Kamis, Juli 31, 2014

Katholik, Terimakasih Banyak


Lebaran dan tidak ada sesuatu yang spesial sama sekali, kecuali satu. Hari ini aku kembali merayakan kemenangan bersama keluarga, setelah setahun lalu berlebaran di rumah seorang Katholik yang baru ku kenal. Waktu itu sedang berada di Malang. Tidak sempat pulang dan harus seorang diri tanpa keluarga. Aku menangis disaat seharusnya senyum dan tawa hari itu menghias bibir. Beruntung,seorang Katholik dengan Salib di lehernya membimbing tanganku. Aku dapat kembali tersenyum dan tertawa, meski tidak secerah biasa. Namun itu membuat keadaan terasa sedikit lebih baik.

Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada hari itu. Satu pelajaran yang kudapat, Tuhan selalu membimbing umatnya, meski kadang melalui tangan yang tidak pernah disangka. Katholik setengah baya itu menghapus mendung saat kesebatangkaraanku menjalani hari yang seharusnya penuh suka cita.

Sejak itu aku mulai percaya. Ternyata Tuhan selalu ada. Malaikatnya menjelma menjadi sebuah raga yang siap membantu. Dari langit dia memberi perintah. Menyuruh sang malaikat untuk membimbing manusia yang terseok-seok langkahnya. Menghibur manusia yang hatinya sedang menangis.

Jumat, Juli 25, 2014

Aku dan Theresia



Theresia. Tiba-tiba nama itu muncul dalam kepalaku kala aku terbangun di panasnya udara malam yang datang tiba-tiba. Tidak seperti biasanya udara selalu dingin dan mengharuskan tubuh untuk diselimuti. Oh, apa kabarnya dia sekarang? Apa yang dilakukannya? Sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Sejak jalan bersama malam itu, pertama dan terakhir, sama sekali aku belum pernah bertemu dengannya. Beberapa hari setelahnya memang masih ada kabar, setelah itu langsung lost kontak hingga sekarang.
                Aku berkenalan dengan Rara (Panggilanku kepada Theresia) dulu ketika baru sampai di Kota Malang. Tidak jauh setelah memasuki gerbang kampus Universitas Brawijaya ketika itu, dia duduk bersama seorang yang ku kenal. Aku sedang berjalan bersama sahabatku Vian.
                “Randi” Seseorang memanggilku.
                Aku berhenti, melihat sekeliling. Seperti ada seseorang yang memanggil namaku. Benar saja, ternyata diseberang sana. Dia melambaikan tangan. Aku balas lambaiannya, lalu mengajak Vian menyeberang.
                “Hey, lagi ngapain Rin?” Sapaku.
                Namanya Aderin. Dia adalah teman sesama Padang yang aku kenal ketika tak sengaja bertemu saat main di gedung rektorat beberapa minggu sebelumnya.
                Aderin menyalamiku.
                “Abis nuker almamater. Temenku dapetnya kekecilan. Lama gak ketemu Ran, kemana aja?”
                “Gak kemana-mana. Di kost aja sambil ngurus persiapan ospek. Eh rin, kenalin temenku Vian, padang juga”
                Aku memperkenalkan Vian pada Aderin. Mereka berjabat tangan.
                “Oh ya, ini temenku Theresia” Aderin balik memperkenalkan temannya.
                Bergantian aku dan Vian menjabat tangan Theresia.
                “Padang juga?” Aku bertanya.
                “Bukan, aku asli Malang” jawabnya.
                Aku tersenyum. Kemudian seseorang memanggil Aderin dan Theresia dari mobil Sedan yang parkir tidak jauh dari tempat kami bertemu.
                Reflex, kami semua melongo ke arah mobil. Theresia yang sedang duduk lalu bangkit dan menuju sumber suara. Sementara Aderin tetap menemaniku dan Vian berbincang sebentar.
                “Kamu Cluster berapa Ran? Aderin bertanya.
                “9, kamu ?” Aku balik bertanya.
                “8, kalau kamu?” Aderin memindahkan sorot matanya pada Vian.
                “13” Vian yang dari awal sering diam hanya menjawab sesuai pertanyaan yang diajukan.
                “Ra, ini temenku cluster 9 juga” Aderin memanggil Theresia yang urusannya sudah selesai dengan seseorang di dalam mobil.
                “Iya? Kalau gitu ntar bareng aja ya” Theresia memberikan sebuah ajakan padaku.
                “Boleh” Aku mengiyakan.
                Aku dan Theresia bertukar nomor Handphone sebelum berpisah. Sementara Vian hanya diam tidak bicara di sampingku.
                “Rin, Ra. Aku duluannya” Aku pamit dan mengajak Vian berlalu.
                “Eh, mau kemana?” Aderin bertanya.
                “Ke Matos” jawabku yang sudah menjauh beberapa langkah.
                Kami terus menyusuri jalan kampus. Jalan terdekat menuju Matos. Satu dari Dua Mall besar yang berdiri di atas tanah Malang.
                “Udah dapet temen baru nih. Cantik Ran” Vian mulai angkat bicara setelah memperkirakan suaranya tak terdengar lagi oleh dua orang yang baru saja kami temui.
                Aku hanya bersungut-sungut saja. Kami terus melangkah. Sementara Sedan hitam tadi telah menghilang berikut dengan dua perempuan yang tadi aku dan Vian temui.
                Meski saat itu dingin masih menyelimuti kota malang sebagai bentuk ucapan selamat datangnya pada mahasiswa baru, tetap saja sinar mentari siang itu sangat terik. Aku dan Vian memutuskan untuk berlama-lama di Matos. Baru pulang setelah cahaya matahari mulai redup di ufuk Barat.

                                XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

                Satu Cluster bukan berarti aku dapat menemui Theresia dengan mudah. Lautan manusia dengan pakaian serba putih membuat mata sulit untuk menemukan seseorang. Satu-satunya ciri Theresia yang bisa ku kenal adalah dia tidak memakai kerudung dan rambutnya sedikit ikal. Bahkan selama sebelas jam menjalani OSPEK hari pertama aku tak melihat batang hidungnya. Janji untuk bersama saat OSPEK lenyap begitu saja terinjak-injak lautan manusia tak dikenal.
                “Ternyata susah juga ya, nemuin kamu Ran. Yang cowok botak semua, apalagi pas kita ketemu rambutmu masih gondrong, makin susah jadinya”
                Sebuah sms dilayangkan Theresia kepadaku malam hari setelah ospek yang melelahkan itu selesai.
                “Iya Ra, cewek yang gak kerudungan juga banyak, rambutnya dikepang dua semua.”
                Malam itu aku dan Theresia berbalas sms hingga larut. Ucapan Selamat Datang di Malang dari Theresia menutup percakapan kami sebelum akhirnya benar-benar ku akhiri dengan ucapan ‘selamat malam’.
                Waktu terus berlalu. Fakultas yang berbeda dan jaraknya yang jauh dari ujung ke ujung membuat Aku dan Theresia tidak lagi pernah bertemu.
                Satu bulan setelah itu, aku mencoba menghubungi Theresia. Cepat dia membalas. Untuk beberapa hari kami selalu berhubungan, menanyakan kabar dan saling berbagi cerita, tentang kuliah dan juga yang lainnya.
                Suatu malam Theresia mengajakku jalan. Tidak kemana-mana memang. Hanya ke Willis. Pasar buku terbesar yang ada di Malang. Selain Gramedia tentu saja. Jelas aku menaggapinya tanpa penolakan. Aku sudah pernah berpikir akan hal ini. Ketika dalam perjalanan menuju Malang dulu, aku membayangkan akan pergi berdua dengan seorang perempuan asli Malang. Malamini dia mengajakku. Tentu tidak ada alasan untuk menolak. Dan kami janjian bertemu besok malam jam 7.
                Aku melihat Theresia telah menunggu ketika aku keluar dari 292C. Setelannya baju orange lengan pendek dan celana jeans karet warna hitam dengan jahitan warna orange. Kakinya dialasi sepatu ballet hitam dengan sedikit bunga orange. Padu antara atas dan bawah. Rambut ikalnya dibiarkan lepas. Tetapi di pergelangan kirinya ada ikat rambut yang siap sedia jika dibutuhkan. Lalu dilehernya melingkar sebuah kalung putih yang bersinar jika terkena cahaya.
                “Udah lama Ra?” Sapaku
                “Nggak kok, baru aja” jawabnya
                “Kita berangkat sekarang?” tanyaku
                “Yuk”
                Kami pun hilang di antara lautan pengguna jalan. Aku sama sekali tak tahu jalan ketika itu. Hanya hafal beberapa rute. Theresia mengajakku ke beberapa jalan yang belum pernah kulalui. Lalu kami berhenti di dekat sebuah perempatan.
                “Udah pernah ke sini Ran?”
                “Kalau lewat sini sih udah”
                “Bukan jalannya. Itu lo”
Theresia menunjuk sebuah tempat memanjang. Ribuan buku tertata rapi di sana. Ada beberapa kios. Dan semuanya dipenuhi buku.
‘Pasar Buku Willis’ itu tulisan yang sempat ku baca sebelum di ajak Theresia masuk.
Kami berkeliling beberapa saat lamanya. Mungkin sekitar setengah jam. Theresia lalu membeli sebuah kamus tebal dan sebuah buku pengantar Administrasi. Aku tidak membeli apa-apa. Aku masih belum tahu buku-buku apa saja yang aku perlukan untuk semester ini.
“kamu udah makan Ran?” Theresia bertanya ketika kami keluar dari Pasar Buku Willis.
“Belum, kamu udah?” Aku balik bertanya
“Sama” jawabnya
“Mau makan sekarang?” Aku menawarkan sesuatu yang mungkin saja sudah ada dalam pikirannya.
“Ayuk” Terlihat Theresia sangat bersemangat.
Aku dan Theresia kembali berjalan mengelilingi kota yang jalannya tidak terlalu lebar.
“makan dimana Ra?” Aku yang belum tahu apa-apa tentang Malang bertanya
“Kamu mau makan apa?”
“Terserah, yang agak khas Jawa gitu kalau bisa”
“ya udah yuk” Theresia kemudian mengajakku melintasi perempatan, lalu belok kiri, terus lurus entah kemana.
“jadinya mau makan apa?” Aku yang saat itu mulai penasaran bertanya lagi.
“Udah pernah nyoba lalapan yang enak?”
Aku berpikir sejenak. Aku sudah beberapa kali makan lalapan. Tapi tidak tahu mana yang enak mana yang tidak enaknya. Tidak ada standar yang menjelaskan lalapan tersebut dikatakan enak dan tidak enak.
“Belum”
“Ntar di depan belok kiri ya. 100 meter dari sana ada tulisannya kok. Berhenti disana aja” Theresia memberi arahan kemana kami akan menuju.
“Sip mbak e” Aku menirukan cara bicara Jawa yang medok.
Theresia tertawa. Sepertinya menertawakan gaya bicaraku yang meniru logat Jawa. Ternyata benar.
“Emang kamu udah bisa Bahasa Jawa?” Theresia mencubit bahuku.
“Boro-boro. Gak ngerti sama sekali malahan” Memasuki bulan kedua ku di Malang, aku memang masih belum bisa berbahasa Jawa saat itu.
Kami berhenti di tempat yang di tunjuk Theresia. Aku memesan lalapan ayam dan Theresia memesan lalapan belut. Aku berdoa dengan menadahkan tangan sebelum mencicipi lalapan yang katanya enak. Aku selesai lebih dulu. Tampak Theresia berdoa dengan cara yang berbeda. Tak lama setelah itu kalung yang dipakai Theresia tak sengaja keluar dari balik bajunya.
Tanda tambah, tetapi bagian bawahnya lebih panjang. Baru aku paham bahwa dia seorang Nasrani. Khatolik tampaknya. Sedikit aku ketahui perbedaan antara Kristen dan Khatolik jika dilihat dari salib yang sering terkalung di leher mereka. Pernah diceritakan temanku asal medan beberapa hari yang lalu. Lagipula mayoritas penduduk Malang selain Muslim adalah Khatolik itu sendiri.
Theresia mulai makan lebih dulu. Aku masih agak terkejut menyaksikan cara berdoanya barusan. Baru kali ini aku jalan dan makan bersama dengan orang yang beda iman.
“Kenapa Ran?” Theresia ternyata memperhatikanku yang belum makan
“Nggak” suapan pertamaku lalu mendarat di mulut.
Terasa berbeda apa yang kumakan sekarang dengan yang biasanya kumakan. Meski namanya sama-sama lalapan, tetapi yang saat ini terasa lebih nikmat. Entah ada pengaruhnya dari orang yang duduk di depanku, aku tidak tahu. Yang jelas lalapan yang kumakan sekarang ini lebih enak dari biasanya.
Aku dan Theresia makan sambil bercerita tentang apa saja. Tentang SMA, tentang mengapa aku bisa sampai di Malang dan juga sempat dia ingin diajarkan Bahasa padang. Karena sama sekali tak mengerti apa yang dia dengar saat dulu aku dan Aderin bicara dekat gerbang kampus.
“Kamu suka belut?” Theresia menawarkan makanannya padaku.
“Suka” jawabku sambil mengambil beberapa potong belut goreng dari piringnya.
Kami bertukar makanan sambil terus bercerita. Ditutup dengan menyeruput es teh karena kepedasan. Satu-satunya yang tidak kami bahas malam itu adalah tentang perbedaan agama yang aku dan Theresia anut.

                       XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Pukul Sembilan malam ketika itu. Kami beranjak pulang setelah aku membayar tagihan makan kami. Aku saat itu lupa jalan. Terus meluncur tanpa bertanya pada Theresia yang lebih paham.
“Salah jalan Randi !!” theresia setengah menjerit. Mengagetkanku yang tengah menikmati udara Malam.
“Haa, iya?”
“Ya udah gakpapa, ntar pas di lampu merah belok kiri ya” Theresia memberikan arahan.
Kami masuk ke jalan-jalan kecil. Entah dimana saat itu, Theresia terus memberi komando. Memasuki pertigaan, kemudian keluar dari perempatan lalu belok kiri. Aku merasa ada yang aneh. Tidak seperti di kota. Kami sepertinya memasuki perkampungan mati.
“Ini dimana Ra?” Aku bertanya saat sama sekali tidak ada cahaya dari luar.
“Lurus aja terus Ran”
Aku yang tidak tahu apa-apa terpaksa mengikuti perintah Theresia yang gelagatnya mulai aneh. Kami melewati kuburan. Jalan itu lebarnya tak lebih dari 2 meter. Kiri kanan adalah hamparan kuburan yang sangat menakutkan.
“Ini dimana Ra?” Aku kembali bertanya
Theresia tidak menjawab. Tiba-tiba ia mendekapku dari belakang. Kepalanya bersembunyi dibalik punggungku.
Aku kaget. Kami tetap melaju dengan kecepatan yang sama. Sekitar satu kilometer  kami melewati hamparan kuburan tanpa berselisih atau bertemu dengan seorangpun. Theresia juga tidak bicara sepatahpun. Barulah ketika kembali memasuki jalan besar yang banyak dilalui, suaranya kembali terdengar.
Situasi sepertinya mulai tenang.
“Maaf ya. Tadi serem banget Ran, aku takut” Theresia kembali bicara setelah melepaskan tangannya dari pinggangku.
“emangnya tadi kenapa?”
“Kamu gak liat tadi kita lewat kuburan, udah sepi, gelap, serem gak ketemu seorangpun”
Aku tertawa, bukan karena ketakutan yang dirasakan Theresia, tetapi karena dia memelukku saat ketakutan tadi.
“gak ada yang lucu Randi” Theresia mencubitku.
“Iya-iya maaf” kataku sambil tersenyum.
“ih. Kamu pasti pengen lama-lama ya lewat jalan tadi. Keenakan dipeluk” Theresia tampaknya mulai sadar apa yang membuatku tertawa.
“Bukan aku yang mau lo ra, kamu yang mulai duluan kan, ya aku bisa apa lagi coba”
Theresia memelintir perutku. Tepat di samping pusar. Aku menjerit, lalu tertawa puas melihat Theresia tak bisa berkata apa-apa. Malah dia juga akhirnya ikut-ikutan tertawa. Mungkin merasa nyaman saat tadi memelukku dari belakang. Siapa tahu.
Malam itu kami berpisah. Aku ke kampus terlebih dahulu dan Theresia langsung pulang.
“makasih ya Ran udah nemenin”
“Sama-sama Ra”
“makasih juga buat traktirannya”
Theresia melambaikan tangannya. Aku tersenyum, membalas lambaiannya lalu hilang di gelap malam yang semakin larut.

                                 XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Sejak itu tak ada kabar lagi dari Theresia. Wanita asli Malang pertama yang ku kenal. Juga wanita Khatolik pertama yang jalan dan makan bersama denganku. Kami lost kontak hampir setahun lamanya. Sampai sekarang. Saat aku sudah kembali ke Sumatera menghabiskan libur selama dua bulan. Salam rindu dari Pulau Andalas buat sobat Malang yang sudah lama tak berjumpa :D
               

Kamis, Juli 24, 2014

Namanya

Namanya kini terukir dalam cerita panjang perjalanan mencari arti kehidupan. Dalam kisah cinta yang hanya sepenggal, ada beberapa bab yang khusus hanya menceritakan tentang sesosok gadis ayu itu. Tidak berlebihan, karena nama itu memang menjadi penghias dalam perjalan cinta yang terus bergerak maju. Dia tidak pernah singgah di hati sebagai sosok yang diagungkan, juga tidak pernah singgah dalam sebuah status. Dia hanya hadir dalam sedikit cerita yang sedikit berpengaruh. Tak pernah ada pertemuan dan kegiatan berarti yang pernah dilalui bersamanya, tetapi dia tahu banyak hal. Seolah saling mengerti dan saling memahami. Sulit untuk melupakannya. Ada ukiran yang dibuatnya hingga dia layak untuk diceritakan. Ada inspirasi dan motivasi yang tanpa sadar telah ditularkannya. Dari balik layar, dia mengantarkan senyum saat sedih sedang meradang di hati.  Dia merubah sisi kelam pikiran menjadi sebuah pelangi. Dia meniup mendung dari jiwa dan menggantinya dengan sinar mentari yang penuh kehangatan. Ada banyak pujian yang harus dilontarkan padanya. Mungkin tidak ia sadari, tetapi namanya kini ada dalam jiwa. Di sebuah tempat yang seorangpun tidak mengetahuinya. Kini, meski seseorang telah hadir dan merasuki hati, namun nama itu tidak akan tergeser. "Sepenggal Cinta di Bumi Arema". disanalah semuanya tertuang. Namanya memang bukan yang paling utama, tetapi satu tempat telah dimilikinya untuk selalu dikenang.










Rabu, Juli 23, 2014

Blog Tetangga

Baru saja aku mengunjungi blog tetangga. rasa bosan membuat diri harus pandai-pandai untuk mencari kegiatan yang sedikit lebih bermanfaat daripada harus terus tidur-tiduran di rumah. Hanya iseng awalnya, sudah satu bulan lebih tak berjumpa dengan catatan hatinya yang kadang dibumbui typo di beberapa kata. Senyum kala membacanya. Juga kagum hadir saat itu juga. Kata-katanya kini jauh lebih baik. Ada kesejukan saat mata memandang untaian katanya yang semakin sempurna di setiap postingan. 

Teringat ketika di Coban Pelangi, pertama kali bertemu dengan wajah ayu jawa itu. Malam yang dingin dan suhu tak lebih dari 10 derajat celcius. Di tengah hutan dan langit tanpa bintang, cahaya temaram lampu tenda menyirami wajahnya yang kala itu berjalan di hadapan kami laki-laki yang sedang memegang segelas kopi pengusir dingin. Juga sepotong kecil roti pengusir lapar.

Saat itu tidak kenal, hanya saja godaan membuatnya sempat melirik kepada kami yang terus tersenyum menyaksikannya dari pinggir tenda. Kaos Doraemon lengan panjangnya yang sedikit lapang selalu bergerak tertiup angin pegunungan. Juga kerudungnya yang tak bisa diam ketika dihembus angin.  Meninggalkan dingin yang membuat tubuhnya terlihat sedikit menggigil.





Pedang Kepercayaan

Kadang jarak memang terlalu kejam. Waktu juga seringkali tak mau untuk berkompromi. Selalu ada masalah yang timbul ketika keduanya bertemu. Ada cinta yang tersiksa kala keduanya berkuasa. Bisa saja rasa yang sebelumnya menggebu menjadi sirna. Kepercayaan menjadi hilang, dan rasa sayang perlahan lenyap. Tetapi di balik itu semua, Rindu yang besar juga tak jarang menjadi mata pedang yang begitu tajam. Memancung rasa yang tiba-tiba sirna, membunuh kepercayaan yang lenyap karena perpisahan, dan memaksa rasa sayang untuk kembali seperti sedia kala. Membebaskan Cinta dari ikatan penyiksaan. Itulah kekuatan Rindu. Tidak harus selalu disadari, kadang kedatangannya juga tidak terprediksi. Hanya muncul ketika kepercayaan benar-benar dapat dipercaya.

Kamis, Juli 03, 2014

Akhir Cerita Sementara

Memindahkan barang dari lantai satu ke lantai dua cukup untuk mengeluarkan keringat. Membuat punggung sedikit merasa gatal. Ini adalah hari terakhir, dan akan bertemu dua bulan lagi, insyaallah. kenangan-kenangan selama setahun akan tertinggal di sini bersama kesepian selama dua bulan. Banyak cerita yang telah terukir semenjak pertama kali menginjakkan kaki di stasiun kota baru bertepatan dengan hari lahirku ke dunia. ah, sedih rasanya meski hanya minggat untuk beberapa saat. Kota ini telah memberi arti dalam kehidupan. Memberi pengalaman dan pelajaran serta kisah yang tak akan terlupa. Seluruh penjuru negeri bertemu disini, mengenal bhineka tunggal ika yang sebenarnya, dan budaya yang berbeda juga turut campur menghias goresan-goresan indah.

Juga dia yang telah lebih dulu meninggalkan kota ini. Meski hanya sementara, tetapi tetap saja yang namanya perpisahan bukanlah hal yang menyenangkan. Tidak lagi senyum itu akan terlihat, wajah imut dan lucunya juga tidak akan tampak. Hanya suaranya yang masih akan selalu menghiasi saat langkah kaki kembali menuju seberang. 

Mungkin kita memang belum mendapatkan rasa, belum ada ikatan yang cukup kuat untuk kita benar-benar bisa merasakan hal yang sama. Kita harus terpisah lebih dahulu sebelum kita benar-benar menyatu. Ketika terakhir kali bertemu, di bawah pohon yang tidak begitu rindang, yang cahaya mentari dapat menembusnya dengan mudah, kita sempat bertatap beberapa saat. Melakukan sedikit ritual perpisahan karena kita sama-sama akan meninggalkan kota yang penuh cerita ini. 

Tanda tanya besar muncul dalam hati tak kala raut wajahmu terperhatikan oleh sepasang bola mataku yang menatap tajam. Tak dapat ku maknai ekspresi yang terpampang di wajahmu hari itu. Aku bingung untuk mendeskripsikannya. Samakah yang hati kita rasakan saat ini? Adakah rasa sedih saat langkahmu bergerak meninggalkanku? Adakah harap di hatimu untuk kita segera bertemu kembali? Dan apakah kau sempat berpikir bahwa kita akan lebih mesra ketika perpisahan sementara ini berakhir? 

Rabu, Juli 02, 2014

My Prayers Tonight

Menatap dia dalam doa, di tengah pekatnya malam menuju hari kemenangan. Sedikit asa muncul ketika sepertiga malam mulai datang. Membayangkan dia yang terlelap akibat perjalanan jauh yang ditempuhnya. Saat matanya terpejam, saat tubuhnya diam tak bergerak, sebuah doa kepada yang kuasa terbisik. "Hadirkan aku dalam mimipi-mimpi indahnya. Jadikan aku awal dari senyumnya kala ia membuka mata. Jadikan aku fajar untuk pagi indahnya"

Selasa, Juli 01, 2014

Distance

Hal (yang ditakutkan) itu benar-benar terjadi. Disaat rasa masih menggebu dan bergejolak, keadaan tak mampu untuk menahan serangan jarak yang menjadi pemisah. Waktu pun hanya terdiam. Menyaksikan kemurungan diantara benih-benih cinta yang sedang tumbuh subur. Tak ada yang mampu melawan. Ini adalah suratan yang akan dan harus terjadi. Sudah tertulis sejak 2 pasang bola mata ini belum menyatu.

Dalam kesendirian, aku merasa sangat ja(t)uh. Jarak seolah tidak mau memahami bahwa masih ada kerinduan untuk menatap matanya lebih lama. Masih ada cerita yang ingin aku rangkai bersamanya. Aku masih ingin merasakan hangatnya dekapan yang ia berikan. Aku masih membutuhkan sentuhan dan belaian lembut dari tangan halusnya. 

Ah, terkadang Tuhan punya rencana yang tidak terprediksi. Sesekali air mata memang harus tampil lebih dulu untuk sebuah senyum. Kesedihan kadang juga harus menjadi awal untuk sebuah keceriaan. Dan itu mungkin saja berlaku untuk kali ini