Rabu, Juli 12, 2017

Kabar Dari Edmonton

Aku melihat lagi chat beberapa hari yang lalu, mengulang membacanya dari awal sampai akhir untuk meningkatkan motivasi. Ya, aku kehabisan akal bagaimana caranya supaya bisa melewati semester tua yang masih belum nampak akhirnya ini. Sebagian temanku sudah tidak lagi terlihat wujudnya mondar mandir di kampus. Tinggal aku dan beberapa orang saja. Semakin hari semakin muak melihat tulisan yang tiada habis revisinya, setiap kali konsultasi, setiap itu pula ada revisi yang harus dikerjakan. Lalu itu membuatku berpikir, apa yang sebenarnya salah dengan caraku di semester akhir ini? Mengapa terlalu susah rasanya? Aku tidak minta agar semester terakhirku ini berjalan lebih mudah, tetapi aku berdoa kepada Tuhan supaya lebih dikuatkan, supaya lebih disabarkan dalam menghadapi semester ini. Beratnya perjuangan akan menjadi modal tersendiri untukku kelak menghadapi situasi yang mungkin lebih buruk dari pada sekedar menyelesaikan tugas akhir

Malam itu aku dilanda kebingungan. Sumpek dan pusing kepala terasa, dada juga sesak tidak karuan. Tidak ada hal menyenangkan yang rasanya bisa dikerjakan. Menulis? Sudah tidak ada ide lagi untuk membuat tulisan. Mengerjakan revisi sambil berdoa bahwa ini adalah yang terakhir? Sudah kucoba, tetapi keinginan itu sendiri yang sedang tidak ada mau diapakan lagi, tidak bisa dipaksakan. Dipaksakanpun akan percuma, hasil yang akan didapat sudah jelas, adalah revisi lagi, lagi, dan lagi.

Apa dan bagaimanapun suasana hati, tidak dapat dipungkiri gadget adalah pilihan terbaik untuk mengalihkan perhatian maupun kesibukan. Gadget adalah hiburan paling sederhana namun efektif di milenium ini. Gadget adalah mood booster, gadget adalah kawan setia (kecuali ketika baterai lemah, tapi tidak ada charger atau colokan). Siapa zaman sekarang ini yang tahan tidak memegang gadget selama seharian penuh? Tidak ada.

Kembali ke topik, tentang chat yang sudah berlalu beberapa waktu yang lalu. Tidak panjang, namun ada secuil motivasi di dalamnya, sayangnya masih terlalu kecil untuk membungkam rasa malasku mengerjakan revisi. Ingin lagi aku melanjutkan chat itu. Jika gayung bersambut maka dia yang aku hubungi akan membalasnya, jika tidak, ya mungkin aku belum beruntung.

Pertama kulihat jam, pukul 00.58 tertulis di arloji yang sudah kulepas semenjak beberapa jam yang lalu. Perbedaan waktu Malang dan Edmonton sekitar 13 jam. Artinya di sana sekarang sekitar pukul 2 siang. Sejenak aku berpikir, tepatkah waktunya untuk menghubungi. Kupertimbangkan dan akhirnya tidak ada alasan kuat yang membenarkan untuk mengurungkan niat.

Minggu, Juli 09, 2017

Impian Mahasiswa Semester Tua

Aku seorang mahasiswa semester tua yang (semoga) sebentar lagi akan lulus. Amiin. Biasanya ketika ngopi atau nongkrong, pembahasan mahasiswa semester tua sudah naik sedikit sekitar satu level. Rata-rata yang mereka bahas kini adalah hal yang akan dilakukan setelah lulus. Mungkin bekerja di salah satu perusahaan dengan benefit tinggi. Mereka lalu mempertimbangkan, membandingkan, dan memperkirakan gaii yang akan didapat jika bekerja di salah satu perusahaan tersebut. Atau ada yang tengah giat mencari beasiswa untuk melanjutkan kuliah, entah dalam negeri atau luar negeri. Dan ada juga yang mulai memikirkan calon. Tidak hanya perempuan, laki-laki sepertiku juga sebenarnya juga memikirkan hal itu. Tapi kami para laki-laki dituntut untuk punya jam terbag lebih dulu. 

Beberapa orang diantara kami termasuk aku pernah punya pikiran kotor tentang hal ini, tentang jodoh. Bagi kami para lelaki, menikah masih nampak jauh dan belum menjadi prioritas, masih banyak yang harus dikejar, jadi masih masuk untuk dibuat bahan candaan. Percakapan itu terjadi secara tidak sengaja. Mengalir begitu saja tanpa rasa bersalah.

"Jadi kau ingin perempuan yang seperti apa Boy?"

"Belum kepikiran, aku mau kerja dulu. Kau sendiri bagaimana?"

"Aku? Aku mau jodohku nanti perempuan yang cantik, baik, rajin ibadah."

"Itu doang?"

"Kalau bisa yang anak orang kaya, anak tunggal, dan Bapaknya udah mau KO IT (meninggal). Jadi aku dapet warisannya."

Wahai para perempuan. Jangan tersinggung dengan percakapan kami, karena kalimat apapun bisa terlontar saat duduk melingkar bersama dan di depan kami ada segelas kopi atau sejenisnya. Aku akui itu impian setiap laki-laki jauuuuuuhhh di dalam hati mereka. Artinya mereka tidak perlu bekerja keras, tidak perlu takut bagaimana nanti memenuhi kehidupan dan kebutuhan wanitanya.

Oke, lupakan tentang itu, karena aku punya cerita kecil tentang kelanjutan setelah menjadi Sarjana.