Jumat, Juli 25, 2014

Aku dan Theresia



Theresia. Tiba-tiba nama itu muncul dalam kepalaku kala aku terbangun di panasnya udara malam yang datang tiba-tiba. Tidak seperti biasanya udara selalu dingin dan mengharuskan tubuh untuk diselimuti. Oh, apa kabarnya dia sekarang? Apa yang dilakukannya? Sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Sejak jalan bersama malam itu, pertama dan terakhir, sama sekali aku belum pernah bertemu dengannya. Beberapa hari setelahnya memang masih ada kabar, setelah itu langsung lost kontak hingga sekarang.
                Aku berkenalan dengan Rara (Panggilanku kepada Theresia) dulu ketika baru sampai di Kota Malang. Tidak jauh setelah memasuki gerbang kampus Universitas Brawijaya ketika itu, dia duduk bersama seorang yang ku kenal. Aku sedang berjalan bersama sahabatku Vian.
                “Randi” Seseorang memanggilku.
                Aku berhenti, melihat sekeliling. Seperti ada seseorang yang memanggil namaku. Benar saja, ternyata diseberang sana. Dia melambaikan tangan. Aku balas lambaiannya, lalu mengajak Vian menyeberang.
                “Hey, lagi ngapain Rin?” Sapaku.
                Namanya Aderin. Dia adalah teman sesama Padang yang aku kenal ketika tak sengaja bertemu saat main di gedung rektorat beberapa minggu sebelumnya.
                Aderin menyalamiku.
                “Abis nuker almamater. Temenku dapetnya kekecilan. Lama gak ketemu Ran, kemana aja?”
                “Gak kemana-mana. Di kost aja sambil ngurus persiapan ospek. Eh rin, kenalin temenku Vian, padang juga”
                Aku memperkenalkan Vian pada Aderin. Mereka berjabat tangan.
                “Oh ya, ini temenku Theresia” Aderin balik memperkenalkan temannya.
                Bergantian aku dan Vian menjabat tangan Theresia.
                “Padang juga?” Aku bertanya.
                “Bukan, aku asli Malang” jawabnya.
                Aku tersenyum. Kemudian seseorang memanggil Aderin dan Theresia dari mobil Sedan yang parkir tidak jauh dari tempat kami bertemu.
                Reflex, kami semua melongo ke arah mobil. Theresia yang sedang duduk lalu bangkit dan menuju sumber suara. Sementara Aderin tetap menemaniku dan Vian berbincang sebentar.
                “Kamu Cluster berapa Ran? Aderin bertanya.
                “9, kamu ?” Aku balik bertanya.
                “8, kalau kamu?” Aderin memindahkan sorot matanya pada Vian.
                “13” Vian yang dari awal sering diam hanya menjawab sesuai pertanyaan yang diajukan.
                “Ra, ini temenku cluster 9 juga” Aderin memanggil Theresia yang urusannya sudah selesai dengan seseorang di dalam mobil.
                “Iya? Kalau gitu ntar bareng aja ya” Theresia memberikan sebuah ajakan padaku.
                “Boleh” Aku mengiyakan.
                Aku dan Theresia bertukar nomor Handphone sebelum berpisah. Sementara Vian hanya diam tidak bicara di sampingku.
                “Rin, Ra. Aku duluannya” Aku pamit dan mengajak Vian berlalu.
                “Eh, mau kemana?” Aderin bertanya.
                “Ke Matos” jawabku yang sudah menjauh beberapa langkah.
                Kami terus menyusuri jalan kampus. Jalan terdekat menuju Matos. Satu dari Dua Mall besar yang berdiri di atas tanah Malang.
                “Udah dapet temen baru nih. Cantik Ran” Vian mulai angkat bicara setelah memperkirakan suaranya tak terdengar lagi oleh dua orang yang baru saja kami temui.
                Aku hanya bersungut-sungut saja. Kami terus melangkah. Sementara Sedan hitam tadi telah menghilang berikut dengan dua perempuan yang tadi aku dan Vian temui.
                Meski saat itu dingin masih menyelimuti kota malang sebagai bentuk ucapan selamat datangnya pada mahasiswa baru, tetap saja sinar mentari siang itu sangat terik. Aku dan Vian memutuskan untuk berlama-lama di Matos. Baru pulang setelah cahaya matahari mulai redup di ufuk Barat.

                                XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

                Satu Cluster bukan berarti aku dapat menemui Theresia dengan mudah. Lautan manusia dengan pakaian serba putih membuat mata sulit untuk menemukan seseorang. Satu-satunya ciri Theresia yang bisa ku kenal adalah dia tidak memakai kerudung dan rambutnya sedikit ikal. Bahkan selama sebelas jam menjalani OSPEK hari pertama aku tak melihat batang hidungnya. Janji untuk bersama saat OSPEK lenyap begitu saja terinjak-injak lautan manusia tak dikenal.
                “Ternyata susah juga ya, nemuin kamu Ran. Yang cowok botak semua, apalagi pas kita ketemu rambutmu masih gondrong, makin susah jadinya”
                Sebuah sms dilayangkan Theresia kepadaku malam hari setelah ospek yang melelahkan itu selesai.
                “Iya Ra, cewek yang gak kerudungan juga banyak, rambutnya dikepang dua semua.”
                Malam itu aku dan Theresia berbalas sms hingga larut. Ucapan Selamat Datang di Malang dari Theresia menutup percakapan kami sebelum akhirnya benar-benar ku akhiri dengan ucapan ‘selamat malam’.
                Waktu terus berlalu. Fakultas yang berbeda dan jaraknya yang jauh dari ujung ke ujung membuat Aku dan Theresia tidak lagi pernah bertemu.
                Satu bulan setelah itu, aku mencoba menghubungi Theresia. Cepat dia membalas. Untuk beberapa hari kami selalu berhubungan, menanyakan kabar dan saling berbagi cerita, tentang kuliah dan juga yang lainnya.
                Suatu malam Theresia mengajakku jalan. Tidak kemana-mana memang. Hanya ke Willis. Pasar buku terbesar yang ada di Malang. Selain Gramedia tentu saja. Jelas aku menaggapinya tanpa penolakan. Aku sudah pernah berpikir akan hal ini. Ketika dalam perjalanan menuju Malang dulu, aku membayangkan akan pergi berdua dengan seorang perempuan asli Malang. Malamini dia mengajakku. Tentu tidak ada alasan untuk menolak. Dan kami janjian bertemu besok malam jam 7.
                Aku melihat Theresia telah menunggu ketika aku keluar dari 292C. Setelannya baju orange lengan pendek dan celana jeans karet warna hitam dengan jahitan warna orange. Kakinya dialasi sepatu ballet hitam dengan sedikit bunga orange. Padu antara atas dan bawah. Rambut ikalnya dibiarkan lepas. Tetapi di pergelangan kirinya ada ikat rambut yang siap sedia jika dibutuhkan. Lalu dilehernya melingkar sebuah kalung putih yang bersinar jika terkena cahaya.
                “Udah lama Ra?” Sapaku
                “Nggak kok, baru aja” jawabnya
                “Kita berangkat sekarang?” tanyaku
                “Yuk”
                Kami pun hilang di antara lautan pengguna jalan. Aku sama sekali tak tahu jalan ketika itu. Hanya hafal beberapa rute. Theresia mengajakku ke beberapa jalan yang belum pernah kulalui. Lalu kami berhenti di dekat sebuah perempatan.
                “Udah pernah ke sini Ran?”
                “Kalau lewat sini sih udah”
                “Bukan jalannya. Itu lo”
Theresia menunjuk sebuah tempat memanjang. Ribuan buku tertata rapi di sana. Ada beberapa kios. Dan semuanya dipenuhi buku.
‘Pasar Buku Willis’ itu tulisan yang sempat ku baca sebelum di ajak Theresia masuk.
Kami berkeliling beberapa saat lamanya. Mungkin sekitar setengah jam. Theresia lalu membeli sebuah kamus tebal dan sebuah buku pengantar Administrasi. Aku tidak membeli apa-apa. Aku masih belum tahu buku-buku apa saja yang aku perlukan untuk semester ini.
“kamu udah makan Ran?” Theresia bertanya ketika kami keluar dari Pasar Buku Willis.
“Belum, kamu udah?” Aku balik bertanya
“Sama” jawabnya
“Mau makan sekarang?” Aku menawarkan sesuatu yang mungkin saja sudah ada dalam pikirannya.
“Ayuk” Terlihat Theresia sangat bersemangat.
Aku dan Theresia kembali berjalan mengelilingi kota yang jalannya tidak terlalu lebar.
“makan dimana Ra?” Aku yang belum tahu apa-apa tentang Malang bertanya
“Kamu mau makan apa?”
“Terserah, yang agak khas Jawa gitu kalau bisa”
“ya udah yuk” Theresia kemudian mengajakku melintasi perempatan, lalu belok kiri, terus lurus entah kemana.
“jadinya mau makan apa?” Aku yang saat itu mulai penasaran bertanya lagi.
“Udah pernah nyoba lalapan yang enak?”
Aku berpikir sejenak. Aku sudah beberapa kali makan lalapan. Tapi tidak tahu mana yang enak mana yang tidak enaknya. Tidak ada standar yang menjelaskan lalapan tersebut dikatakan enak dan tidak enak.
“Belum”
“Ntar di depan belok kiri ya. 100 meter dari sana ada tulisannya kok. Berhenti disana aja” Theresia memberi arahan kemana kami akan menuju.
“Sip mbak e” Aku menirukan cara bicara Jawa yang medok.
Theresia tertawa. Sepertinya menertawakan gaya bicaraku yang meniru logat Jawa. Ternyata benar.
“Emang kamu udah bisa Bahasa Jawa?” Theresia mencubit bahuku.
“Boro-boro. Gak ngerti sama sekali malahan” Memasuki bulan kedua ku di Malang, aku memang masih belum bisa berbahasa Jawa saat itu.
Kami berhenti di tempat yang di tunjuk Theresia. Aku memesan lalapan ayam dan Theresia memesan lalapan belut. Aku berdoa dengan menadahkan tangan sebelum mencicipi lalapan yang katanya enak. Aku selesai lebih dulu. Tampak Theresia berdoa dengan cara yang berbeda. Tak lama setelah itu kalung yang dipakai Theresia tak sengaja keluar dari balik bajunya.
Tanda tambah, tetapi bagian bawahnya lebih panjang. Baru aku paham bahwa dia seorang Nasrani. Khatolik tampaknya. Sedikit aku ketahui perbedaan antara Kristen dan Khatolik jika dilihat dari salib yang sering terkalung di leher mereka. Pernah diceritakan temanku asal medan beberapa hari yang lalu. Lagipula mayoritas penduduk Malang selain Muslim adalah Khatolik itu sendiri.
Theresia mulai makan lebih dulu. Aku masih agak terkejut menyaksikan cara berdoanya barusan. Baru kali ini aku jalan dan makan bersama dengan orang yang beda iman.
“Kenapa Ran?” Theresia ternyata memperhatikanku yang belum makan
“Nggak” suapan pertamaku lalu mendarat di mulut.
Terasa berbeda apa yang kumakan sekarang dengan yang biasanya kumakan. Meski namanya sama-sama lalapan, tetapi yang saat ini terasa lebih nikmat. Entah ada pengaruhnya dari orang yang duduk di depanku, aku tidak tahu. Yang jelas lalapan yang kumakan sekarang ini lebih enak dari biasanya.
Aku dan Theresia makan sambil bercerita tentang apa saja. Tentang SMA, tentang mengapa aku bisa sampai di Malang dan juga sempat dia ingin diajarkan Bahasa padang. Karena sama sekali tak mengerti apa yang dia dengar saat dulu aku dan Aderin bicara dekat gerbang kampus.
“Kamu suka belut?” Theresia menawarkan makanannya padaku.
“Suka” jawabku sambil mengambil beberapa potong belut goreng dari piringnya.
Kami bertukar makanan sambil terus bercerita. Ditutup dengan menyeruput es teh karena kepedasan. Satu-satunya yang tidak kami bahas malam itu adalah tentang perbedaan agama yang aku dan Theresia anut.

                       XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Pukul Sembilan malam ketika itu. Kami beranjak pulang setelah aku membayar tagihan makan kami. Aku saat itu lupa jalan. Terus meluncur tanpa bertanya pada Theresia yang lebih paham.
“Salah jalan Randi !!” theresia setengah menjerit. Mengagetkanku yang tengah menikmati udara Malam.
“Haa, iya?”
“Ya udah gakpapa, ntar pas di lampu merah belok kiri ya” Theresia memberikan arahan.
Kami masuk ke jalan-jalan kecil. Entah dimana saat itu, Theresia terus memberi komando. Memasuki pertigaan, kemudian keluar dari perempatan lalu belok kiri. Aku merasa ada yang aneh. Tidak seperti di kota. Kami sepertinya memasuki perkampungan mati.
“Ini dimana Ra?” Aku bertanya saat sama sekali tidak ada cahaya dari luar.
“Lurus aja terus Ran”
Aku yang tidak tahu apa-apa terpaksa mengikuti perintah Theresia yang gelagatnya mulai aneh. Kami melewati kuburan. Jalan itu lebarnya tak lebih dari 2 meter. Kiri kanan adalah hamparan kuburan yang sangat menakutkan.
“Ini dimana Ra?” Aku kembali bertanya
Theresia tidak menjawab. Tiba-tiba ia mendekapku dari belakang. Kepalanya bersembunyi dibalik punggungku.
Aku kaget. Kami tetap melaju dengan kecepatan yang sama. Sekitar satu kilometer  kami melewati hamparan kuburan tanpa berselisih atau bertemu dengan seorangpun. Theresia juga tidak bicara sepatahpun. Barulah ketika kembali memasuki jalan besar yang banyak dilalui, suaranya kembali terdengar.
Situasi sepertinya mulai tenang.
“Maaf ya. Tadi serem banget Ran, aku takut” Theresia kembali bicara setelah melepaskan tangannya dari pinggangku.
“emangnya tadi kenapa?”
“Kamu gak liat tadi kita lewat kuburan, udah sepi, gelap, serem gak ketemu seorangpun”
Aku tertawa, bukan karena ketakutan yang dirasakan Theresia, tetapi karena dia memelukku saat ketakutan tadi.
“gak ada yang lucu Randi” Theresia mencubitku.
“Iya-iya maaf” kataku sambil tersenyum.
“ih. Kamu pasti pengen lama-lama ya lewat jalan tadi. Keenakan dipeluk” Theresia tampaknya mulai sadar apa yang membuatku tertawa.
“Bukan aku yang mau lo ra, kamu yang mulai duluan kan, ya aku bisa apa lagi coba”
Theresia memelintir perutku. Tepat di samping pusar. Aku menjerit, lalu tertawa puas melihat Theresia tak bisa berkata apa-apa. Malah dia juga akhirnya ikut-ikutan tertawa. Mungkin merasa nyaman saat tadi memelukku dari belakang. Siapa tahu.
Malam itu kami berpisah. Aku ke kampus terlebih dahulu dan Theresia langsung pulang.
“makasih ya Ran udah nemenin”
“Sama-sama Ra”
“makasih juga buat traktirannya”
Theresia melambaikan tangannya. Aku tersenyum, membalas lambaiannya lalu hilang di gelap malam yang semakin larut.

                                 XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Sejak itu tak ada kabar lagi dari Theresia. Wanita asli Malang pertama yang ku kenal. Juga wanita Khatolik pertama yang jalan dan makan bersama denganku. Kami lost kontak hampir setahun lamanya. Sampai sekarang. Saat aku sudah kembali ke Sumatera menghabiskan libur selama dua bulan. Salam rindu dari Pulau Andalas buat sobat Malang yang sudah lama tak berjumpa :D
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar