Kamis, Juli 28, 2016

(Masih) Tentang Ayah, Dan Pak Doktor

Kampung indah di pedalaman sumatera

Selamat malam Pak Direktur yang sukses di ibukota, selamat malam juga Pak Dosen bergelar Doktor yang terhormat. Sebagai yang lebih muda, tentu aku harus 'sopan' pada kalian. Pertama-tama, bagaimana kabar kalian malam ini? Sudah berapa banyak makanan yang masuk dalam perut kalian? Bagaimana kabar anak-anak kalian? 

Oke, cukup untuk berbasa basi. Aku bukan seorang yang pandai berkata-kata. Mari kita sedikit bicara tentang apa yang sedang terjadi. Tentang permasalahan yang berlarut-larut tanpa bertemu jalan keluarnya sampai detik ini. Jika aku berkata, mungkin tidak akan pernah kalian dengarkan. Lagipula aku hanya seorang pemuda kampung, anak seorang petani miskin di pelosok sumatera yang keluarganya berjuang mati-matian untuk biaya kuliahnya.

Semua orang sudah mahfum, ayahku dilahirkan setelah Pak Doktor dan sebelum Pak Direktur. Lahir dari rahim yang sama namun ternyata berbeda nasib. Intinya kalian bersaudara -secara biologis-. Ya, secara biologis, karena secara bathin dan kemanusiaan kalian bukanlah seorang yang harusnya dikenal ayah. Tidak, aku tidak bermaksud ikut campur, itu urusan kalian bersaudara, dengan Ayahku, dan juga dengan saudara-saudara kalian yang lain. Termasuk dengan pemimpin kaum kalian yang ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Terseret dunia dan condong ke Pak Direktur yang dompetnya jauh lebih tebal. Tidak mampu membuka mata, tidak pandai memilah, dan tidak pandai menengahi perselisihan. Kepala kaum macam apa itu?

Sebagai seorang anak -sulung- tentu aku tidak bisa terima begitu saja jika Ayahku kalian rendahkan. Boleh kalian remehkan, tetapi tolong, jangan persulit keadaan kami yang tidak berpunya. Nama besar kalian sudah cukup membuat ayahku menderita. Boleh kalian persalahkan ayahku jika benar beliau salah, tetapi tidak dapatkah kalian menunjukkan dimana letak salahnya sehingga dapat diperbaiki? Ayahku menyekolahkanku ditempat yang sebagian besar orang sangka tidak akan sanggup beliau hadapi biayanya. Nyatanya apa? Sampai detik ini alhamdulillah Tuhan masih memberi kesempatan, walau mungkin dengan keadaan yang sangat tertatih. Dan atas itu semua, kalianlah yang dianggap pahlawan. Semua orang melihat, bahwa aku dan kehidupanku kini berasal dari kantong kalian biayanya, padahal itu adalah murni jerih payah ayahku. Jangankan membantu secara materi, secara moril saja kalian tidak pernah. Aku tidak bermaksud mengemis minta bantuan. Hanya sekedar untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.

Pak Direktur yang terhormat, anda adalah pengendali dari semua ini, bahkan kepala kaum itu juga tunduk pada anda. Anda orang berpunya, semuanya bisa anda beli, kecuali keluarga miskin kami. Karena ayahku lebih merasa terhormat untuk meminjam kepada tetangga daripada harus menjilat seperti yang kepala kaum kalian lakukan.

Dan kepada Pak Doktor, anda adalah orang kampus. Orang yang paling tahu tentang pentingnya pendidikan. Tapi yang anda lakukan justru mematahkan semangat ayah untuk menyekolahkanku. Ayahku tidak bergelar seperti yang tersemat di depan dan belakang nama anda, tetapi kenyataannya beliau jauh lebih memahami arti pendidikan dari pada anda Pak Doktor, yang saban hari berkecimpung di dalamnya. Aku ingat betul di hari kelulusanku ketika itu, saat aku diterima di salah satu kampus negeri di tanah jawa, orang yang paling dahulu mematahkan semangat kami adalah anda Pak Doktor. Untung ayahku tidak sebodoh anda, sehingga beliau tidak mempedulikan omongan anda yang tidak beralasan itu, tidak bernurani lebih tepatnya. Beliau bersikeras tetap akan memberangkatkanku. Ayah tidak peduli dengan perkataan anda yang lebih mengarah kepada pencemoohan karena keluarga kami miskin.

Aku sekolah tidak bermaksud agar pintar untuk menghujat anda. Maaf sebelumnya, mungkin caraku salah, tetapi setidaknya aku telah mencoba membukakan mata anda. Gelar yang anda dapat ternyata tidak cukup mampu untuk membuka cakrawala, justru arit dan cangkul yang dipegang ayahku setiap harilah yang lebih mampu untuk menciptakan sebuah pengertian, bahwasanya PENDIDIKAN ITU SANGATLAH PENTING.

Pak Doktor, sebenarnya tumpuanku adalah pada anda, anda yang sebenarnya lebih tahu, lebih dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi. Kepala kaum anda sudah tidak dapat diandalkan untuk menyelesaikan permasalahan. Andalah yang kini seharusnya turun tangan. Namun anda juga ternyata sama saja, tidak lebih pintar dari ayahku yang hanya tamatan SMA.


Ps: Ayah adalah yang terhebat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar