Rabu, April 06, 2016

Penghapus Sepi (Part 2)

Malam mulai menyambangi kota dan dingin mulai menusuk secara perlahan. Dua pasang kaki baru saja melangkah meninggalkan gedung 7 lantai berwarna coklat yang berdiri megah di tengah-tengah kampus. Diam-diam dalam langkah itu mulai terselip rasa dari salah satu hati. Hanya saja tidak ada media dan alasan yang membuat semuanya terungkap. Hari terus berjalan seperti kaki yang terus melangkah. Dunia terus berputar layaknya nafas yang tak pernah berhenti menghirup oksigen.

Malam itu pertemuan berakhir di penghujung makan. 2 jam saja waktu memberi kesempatan untuk mereka bertemu. 2 jam yang teramat panjang untuk diceritakan Rahma, dan 2 jam yang terbilang biasa bagi Iga. Ya, menurut Rahma, Iga sangatlah berbeda. Tulisan-tulisan Iga yang mendayu  dan menyentuh tidak serta merta mewakili bahwa dia adalah seorang yang lemah lembut, perhatian, dan penyayang.

Detik-detik dalam pertemuan ini, Rahma membaca beberapa hal tentang Iga, bahwasanya Iga memiliki pribadi yang bukan dirinya. Karakter-karakter tokoh yang ada dalam tulisannya tak satupun mencerminkan hidup seorang Iga dalam dunia nyata. Akhir-akhir ini Rahma memang rajin membaca postingan-postingan Iga, juga membaca kisah-kisah Iga yang lampau, yang ditulis jauh sebelum mereka berkenalan.

Rahma benar-benar salah terka. 2 jam memang bukan waktu yang cukup untuk menilai pribadi dan keseharian seseorang. Namun 2 jam juga punyai hak untuk menentukan sebuah kesimpulan awal. Rahma agak terkesima, namun hatinya telah terkurung biasan makna kata-kata yang ditulis Iga. Iga yang ternyata cuek dan terkesan jauh dari watak tokoh dalam tulisan-tulisannya, malah dianggap Rahma adalah seorang pribadi yang berkarakter. Dia tidak cool seperti laki-laki kebanyakan, tidak berusaha tampil baik dan elegan, juga gerak-geriknya tidak ingin menjadi perhatian. Tidak seperti kebanyakan tokoh yang di tulis Iga dimana pemeran utama selalu berkarakter maskulin dan sangat laki. 

Iga tampil dengan keadaan yang ada pada dirinya. Dia bicara dengan keadaan yang sedang menimpa dirinya, tidak kurang tidak lebih. Iga muncul sebagai apa adanya keadaan yang mencerminkan dia yang sebenarnya. Bukan hari ini saja, di beberapa pertemuan sebelumnya Iga juga selalu bersikap sama. Tidak ada cerminan untuk menarik hati seorang Rahma, dan itulah yang membuat Rahma merasa ada yang berbeda.

"Kak."

"Yup." Saat itu Iga membenarkan tas ranselnya.

"Besok Kak Iga sibuk?"

"Mau ditemenin makan lagi?" 

Jelas jawaban Iga membuat Rahma tersenyum lebar, hati dan juga mulutnya. Kembali untuk kesekian kalinya Rahma memunculkan merah di wajahnya. Beruntung malam sudah benar-benar gelap sehingga pantulan lampu tak cukup mampu untuk menampilkan rona wajah Rahma yang sebenarnya.

"Tapi sebelumnya mau ke perpustakaan dulu." Balasnya.

"Oke, sekalian aku juga mau download beberapa jurnal besok."

Satu tarikan nafas dalam nan panjang dilakukan Rahma atas jawaban kesediaan dari Iga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar