Sabtu, Mei 30, 2015

Ingin Pulang Kampung (Bagian 3)

Saya tidak ingat persis kapan tanggal kejadiannya. Yang saya ingat ketika itu tepat setelah mengucap salam di rakaat akhir Isya. Terdengar getar dari atas meja belajar. Tempat dimana saya biasanya menaruh laptop dan handphone secara berdekatan. Sama sekali tidak ada doa yang saya panjatkan malam itu. Rindu membuat pujian kepada Tuhan menjadi tertunda beberapa saat. Dosa baru saja menghampiri, tetapi apalah yang boleh dikata, menerima telpon dari keluarga juga hal yang paling berharga untuk saat itu.

Dengan masih bersarung dan sajadah yang masih tergelar di lantai, saya raih handphone dan segera menjawab panggilan. Hening beberapa saat. Saya ucapkan salam dan halo beberapa kali. Tidak ada jawaban dari seberang. Tiba-tiba panggilan terputus. Beberapa saat ditelpon lagi, saya angkat dan barulah kali ini ada suara dari seberang sana. Dari keterangan Ibu, ternyata jaringan memang sedang tidak baik. Hujan deras sedang menghujam tanah kelahiran saya. Dari siang tadi sangat deras dan baru malam ini sedikit mereda, namun suaranya masih terdengar menyerang atap rumah. 

Hanya sebentar saya bicara dengan Ibu. Saling menanyakan kabar saja lalu Ibu menyuruh saya bicara dengan Ayah karena sedang memasak untuk makan malam. Dengan ayah juga tidak terlalu banyak yang saya bicarakan. Hanya beberapa hal tentang perkuliahan saja. Meski saya tahu beliau mungkin tidak begitu memahami seluk beluk dunia kampus karena Ayah hanya tamatan SMA jurusan Biologi -sekarang IPA-, tetapi saya tetap menjelaskannya. Ada sedikit bangga yang menyelinap dalam percakapan kami malam itu. Bangga atas raihan kami sebagai keluarga terbelakang yang sering mendapat cemooh. Bangga yang tentu saja tidak perlu kami bahas dalam kata yang mengalir di setiap ucapan. Di atas mulut-mulut mereka yang setiap saat menjatuhkan, setidaknya sebuah harapan mulai kami perlihatkan untuk menuju sukses di masa depan. Dan itu sedikit banyaknya berangsur membungkam mulut-mulut tak bertanggung jawab yang biasanya menghina kami. Malah sekarang beberapa dari mulut itu telah merubah format cemooh mereka menjadi pujian dan motivasi. 

"Kamu tidak ingin bicara dengan adik-adik?"

"Oh iya, dimana mereka?"

Ayah lalu memanggil adik saya yang perempuan. Kebetulan ketika itu dia sedang tidak membantu Ibu di dapur. Dia sangat suka memasak. Setiap hari selalu ada makanan kecil yang dibuatnya. Entah itu kue, gorengan, atau apa saja yang bisa ia kreasikan di atas wajan lalu kami santap untuk mengenyangkan perut.

"Halo Uda, lagi apa?"

"Tidak, cuma tiduran aja. Kia ujian kapan?"

"Bulan depan mid semesternya. Uda kapan pulang? Kata Ayah sama Ibu Uda harus pulang."

"Insya Allah."

Percakapan saya dan Kia, -adik perempuan saya- tidak pernah banyak. Dulu waktu kecil sebelum adik kami yang laki-laki lahir, setiap hari rumah selalu di isi dengan pertengkaran. Selalu ada hal-hal kecil yang membuat kami saling menghardik. Sering Ibu menangis dibuatnya. Hingga pernah suatu hari Ibu tidak mau pulang karena kami tidak pernah akur, kemudian beliau menginap di rumah tante kami yang tidak jauh dari sana. Namun semenjak kelahiran adik laki-laki kami, pertengkaran mulai berangsur berkurang -untuk sementara-. Rumah tidak lagi ramai. Kami terlengahkan oleh kehadiran manusia kecil yang lucu dan menggemaskan.

Hingga akhirnya kami bertambah umur dan semakin besar. Pertengkaran berangsur terjadi lagi namun kini posisinya berpindah. Kini adik perempuan dan adik laki-laki saya menjadi biang dari keramaian dalam rumah. Merekalah kini yang membuat Ibu beberapa kali meneteskan air mata. Merekalah kini yang membuat Ibu sering berdiam diri dalam kamar dan mengunci pintu.

"Uda, ini dia ingin bicara."

Dia yang dimaksud adalah adik laki-laki saya yang kini telah menginjak kelas 5 SD.

"Uda, kapan pulang lagi ke sini?" Dia berteriak sebelum handphone menempel di telinganya.

"Mungkin liburan. Kenapa?" Jawab saya singkat sekali.

"Habis lebaran Ijan mau tanding. Bawain baju Arema ya."

Saya diam sejenak. Dia kini adalah bagian inti dari Sekolah Sepak Bola (SSB) kampung kami untuk usianya. Beberapa kali si bandel ini telah bertanding keluar kota. Beberapa kali menang dan pulang dengan tawa karena berhasil memasukkan bola ke gawang lawan, Beberapa kali dia juga pulang sambil menangis karena kalah. Atau karena tidak berhasil membobol gawang lawan.

"Iya, nanti dibawain, sekalian sama slayernya."

Saya ingat betul ketika tahun lalu pulang tanpa membawa apa-apa kecuali gantungan kunci khas Malang dan satu kardus besar apel Malang. Saya ingin sekali membeli dua pasang jersey Arema untuk mereka, namun tidak jadi karena banyak pertimbangan. Dan saya sangat menyesal atas pertimbangan bodoh itu. Dulu saya sudah berniat untuk membelikan mereka seragam klub kebanggaan kota Malang tempat saya bersekolah, bahkan sudah berada di depan tokonya, tetapi batal. Saya berbalik. Alasan utamanya bukan karena saya tidak punya uang. Saya memiliki sejumlah tabungan yang dari awal memang sudah diniatkan untuk membeli oleh-oleh. Tidak banyak memang, tetapi sudah lebih dari cukup jika dibelikan beberapa pasang seragam sepak bola.

Saya sedih mengingat semuanya. Terlalu egois menjadi seorang kakak. Terlalu mementingkan diri sendiri. Saya tahu tidak akan mendapat uang jajan selama di rumah nanti. Dan dalam pikiran saya ketika itu, tabungan yang sudah saya niatkan untuk membeli oleh-oleh itu saya alihfungsikan untuk kepentingan saya nanti saat di rumah. Jahat sekali memang tetapi itulah satu dari beberapa sesal yang tidak pernah bisa saya hapus. Dimana letak jiwa saya sebagai seorang kakak saat itu? Saya mengutuki diri sendiri hingga kini. Untuk saat ini, dengan kondisi seperti sekarang, saya tidak bisa berbuat seperti dulu, jangankan membeli oleh-oleh, untuk makan saja saya kini kesulitan.

Dan satu hal yang saya dapat pelajari dari pengalaman pahit ini. Selagi bisa maka lakukanlah, apapun itu. Jangan menunggu sampai nanti karena belum tentu ada kesempatan kedua untuk hal yang sama.

"Kemaren Ijan liat foto Uda di facebook sama kakak-kakak. Itu pacar Uda?"

Saya tidak terlalu menghiraukan pertanyaan itu. Masih ada sesal yang terasa setiap kali bocah badung Ibu ini bicara. Saya ingat betul, ketika dulu saya tiba di rumah, dialah yang pertama menyambut saya di depan pintu. Bahkan dia menyambut sejak saya turun dari travel yang mengantar ke depan rumah. Kepolosannya merangkul saya dan membantu membawakan koper dan tentengan saya ke dalam rumah. Selalu dipandangnya bawaan saya yang masih tergeletak di depan TV. Jelas sekali dari wajahnya sangat berharap ada sesuatu yang bisa diterimanya untuk ia pamerkan pada teman-teman. Saya kemudian mengeluarkan apel dari kardus. Dan tampaknya dia tidak tertarik sama sekali karena memang saat itu sedang berada di bulan Ramadhan. Kemudian dari tas, saya keluarkan gantungan kunci yang jumlahnya lebih dari Sepuluh. Dia mulai tersenyum, dan menimang-nimang benda sederhana itu dengan mata yang sangat girang. Bagaimana jika seandainya saya belikan dia baju Arema untuk dipakainya ketika latihan? Pasti senangnya bukan main. Wajahnya pasti akan lebih girang dari pernah saya lihat. Sayang sekali itu tidak terjadi. Ah, sungguh seorang kakak yang gagal.

"Hahaha. Sok tau." Itu jawab saya untuk merespon pertanyaannya.

Saya sangat sadar apa yang sedang dan telah saya lakukan. Ingin sekali rasanya untuk segera menebus salah tentang harap dia yang ternyata tidak menjadi nyata. Bisa saya bayangkan bagaimana senangnya ia ketika mengiring bola dengan kaki kecil dan pendeknya itu, seandainya saja........ Ah saya menangis membayangkannya. Bagaimana jika saya yang berada di posisi dia? Akankah saya bisa menampilkan wajah riang seperti dia ketika hanya menerima hadiah kecil sementara dia berharap sangat besar?

Uang sisa yang berada dalam rekening kemudian tidak saya sentuh sama sekali. Yang sengaja saya niatkan untuk membeli oleh-oleh saya biarkan tetap berada di sana sebagai saldo. Hingga beberapa hari setelah lebaran, tanpa sepengetahuan Ibu, saya ajak kedua adik saya jalan-jalan. Kami pergi ke pasar terbesar yang ada di sana. Saya masuki beberapa toko besar. Kia masih bingung dengan semuanya, namun dia tidak banyak bicara, mengikut saja kemana saya melangkah.

"Mau beli tas?" Saya bertanya.

Dia tersenyum.

"Ayo, mau apa nggak?" Tanya saya lagi.

Dia kemudian mengangguk lalu melihat-lihat beberapa model tas yang membuatnya tertarik. Dipilihnya satu lalu dimintainya persetujuan saya. Setelah membayar, kami lanjutkan menuju toko olahraga. Saya suruh Ijan memilih sepatu bola yang sesuai dengan kakinya, berikut dengan dekker dan kaos kaki. Sementara saya melihat-lihat bola kemudian memilih satu yang berwarna orange. Tidak lama kemudian kami meninggalkan toko itu dengan membawa masing-masing satu tentengan dari sana, plus satu tentengan dari toko sebelumnya tempat Kia membeli tas.

"Kita makan dulu?" Tanya saya.

"Ayo, Ijan lapar."

"Kia juga." Keduanya berteriak senang dan mempercepat langkah menuju arah rumah makan.

Kami makan di tempat biasa Ayah atau Ibu mengajak kami makan setiap mampir di pasar itu. Dan baru sampai di rumah lagi ketika ashar menjelang.

Belum hilang sesak nafas karena lelah, Ibu langsung bertanya dengan nada yang tidak biasa ketika melihat tentengan yang kami bawa pulang.

"Ini Uda yang belikan." Jawab adik saya hampir bersamaan.

"Kamu dapat uang dari mana? Buat apa beli barang-barang itu, ha? Yang lama kan masih bisa mereka pakai !!!"

"Ini tabungan saya selama di Malang" Saya menunduk.

"Ngapain beli barang-barang ini segala??! Mikiiir!!! Kamu itu punya banyak keperluan. Tiketmu, uang kuliahmu, kost mu yang harus Ibu bayar. Belum lagi keperluan-keperluan lain kamu untuk kuliah. Mengapa kamu tidak gunakan otak sedikit saja??!!! Kamu habiskan uangmu buat barang-barang yang belum perlu. Sepatu bola adikmu masih bagus. tasnya juga belum rusak dan masih bisa dipakai. Percuma Ayah dan Ibu menyekolahkanmu ke Jawa kalau otakmu tidak bisa kamu gunakan. Jalankan sedikit isi kepalamu.!!"

Saya hanya diam saja di dekat pintu. Sementara ibu masih terus dengan ocehan dan amarahnya hingga hampir satu jam menceramahi saya. Saya lihat kedua adik saya menunduk sambil kedua tangan mereka menggenggam erat tentengan belanjaan mereka.

"Balikin lagi ke tokonya sekarang !!!" Teriak Ibu dengan amarah bernada tinggi di akhir kalimatnya, kemudian beliau langsung menuju dapur.

Saya lihat kedua adik saya menggenggam semakin erat belanjaan mereka yang masih berada dalam kresek itu. Seolah tidak ikhlas jika barang itu harus di lepas lagi ke tokonya sesuai perintah Ibu. Dilihatnya saya yang masih terpaku di dekat pintu dengan sudut mata mereka yang sangat tajam.

Sempat saya perhatikan mereka bertatap-tatap beberapa kali lalu bergerak mendekat ke arah saya.

"Ayo Uda, kita balikin saja ke tokonya. Ibu marah." Suara polos Ijan -yang saat itu masih kelas 4 SD- terdengar gemetar.

"Iya, balikin saja Da." Sambung Kia sambil terisak.

Keduanya menangis. Saya sangat iba melihat mereka. Tidak seharusnya Ibu bicara seperti itu ketika ada mereka. Jikapun Ibu marah pada saya, seharusnya tidak di depan mereka. Bisa dibicarakan saat mereka tidak ada. Itu secara psikologis telah mengganggu mental kedua adik saya. Untuk hari itu, saya benar-benar tidak ingin menyapa Ibu.

"Sudah, tidak usah. Simpan saja dulu dalam lemari." Kata saya.

"Tapi Ibu marah." Keduanya berkata sambil terisak. Dan saya sangat tidak tega melihatnya.

"Sudahlah, taruh di lemari. Itu sudah jadi milik kalian." Saya perintahkan keduanya meletakkan barang mereka.

Mereka menurut saja namun isak tangis masih saja tetap terdengar.

Malam itu tidak ada acara makan malam bersama. Kedua adik saya tidak keluar kamar sejak saya suruh meletakkan barang belanjaan mereka. Tidak ada yang mau keluar kamar dan bertemu dengan Ibu. Takut kalau-kalau Ibu tiba-tiba memarahi mereka. Saya akhirnya makan lebih dulu. Kemudian di susul Ayah. Sementara Ibu masih terlihat marah dan tidak mengiraukan saya sama sekali.

Setelah agak malam saya masuki kamar dimana mereka berdiam diri, ternyata belum tidur. Dan sepertinya keduanya sedang lapar tapi masih takut untuk keluar. Saya ambilkan nasi beserta lauknya. Dengan rakus mereka menghabiskan nasi satu piring dengan sangat cepat. Namun terlihat jelas bahwa sampai saya masuk, mereka masih menangis. Air mata keduanya masih menggenang di kelopak mata masing-masing. Saya membelai lembut kepala adik-adik saya yang sedang dilanda ketakutan hingga mereka tertidur, hingga saya juga tertidur. Dan akhirnya malam itu kami tidur bertiga dalam satu kamar.




Rabu, Mei 27, 2015

Ingin Pulang Kampung (Bagian 2)

Seharian ini tidak ada kegiatan yang saya lakukan kecuali tidur di kasur yang telah dua tahun menemani istirahat saya. Yang setiap hari terhimpit buku dan laporan, yang setiap hari pula menjadi sarang nyamuk karena baju kotor yang berserakan di atasnya. Kebetulan sekali hari ini adalah Minggu. Saya tidak keluar kamar sama sekali kecuali pukul Sebelas tadi membeli sarapan. Ya, itu adalah kegiatan rutin saya selama berada di tanah perantauan. Menggabungkan sarapan dan makan siang di pertengahan jadwalnya sehingga bisa menghemat beberapa Rupiah untuk ditabung dan digunakan pada keperluan lain.

Bagi saya berhemat adalah suatu keharusan yang sangat wajib dilakukan. Sebagai seorang mahasiswa rantau yang ekonomi keluarganya sedang berantakan, saya diharuskan untuk menjadi seorang yang sangat tahu diri. Tidak pernah ada saldo cadangan di rekening saya. jangankan itu, uang bulanan yang saya terima dari kiriman orang tua kadang sangat-sangat terbatas, bahkan di beberapa waktu justru lebih sedikit dari jatah yang seharusnya mereka kirimkan. Jadilah saya seperti sekarang, sangat tertutup dengan pergaulan karena biasanya selalu berhubungan dengan uang dan uang.

Pukul tiga sore handphone jadul yang saya khususkan untuk menerima panggilan dari kampung bergetar di atas meja belajar. Entah sudah berapa lama handphone itu tergeletak di sana. Hanya bergeser sedikit posisinya ketika saya cas saat daya baterainya sudah melemah. Biasanya sekali seminggu.

Seperti bulan lalu -terakhir kali handphone jadul itu menerima panggilan- yang menelpon adalah Ibu. Namun yang bicara di balik sana ternyata bukan Ibu, tetapi Ayah. Ayah tidak punya dan tidak mau punya handphone meski sudah dipaksa setiap hari hingga mulut sudah lelah untuk menyuruhnya. Sayang sekali kepala Ayah keras seperti batu. Tidak juga beliau mau menerima saran kami -anak-anak dan istrinya-. Bagi beliau lebih baik membelikan saya sepatu atau mebelikan adik-adik tas daripada membeli handphone untuk dirinya sendiri.

"Ayah tidak butuh itu. Kalau ada yang harus di telpon, Ayah bisa pakai handphone Ibu. lebih baik uangnya kalian pakai saja buat beli tas, sepatu dan yang lainnya."

Itu alasan Ayah setiap kali disinggung agar beliau memakai handphone sendiri. Sangat rasional karena memang keluarga kami benar-benar sedang terpuruk berbarengan di saat besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Bahkan sampai sekarang Ayah tidak bisa mengoperasikan benda ajaib yang menghubungkan orang dari jarak jauh itu. Jadi setiap ingin menelpon seseorang, Ayah akan selalu mengandalkan Ibu, saya, ataupun adik-adik untuk mengoperasikan handpone agar bisa menghubungi orang yang ingin dihubunginya. Bukan karena Ayah jadul, gaptek ataupun ndeso, hanya saja beliau tidak pernah mau untuk mempelajarinya, apalagi memilikinya. Tapi jangan salah, se jadul-jadulnya Ayah, beliau bisa mengetik pada mesin ketik dengan menggunakan Sepuluh jari dalam waktu yang sangat singkat -apalagi menggunakan laptop, pasti lebih cepat karena tidak perlu menekan tuts keyboard terlalu dalam- dengan mata tertutup

Jadi sebenarnya bukan kebodohan atau kejadulan Ayah yang membuat beliau terlihat seperti seorang yang tidak tahu perkembangan zaman sama sekali, tetapi keadaanlah yang menjadikan semuanya demikian. 

"Halo, kamu tidak kuliah?"

Ayah yang bicara duluan ketika telpon aku jawab. tentunya setelah kami berbalas salam terlebih dahulu

"Kan Minggu, jadi libur."
"Astaga, iya ya. Ayah lupa."

"Ada apa Yah? Tumben nelponnya sore, biasanya kan selalu malem."

Ini bukan hal yang biasa. Tidak pernah sebelumnya aku di telpon sore hari seperti ini. Ini adalah jam sibuk Ayah di kebun kakao sengketa yang menjadi penopang uang kuliah dan uang jajan saya selama ini, termasuk juga belanja rumah tangga, semuanya berasal dari kebun yang sebenarnya tidak terlalu luas ini.

"Uang buat beli tiket sudah Ayah kirim tadi. Sekalian sama uang bulanan kamu. Silahkan kamu mau pulang dari Surabaya atau mau dari Jakarta."

Jantung saya berdegup cepat di buatnya. Beberapa pertanyaan kemudian muncul di benak. Dari mana Ayah dapat uang? Bukankah kemaren adik saya memberi tahu bahwa Ayah dan Ibu tidak memegang uang sama sekali sehingga kiriman untuk uang bulanan saya telat? tapi tentu saja pertanyaan itu tidak saya munculkan. Saya terdiam beberapa saat. lalu Ayah mengagetkan saya dengan melanjutkan penjelasannya.

"Tidak usah kamu pikirkan darimana Ayah dapat uang. Semuanya sudah Ayah pikirkan. Bagaimanapun keadaannya tahun ini kamu harus pulang."

Saya tidak lagi berani menjawab. Hilang sudah kekukuhan hati untuk tidak menginjak kampung halaman pada libur lebaran kali ini, meskipun hingga beberapa hari setelahnya saya masih berusaha mencari alasan untuk tidak pulang agar bisa menghemat pengeluaran keluarga, atau setidaknya mengalihkan penggunaan uang untuk beberapa keperluan kuliah.

"Iya, kalau begitu nanti saya kabarin kapan pulangnya. Soalnya masih ujian sampai akhir bulan ini."

Begitu jawaban saya karena bingung harus menjawabnya bagaimana. Sama sekali tidak ada kata terima kasih keluar dari bibir saya, itu adalah kebiasaan yang dari dulu terjai. Sangat berat rasanya untuk mengucap terima kasih secara langsung. Hanya bisa disampaikan lewat laku dan sikap baik saja. Pun Ayah sudah mengerti akan hal itu meski kami tidak pernah membahasnya.

"Kamu ingat kolam ikan yang dulu kamu isi dengan ikan gurame?"

Ayah bertanya yang saat itu entah apa maksudnya. Memang selain kebun kakao yang sedang dalam sengketa keluarga, keluarga kami memiliki beberapa kolam ikan -yang ini asli milik keluarga, bukan sengketa-. Salah satunya saya modali dari THR lebaran yang saya kumpulkan selama 3 tahun dan kemudian saya rawat dan kelola sendiri. Saya minta kepada Ayah dan Ibu dulu untuk mengelola satu diantara 4 kolam yang kami punya. Mereka lalu memberikan yang paling besar. Beberapa kali usaha yang saya jalani tidak mengalami kegagalan meski dengan untung yang hanya sangat sedikit sekali. 

"Iya kenapa, Yah?"

Saya ingat, karena akan pergi lama dan tidak mungkin untuk mengurusnya, saya putuskan untuk mengisi kolam kelolaan saya dengan ikan Gurame saja. Perawatannya tidak sulit, -tidak seperti ikan lain yang hanya butuh waktu 4-5 bulan saja dan harus rutin di beri makan- waktu yang dibutuhkan gurame juga cukup lama sehingga bisa saya panen setelah pulang dari rantau.

"Guramenya sudah siap untuk di panen. Makanya kamu harus pulang." 

Ayah berkelakar. Itu hanyalah lelucon yang menjadi alasan kesekian mengapa saya harus pulang liburan ini. Tiba-tiba entah darimana, muncul pikiran bahwa dengan inilah Ayah membiayai tiket saya pulang. Sempat saya kecewa beberapa saat dibuatnya. Saya ingin marah kepada Ayah. Saya dulu meniatkan hasil gurame yang saya kelola untuk membeli handphone canggih seperti yang dipunyai teman-teman. Lalu Ayah mengambilnya begitu saja tanpa izin? Ayah yang sepertinya mengerti jalan pikir saya lalu kembali berkata. 

"Tenang saja, bukan uang hasil gurame yang Ayah kirim untuk membeli tiketmu. Uang untuk tiket mu sudah Ayah tabung sedikit demi sedikit semenjak hari pertama kamu kuliah. Maafkan Ayah karena uangnya baru terkumpul sekarang setelah Dua tahun, sehingga kamu baru bisa pulang pada lebaran ini."

Saya tersandar lemas di dinding. Belum apa-apa sudah berpikir tidak baik pada Ayah. Ternyata Ayah benar-benar memikirkan tentang kuliah saya dengan sangat matang. Bahkan sampai hal kecil yang sangat detail seperti itu. Yang saya pun tidak pernah berpikir sampai sejauh itu.

"Owh."

Singkat sekali jawaban yang saya berikan. Saya kehabisan kata bagaimana cara mengungkapkan perasaan pada Ayah. Kami tidak pernah benar-benar bicara dari hati ke hati sebelumnya. Ayah seorang pendiam dan tidak banyak bicara. Ayah juga tidak bisa berdiam diri, menonton tv atau sekedar tiduran ketika matahari masih ada. Ayah selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaan-pekerjaan kecil yang bermanfaat dan tidak ingin membuang waktu. Saya sangat bangga pada beliau.

Beberapa saat hening menguasai sore. Saya diam dan Ayah juga diam. Sunyi yang sangat senyap, suara tarikan nafas Ayah pun tidak terdengar. Saya pejamkan mata sejenak untuk benar-benar bisa merasakan perjuangan Ayah agar anak sulungnya ini tetap bisa mengejar Sarjana seperti impianya. Dan kini tinggal beberapa langkah lagi. Sebentar lagi ijazah yang akan saya dapat itu akan menjadi kado indah buat Ayah. Ayah memang tidak pernah berkata apa-apa tentang gelar Sarjana yang akan segera saya peroleh (Insya Allah). Hanya saja dari cerita Ibu saya tahu, gelar sarjana anaknya dari tanah Jawa, akan menaikkan derajat Ayah di hadapan saudara-saudaranya. Dan akan bisa membuat beliau berdiri dan duduk sama tinggi dengan mereka tanpa merasa rendah diri dan direndahkan.

Tetapi jika saya pulang maka ada kemungkinannya untuk tidak bisa balik lagi ke sini karena ketiadaan biaya. Lalu kado indah buat Ayah bisa sirna, beliau akan tetap di pandang rendah, dan tetap tidak akan dihargai sampai hayat menjemput. Ayah akan menderita sepanjang hidup. Tidak akan pernah bahagia menyentuh harinya agak sejenak. Ah, lagi-lagi saya berpikir tentang itu. Padahal bulan lalu, Ayah telah berjanji pada saya melalui Ibu, bahwa kuliah saya pasti tetap berlanjut meski harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli tiket pulang.

"Masih ingat puluhan pohon pinang yang dulu kamu tanam di pinggiran kolam?"

"Iya, masih." Jawab saya.

Dulu ketika masih SMP saya menanam banyak sekali pohon pinang. Suatu saat agar saya atau siapapun tinggal memetik buahnya saja untuk tambahan uang saku. Inspirasi seperti itu saya dapat dari kampung tetangga, dimana mereka (yang punya tanah) menanam pinang di sekeliling tanah mereka dan buahnya banyak sekali. Setiap minggu saya lihat si empunya memetik buah pinang dari ratusan pohon yang berjejer rapi. Lalu ketika Kamis tiba, saya lihat dia kewalahan mengangkut goni-goni besar menuju pasar. Isinya adalah pinang yang sudah ia belah dua dan sudah di jemur.

"Sudah bisa dipetik sekarang. Tapi maaf uangnya belum sampai ke tangan kamu. Uangnya selalu terpakai buat jajan adik-adik sama kebutuhan Ibu di dapur."

Saya tersenyum mendengarnya. memang dulu saya niatkan untuk penambah pemasukan. Tapi beberapa waktu terakhir ini saya justru tidak ingat sama sekali. Saya hanya ingat tentang gurame yang saya modali dari tabungan THR beberapa tahun.

"Iya, tidak apa-apa. lagi pula saya tanam dulu niatnya juga untuk menambah penghasilan."

Begitu saya jawab sekenanya karena masih ada sedikit beban pikiran yang menyumbat hati.

"Ekhm." Ayah batuk kecil beberapa kali. Tarikan nafasnya kini terdengar sedikit berdesah.

"Tenang saja, Ayah yang pastikan kamu akan balik lagi kesana, melanjutkan kuliah setelah berlebaran di kampung. Meskipun kita bukan orang kaya, Ayah jamin kamu akan sekolah sampai lulus."

Ah, Ayah memang laur biasa. beliau mengerti ketakutan yang masih menjamah raga saya. Namun kali ini saya telah mendengar langsung dari Ayah bahwa saya akan tetap berkuliah setelah ini. Kata-kata Ayah membuat saya jauh lebih tenang.


Minggu, Mei 24, 2015

Ingin Pulang Kampung (Bagian 1)

Momen yang mereka maksud (mungkin) hanya terjadi sekali setahun dan biasanya itu adalah momen yang di tunggu banyak orang dengan jutaan suka cita di dalamnya. Seorang perantau seperti saya adalah salah satu yang sangat menunggu momen besar seperti itu. Meski pulang belum membawa apa-apa kecuali rindu dan beberapa potong pakaian yang sudah lusuh, -bahkan selembar ijazah pun belum- momen sekali setahun ini selalu menghadirkan cerita berbeda di setiap detiknya. Melepas rindu dalam pelukan orang tersayang, berbagi cerita sedih dan bahagia selama berada di tanah orang. Kemudian mendengar cerita tentang kampung halaman yang lama ditinggalkan. Juga bertemu beberapa kawan lama yang tetap setia menunggu ataupun mereka yang kebetulan punya kesempatan untuk kembali mengunjungi tanah kecil mereka.

Kembali kepada saya yang kini sedang berada di tanah perantauan, berkutat dengan tugas akhir dan bersiap menghadapi Ujian Akhir Semester, garis akhir dimana setelah itu ada waktu jeda untuk beristirahat sejenak melupakan tugas kuliah beserta tetek bengek kesibukannya. Ada waktu untuk sekedar tidur di kamar, atau jalan-jalan ke tempat wisata atau ke kota terdekat -Memangnya saya punya banyak uang untuk menghabiskan liburan dengan jalan-jalan? Bisa makan dua kali sehari saja sudah sangat syukur-, atau mungkin pulang kampung? Ekhm, saya tidak pernah berpikir untuk pulang kampung ketika libur tiba. Biayanya terlalu besar.

Biasanya jika libur akhir semester selalu saya gunakan untuk sekedar istirahat dan tidur saja di kamar, atau paling tidak jalan-jalan sendirian di sekitar kampus untuk menikmati bebas yang waktunya sangat terbatas. Saya bukan mahasiswa berkantong tebal sehingga sering tidak bisa ikut teman untuk jalan-jalan.

Saat itu saya sedang tiduran di kamar, baru selesai mandi dan merebahkan badan sebentar untuk mengusir lelah sebelum kembali mengerjakan tugas. Handphone jadul pemberian abang sepupu tiba-tiba bergetar di atas meja. Ibu menelpon. Sedikit saya ceritakan bahwa keluarga di kampung sangat jarang menelpon saya. Bukan karena mereka sibuk atau tidak peduli, ini adalah tentang masalah ekonomi. Sejujurnya, untuk membeli pulsa yang harganya kurang dari Rp 10.000,- saja agar bisa mendengar suara saya, Ibu dan Ayah harus berpikir dua kali. Begitu sulitnya keluarga saya ketika itu hingga untuk sekedar melepas sedikit rindu -bahkan hanya lewat suara saja- harus dengan perhitungan yang matang. Ada baiknya kadang uang sejumlah itu digunakan untuk jajan adik saya setiap pergi sekolah.

"Nak, kamu sedang apa?" begitu ibu awalnya menyapa setelah mengucap salam.
"Baru pulang, Bu. Tadi ada kuliah malam" Begitu jawab saya singkat.

Saya tahu, jika Ibu sudah menelpon, pasti ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakannya. Tidak hanya satu, biasanya Ibu mengumpulkan beberapa cerita terlebih dahulu sebelum menelpon, tentunya untuk menghemat pengeluaran -membeli pulsa- karena jika menelpon lama, tentunya akan ada bonus cuma-cuma yang bisa dimanfaatkan untuk bercerita lebih banyak. Dan itulah yang biasanya keluarga saya manfaatkan untuk melepas rindu dari jarak jauh. Keluarga yang susah sekali memang. Benar, tetapi itulah keluarga saya. Saya sangat menyayangi mereka. Di tengah susahnya kehidupan, mereka masih bersemangat untuk menyekolahkan saya hingga tingkat Universitas di pulau Jawa seperti impian saya semasa SMP dulu.

"Kamu ujiannya kapan?"
"Mungkin pertengahan bulan depan."
"Sampai kapan?"
"Ya, sampai akhir bulannya Bu."

Percakapan kami pendek-pendek. Sudah sangat saya pahami bahwa itu adalah salah satu dari beberapa basa-basi Ibu sebelum menuju inti dari apa yang ingin beliau bicarakan.

"Nak, liburan kemarin kamu tidak pulang, liburan ini kamu pulang dulu ya? Mungkin cuma sekali ini kamu bisa pulang sampai lulus nanti."

Ibu mulai masuk dalam topik pembicaraan. Saya yang sudah tahu tidak akan pernah diberi uang untuk membeli tiket pulang sedikit kaget.

"Kenapa? Ibu punya uang? Sayang uangnya Bu kalau dipakai buat beli tiket. Lebih baik dipakai untuk keperluan adik-adik di rumah. Saya di sini baik-baik saja."

"Tidak Nak. Liburan ini kamu harus pulang. Nggak apa-apa sekali-sekali. Ada hal yang Ayah sama Ibu harus bicarakan."

"Kenapa tidak lewat telpon saja?" 

Saya bangun dari kasur dan duduk sambil bersandar di dinding tepat di depan pintu kamar yang tertutup.

"Tidak bisa. Kita harus bicara langsung. Lagipula adik-adikmu juga sudah kangen."

Sepertinya setelah bicara Ibu langsung mengarahkan sebentar handphone ke arah kedua adik saya yang sedang bertengkar. Jelas sekali suara mereka terdengar. Seperti dulu ketika saya masih di rumah, mereka selalu meributkan film yang ingin mereka tonton di TV kecil yang dulu dibeli ayah sebelum saya masuk sekolah. Sudah lama sekali dan saya ingat betul bagaimana ceritanya sehingga TV itu bisa berada di rumah. Ayah membelinya karena keinginan saya yang kelewatan saat itu. Saya terus menangis dan meminta dibelikan TV setiap Ayah pulang kerja. Saya iri melihat teman-teman yang setiap hari menceritakan film yang mereka lihat tadi malam. Sementara saya?

Akhirnya Ayah mengajak saya ke Payakumbuh -pasar besar yang terdekat dari rumah kami dan berada di luar kota- setelah semakin hari tangis semakin memenuhi rumah, tanpa memberi tahu terlebih dahulu untuk apa kami kesana. Saya sangat kaget ketika diajak Ayah masuk ke toko eloktronik. Dan dari sana kami akhirnya membawa pulang TV terkecil dengan banderol harga termurah. Saya senang bukan kepalang. Saya lihat Ayah  tersenyum begitu TV itu terpasang di rumah dan saya menatap tanpa kedip ke layarnya. Sekali-sekali Ayah juga memeluk saya ketika kami nonton bersama, kadang juga mencium pipi dan kening saya sebagai ungkapan sayangnya kepada saya yang saat itu adalah anak satu-satunya. Baru ketika saya lulus SMA kemarin diceritakan Ibu bahwa Ayah dulu meminjam uang temannya untuk membeli TV yang saya minta. Ah, nostalgia sejenak yang mengharukan.

"Bagaimana?"

Ibu bertanya yang akhirnya membuyarkan ingatan tentang saya yang dulu tidak tahu diri.

"Terserah Ibu saja. Tapi coba dipikir lagi dulu saja, Bu. Jumlah uang untuk beli tiket itu bisa mencukupi kebutuhan adik-adik. Apakah itu tidak sayang. Saya bilang begitu bukan karena tidak mau pulang. bukan karena tidak rindu pada Ayah dan Ibu, bukan tidak ingin bertemu adik-adik. Saya bahkan sangat ingin pulang melihat kampung kita. Tapi saya tahu kondisinya sedang tidak baik."

"Makanya itu, Nak. Libur ini kamu harus pulang. Ini bertepatan sama lebaran juga. Lebaran tahun lalu kamu kan juga nggak pulang."

"Tapi Bu...."

Kata-kata saya kemudian terpotong oleh suara Ibu.

"Sudahlah, Nak. Ikuti saja kata Ibu dan Ayah. Soal biaya jangan kamu pikirkan. Pikirkan saja bagaimana nilaimu harus bagus. Nak, sekarang cuma kamu yang bisa bikin Ayah berbangga diri di depan saudara-saudaranya yang sukses. Ayah sudah terlalu sering mereka rendahkan karena kemiskinan kita. Kamulah yang saat ini harus berada di samping Ayah agar Ayah dihargai mereka-mereka yang kaya itu. Makanya ibu minta liburan ini kamu harus pulang."

Saya diam, tidak berani menyahut lagi pernyataan Ibu barusan. Tidak biasanya Ibu memanggil saya dengan sebutan Nak, apalagi setelah perkataan beliau disela beberapa kali. Biasanya ibu akan langsung meninggikan nada bicaranya jika ada yang menentang apa yang beliau ucapkan. 

"Apa yang kamu takutkan sampai tidak mau pulang?"

Ibu mulai memahami apa yang saya pikirkan. Sejujurnya saya memiliki sedikit ketakutan jika harus pulang di liburan kali ini. Begitu banyak biaya yang harus keluarga kami keluarkan sebelum dan sehabis lebaran. Dan jika saya tidak pulang, setidaknya akan menghemat beberapa Rupiah yang bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih perlu.

"Saya takut tidak balik lagi ke sini, Bu"

Tidak ada balasan dari Ibu, dan saya meneteskan air mata tanpa sadar. Yang terdengar di seberang  telepon hanyalah suara tarikan nafas ibu yang sangat dalam.

Jumat, Mei 22, 2015

Aku dan Kamu Bukanlah Kita


Siapa kita sebenarnya? Atau mungkin sedikit kuralat pertanyaan tak bertujuan yang baru saja aku lontarkan itu. Siapa aku dan kamu? Atau mungkin yang ini lebih tepat, Siapa aku dan siapa kamu? Semakin dipisah tampaknya semakin mencerminkan keadaan kita yang sebenarnya. Penggunaan kata Kita dalam pertanyaan tersebut tampaknya tidak lagi cocok, atau bahkan memang sudah tidak cocok dari awal. Mengapa aku harus meng-kita-kan aku dan kamu sementara kamu entah peduli atau tidak dengan hal itu, lalu mengapa juga aku harus meng-aku dan kamu-kan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya jika memang aku dan kamu tidak bisa saling memahami. Kita tidak mempunyai laras yang sama. Aku juga merasa kita bukanlah siapa-siapa. Hubungan jarak jauh kita yang hanya dalam lingkup kota bahkan kampus yang sama juga terasa semakin memburuk.

Sejenak, pernahkah kamu berpikir lebih jauh akan makna tentang kata 'Kita'? Aku yakin tidak. Dan sebelum kamu menjawab sudah dapat kupastikan seperti itulah kira-kira jawabanmu. Kata kita yang selama ini menggema ketika aku dan kamu bersama hanya sebuah omong kosong dan istilah penyejuk suasana saja, sejatinya agar kita terlihat lebih dekat dan lebih akrab, itu saja. Tidak dalam nyata bahwa kita yang sebenarnya adalah aku dan kamu yang benar-benar menjadi penyejuk antara satu sama lain. Semua tentang kita, kesemuanya adalah omong kosong dan bualan.

Kita, -maaf, maksudku aku dan kamu- tidaklah saling bisa mengerti dan memahami. Aku dan kamu selalu terlibat dalam kecamuk masing-masing sehingga lupa mengaplikasikan kata 'Kita' yang sudah berangsur melekat. Lewat pengertian di awal kebersamaan, aku dan kamu coba dipersempit menjadi kita, sesungguhnya adalah agar jarak yang membatas menjadi semakin pudar atau bahkan hilang sama sekali. Hanya diawal ternyata, dan tidak ada usaha lain setelah itu baik dari aku ataupun kamu, ataupun kita berdua untuk membuat batas itu semakin samar. Kita terlalu patuh pada keadaan dan terlalu takut untuk memulai. Hingga berangsur istilah 'Kita' mengelupas dan kembali ke wujut asalnya, 'Aku dan Kamu'.

Semoga kamu bisa mencerna dengan benar maksud dari setiap kata yang aku tulis. Bahwasanya selama ini aku dan kamu bukanlah kita. Lalu bagaimana saat ini, hari ini, atau hari selanjutnya? Pertanyaan yang sangat mudah untuk di jawab. "Hanya Aku dan Kamu yang akan menjawabnya di tanggal 22 untuk yang kesebelas kalinya ini."

Baik dan Sempurna


Untuk kesekian kalinya aku dibuat ternganga setelah membaca jawaban dari pesan singkatmu. Butir-butir kagum kembali menjamahi alam sadar bahwa kamu memang layak dan sangat patut untuk dipuja. Andaikan Tuhan benar-benar akan membersamakan kita dalam ikat benang kehidupan hingga tua nanti, tiada tara rasanya bahagiaku akan terlukis. Sangat sulit bertemu orang dengan watak seperti kamu memilikinya. Habis sudah kata dan kalimat untuk menghaturkan puja dan puji kepada sempurnamu yang kini singgah di hati. Tidak dapat sama sekali aku memastikan bahwa akan selalu ada kata bersama yang terus membayang diantara kita. Karena kamu bisa pergi kapan saja tanpa harus ada persoalan besar yang menjadi penyebabnya.

Jikapun kamu memang diharuskan lepas dari genggamku suatu saat nanti, sebisa mungkin ingin yang bersemayam dalam dadaku akan mencoba untuk rela. Karena aku tahu bahwa perempuan baik hanyalah tercipta untuk laki-laki yang baik pula. Dan sampai detik ini, jika berdiri dihadapanmu, kata baik atau sempurna masih terlalu jauh untuk dapat kugapai, juga masih sangat tinggi untuk coba aku jangkau. Yang berarti besar mungkinnya bahwa aku hanyalah sebagai halte dalam perjalan hidupmu. Kamu menelusuri kisah cintamu sendiri, berhenti sejenak di hatiku, lalu bergerak menjauh meninggalkan beberapa potong kenangan -yang akan membuat luka-. Pribadi yang baik masih terlalu jauh dari hadapku. Dengan kelapangan hati, ikhlas coba aku paksakan untuk rela agar bahagia yang sebenarnya dapat kita raih, meski mungkin tanpa kita saling bersentuh secara fisik.

Rabu, Mei 13, 2015

Skenario Kita -Aku dan Kamu-

Bukan hanya satu, tetapi hampir setiap mulut yang mengenal kita selalu mengatakan hal yang serupa. Meski semua muncul dari berbagai jenis dan macam kalimat, tetapi intinya tetaplah itu dan itu saja. Aku adalah seorang yang beruntung, begitu pikir mereka. Tentu saja mulut-mulut itu bisa menilai hanya dari luar, sekedar membaca dari apa yang mereka lihat, hanya menerjemahkan sesuatu yang terjadi di depan mata mereka tanpa mereka peduli bagaimana skenario sebenarnya yang mereka anggap lancar dan baik itu bisa berjalan. Aku dan kamu sangat mengetahui, ada sesuatu di balik terciptanya cerita yang tampak harmonis tanpa pernah ada goncangan masalah. Seandainya kita berdua mendengar secara langsung apa yang mereka dapat simpulkan dari semua penglihatan, aku yakin kita akan sama-sama tersenyum, kemudian saling menatap sejenak, lalu menarik napas yang sangat dalam atas kesalahan mereka dalam memberi penilaian. Benarkan? Seolah hal yang kita lakukan itu adalah kontra atas semua yang mereka lihat dan ceritakan.

Kita -mungkin lebih baik aku mengubahnya menjadi aku dan kamu- bukan tidak pernah menginjak benang kusut, dan bahkan hanya karena masalah sepele dan sangat kecil aku dan kamu menciptakan rasa kesal masing-masing yang jauh lebih rumit dari sekedar benang kusut. Bahwa bahagia yang tampak di balik damainya cerita yang aku dan kamu buat adalah sebuah topeng yang tidak sengaja terpakai. Keadaan, kesibukan, dan berbagai cerita lain di luar cinta dan kasih sayang membuat aku dan kamu seolah saling paham dan saling mengerti. Tentang bagaimana cara menjaga perasaan, bagaimana memahami keinginan masing-masing, dan bagaimana mencari jalan keluar atas keinginan yang tidak dapat kita capai, maksudku aku dan kamu. Begitukah? 

Mungkin sebagian hal benar begitu adanya. Aku dan kamu mencari jalan keluar bersama meski hanya untuk keinginan-keinginan sederhana yang tidak bisa terlaksana. Dan itu sebenarnya adalah sangat jarang terjadi. Kita punya ego yang sulit untuk di bendung -maksudku aku-. Itulah faktor yang harus bertanggung jawab atas ketidakharmonisan yang mengguncang cerita akhir-akhir ini. Entah mengapa bisa demikian, padahal hati yang isinya sudah penuh dengan namamu ini kadang tidak mau untuk bekerjasama barang sejenak. Keinginan yang dipunyainya harus terwujut. Dan tahukah kamu apa sebenarnya keinginan hati yang kadar egonya bisa berubah menjadi sangat tinggi melebihi apapun itu? 

Itulah dia pertemuan. Hanya sesederhana itu. Tidak masuk akal kadang, ketika rindu terlampau merajalelai pengertian. Meski hanya dalam pertemuan-pertemuan sederhana, tetapi itulah egoisme dari rasa yang selalu ingin bertemu. Pahamilah agak secuil, bahwasanya ketika kata rindu tiba-tiba terucap, itulah paksaan untuk bisa bertemu, sebagai bukti bahwa tidak ada permainan dalam skenario cinta yang sedang kita mainkan.

Minggu, Mei 10, 2015

Tentang Pacaran Menurut Profesor

Umurnya sudah 76 tahun ketika beliau berceramah di hadapan kami. Sudah sangat tidak muda lagi jika dilihat dari segi usia. Nyatanya jiwa dan semangatnya masihlah sangat muda, bahkan menyaingi kami yang sedang mekar-mekarnya dalam semangat menuju sukses. Kali ini beliau tidak berbicara di depan kelas seperti rutinitasnya sehari-hari. Di sebuah mesjid, Mesjid Raden Patah Universitas Brawijaya, di hadapan mahasiswa fakultas yang di ampunya beliau memberikan wejangan yang membuat beberapa hati tersentak dan mungkin ada juga yang memberontak. 

Tentang dunia Islam. Frontal di hadapan kami beliau mengatakan bahwa Islam sangatlah kaku terhadap dunia. Islam dinilai terlalu mengada-ada dan berlebihan terhadap ajaran yang bahkan sebenarnya tidak ada dalil yang mengatakan atau menyuruh untuk berlaku seperti itu. Dan yang dapat kutangkap dari sini adalah mereka yang katanya ahli kitab justru tidak bisa untuk menggunakan dan mengartikan maksud serta kandungan Al-quran dalam dunia yang sebenarnya.

Secara terbuka beliau mengatakan, Ilmu Fiqih adalah yang bertanggung jawab atas semuanya. Kebanyakan Ilmu Fiqih yang tak berdalil (dalam konteks ini dalil yang dijadikan dasar diartikan tidak berdasarkan kehidupan, melainkan hanya kata per kata) jelas dan pasti membuat Islam tidak bisa berbuat apa-apa sehingga terus terusan jalan di tempat, bahkan mungkin ada saatnya Islam malah akan berjalan mundur beberapa saat lagi. Dengan sangat sederhana dan bahasanya yang lugas, beliau memberi contoh yang membuat otak dapat mencerna dengan sangat baik maksud yang di sampaikannya dalam membuka mata manusia Islam sebagai seorang saintis.

Dalam dalil (kata beliau tidak ada) seorang wanita dan laki-laki yang bukan mukhrim tidak diperbolehkan untuk saling pandang. Lalu beliau langsung mulai dengan contohnya. Ketika dosen (dalam hal ini dosen laki-laki) menjelaskan suatu materi, ia tidak diperbolehkan untuk menatap wajah mahasiswinya. Begitu juga sebaliknya. Jika mahasiswi ingin bertanya pada dosen, dia juga tidak boleh menatapkan matanya ke wajah dosen (tentunya harus menunduk). Menurut ilmu Fiqih kedua orang tersebut bukan mukhrim sehingga tidak diperbolehkan untuk saling beradu tatap, tetapi jika diteliti dengan pikiran normal, apakah itu sopan? Jika demikian tentu antara laki-laki dan perempuan tidak akan pernah saling mengenal. Jangankan untuk saling mengenal, untuk memandang wajahnya saja sudah tidak bisa. Tidak akan ada silaturahmi antara laki-laki dan perempuan. Lalu bagaimana mereka bisa menikah nantinya? Bagaimana mereka bisa saling kenal sifat terlebih dahulu sebelum mentukan siapa calon suami dan siapa calon istri? Wong, wajah ae ora ro.

Rabu, Mei 06, 2015

Catatan Kecil di Praktikum Mahasiswa Pertanian (1)


Suasana praktikum salah satu mata kuliah di laboratorium genetika
(Genetika tanaman)
Semuanya dilakukan di luar jam kuliah. Menyita waktu di luar jam yang di agendakan akademik untuk bertatap muka dengan dosen. harusnya seratus menit dalam sehari sudah cukup untuk membuat kepala terasa sedikit oleng. Di sinilah suka duka mahasiswa pertanian diawali. Setelah mengantuk tidak karu-karuan dalam ruangan ber AC bersama 40 orang lain mendengar ceramah dosen yang sulit untuk dicerna, tidak ada kata langsung pulang, istirahat atau nongkrong di kantin sejenak untuk mahasiswa pertanian. Apalagi untuk hangout keluar seperti cafe, mall atau sekedar duduk di taman kota. Saat dosen mengakhiri ocehan ilmiahnya, ancang-ancang juga harus langsung di ambil. Tinggalkan ruangan sesegera mungkin, melangkah melewati tangga atau bahkan kadang berpindah gedung, keluarkan jas laboratorium (jas lab), dan kemudian masuk ke ruangan yang baunya sama sekali berbeda dengan ruang kuliah. Jika ada mata 7 kuliah bersama dosen, maka bersiaplah ada tambahan 7 tatap muka lagi bersama asisten

Selasa, Mei 05, 2015

? . . .


Mungkin sesungguhnya kamu tercipta sebagai peredam amarah, sebagai penyejuk hati yang sering panas, atau sebagai penjaga raga yang masih terombang ambing kesensitifan. Semua adalah hadiah luar biasa dari Tuhan dan aku sangat bersyukur atas semuanya. Dipertemukan lalu dibersamakan dalam satu jalan yang beriring senyum dan kecup. Tetapi logikaku masih takut untuk berbagi cerita. Ketidaksanggupan menjadi sandungan untuk jujur dan terbuka. Takut beberapa kali membuat lidah berubah kalu dan tidak berdaya, diikuti mata yang kemudian tidak berani menatap, dan terakhir disetujui napas yang tiba-tiba menjadi berat. Bagaimana jika di depan tatapmu aku masih dikuasai amarah dan hati yang panas? Bagaimana jikalau kacau dalam ragaku malah membuatmu meneteskan air mata? aku tidak berani membayangkannya. Aku juga tidak berani melihat ke depan dimana kita berada di persimpangan kemudian memilih jalan berbeda yang tidak akan ada temu lagi di ujungnya nanti. Sampai detik ini interval masih menjadi pilihan terbaik menurutku. Terlalu egois jika baikmu justru dijadikan pelampiasan kesal dan amarah. Meski rindu terus hadir dan kadang menyiksa, tetapi setidaknya aku tidak menghadiahkan bentakan untuk jiwamu yang lembut. Dari jauh aku masih bisa melihatmu tersenyum dan ceria meski mungkin terkadang samar. Satu kesimpulan yang tersirat dari sedikit curahanku bahwasanya aku takut kehilangan kamu akibat bodohku yang tidak bisa mengendalikan emosi.

Senin, Mei 04, 2015

Kata Sederhana

Baru saja rintiknya mereda ketika magrib mulai tiba di penghujung. Saat itu di jendela masih menempel gugusan-gugusan embun sisa hujan sore tadi. Dan aku sedang memandang satu sudut ruangan tempat berteduh. Bersama embun yang berangsur hilang di balik jendela kaca, lamun perlahan menghampiri duniaku yang sedang tanpa penguasa. Menerawang jauh melintasi batas pandang mata dan melayang menerobos butiran hujan yang kini telah berubah menjadi gerimis kecil. Beberapa hari yang lalu kata tak disangka terngiang menghujam jiwa. Bukan dari mereka ahli kehidupan, bukan juga dari mereka yang paham dan kaya pengalaman hidup. Seorang remaja beranjak dewasalah yang membuat jiwa-jiwa keropos tersentak dan kembali bergairah dengan beberapa rangkai katanya. 

Tidak satupun belahan dunia lain akan memiliki gadis serupa. Ada kata sederhana yang disampaikannya, yang bahkan ia sendiri tidak menyadari bahwa sepenggal kalimatnya itu telah mengubah (membetulkan) prinsip hidup seorang yang tengah terpuruk jiwa dan raganya. Terasa sebelumnya dalam keadaan bagaimanapun kalimat itu tidak akan mungkin muncul dari bibirnya. Tetapi nyata dan rasa tidaklah selalu bersama di setiap jalan. Tak pernah diduga, beberapa kata yang keluar dari mulutnya bermakna sangat luar biasa.

Kepada Tuhan, terima kasih telah memperkenalkan umat yang ternyata lebih dari sekedar indah. Jika boleh mengirim sebaris pinta, akan berteriak aku diantara pohon yang menjulang dan burung yang terbang menghias langit. Biarkan dia tetap di sini, biarkan dia menjadi sandaran di saat lelah melanda, biarkan dia menjadi bahu tempat bersandar ketika amarah sedang berkuasa, dan biarkan dia menjadi pelangi setelah badai menghantam cemerlangnya dunia. Biarkan bersama sampai akhirnya tanah benar-benar menjadi singgasana terakhir pelepas lelah.

Jumat, Mei 01, 2015

Mengekspos Cinta

Bolehkah berteriak kepada dunia untuk mengatakan bahwa kita adalah kekasih? Aku adalah lembaran hidupmu dan kamu adalah cerita disetiap waktuku. Dalam sadar yang kadang sebenarnya tidak disadari, kita terlihat sangat berhati-hati dalam melangkah menentukan arah. Kita diam dalam jarak ketika berdiri di depan ribuan mata. Kita berlaku bahwa inilah kita dalam jalinan cinta yang sangat biasa.

Kemudian dalam ketidakrasionalan berpikir, muncul tanya yang tidak tertuju pada siapa-siapa. Benarkah kita adalah sepasang kekasih? Apakah nyata bahwa kita sedang menjalin cinta? Apakah sebenarnya kasih sayang itu benar-benar hinggap di hati kita? Dan terus seperti itu, banyak lagi tanya-tanya tak berjawab yang keluar dari bisikan bibir. 

Dari ketidaksadaran yang mulai sadar, dari ketidakrasionalan yang mulai rasional, kita mulai mencoba menarik diri dari dunia semu tempat selama ini kita berpijak. Kita masuki alam nyata dengan sedikit kecanggungan akibat tatap mereka yang tidak sama. Kita mencoba memotong jarak, mendekat hingga hembusan napas masing-masing kita terasa meniup kelopak mata.

Ada gelagat tak biasa ketika kita mencoba untuk bersikap seperti mereka. Apa daya itu bukan fashion kita. Kita berada dalam jangkauan mahligai cinta yang sangat biasa, sangat sederhana dan apa adanya. Tidak ada yang perlu ditampilkan secara lebih, tidak ada yang perlu diekspos kepada dunia. Biarkan dunia mengerti dengan sendirinya. Bahwa dalam sederhana dan kesangatbiasaan ada ketulusan yang melandasi kita dalam berpijak.