Selasa, April 05, 2016

Menghapus Sepi (Part 1)

Sepasang mata yang tatapnya sangat biasa, berjalan di sore sepi yang mulai gelap. Menyusuri lorong yang di kanan-kirinya berbaris bangku-bangku dan meja-meja tempat banyak aktifitas biasa dilakukan. Tidak ada yang menyapanya, juga tidak ada yang ia sapa, kecuali seorang laki-laki di pojok dekat belokan lorong sana yang sedang terpaku menatap laptopnya. Rambutnya sudah sedikit acak-acakan, pertanda pusing dan lelah sudah sedikit-sedikit melekat di raganya.

Perempuan itu sudah memperhatikan dari jauh. Dia perlambat langkahnya agar dapat menyaksikannya lebih lama. Memastikan apakah itu laki-laki yang sedang berada dalam pikirannya atau bukan. Jika benar, harus ia pastikan lagi apakah laki-laki itu dapat dia hampiri atau tidak. 

Ketika jarak semakin dekat, mulai dapat dilihatnya apa gerangan yang sedang dilakukan laki-laki itu.

"Menulis." Hatinya bergumam.

Dia tahu bahwa laki-laki itu hobi menulis. Dan bahkan beberapa kali pernah menulis tentangnya. Dia terbuai, perempuan mana yang tak tersengat hatinya ketika mendapat alunan pujian dengan desain kata yang elegan nan romantis. 

Berhenti langkahnya ketika jarak tinggal 3 meter, lalu ia mematungkan diri, melihat sejenak tulisan apa yang sedang laki-laki itu rangkai. Pastinya adalah buaian-buaian kata mendayu, puitis, dan sederhana namun sangat menusuk. Ah, sungguh pintar orang ini bermain kata.


"Ekhm. . ." 

Perempuan itu berdehem, namun tak ada yang menghiraukan, termasuk yang saat ini dia perhatikan.

Agak kecewa, namun iya sudah cukup terhanyut dengan beberapa kata yang dapat dibacanya di layar laptop. Dia diam mematung, sementara kata demi kata terus bermunculan, semakin dalam saja sentuhannya. Ditunggunya hingga ada jeda agak lama agar terkesan tidak mengganggu.

"Kak" Sapanya kemudian.

Beberapa detik sebelumnya sudah muncul tulisan "Bersambung. . . .", sehingga dia punya timing yang tepat untuk menyapa.

"Hey, Rahma."

Jelas saja laki-laki itu agak kaget. Namun dia tidak kehilangan kendali, dan mempersilahkan tamu 'tak sengaja'-nya itu duduk. Lama tak bertemu ternyata perempuan itu masih ingat wajahnya. Mungkin karena sering melihat foto-foto yang ia unggah di beberapa sosial media.

Nama perempuan itu Rahma. Rahma tersenyum ketika laki-laki yang dipanggilnya 'Kak' itu menyebut namanya, manis sekali senyumnya. 

"Kak Iga abis nulis lagi?"

"Iya."

"Tentang?" Rasa penasaran Rahma membuatnya bertanya lagi.

"Kebetulan tentang kamu, Ma. Ini baru selesai part 3 nya, hehe"

Bagai tersengat listrik saat tornado menyerang, Rahma tiba-tiba berubah kikuk dan salah tingkah. Dia tersenyum malu, pipi dan hidung mancungnya memerah. Sudah barang pasti Rahma akan terkesima. Pujian-pujian bernada istimewa pasti ada dalam rangkaian kalimat-kalimat yang di desain Iga. Dan seringkali ketika tulisan-tulisan Iga dibacanya, dia merasa Iga menyukainya.

Ya, akhir-akhir ini Iga memang lebih sering menulis tentangnya. Seorang Rahma yang berasal dari Ibukota, yang memiliki wajah natural indah alamiah, yang masih sedang berjuang mencari seorang pendamping pengisi satu slot kosong di sisinya.

"Rahma dari mana?" 

Pertanyaan yang halus dan lembut, sehalus dan selembut tulisan-tulisan Iga di blognya, membuat Rahma semakin kikuk dan memerah wajahnya.

"Abis kuliah, Kak. Mau makan sih sebenernya tadi."

Rahma menjawab sangat jujur. Awalnya ia memang berniat untuk mampir di Cafetaria karena perutnya sudah keroncongan. Namun di detik berikutnya dia merasa jawabannya seolah sedang memancing Iga, memberi kode pada Iga.

"Mau bareng? Aku juga mau makan."

Jeellttt. Sesimple itulah cara bahagia mengunjungi hati Rahma. Menit berikutnya Rahma tak lagi berjalan seorang diri. Senyum di bibir tipisnya tak mampu ia sembunyikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar