnya untuk menelpon malam ini. Namun jika pun memang dia tidak bisa, tidak masalah bagiku. Banyak temanku yang sedang berada di bandung, teman SMA, teman satu kampus, dan juga teman-teman bekas aku mengikuti acara-acara tingkat nasional maupun regional. Tetapi dengan dia, tentu ada cerita menarik yang akan membuatku tersenyum setiap sebelum tidur.
“Kamu berangkat kamis siang kan? Berarti sampe di Bandung Jumat pagi. Aku gak ada kelas Jumat pagi.”
Yup, aku paham maksudnya. Berarti dia bisa dan bersedia menjemputku ke stasiun.
Masih 2 hari lagi jadwal keberangkatanku, tiket sudah di tangan dan beberapa kawan yang ada di Bandung juga sudah kukabari. Percakapan dengan, oh iya aku lupa memperkenalkan namanya. Lengkapnya Ratnasih Rosalia Fitri Dewi dan aku memanggilnya Ratna. Percakapan dengan Ratna melalui chatting tetap berlanjut.
“Otw Bandung, Teh.” Ku kabari saat kereta baru saja bergerak meninggalkan Malang.
“Hati-hati di jalan Mas, besok aku tunggu di pintu keluar stasiun.” Ya, sesekali kami memang masih menggunakan kata sapaan sekedar untuk mencairkan suasana.
Tidak banyak yang bisa kuceritakan selama perjalanan Malang-Bandung. Langsung saja ketika aku hampir sampai di stasiun. Aku terakhir kali berbalas chatting dengan Ratna tadi sekitar pukul stengah 6. Sejam yang lalu. Chatting kami terputus ketika dia katakan 5 menit lagi berangkat ke stasiun karena rumahnya cukup jauh. Dan ketika akan memasuki stasiun Bandung, aku kabari lagi Ratna. Tidak ada balasan dan dalam pikiranku mungkn dia sedang berada di jalan.
Pukul setengah 7 kereta berhenti, dan balasan dari Ratna belum juga masuk. Mungkinkah dia masih di jalan? Aku berlama-lama di kereta sambil menunggu balasaan Ratna, dan juga berlama-lama di kamar mandi stasiun karena belum juga dia membalas pesanku.
Langkah kuusahakan sepelan mungkin agar lama sampai di pintu keluar. Aku mulai khawatir, rasa was-was mulai bergelayut di dada. Gemuruh tidak karuan menyelimuti pikiran di kepala. Setiap beberapa detik aku cek Hp dan ternyata kosong. Hingga akhirnya aku benar-benar tiba di depan pintu keluar stasiun. Sudah sepi ketika itu karena memang aku sangat berlama-lama di kereta dan kamar mandi. Terlihat hanya beberapa orang yang sedang berjalan ke luar dan beberapa orang yang menunggu.
Kuperhatikan satu per satu wajah yang ada di sana. Meskipun baru sekali bertemu aku tidak ungkin lupa wajah Ratna. Tingginya sepipiku, tidak gemuk dan tidak kurus, kulitnya putih dan biasanya berkacamata. Gerak-geriknya khas sehingga dengan mudah dapat dikenali.
Tidak ada !!! Ratna tidak menjemputku. Apakah dia mengerjaiku? Kucoba menelfon nomor yang kemaren dia berikan kalau-kalau tidak bisa dihubungi lewat akun sosial. Awalnya masuk, tetapi tidak ada jawaban. Kedua kalinya kutelpon, masuk, namun dimatikan. Dan kuulang sekali lagi nomornya sudah tidak aktif. Ada apa gerangan? Benarkah aku sudah dikerjai?
Dalam hati, aku masih berharap dijemput Ratna, sehingga kuputuskan untuk menunggu dulu di stasiun. Mungkin saja dia terlambat atau bagaimana. Namun 2 jam berlalu, tidak ada tanda-tanda akan kedatangan Ratna. Aku putuskan menghubungi kawan SMA ku yang sudah pindah ke Bandung, kebetulan dari alamat yang dia berikan, rumahnya tidak jauh dari stasiun sehingga aku dapat berangkat sendiri ke sana.
Tidak bertemu dengan Ratna, aku melepas rindu dengan Kensa yang sudah 5 tahun tidak berjumpa. Dengannya akhirnya aku ditemani berkeliling Paris van Java. Dia ternyata kini kuliah sambil membuka usaha sendiri. Jadilah aku selama 3 hari di Bandung sama sekali tidak mengeluarkan uang. Full dibiayai makan gratis, penginapan gratis, dan tiket masuk ke tempat wisata secara gratis.
Memasuki hari ke 4, subuh sekali bahkan azan subuh belum berkumandang, Hp ku berdering, ada panggilan yang nomornya tidak tersimpan di hp. Aku berharap yang menghubungi adalah Ratna.
“Halo” Suaraku pelan karena memang masih terlalu gelap dan sepi.
“Gi, masih di Bandung? Maaf kemaren aku gak jadi jemput, maaf banget. Masih di Bandung gak sekarang?” yang menelponku bicara dengan sangat tergesa-gesa, baik aku dan kalian tentu sudah paham siapa yang menelpon. Tidak perlu dijelaskan lagi bukan?
“Iya, masih.” Jawabku dan langsung di potongnya.
“Kamu tinggal di mana?”
Kusebutkan alamat rumah Kensa tempat selama 3 hari ini aku numpang menginap dan makan, juga numpang diajak jalan-jalan.
“Oh iya aku tahu. Ntar siang kamu ada acara? Aku ke sana ya.”
Sebenarnya hari ini aku akan diajak jalan ke beberapa tempat oleh Kensa. Tapi mendengar suara dari Ratna aku merasa gampang saja untuk membatalkan acara dengan Kensa.
“Nggak kok.” Akhirnya aku menjawab.
“Jam 9 ya aku ke sana.”
Aku penasaran akan cerita Ratna yang sudah berjanji menjemput dan mengajak berkeliling Bandung tiba-tiba hilang begitu saja ketika aku benar-benar menginjak tanah Sunda. Marah? Tidak. Kecewa? Tidak juga. Pastinya ada sesuatu yang sedang terjadi dan aku sangat ingin tahu akan hal itu
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku hanya bisa terdiam mendengar penjelasan panjang Ratna selama 3 hari menghilang. Saat itu kami sedang duduk di alun-alun Bandung. Aku diam saja dan tidak banyak berkomentar. Takut salah bicara atas keadaan yang sedang terjadi pada Ratna. Ceritanya yang sangat detail sampai sudut-sudut terkecil membuat aku luluh. Ada rasa iba yang sekaligus terselip kagum padanya. Ah, bagaimana seandainya aku yang berada di posisi Ratna? Apakah aku bisa sekuat dan setegar itu?
Aku putuskan untuk menambah hari dan lebih lama menghabiskan waktu di Bandung hingga liburanku benar-benar habis. Dan setiap harinya aku bertemu Ratna dan kami jalan-jalan hingga sudut kota. Ratna akhirnya mengantarku lagi ke stasiun dan itu terakhir kali aku bertemu dengannya.