Minggu, Mei 24, 2015

Ingin Pulang Kampung (Bagian 1)

Momen yang mereka maksud (mungkin) hanya terjadi sekali setahun dan biasanya itu adalah momen yang di tunggu banyak orang dengan jutaan suka cita di dalamnya. Seorang perantau seperti saya adalah salah satu yang sangat menunggu momen besar seperti itu. Meski pulang belum membawa apa-apa kecuali rindu dan beberapa potong pakaian yang sudah lusuh, -bahkan selembar ijazah pun belum- momen sekali setahun ini selalu menghadirkan cerita berbeda di setiap detiknya. Melepas rindu dalam pelukan orang tersayang, berbagi cerita sedih dan bahagia selama berada di tanah orang. Kemudian mendengar cerita tentang kampung halaman yang lama ditinggalkan. Juga bertemu beberapa kawan lama yang tetap setia menunggu ataupun mereka yang kebetulan punya kesempatan untuk kembali mengunjungi tanah kecil mereka.

Kembali kepada saya yang kini sedang berada di tanah perantauan, berkutat dengan tugas akhir dan bersiap menghadapi Ujian Akhir Semester, garis akhir dimana setelah itu ada waktu jeda untuk beristirahat sejenak melupakan tugas kuliah beserta tetek bengek kesibukannya. Ada waktu untuk sekedar tidur di kamar, atau jalan-jalan ke tempat wisata atau ke kota terdekat -Memangnya saya punya banyak uang untuk menghabiskan liburan dengan jalan-jalan? Bisa makan dua kali sehari saja sudah sangat syukur-, atau mungkin pulang kampung? Ekhm, saya tidak pernah berpikir untuk pulang kampung ketika libur tiba. Biayanya terlalu besar.

Biasanya jika libur akhir semester selalu saya gunakan untuk sekedar istirahat dan tidur saja di kamar, atau paling tidak jalan-jalan sendirian di sekitar kampus untuk menikmati bebas yang waktunya sangat terbatas. Saya bukan mahasiswa berkantong tebal sehingga sering tidak bisa ikut teman untuk jalan-jalan.

Saat itu saya sedang tiduran di kamar, baru selesai mandi dan merebahkan badan sebentar untuk mengusir lelah sebelum kembali mengerjakan tugas. Handphone jadul pemberian abang sepupu tiba-tiba bergetar di atas meja. Ibu menelpon. Sedikit saya ceritakan bahwa keluarga di kampung sangat jarang menelpon saya. Bukan karena mereka sibuk atau tidak peduli, ini adalah tentang masalah ekonomi. Sejujurnya, untuk membeli pulsa yang harganya kurang dari Rp 10.000,- saja agar bisa mendengar suara saya, Ibu dan Ayah harus berpikir dua kali. Begitu sulitnya keluarga saya ketika itu hingga untuk sekedar melepas sedikit rindu -bahkan hanya lewat suara saja- harus dengan perhitungan yang matang. Ada baiknya kadang uang sejumlah itu digunakan untuk jajan adik saya setiap pergi sekolah.

"Nak, kamu sedang apa?" begitu ibu awalnya menyapa setelah mengucap salam.
"Baru pulang, Bu. Tadi ada kuliah malam" Begitu jawab saya singkat.

Saya tahu, jika Ibu sudah menelpon, pasti ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakannya. Tidak hanya satu, biasanya Ibu mengumpulkan beberapa cerita terlebih dahulu sebelum menelpon, tentunya untuk menghemat pengeluaran -membeli pulsa- karena jika menelpon lama, tentunya akan ada bonus cuma-cuma yang bisa dimanfaatkan untuk bercerita lebih banyak. Dan itulah yang biasanya keluarga saya manfaatkan untuk melepas rindu dari jarak jauh. Keluarga yang susah sekali memang. Benar, tetapi itulah keluarga saya. Saya sangat menyayangi mereka. Di tengah susahnya kehidupan, mereka masih bersemangat untuk menyekolahkan saya hingga tingkat Universitas di pulau Jawa seperti impian saya semasa SMP dulu.

"Kamu ujiannya kapan?"
"Mungkin pertengahan bulan depan."
"Sampai kapan?"
"Ya, sampai akhir bulannya Bu."

Percakapan kami pendek-pendek. Sudah sangat saya pahami bahwa itu adalah salah satu dari beberapa basa-basi Ibu sebelum menuju inti dari apa yang ingin beliau bicarakan.

"Nak, liburan kemarin kamu tidak pulang, liburan ini kamu pulang dulu ya? Mungkin cuma sekali ini kamu bisa pulang sampai lulus nanti."

Ibu mulai masuk dalam topik pembicaraan. Saya yang sudah tahu tidak akan pernah diberi uang untuk membeli tiket pulang sedikit kaget.

"Kenapa? Ibu punya uang? Sayang uangnya Bu kalau dipakai buat beli tiket. Lebih baik dipakai untuk keperluan adik-adik di rumah. Saya di sini baik-baik saja."

"Tidak Nak. Liburan ini kamu harus pulang. Nggak apa-apa sekali-sekali. Ada hal yang Ayah sama Ibu harus bicarakan."

"Kenapa tidak lewat telpon saja?" 

Saya bangun dari kasur dan duduk sambil bersandar di dinding tepat di depan pintu kamar yang tertutup.

"Tidak bisa. Kita harus bicara langsung. Lagipula adik-adikmu juga sudah kangen."

Sepertinya setelah bicara Ibu langsung mengarahkan sebentar handphone ke arah kedua adik saya yang sedang bertengkar. Jelas sekali suara mereka terdengar. Seperti dulu ketika saya masih di rumah, mereka selalu meributkan film yang ingin mereka tonton di TV kecil yang dulu dibeli ayah sebelum saya masuk sekolah. Sudah lama sekali dan saya ingat betul bagaimana ceritanya sehingga TV itu bisa berada di rumah. Ayah membelinya karena keinginan saya yang kelewatan saat itu. Saya terus menangis dan meminta dibelikan TV setiap Ayah pulang kerja. Saya iri melihat teman-teman yang setiap hari menceritakan film yang mereka lihat tadi malam. Sementara saya?

Akhirnya Ayah mengajak saya ke Payakumbuh -pasar besar yang terdekat dari rumah kami dan berada di luar kota- setelah semakin hari tangis semakin memenuhi rumah, tanpa memberi tahu terlebih dahulu untuk apa kami kesana. Saya sangat kaget ketika diajak Ayah masuk ke toko eloktronik. Dan dari sana kami akhirnya membawa pulang TV terkecil dengan banderol harga termurah. Saya senang bukan kepalang. Saya lihat Ayah  tersenyum begitu TV itu terpasang di rumah dan saya menatap tanpa kedip ke layarnya. Sekali-sekali Ayah juga memeluk saya ketika kami nonton bersama, kadang juga mencium pipi dan kening saya sebagai ungkapan sayangnya kepada saya yang saat itu adalah anak satu-satunya. Baru ketika saya lulus SMA kemarin diceritakan Ibu bahwa Ayah dulu meminjam uang temannya untuk membeli TV yang saya minta. Ah, nostalgia sejenak yang mengharukan.

"Bagaimana?"

Ibu bertanya yang akhirnya membuyarkan ingatan tentang saya yang dulu tidak tahu diri.

"Terserah Ibu saja. Tapi coba dipikir lagi dulu saja, Bu. Jumlah uang untuk beli tiket itu bisa mencukupi kebutuhan adik-adik. Apakah itu tidak sayang. Saya bilang begitu bukan karena tidak mau pulang. bukan karena tidak rindu pada Ayah dan Ibu, bukan tidak ingin bertemu adik-adik. Saya bahkan sangat ingin pulang melihat kampung kita. Tapi saya tahu kondisinya sedang tidak baik."

"Makanya itu, Nak. Libur ini kamu harus pulang. Ini bertepatan sama lebaran juga. Lebaran tahun lalu kamu kan juga nggak pulang."

"Tapi Bu...."

Kata-kata saya kemudian terpotong oleh suara Ibu.

"Sudahlah, Nak. Ikuti saja kata Ibu dan Ayah. Soal biaya jangan kamu pikirkan. Pikirkan saja bagaimana nilaimu harus bagus. Nak, sekarang cuma kamu yang bisa bikin Ayah berbangga diri di depan saudara-saudaranya yang sukses. Ayah sudah terlalu sering mereka rendahkan karena kemiskinan kita. Kamulah yang saat ini harus berada di samping Ayah agar Ayah dihargai mereka-mereka yang kaya itu. Makanya ibu minta liburan ini kamu harus pulang."

Saya diam, tidak berani menyahut lagi pernyataan Ibu barusan. Tidak biasanya Ibu memanggil saya dengan sebutan Nak, apalagi setelah perkataan beliau disela beberapa kali. Biasanya ibu akan langsung meninggikan nada bicaranya jika ada yang menentang apa yang beliau ucapkan. 

"Apa yang kamu takutkan sampai tidak mau pulang?"

Ibu mulai memahami apa yang saya pikirkan. Sejujurnya saya memiliki sedikit ketakutan jika harus pulang di liburan kali ini. Begitu banyak biaya yang harus keluarga kami keluarkan sebelum dan sehabis lebaran. Dan jika saya tidak pulang, setidaknya akan menghemat beberapa Rupiah yang bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih perlu.

"Saya takut tidak balik lagi ke sini, Bu"

Tidak ada balasan dari Ibu, dan saya meneteskan air mata tanpa sadar. Yang terdengar di seberang  telepon hanyalah suara tarikan nafas ibu yang sangat dalam.

2 komentar: