Rabu, Oktober 28, 2015

Tahanan Luar

Seandainya. . . Seandainya. . . Dan seandainya . . .

Ratusan kisah lain pasti akan hadir, ribuan harapan baru mungkin akan tercipta, dan jutaan keceriaan seolah berada di depan mata saat cinta seorang perempuan tertambat pada karisma cinta lelaki desa yang terdampar di kotanya. Kecil, sejuk dan padat oleh manusia. Begitu wujud kota yang telah memberi wadah tempat kelahirannya, juga telah menjadi saksi bisu pertambahan usianya hingga kini tiba saatnya dia akan memasuki kepala dua. 

Saat itulah cinta mulai menarik hati di antara kungkungan keluarga yang kadang dirasanya cukup menyiksa. Tiada kebebasan nyata pernah dirasakannya di tahun kesembilan belasnya merasakan udara dunia. Meski fasilitas tercukupi, juga luar negeri pernah dia datangi tetap saja ada yang kurang dalam hidupnya. Merasa seolah kota sendiri bagai penjara yang selalu mengintai akibat rasa sayang dan penjagaan keluarga yang dinilainya berlebihan.

Hatinya memberontak meski tak pernah terucap. Kebebasan ingin dirasakannya, menjadi 'tahanan luar' adalah kehidupan yang sebenarnya bukan menjadi pilihannya. Tapi dia putuskan untuk diam dan memahami saja apa yang sebenarnya mereka lakukan. Dipikirnya ada kebaikan di balik rasa terkurungnya di tanah sendiri. Walaupun iri melihat kawan yang bebas kesana-kemari seringkali memudarkan prasangka baiknya.

Harus ada yang menyadari bahwa usianya tidak lagi terlampau kanak-kanak. Sudah saatnya seseorang dia perkenalkan pada rumah dan seisinya. Yang dapat dipercaya menjaga dan mengawasinya saat bersentuhan dengan debu-debu kota di luar sana. Yang akan mempersuntingnya kelak dan membawanya berlalang buana menjemput masa muda yang berlalu tanpa sempat dia rasa.

Yang akan diperkenalkannya adalah dia, laki-laki yang sama sekali tidak menarik saat pertama dilihatnya, namun tiba-tiba ia jatuh hati. Ucapan lelaki itu menusuk relung rindunya kata demi kata. Memberinya harap dan menggugah jiwanya di suatu penghujung senja.

Selamat sore gadis kota yang sedang termenung. Berikan telingamu dan akan kusampaikan sesuatu lewat bisikan. Kau pasti akan tersenyum mendengarnya :)

Sabtu, Oktober 24, 2015

Memaksa Tetap Tinggal

Stasiun Malang Kota Baru. Akses keluar dan masuk kota Malang menggunakan jalur kereta api
Stasiun itu selalu terasa mengumbar rona yang muram dalam cuaca yang cerah sekalipun. Aura sedih ditampilkannya tatkala tulisan besar di bagian atapnya terbaca oleh mata. Seolah ada perpisahan teramat jauh bersamaan dengan rindu yang sedang menjadi-jadi. Dan hari-hari terakhir ini rona itu semakin nyata terlihat. Ada daya tarik baru yang membuat kota ini sama sekali tidak layak untuk ditinggalkan. Ada pekerjaan terbengkalai yang mesti diselesaikan agar perasaan nyaman dapat hinggap saat memasuki stasiun berusia tua itu.

Kota yang menjadi wadah menuntut ilmu, kota tempat mengejar impian, kota yang menjadi jalur menuju sukses masa depan, dan kota tempat bertemu seorang gadis yang meramaikan hati. Semuanya terangkum dalam suatu ketidakinginan untuk beranjak dari kota ini dalam waktu dekat. Terlalu memberi pesona dalam perjuangan yang terus menerus memberi air mata dalam ketegaran.

Kota sejuk yang kian memanas. Itulah julukan terbaru yang secara tidak langsung telah tersemat di usianya yang kini telah melebihi satu abad. Kota kedua tempat berproses dan melanjutkan naskah kehidupan. Kota yang rupanya sangat tepat dijadikan persinggahan yang bahkan akhirnya memaksa untuk tetap bertahan.

Dari semua alasan untuk tetap tinggal, cintalah yang membuat kota ini menempelkan tanahnya begitu rekat di telapak kaki. Cintalah yang membuat stasiun sebagai akses menuju luar terasa muram dan sedih. Cinta jugalah yang memberi kekuatan dan meyakinkan hati bahwa pintu menuju sukses itu ada di salah satu sudut di kota ini. Lalu seperti apa wujud cinta yang ternyata demikian hebat pengaruhnya itu?

Seperti seorang perempuan anggun yang berjalan di pinggir taman dengan diterangi sorotan lampu yang mengarah padanya, seperti itulah wujud cinta yang terus menerus membisikkan 'tidak perlu meninggalkan kota ini, meski bukan surga namun semuanya telah tersedia di sini, termasuk cinta yang indah dan setia'


Jejak

Satu kejadian menimbulkan perkara untuk jangka waktu yang ternyata lama. Ada sisi lain yang mengisahkan bahwa ini tidak berakhir begitu saja. Ada jejak yang tertinggal di beberapa hari setelah 3 bulan menyatukan hati, pikiran, dan tenaga. Entah sengaja atau tidak, jejak itu semakin menampakkan bekas di akhir perjalanan yang tidak lagi bisa diteruskan. Perpisahan harus terjadi dan kembali ke rutinitas awal harus dilakoni. 

Lalu, jejak yang bagaimana yang sebenarnya masih tertinggal? Pertanyaan ini tidak harus terpublikasi karena beberapa kepala sudah mengerti sejauh mana maksud dari pertanyaan itu. Tanyakan saja pada mereka yang berlaku aneh setelah 3 bulan ini, karena sejatinya merekalah yang benar-benar memahami jejak seperti apa yang masih belum hilang.

Tidak perlu diumbar meskipun orang-orang menggolongkannya dalam kabar gembira, tidak perlu memberitahu yang tidak tahu karena nanti dengan sendirinya mereka akan mengerti apa yang telah dihasilkan oleh kegiatan melelahkan ini. Tidak ada yang sia-sia meski letih telah menyentuh urat saraf di penjuru tubuh. Tidak juga ada yang tidak berguna karena pengalaman telah memaksa untuk bersikap dan berproses lebih baik sebagai pelajaran untuk masa depan.

Secara kebersamaan dan banyak kepala telah kita akhiri semua ini. Kita tutup buku dan mendokumentasikannya untuk dikenang oleh generasi selanjutnya. Kita tulis kejadian yang pernah terjadi selama 3 bulan persiapan kita, Perkenalan, penyatuan, selisih paham, ketidaksetujuan, pertengkaran, emosional, penyelesaian masalah dan lain sebagainya kita rangkum dalam sebuah kisah yang suatu saat akan menjadi sejarah. Juga tentang cinta yang akhirnya mekar saat dua hati tak sengaja bertemu dalam caruk maruk puluhan kepala.




Rabu, Oktober 21, 2015

Persepsi Mereka

Hai kawan, lama kita tidak terbenam dalam keakraban seperti malam ini. Lama kita tak berjumpa karena jalan yang tidak sama saat kita dulu bicara tentang cinta. Banyak tawa diantara kita malam ini dan melahirkan anggapan kecil diantara mereka. Hanya kita yang tahu bagaimana sebenarnya kita. Banyak yang tidak seimbang antara yang kita rasa dengan persepsi mereka tentang kita. Biarkan saja.

Tentang masa lalu kita, anggapan mereka masih berkata bahwa ada episode atau season selanjutnya tentang kita ketika melihat akrab yang tidak biasa dan berbeda dari yang lain. Juga sikap kita terhadap satu sama lain yang terkesan terlalu peduli dan sedikit menspesialkan. Hanya naluri sebenarnya yang memaksa untuk kita saling memberi perhatian yang lebih. Berstatus sebagai kawan, tidak bisa dipungkiri bahwa ada hal yang pernah kita alami dan mereka tidak merasakannya. Rasa itu muncul untuk memberi perhatian yang sedikit berbeda.

Cukup kita sama-sama pahami dan biarkan mereka tetap dengan anggapan dan jutaan persepsi tentang kita, kenyataanya semua itu hanya terjadi malam ini saja karena kita sekarang terbatas oleh seseorang yang ada di sisi kita masing-masing. Kejadian lama biarkan mengapung dalam ingatan. Kita tidak akan pernah memulai kembali, tetapi saling menghargai akan apa yang pernah terjadi lalu menghormati langkah kita saat ini.
.

Selasa, Oktober 13, 2015

Publikasi Dalam Cerita

Aku menunggu namun bukan menunggumu untuk menjawab ungkapan sayangku karena itu sudah sering kamu lakukan. Aku sedang menunggu sesuatu hal yang mungkin sangat sepele jika kita angkat sebagai topik dalam pembicaraan yang lagi pula nantinya dapat dipastikan akan kembali bermuara pada pertengkaran. Aku menunggu yang akhirnya terpaksa ku ungkap dalam bentuk tanya yang mungkin tidak akan pernah aku tayangkan secara gamblang di hadapanmu. Kapan kamu akan mempublikasikannya? Tahulah dirimu apa yang sebenarnya aku maksud dan ke arah mana aku menuju. Dan aku juga tidak perlu membahas ini jika nanti bertemu denganmu.

Dalam keadaan begini aku masih berusaha untuk membuat jiwa bersikap setenang mungkin meski hati sedikit bergejolak karenanya. Aku mempercayaimu tetapi dalam beberapa keadaan aku juga memerlukan beberapa bukti kuat untuk menyempurnakan yakin dan percayaku.

Entahlah. Ini sejatinya bukan masalah besar namun justru hal ini telah sedikit menggoreskan keraguan yang membuatku yakin bahwa ada hati yang masih kamu jaga nun jauh di sana, di suatu tempat yang tidak aku ketahui dan tidak aku kenali. Aku hanya berharap bahwa ini adalah kesalahan besar dalam prasangkaku terhadap sikapmu. Perlu diketahui dan diingat lagi bahwa perihal tempo hari bisa saja terulang kembali karena banyak yang tidak memahami siapa kita. 


Rabu, Oktober 07, 2015

Komitmen di Jalan Berlubang

Sudah kita khatamkan jalan ini berikut dengan sebagian besar lubang penyandung yang ada di dalamnya. Kita pahami setiap sisinya yang rusak, lalu kita tawarkan cerita untuk memperbaikinya. Kita langkahkan kaki terus ke sana hingga melihat lubang-lubang baru yang bersiap menjadi penyandung untuk kesekian kali. Apakah ada yang salah?

Tidak. Tidak ada yang salah kecuali hal apa yang tengah kita pikirkan. Jalan berlubang tiada memiliki salah sama sekali. Kita berjalan berdampingan melewati setiap lubang penyandung namun kita tidak punya tujuan untuk apa hal itu kita lakukan. Kita hanya melewati hari seperti mereka melewati hari tanpa ada goal nyata di suatu hari. Untuk apa saling berbagi dan mengerti, menghabiskan waktu di jalanan berlubang, jikapun nantinya di persimpangan kita akan berpisah mencari jalan masing-masing karena komitmen yang tidak pernah kita bangun. Itulah bentuk kesalahan yang terjadi dan tidak kita sadari.

Mari kita luangkan waktu untuk bicara akan hal ini. Kita koyak habis kulit-kulit perjalanan cinta yang selama ini telah kita lewati, lalu kita temukan satu tujuan kecil di dalamnya. Bukan bermaksud mendahului takdir, namun usia yang kini mengalung sudah mulai meronta. Memaksa kita memiliki tujuan yang memang seharusnya sudah kita tetapkan. Daripada membuang banyak waktu dan kenangan dalam kebersamaan yang fana, ada baiknya kita rumuskan sebuah masa depan yang serius dan cemerlang, melewati beberapa detik kesusahan sebelum akhirnya kita berada di istana kehidupan yang nyaman dan menyenangkan bernama keluarga.



Senin, Oktober 05, 2015

Cinta dalam Panitia


Kamera SLR yang disandangnya masih mengalung di leher yang tampak jenjang strukturnya meskipun ditutupi kerudung. Almamater kesayangan juga membalut bagian atas tubuhnya dengan 2 buah kancing yang dibiarkan lepas. Kadang dia terlihat memakai kacamata dan kadang kala kacamatanya itu hanya tergeletak tidak jauh dari ubun-ubunnya.

Ini bukan kepanitian pertama tempat kami dibersamakan. Pernah juga beberapa bulan yang lalu, namun saat itu masih terlalu polos dan masih terlalu kaku untuk bicara mengenai cinta dalam kepanitiaan.  Hanya sekedar saling mengetahui, bahkan untuk saling kenal pun tidak. Dia adik tingkatku dan kami sering bertemu di kantin namun tidak pernah saling menyapa sebelumnya. Dia beberapa kali tertangkap menatapku dan aku beberapa kali tertangkap menatapnya, sehingga beberapa kali pula tatapan kami sempat beradu pandang. Sayangnya tidak ada reaksi yang terjadi. Tidak ada senyum ataupun sapa yang menjembatani perkenalan. Hingga akhirnya kepanitiaan kali ini memulai rangkaian pertama acaranya. 

Dia sedang berjalan di lorong antara dua ruangan panjang di lantai 3 menuju tangga. Jalannya yang khas  dengan mudah dapat dikenali plus dengan kamera yang saat itu dipegangnya. Di pertengahan lorong, dimana tempat tersebut sedikit lebih gelap dari yang lainnya kami berpapasan. Tidak ada alasan bagi kami untuk tidak saling bereaksi. Satu kepanitiaan dan kini berjalan ke arah yang berlawanan di antara lorong yang hanya memiliki lebar tidak lebih dari 2 meter. Dan kami berbalas senyum.

Dari senyum itu semua mulai terbuka. Alasan-alasan yang terkesan memaksa kini sudah sangat memaksa untuk akhirnya kami saling bicara. Entah tentang acara ataupun hanya sekedar agar bibir tak terlalu lama bertaut. Terlihat sangat anggun kala dia bicara meskipun hanya beberapa kata. Suara berat dengan pita nada perempuan sangat cocok untuknya. Membawa kesan wanita singgah dalam kepribadiannya. Membuat hati bergetar dan tiba-tiba ingin memangkas jarak dengannya.  Lalu dengan sangat mudah pula tiba-tiba aku telah terlanjur menyukainya.