Kamis, Juni 19, 2014

Bersama Sebuah Pesan

Pernah sebuah pesan itu sampai telingaku. Pesan menusuk yang membuatku terdiam sejenak. Sedikit lunglai tubuh saat untaian dari suara lembut itu berbisik di telinga. Satu pesan canda yang maknanya jauh lebih dalam dari sebuah keseriusan. hanya pesan untuk seorang remaja. Bukan pesan kedewasaan yang beliau sampaikan, bukan pula pesan dunia dan akhirat. 

beliau berbicara tentang wanita. Untuk pertama kalinya, beliau berkicau untuk hal semacam ini. tetap dalam kebebasan, namun satu hal yang sangat beliau tekankan malam itu. Tidak ada yang tahu selain kami. Sebelum langkah ini dimulai, dia berbisik. Dalam bisikan itu, yang disaksikan sepasang cicak yang tengah perpadu mesra di langit-langit dekat indahnya cahaya lampu, beberapa kata keluar dari bibirnya yang masih terbalut lipstik merah. Sejenak aku terdiam. Tidak lebih dari 15 detik beliau bicara. Dan itu cukup untuk membuat ku terdiam dan berpikir. Menerawang lebih jauh di sebuh yang masih sangat pagi. Aku terdiam dan terus terdiam, memikirkan pesan yang terus terngiang. Aku akan pergi jauh, tetapi seolah pesan itu menjadi sedikit pemberat untuk kaki segera melangkah. Ingin rasanya untuk lebih lama pantat ini menyentuh kursi tua di ruang tamu yang mulai rusak. Ingin rasanya keadaan seperti ini berhenti sejenak. menguatkan diri untuk melangkah, membawa sebuah pesan dalam kelabilan emosi adalah sebuah terjangan kepada jiwa yang masih berusaha untuk mencari jati diri.

Bukan tiada kesanggupan, bukan tidak mau, dan bukan pula telah direncanakan, hanya saja sangat berat rasanya hati menerima, bagaimana seandainya pesan itu tidak terlaksana? Tak adakah sedikit kelonggaran karena sejatinya semua itu sudah tertulis sejak sebelum aku mengeluarkan tangis pertama? bukankah sudah ada nama yang tersanding di samping namaku untuk sebuah hari yang begitu panjang? Lalu apa makna pesan ini?

Sedikit berat hati akhirnya aku pun melangkah. Waktu terus berganti dan berputar. Metamarfosis detik, menit, jam, hari, minggu dan bulan mulai terlihat dalam nyata. Pesan itu masih terdiam dan tidak bereaksi. Saat ingatan terbang ke pohon kelapa bercabang tiga dibelakang rumah pun, beberapa kata yang dulu terbisik masih diam dan nyaman di posisinya.

Dan kini, beberapa saat sebelum kaki kembali melangkah untuk pulang. Pesan itu baru mulai menggeliat. Dia mulai tergelitik oleh keadaan. Sesaat dia bereaksi, lalu diam lagi. Dan nama itu? Nama yang sudah ditakdirkan sebelum tangisan pertamaku terdengar, sepertinya sudah mulai muncul. Dia telah datang dengan langkah gemulai dan menawan. Hati berkata bahwa itulah dia, itulah nama yang telah tertambat bersama namaku, itulah pesan yang dimaksud yang dulu membuat aku sangat berat untuk melangkah.

Benarkah Dia ??????????????

Tidak ada komentar:

Posting Komentar