Rabu, Mei 27, 2015

Ingin Pulang Kampung (Bagian 2)

Seharian ini tidak ada kegiatan yang saya lakukan kecuali tidur di kasur yang telah dua tahun menemani istirahat saya. Yang setiap hari terhimpit buku dan laporan, yang setiap hari pula menjadi sarang nyamuk karena baju kotor yang berserakan di atasnya. Kebetulan sekali hari ini adalah Minggu. Saya tidak keluar kamar sama sekali kecuali pukul Sebelas tadi membeli sarapan. Ya, itu adalah kegiatan rutin saya selama berada di tanah perantauan. Menggabungkan sarapan dan makan siang di pertengahan jadwalnya sehingga bisa menghemat beberapa Rupiah untuk ditabung dan digunakan pada keperluan lain.

Bagi saya berhemat adalah suatu keharusan yang sangat wajib dilakukan. Sebagai seorang mahasiswa rantau yang ekonomi keluarganya sedang berantakan, saya diharuskan untuk menjadi seorang yang sangat tahu diri. Tidak pernah ada saldo cadangan di rekening saya. jangankan itu, uang bulanan yang saya terima dari kiriman orang tua kadang sangat-sangat terbatas, bahkan di beberapa waktu justru lebih sedikit dari jatah yang seharusnya mereka kirimkan. Jadilah saya seperti sekarang, sangat tertutup dengan pergaulan karena biasanya selalu berhubungan dengan uang dan uang.

Pukul tiga sore handphone jadul yang saya khususkan untuk menerima panggilan dari kampung bergetar di atas meja belajar. Entah sudah berapa lama handphone itu tergeletak di sana. Hanya bergeser sedikit posisinya ketika saya cas saat daya baterainya sudah melemah. Biasanya sekali seminggu.

Seperti bulan lalu -terakhir kali handphone jadul itu menerima panggilan- yang menelpon adalah Ibu. Namun yang bicara di balik sana ternyata bukan Ibu, tetapi Ayah. Ayah tidak punya dan tidak mau punya handphone meski sudah dipaksa setiap hari hingga mulut sudah lelah untuk menyuruhnya. Sayang sekali kepala Ayah keras seperti batu. Tidak juga beliau mau menerima saran kami -anak-anak dan istrinya-. Bagi beliau lebih baik membelikan saya sepatu atau mebelikan adik-adik tas daripada membeli handphone untuk dirinya sendiri.

"Ayah tidak butuh itu. Kalau ada yang harus di telpon, Ayah bisa pakai handphone Ibu. lebih baik uangnya kalian pakai saja buat beli tas, sepatu dan yang lainnya."

Itu alasan Ayah setiap kali disinggung agar beliau memakai handphone sendiri. Sangat rasional karena memang keluarga kami benar-benar sedang terpuruk berbarengan di saat besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Bahkan sampai sekarang Ayah tidak bisa mengoperasikan benda ajaib yang menghubungkan orang dari jarak jauh itu. Jadi setiap ingin menelpon seseorang, Ayah akan selalu mengandalkan Ibu, saya, ataupun adik-adik untuk mengoperasikan handpone agar bisa menghubungi orang yang ingin dihubunginya. Bukan karena Ayah jadul, gaptek ataupun ndeso, hanya saja beliau tidak pernah mau untuk mempelajarinya, apalagi memilikinya. Tapi jangan salah, se jadul-jadulnya Ayah, beliau bisa mengetik pada mesin ketik dengan menggunakan Sepuluh jari dalam waktu yang sangat singkat -apalagi menggunakan laptop, pasti lebih cepat karena tidak perlu menekan tuts keyboard terlalu dalam- dengan mata tertutup

Jadi sebenarnya bukan kebodohan atau kejadulan Ayah yang membuat beliau terlihat seperti seorang yang tidak tahu perkembangan zaman sama sekali, tetapi keadaanlah yang menjadikan semuanya demikian. 

"Halo, kamu tidak kuliah?"

Ayah yang bicara duluan ketika telpon aku jawab. tentunya setelah kami berbalas salam terlebih dahulu

"Kan Minggu, jadi libur."
"Astaga, iya ya. Ayah lupa."

"Ada apa Yah? Tumben nelponnya sore, biasanya kan selalu malem."

Ini bukan hal yang biasa. Tidak pernah sebelumnya aku di telpon sore hari seperti ini. Ini adalah jam sibuk Ayah di kebun kakao sengketa yang menjadi penopang uang kuliah dan uang jajan saya selama ini, termasuk juga belanja rumah tangga, semuanya berasal dari kebun yang sebenarnya tidak terlalu luas ini.

"Uang buat beli tiket sudah Ayah kirim tadi. Sekalian sama uang bulanan kamu. Silahkan kamu mau pulang dari Surabaya atau mau dari Jakarta."

Jantung saya berdegup cepat di buatnya. Beberapa pertanyaan kemudian muncul di benak. Dari mana Ayah dapat uang? Bukankah kemaren adik saya memberi tahu bahwa Ayah dan Ibu tidak memegang uang sama sekali sehingga kiriman untuk uang bulanan saya telat? tapi tentu saja pertanyaan itu tidak saya munculkan. Saya terdiam beberapa saat. lalu Ayah mengagetkan saya dengan melanjutkan penjelasannya.

"Tidak usah kamu pikirkan darimana Ayah dapat uang. Semuanya sudah Ayah pikirkan. Bagaimanapun keadaannya tahun ini kamu harus pulang."

Saya tidak lagi berani menjawab. Hilang sudah kekukuhan hati untuk tidak menginjak kampung halaman pada libur lebaran kali ini, meskipun hingga beberapa hari setelahnya saya masih berusaha mencari alasan untuk tidak pulang agar bisa menghemat pengeluaran keluarga, atau setidaknya mengalihkan penggunaan uang untuk beberapa keperluan kuliah.

"Iya, kalau begitu nanti saya kabarin kapan pulangnya. Soalnya masih ujian sampai akhir bulan ini."

Begitu jawaban saya karena bingung harus menjawabnya bagaimana. Sama sekali tidak ada kata terima kasih keluar dari bibir saya, itu adalah kebiasaan yang dari dulu terjai. Sangat berat rasanya untuk mengucap terima kasih secara langsung. Hanya bisa disampaikan lewat laku dan sikap baik saja. Pun Ayah sudah mengerti akan hal itu meski kami tidak pernah membahasnya.

"Kamu ingat kolam ikan yang dulu kamu isi dengan ikan gurame?"

Ayah bertanya yang saat itu entah apa maksudnya. Memang selain kebun kakao yang sedang dalam sengketa keluarga, keluarga kami memiliki beberapa kolam ikan -yang ini asli milik keluarga, bukan sengketa-. Salah satunya saya modali dari THR lebaran yang saya kumpulkan selama 3 tahun dan kemudian saya rawat dan kelola sendiri. Saya minta kepada Ayah dan Ibu dulu untuk mengelola satu diantara 4 kolam yang kami punya. Mereka lalu memberikan yang paling besar. Beberapa kali usaha yang saya jalani tidak mengalami kegagalan meski dengan untung yang hanya sangat sedikit sekali. 

"Iya kenapa, Yah?"

Saya ingat, karena akan pergi lama dan tidak mungkin untuk mengurusnya, saya putuskan untuk mengisi kolam kelolaan saya dengan ikan Gurame saja. Perawatannya tidak sulit, -tidak seperti ikan lain yang hanya butuh waktu 4-5 bulan saja dan harus rutin di beri makan- waktu yang dibutuhkan gurame juga cukup lama sehingga bisa saya panen setelah pulang dari rantau.

"Guramenya sudah siap untuk di panen. Makanya kamu harus pulang." 

Ayah berkelakar. Itu hanyalah lelucon yang menjadi alasan kesekian mengapa saya harus pulang liburan ini. Tiba-tiba entah darimana, muncul pikiran bahwa dengan inilah Ayah membiayai tiket saya pulang. Sempat saya kecewa beberapa saat dibuatnya. Saya ingin marah kepada Ayah. Saya dulu meniatkan hasil gurame yang saya kelola untuk membeli handphone canggih seperti yang dipunyai teman-teman. Lalu Ayah mengambilnya begitu saja tanpa izin? Ayah yang sepertinya mengerti jalan pikir saya lalu kembali berkata. 

"Tenang saja, bukan uang hasil gurame yang Ayah kirim untuk membeli tiketmu. Uang untuk tiket mu sudah Ayah tabung sedikit demi sedikit semenjak hari pertama kamu kuliah. Maafkan Ayah karena uangnya baru terkumpul sekarang setelah Dua tahun, sehingga kamu baru bisa pulang pada lebaran ini."

Saya tersandar lemas di dinding. Belum apa-apa sudah berpikir tidak baik pada Ayah. Ternyata Ayah benar-benar memikirkan tentang kuliah saya dengan sangat matang. Bahkan sampai hal kecil yang sangat detail seperti itu. Yang saya pun tidak pernah berpikir sampai sejauh itu.

"Owh."

Singkat sekali jawaban yang saya berikan. Saya kehabisan kata bagaimana cara mengungkapkan perasaan pada Ayah. Kami tidak pernah benar-benar bicara dari hati ke hati sebelumnya. Ayah seorang pendiam dan tidak banyak bicara. Ayah juga tidak bisa berdiam diri, menonton tv atau sekedar tiduran ketika matahari masih ada. Ayah selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaan-pekerjaan kecil yang bermanfaat dan tidak ingin membuang waktu. Saya sangat bangga pada beliau.

Beberapa saat hening menguasai sore. Saya diam dan Ayah juga diam. Sunyi yang sangat senyap, suara tarikan nafas Ayah pun tidak terdengar. Saya pejamkan mata sejenak untuk benar-benar bisa merasakan perjuangan Ayah agar anak sulungnya ini tetap bisa mengejar Sarjana seperti impianya. Dan kini tinggal beberapa langkah lagi. Sebentar lagi ijazah yang akan saya dapat itu akan menjadi kado indah buat Ayah. Ayah memang tidak pernah berkata apa-apa tentang gelar Sarjana yang akan segera saya peroleh (Insya Allah). Hanya saja dari cerita Ibu saya tahu, gelar sarjana anaknya dari tanah Jawa, akan menaikkan derajat Ayah di hadapan saudara-saudaranya. Dan akan bisa membuat beliau berdiri dan duduk sama tinggi dengan mereka tanpa merasa rendah diri dan direndahkan.

Tetapi jika saya pulang maka ada kemungkinannya untuk tidak bisa balik lagi ke sini karena ketiadaan biaya. Lalu kado indah buat Ayah bisa sirna, beliau akan tetap di pandang rendah, dan tetap tidak akan dihargai sampai hayat menjemput. Ayah akan menderita sepanjang hidup. Tidak akan pernah bahagia menyentuh harinya agak sejenak. Ah, lagi-lagi saya berpikir tentang itu. Padahal bulan lalu, Ayah telah berjanji pada saya melalui Ibu, bahwa kuliah saya pasti tetap berlanjut meski harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli tiket pulang.

"Masih ingat puluhan pohon pinang yang dulu kamu tanam di pinggiran kolam?"

"Iya, masih." Jawab saya.

Dulu ketika masih SMP saya menanam banyak sekali pohon pinang. Suatu saat agar saya atau siapapun tinggal memetik buahnya saja untuk tambahan uang saku. Inspirasi seperti itu saya dapat dari kampung tetangga, dimana mereka (yang punya tanah) menanam pinang di sekeliling tanah mereka dan buahnya banyak sekali. Setiap minggu saya lihat si empunya memetik buah pinang dari ratusan pohon yang berjejer rapi. Lalu ketika Kamis tiba, saya lihat dia kewalahan mengangkut goni-goni besar menuju pasar. Isinya adalah pinang yang sudah ia belah dua dan sudah di jemur.

"Sudah bisa dipetik sekarang. Tapi maaf uangnya belum sampai ke tangan kamu. Uangnya selalu terpakai buat jajan adik-adik sama kebutuhan Ibu di dapur."

Saya tersenyum mendengarnya. memang dulu saya niatkan untuk penambah pemasukan. Tapi beberapa waktu terakhir ini saya justru tidak ingat sama sekali. Saya hanya ingat tentang gurame yang saya modali dari tabungan THR beberapa tahun.

"Iya, tidak apa-apa. lagi pula saya tanam dulu niatnya juga untuk menambah penghasilan."

Begitu saya jawab sekenanya karena masih ada sedikit beban pikiran yang menyumbat hati.

"Ekhm." Ayah batuk kecil beberapa kali. Tarikan nafasnya kini terdengar sedikit berdesah.

"Tenang saja, Ayah yang pastikan kamu akan balik lagi kesana, melanjutkan kuliah setelah berlebaran di kampung. Meskipun kita bukan orang kaya, Ayah jamin kamu akan sekolah sampai lulus."

Ah, Ayah memang laur biasa. beliau mengerti ketakutan yang masih menjamah raga saya. Namun kali ini saya telah mendengar langsung dari Ayah bahwa saya akan tetap berkuliah setelah ini. Kata-kata Ayah membuat saya jauh lebih tenang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar