Minggu, Mei 10, 2015

Tentang Pacaran Menurut Profesor

Umurnya sudah 76 tahun ketika beliau berceramah di hadapan kami. Sudah sangat tidak muda lagi jika dilihat dari segi usia. Nyatanya jiwa dan semangatnya masihlah sangat muda, bahkan menyaingi kami yang sedang mekar-mekarnya dalam semangat menuju sukses. Kali ini beliau tidak berbicara di depan kelas seperti rutinitasnya sehari-hari. Di sebuah mesjid, Mesjid Raden Patah Universitas Brawijaya, di hadapan mahasiswa fakultas yang di ampunya beliau memberikan wejangan yang membuat beberapa hati tersentak dan mungkin ada juga yang memberontak. 

Tentang dunia Islam. Frontal di hadapan kami beliau mengatakan bahwa Islam sangatlah kaku terhadap dunia. Islam dinilai terlalu mengada-ada dan berlebihan terhadap ajaran yang bahkan sebenarnya tidak ada dalil yang mengatakan atau menyuruh untuk berlaku seperti itu. Dan yang dapat kutangkap dari sini adalah mereka yang katanya ahli kitab justru tidak bisa untuk menggunakan dan mengartikan maksud serta kandungan Al-quran dalam dunia yang sebenarnya.

Secara terbuka beliau mengatakan, Ilmu Fiqih adalah yang bertanggung jawab atas semuanya. Kebanyakan Ilmu Fiqih yang tak berdalil (dalam konteks ini dalil yang dijadikan dasar diartikan tidak berdasarkan kehidupan, melainkan hanya kata per kata) jelas dan pasti membuat Islam tidak bisa berbuat apa-apa sehingga terus terusan jalan di tempat, bahkan mungkin ada saatnya Islam malah akan berjalan mundur beberapa saat lagi. Dengan sangat sederhana dan bahasanya yang lugas, beliau memberi contoh yang membuat otak dapat mencerna dengan sangat baik maksud yang di sampaikannya dalam membuka mata manusia Islam sebagai seorang saintis.

Dalam dalil (kata beliau tidak ada) seorang wanita dan laki-laki yang bukan mukhrim tidak diperbolehkan untuk saling pandang. Lalu beliau langsung mulai dengan contohnya. Ketika dosen (dalam hal ini dosen laki-laki) menjelaskan suatu materi, ia tidak diperbolehkan untuk menatap wajah mahasiswinya. Begitu juga sebaliknya. Jika mahasiswi ingin bertanya pada dosen, dia juga tidak boleh menatapkan matanya ke wajah dosen (tentunya harus menunduk). Menurut ilmu Fiqih kedua orang tersebut bukan mukhrim sehingga tidak diperbolehkan untuk saling beradu tatap, tetapi jika diteliti dengan pikiran normal, apakah itu sopan? Jika demikian tentu antara laki-laki dan perempuan tidak akan pernah saling mengenal. Jangankan untuk saling mengenal, untuk memandang wajahnya saja sudah tidak bisa. Tidak akan ada silaturahmi antara laki-laki dan perempuan. Lalu bagaimana mereka bisa menikah nantinya? Bagaimana mereka bisa saling kenal sifat terlebih dahulu sebelum mentukan siapa calon suami dan siapa calon istri? Wong, wajah ae ora ro.

Lalu beliau membahas hal yang lebih kekinian, tentang pacaran. Tidak ada dalam islam istilah pacaran, itu adalah sebuah sifat dan prilaku yang mendekati zina, haram hukumnya bagi umat muslim untuk mendekati yang namanya pacaran, apalagi melakukannya. Begitu dalil-dalil yang sering singgah di telingaku. Kemudian dengan bahasa anak mudanya sang Profesor bicara dengan sangat santai. "Tidak ada alasan bagi laki-laki dan perempuan untuk tidak saling mengenal. Kita diharuskan untuk saling menjaga silaturahmi dan tidak tertutup kemungkinan dengan lawan jenis. Tidak ada sekat yang membatasi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki perlu mengenal wanita terlebih dahulu sebelum ia jadikan istri, pun begitu juga dengan para wanita. Perlu mempelajri laki-laki yang akan menjadi imamnya. Jika tidak demikian bagaimana mungkin akan terjadi suatu ikatan pernikahan yang baik jika sebelumnya mereka sama sekali tidak saling mengenal? "Tetapi ya caranya bukan seperti yang kalian lihat di luar sana" begitu kata beliau memberikan sedikit gambaran yang lebih nyata tentang maksud pacaran yang dijelaskannya

Seorang mahasiswa (temanku yang berbasis rohis dan pelajar fiqih yang sangat anti dengan pacaran dan sejenisnya) bertanya setelah penjelasan Profesor tentang pacaran yang terjadi sekarang dengan pacaran secara islam yang baru beliau terangkan. Mungkin dia agak tersinggung, wajahnya sedikit menantang ketika akan bertanya dan nadanya memiliki beberapa tekanan pada beberapa kata yang menjadi titik berat pertanyaannya.  "Apakah islam memperbolehkan umatnya untuk pacaran?" 

Sang profesor tersenyum seolah mengerti apa yang ada dalam kepala mahasiswanya lalu balik bertanya. "Apakah saudara mengerti makna dan konotasi pacaran itu seperti apa?" tanpa menunggu seorangpun menjawab, sang Profesor melanjutkan. "Pacaran yang kamu lihat sekarang ini, yang ada di luar sana, jelas saja sangat tidak diperbolehkan Islam. Lalu yang diperbolehkan itu seperti apa? Ketahuilah, dan cerna secara baik bahwa pacaran berarti saling mengenal, saling menjaga silaturahmi dengan lawan jenis. jangan kalian samakan dengan pacaran yang ada di luar sana. Yang sudah seperti suami istri di depan umum. Itu jelas haram. Islam itu tidak begitu. Jangan membodohi diri sendiri dengan ajaran-ajaran Fiqih yang mengikat untuk tidak bisa berkembang. Semua dalam Al-quran kan sudah di jelaskan. Manfaatkanlah, itu adalah petunjuk Allah untuk kita hidup di muka bumi. Tidak hanya sekedar menyembah, kita juga diharuskan untuk mengelola hasil ciptaannya dengan baik, termasuk bagaimana menjaga hubungan dengan sesama. Jadi maknai dulu dan luruskan pengertian pacaran yang selama ini mungkin keliru, bahwa pacaran berarti mengenal satu sama lain, bukan pacaran pegangan tangan, pelukan, dan cumbuan di depan umum seperti yang anda-anda semua lihat, mungkin juga anda lakukan. Sekali lagi, itu jelas haram."

Itu adalah satu dari beberapa serangan profesor agar mahasiswa yang kini berada dalam lingkup teknologi dan sains, tidak memperbodoh diri sendiri dengan agama yang dianut. Islam sudah memberi dua petunjuk Al-quran dan Hadist untuk mengelola bumi, hubungan dengan sesama kemudian bagaimana cara bersyukur atas semua nikmat yang Allah berikan. Hanya saja dengan Ilmu Fiqih oleh penganut islam yang kolot dan tidak mau berkembang, terlalu terpaku pada setiap kata yang tertera menjadikan agama seolah persempitan ruang untuk berkarya.

Beliau berhenti sejenak, meneguk air hangat yang disediakan panitia, tidak sengaja mataku menuju seorang yang duduk di samping meja kecil di depan sana, beliau adalah moderator pada acara pagi ini, sekaligus dosen Pendidikan Agama Islam yang mengajar di kelas temanku. Wajahnya tampak datar dan sedikit berkerut di kening ketika kami tertawa sambil membenarkan beberapa omongan profesor. Aku sangat mengerti bagaimana situasi yang sedang terjadi. Dosen tersebut adalah orang yang sangat menentang segala macam yang berhubungan dengan pacaran. Sering kali di depan kelas beliau berkoar, tinggalkan pacaran karena itu adalah bagian dari zina. Tidak hanya itu, tentang tatap antar lawan jenis juga tak luput dari perhatiannya. Baginya itu adalah dosa. Beliau menerangkan berdasarkan dalil bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh saling menatap. Itu juga merupakan sebuah dosa. Karena menurut beliau dan dalilnya, tatapan mampu menyiratkan getaran yang akan membuat baik laki-laki ataupun perempuan tergoda hasratnya.

Gampangnya, kedua orang tersebut memiliki paham yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Lalu mana yang akan dan harus diikuti oleh mahasiswa yang bergelut dalam dunia ke-modern-an? Haruskah mendengar dan mengikuti perintah islam yang keras? Atau kita harus terbuka dengan semua globalisasi dalam konteks penyaringan? Haruskah kita terus berjalan dalam kompas ilmu Fiqih yang terkesan memaksa dan banyak aturan terhadap manusia Islam, sementara Allah telah menjelaskan berkali-kali bahwa islam adalah agama yang mudah? Atau kita mencoba untuk mulai berpikir, perlahan membuka mata dengan lebar melihat cakrawala dunia. Apakah Islam sekeras itu sampai membuat sekat yang sangat jelas antara kaum Adam dan Hawa? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar