Senin, November 09, 2015

Rindu Ranah Negeri


14.35. Sore mendung di langit tanah perantauan sedang berkuasa dan perlahan menjatuhkan butir-butir kecil partikel yang membasahi jalan. Sedikit menghilangkan debu yang beterbangan dan juga melahirkan suasana sepi hingga kaki berhenti melangkah ketika tiba di sebuah ruangan berukuran 3 x 2 meter tempat berteduh. Pintu terbuka dan gambar atap bergonjong muncul di dinding putih yang telah berhias berbagai macam tulisan motivasi. Tempat ternyaman selain rumah di ranah minang adalah ruangan kecil dan sempit ini.

Laptop di meja kecil seharga Rp 20.000,- di dalamnya ternyata masih menyala dan menampilkan layar desktop lembah harau nan memukau mata. Satu dari banyak bagian indah hamparan alam negeri Minangkabau yang terkenal akan keelokan pesonanya. Beberapa lagu berbahasa minang juga telah siap untuk didendangkan melalui speaker pinjaman yang tak kunjung diambil pemiliknya. Daripada menganggur di atas kepala lemari, bolehlah dipakai untuk beberapa kali rehat melepas lelah.

Butiran yang tadi kecil dan jarang kini mulai ganas menyerang tanah. Gerimis berangsur berubah menjadi hujan dengan suara yang khas ketika menjamah genteng di atas sana. Hujan pertama sejak kembali ke tanah ini 2 bulan yang lalu. Musim kemarau terpanjang dalam kurun waktu Sepuluh tahun terakhir telah berakhir. Panas yang selama ini membalut hari perlahan mulai berubah sejuk lalu berangsur dingin. Menyeberangkan kembali ingatan menuju tanah kelahiran di pelosok sumatera sana.

Teringat Ayah dan Ibu di halaman yang melepas kepergian dengan wajah yang jelas menahan tangis. Juga tawa ceria kedua adik yang dengan keyakinan penuh berjanji akan segera menyusul. Bergetar ketika memeluk dan mencium mereka. Tumpahan air mata membasahi tanah kering kerontang yang telah lama tak tersiram hujan. Langkah bergetar hebat ketika perlahan kaki melangkah, berjalan menjauh menuju tanah rantau untuk pertama kalinya. Ayah dan Ibu, keduanya tersenyum dalam kekaluan antara harus ikhlas dan tidak rela sulung mereka berangkat menyambangi kota di tanah jawa.

Tepat di belakang mereka berdiri, sebuah rumah kecil nan jelek dan sangat sederhana berdiri sok anggun sambil menitipkan pesan melalui angin-angin yang berhembus menyentuh daun telinga. Itulah bangunan dengan ribuan bahkan jutaan cerita dan kenangan di dalamnya. Bangunan bobrok tempat dimana nantinya raga akan kembali ketika urusan di tanah rantau sudah selesai, hidup ataupun sudah tiada.

Meski tanah rantau ini adalah kota yang bersahabat, namun kampung di pedalaman sana tetap jauh lebih menentramkan. Meski orang-orang di sini hidup dalam fasilitas dan kemajuan, tetap saja kesederhanaan dan alam di bukit barisan lebih memberi pelajaran berharga. Kepada Ayah dan Ibu, ada pesan rindu yang datang untukmu. Sulungmu kini menangis ingin kembali pulang ke rumah. Bersama ingin menyaksikan lagi alam kita yang indah, seindah senyum yang selalu kalian pancarkan bersama embun dipagi hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar