Sabtu, Mei 30, 2015

Ingin Pulang Kampung (Bagian 3)

Saya tidak ingat persis kapan tanggal kejadiannya. Yang saya ingat ketika itu tepat setelah mengucap salam di rakaat akhir Isya. Terdengar getar dari atas meja belajar. Tempat dimana saya biasanya menaruh laptop dan handphone secara berdekatan. Sama sekali tidak ada doa yang saya panjatkan malam itu. Rindu membuat pujian kepada Tuhan menjadi tertunda beberapa saat. Dosa baru saja menghampiri, tetapi apalah yang boleh dikata, menerima telpon dari keluarga juga hal yang paling berharga untuk saat itu.

Dengan masih bersarung dan sajadah yang masih tergelar di lantai, saya raih handphone dan segera menjawab panggilan. Hening beberapa saat. Saya ucapkan salam dan halo beberapa kali. Tidak ada jawaban dari seberang. Tiba-tiba panggilan terputus. Beberapa saat ditelpon lagi, saya angkat dan barulah kali ini ada suara dari seberang sana. Dari keterangan Ibu, ternyata jaringan memang sedang tidak baik. Hujan deras sedang menghujam tanah kelahiran saya. Dari siang tadi sangat deras dan baru malam ini sedikit mereda, namun suaranya masih terdengar menyerang atap rumah. 

Hanya sebentar saya bicara dengan Ibu. Saling menanyakan kabar saja lalu Ibu menyuruh saya bicara dengan Ayah karena sedang memasak untuk makan malam. Dengan ayah juga tidak terlalu banyak yang saya bicarakan. Hanya beberapa hal tentang perkuliahan saja. Meski saya tahu beliau mungkin tidak begitu memahami seluk beluk dunia kampus karena Ayah hanya tamatan SMA jurusan Biologi -sekarang IPA-, tetapi saya tetap menjelaskannya. Ada sedikit bangga yang menyelinap dalam percakapan kami malam itu. Bangga atas raihan kami sebagai keluarga terbelakang yang sering mendapat cemooh. Bangga yang tentu saja tidak perlu kami bahas dalam kata yang mengalir di setiap ucapan. Di atas mulut-mulut mereka yang setiap saat menjatuhkan, setidaknya sebuah harapan mulai kami perlihatkan untuk menuju sukses di masa depan. Dan itu sedikit banyaknya berangsur membungkam mulut-mulut tak bertanggung jawab yang biasanya menghina kami. Malah sekarang beberapa dari mulut itu telah merubah format cemooh mereka menjadi pujian dan motivasi. 

"Kamu tidak ingin bicara dengan adik-adik?"

"Oh iya, dimana mereka?"

Ayah lalu memanggil adik saya yang perempuan. Kebetulan ketika itu dia sedang tidak membantu Ibu di dapur. Dia sangat suka memasak. Setiap hari selalu ada makanan kecil yang dibuatnya. Entah itu kue, gorengan, atau apa saja yang bisa ia kreasikan di atas wajan lalu kami santap untuk mengenyangkan perut.

"Halo Uda, lagi apa?"

"Tidak, cuma tiduran aja. Kia ujian kapan?"

"Bulan depan mid semesternya. Uda kapan pulang? Kata Ayah sama Ibu Uda harus pulang."

"Insya Allah."

Percakapan saya dan Kia, -adik perempuan saya- tidak pernah banyak. Dulu waktu kecil sebelum adik kami yang laki-laki lahir, setiap hari rumah selalu di isi dengan pertengkaran. Selalu ada hal-hal kecil yang membuat kami saling menghardik. Sering Ibu menangis dibuatnya. Hingga pernah suatu hari Ibu tidak mau pulang karena kami tidak pernah akur, kemudian beliau menginap di rumah tante kami yang tidak jauh dari sana. Namun semenjak kelahiran adik laki-laki kami, pertengkaran mulai berangsur berkurang -untuk sementara-. Rumah tidak lagi ramai. Kami terlengahkan oleh kehadiran manusia kecil yang lucu dan menggemaskan.

Hingga akhirnya kami bertambah umur dan semakin besar. Pertengkaran berangsur terjadi lagi namun kini posisinya berpindah. Kini adik perempuan dan adik laki-laki saya menjadi biang dari keramaian dalam rumah. Merekalah kini yang membuat Ibu beberapa kali meneteskan air mata. Merekalah kini yang membuat Ibu sering berdiam diri dalam kamar dan mengunci pintu.

"Uda, ini dia ingin bicara."

Dia yang dimaksud adalah adik laki-laki saya yang kini telah menginjak kelas 5 SD.

"Uda, kapan pulang lagi ke sini?" Dia berteriak sebelum handphone menempel di telinganya.

"Mungkin liburan. Kenapa?" Jawab saya singkat sekali.

"Habis lebaran Ijan mau tanding. Bawain baju Arema ya."

Saya diam sejenak. Dia kini adalah bagian inti dari Sekolah Sepak Bola (SSB) kampung kami untuk usianya. Beberapa kali si bandel ini telah bertanding keluar kota. Beberapa kali menang dan pulang dengan tawa karena berhasil memasukkan bola ke gawang lawan, Beberapa kali dia juga pulang sambil menangis karena kalah. Atau karena tidak berhasil membobol gawang lawan.

"Iya, nanti dibawain, sekalian sama slayernya."

Saya ingat betul ketika tahun lalu pulang tanpa membawa apa-apa kecuali gantungan kunci khas Malang dan satu kardus besar apel Malang. Saya ingin sekali membeli dua pasang jersey Arema untuk mereka, namun tidak jadi karena banyak pertimbangan. Dan saya sangat menyesal atas pertimbangan bodoh itu. Dulu saya sudah berniat untuk membelikan mereka seragam klub kebanggaan kota Malang tempat saya bersekolah, bahkan sudah berada di depan tokonya, tetapi batal. Saya berbalik. Alasan utamanya bukan karena saya tidak punya uang. Saya memiliki sejumlah tabungan yang dari awal memang sudah diniatkan untuk membeli oleh-oleh. Tidak banyak memang, tetapi sudah lebih dari cukup jika dibelikan beberapa pasang seragam sepak bola.

Saya sedih mengingat semuanya. Terlalu egois menjadi seorang kakak. Terlalu mementingkan diri sendiri. Saya tahu tidak akan mendapat uang jajan selama di rumah nanti. Dan dalam pikiran saya ketika itu, tabungan yang sudah saya niatkan untuk membeli oleh-oleh itu saya alihfungsikan untuk kepentingan saya nanti saat di rumah. Jahat sekali memang tetapi itulah satu dari beberapa sesal yang tidak pernah bisa saya hapus. Dimana letak jiwa saya sebagai seorang kakak saat itu? Saya mengutuki diri sendiri hingga kini. Untuk saat ini, dengan kondisi seperti sekarang, saya tidak bisa berbuat seperti dulu, jangankan membeli oleh-oleh, untuk makan saja saya kini kesulitan.

Dan satu hal yang saya dapat pelajari dari pengalaman pahit ini. Selagi bisa maka lakukanlah, apapun itu. Jangan menunggu sampai nanti karena belum tentu ada kesempatan kedua untuk hal yang sama.

"Kemaren Ijan liat foto Uda di facebook sama kakak-kakak. Itu pacar Uda?"

Saya tidak terlalu menghiraukan pertanyaan itu. Masih ada sesal yang terasa setiap kali bocah badung Ibu ini bicara. Saya ingat betul, ketika dulu saya tiba di rumah, dialah yang pertama menyambut saya di depan pintu. Bahkan dia menyambut sejak saya turun dari travel yang mengantar ke depan rumah. Kepolosannya merangkul saya dan membantu membawakan koper dan tentengan saya ke dalam rumah. Selalu dipandangnya bawaan saya yang masih tergeletak di depan TV. Jelas sekali dari wajahnya sangat berharap ada sesuatu yang bisa diterimanya untuk ia pamerkan pada teman-teman. Saya kemudian mengeluarkan apel dari kardus. Dan tampaknya dia tidak tertarik sama sekali karena memang saat itu sedang berada di bulan Ramadhan. Kemudian dari tas, saya keluarkan gantungan kunci yang jumlahnya lebih dari Sepuluh. Dia mulai tersenyum, dan menimang-nimang benda sederhana itu dengan mata yang sangat girang. Bagaimana jika seandainya saya belikan dia baju Arema untuk dipakainya ketika latihan? Pasti senangnya bukan main. Wajahnya pasti akan lebih girang dari pernah saya lihat. Sayang sekali itu tidak terjadi. Ah, sungguh seorang kakak yang gagal.

"Hahaha. Sok tau." Itu jawab saya untuk merespon pertanyaannya.

Saya sangat sadar apa yang sedang dan telah saya lakukan. Ingin sekali rasanya untuk segera menebus salah tentang harap dia yang ternyata tidak menjadi nyata. Bisa saya bayangkan bagaimana senangnya ia ketika mengiring bola dengan kaki kecil dan pendeknya itu, seandainya saja........ Ah saya menangis membayangkannya. Bagaimana jika saya yang berada di posisi dia? Akankah saya bisa menampilkan wajah riang seperti dia ketika hanya menerima hadiah kecil sementara dia berharap sangat besar?

Uang sisa yang berada dalam rekening kemudian tidak saya sentuh sama sekali. Yang sengaja saya niatkan untuk membeli oleh-oleh saya biarkan tetap berada di sana sebagai saldo. Hingga beberapa hari setelah lebaran, tanpa sepengetahuan Ibu, saya ajak kedua adik saya jalan-jalan. Kami pergi ke pasar terbesar yang ada di sana. Saya masuki beberapa toko besar. Kia masih bingung dengan semuanya, namun dia tidak banyak bicara, mengikut saja kemana saya melangkah.

"Mau beli tas?" Saya bertanya.

Dia tersenyum.

"Ayo, mau apa nggak?" Tanya saya lagi.

Dia kemudian mengangguk lalu melihat-lihat beberapa model tas yang membuatnya tertarik. Dipilihnya satu lalu dimintainya persetujuan saya. Setelah membayar, kami lanjutkan menuju toko olahraga. Saya suruh Ijan memilih sepatu bola yang sesuai dengan kakinya, berikut dengan dekker dan kaos kaki. Sementara saya melihat-lihat bola kemudian memilih satu yang berwarna orange. Tidak lama kemudian kami meninggalkan toko itu dengan membawa masing-masing satu tentengan dari sana, plus satu tentengan dari toko sebelumnya tempat Kia membeli tas.

"Kita makan dulu?" Tanya saya.

"Ayo, Ijan lapar."

"Kia juga." Keduanya berteriak senang dan mempercepat langkah menuju arah rumah makan.

Kami makan di tempat biasa Ayah atau Ibu mengajak kami makan setiap mampir di pasar itu. Dan baru sampai di rumah lagi ketika ashar menjelang.

Belum hilang sesak nafas karena lelah, Ibu langsung bertanya dengan nada yang tidak biasa ketika melihat tentengan yang kami bawa pulang.

"Ini Uda yang belikan." Jawab adik saya hampir bersamaan.

"Kamu dapat uang dari mana? Buat apa beli barang-barang itu, ha? Yang lama kan masih bisa mereka pakai !!!"

"Ini tabungan saya selama di Malang" Saya menunduk.

"Ngapain beli barang-barang ini segala??! Mikiiir!!! Kamu itu punya banyak keperluan. Tiketmu, uang kuliahmu, kost mu yang harus Ibu bayar. Belum lagi keperluan-keperluan lain kamu untuk kuliah. Mengapa kamu tidak gunakan otak sedikit saja??!!! Kamu habiskan uangmu buat barang-barang yang belum perlu. Sepatu bola adikmu masih bagus. tasnya juga belum rusak dan masih bisa dipakai. Percuma Ayah dan Ibu menyekolahkanmu ke Jawa kalau otakmu tidak bisa kamu gunakan. Jalankan sedikit isi kepalamu.!!"

Saya hanya diam saja di dekat pintu. Sementara ibu masih terus dengan ocehan dan amarahnya hingga hampir satu jam menceramahi saya. Saya lihat kedua adik saya menunduk sambil kedua tangan mereka menggenggam erat tentengan belanjaan mereka.

"Balikin lagi ke tokonya sekarang !!!" Teriak Ibu dengan amarah bernada tinggi di akhir kalimatnya, kemudian beliau langsung menuju dapur.

Saya lihat kedua adik saya menggenggam semakin erat belanjaan mereka yang masih berada dalam kresek itu. Seolah tidak ikhlas jika barang itu harus di lepas lagi ke tokonya sesuai perintah Ibu. Dilihatnya saya yang masih terpaku di dekat pintu dengan sudut mata mereka yang sangat tajam.

Sempat saya perhatikan mereka bertatap-tatap beberapa kali lalu bergerak mendekat ke arah saya.

"Ayo Uda, kita balikin saja ke tokonya. Ibu marah." Suara polos Ijan -yang saat itu masih kelas 4 SD- terdengar gemetar.

"Iya, balikin saja Da." Sambung Kia sambil terisak.

Keduanya menangis. Saya sangat iba melihat mereka. Tidak seharusnya Ibu bicara seperti itu ketika ada mereka. Jikapun Ibu marah pada saya, seharusnya tidak di depan mereka. Bisa dibicarakan saat mereka tidak ada. Itu secara psikologis telah mengganggu mental kedua adik saya. Untuk hari itu, saya benar-benar tidak ingin menyapa Ibu.

"Sudah, tidak usah. Simpan saja dulu dalam lemari." Kata saya.

"Tapi Ibu marah." Keduanya berkata sambil terisak. Dan saya sangat tidak tega melihatnya.

"Sudahlah, taruh di lemari. Itu sudah jadi milik kalian." Saya perintahkan keduanya meletakkan barang mereka.

Mereka menurut saja namun isak tangis masih saja tetap terdengar.

Malam itu tidak ada acara makan malam bersama. Kedua adik saya tidak keluar kamar sejak saya suruh meletakkan barang belanjaan mereka. Tidak ada yang mau keluar kamar dan bertemu dengan Ibu. Takut kalau-kalau Ibu tiba-tiba memarahi mereka. Saya akhirnya makan lebih dulu. Kemudian di susul Ayah. Sementara Ibu masih terlihat marah dan tidak mengiraukan saya sama sekali.

Setelah agak malam saya masuki kamar dimana mereka berdiam diri, ternyata belum tidur. Dan sepertinya keduanya sedang lapar tapi masih takut untuk keluar. Saya ambilkan nasi beserta lauknya. Dengan rakus mereka menghabiskan nasi satu piring dengan sangat cepat. Namun terlihat jelas bahwa sampai saya masuk, mereka masih menangis. Air mata keduanya masih menggenang di kelopak mata masing-masing. Saya membelai lembut kepala adik-adik saya yang sedang dilanda ketakutan hingga mereka tertidur, hingga saya juga tertidur. Dan akhirnya malam itu kami tidur bertiga dalam satu kamar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar