Kamis, Januari 08, 2015

Menunggu Keberanian

Tiba-tiba melambung kembali ingatan pada masa beberapa tahun silam. Saat dunia masih penuh dengan tawa dan ceria. Saat rencana di masa depan belum terpikir sama sekali. Saat cinta masih terlalu dini untuk dirasakan. Ingatan yang kadang menimbulkan kerinduan akan sesosok perempuan yang dulu bertahan lama di relung hati. Bagaimana kabarnya sekarang? Mungkin saja dalam keadaan baik, selalu tersenyum dan bahagia dalam hari-harinya, semoga. Terakhir kali berjumpa, aku ingat sekali, di depan gerbang sekolah. Kita bertemu terakhir kali dan sampai sekarang belum lagi bertatap, satu setengah tahun sudah kita tak berjumpa.
Entah apa sebab malam ini aku terbangun. Padahal angka di arloji yang lupa ku lepas masih menuliskan 02.05. Terlalu pagi dan sepi untuk memulai aktivitas. Juga kantuk yang terus memaksa mata agar terlelap kembali, namun perih membuatnya tak  bisa terpejam lama dan harus kembali terbuka.

Kamu, tiba-tiba saja melintas di pikiranku. Membawaku kembali ke sebuah kelas di sudut kompleks sekolah. Aljabar, logaritma, integral, dan sistem reproduksi mengingatkanku akan persaingan kecil yang dulu sangat ketat. Di luar itu semua, sedikit cerita dari sudut yang berbeda juga mengusik otakku malam ini.

Ada sebuah sesal yang sampai sekarang terus dan masih mengikuti. Ada kisah lama yang sulit terlupa. Kisah yang terbilang sedih hanya karena aku tak punya keberanian dan terlalu minder ketika itu. Sesal yang terus kubawa kemana-mana hingga kini.

Kini sedang apa kau di sana? Ingatkah ketika kita ditinggal mereka di kelas? Hanya kita berdua, aku dan kamu yang duduk dalam satu meja di belakang kelas. Tidak ada yang berani masuk. Mereka seolah memberi kesempatan. Hanya kita berdua ditemani angin yang masuk melalui jendela dan ventilasi.

Lalu apa yang kita lakukan? Aku sangat muak untuk mengingatnya. Itu adalah sikap terbodoh yang ku alami dan lakukan. Aku hanya perlu mengucap beberapa kata yang akan kau jawab dengan 2 kata saja. Ya atau tidak. Namun kenyataannya tidak begitu. Lidahku terasa memiliki tulang sehingga tak bisa bergerak, tak mampu mengucap meski hanya beberapa kata saja. Bahkan mata juga tak sanggup menatap, hanya berani melihat lantai yang penuh debu meski baru saja disapu.

Sementara di sampingku, kau diam seperti sedang menunggu sesuatu. Menunggu apa yang akan terucap dari bibirku, dan tak ada kata yang keluar hari itu. Cinta yang hanya kita kenal sebatas kulit ketika tiba-tiba saja lenyap. Hilang dan terbang bersama debu-debu lantai  yang terbawa angin. Kau pergi, sementara aku masih diam tertunduk memarahi keberanian yang tak muncul saat dimana seharusnya ia memainkan peran. Mungkin akan lain jadinya seandainya apa yang kurasa hari itu terungkap. Mungkin saja.

Ah sudahlah, semua sudah berlalu. Sadarkah kau, bahwa sejak saat itu aku jarang melihat senyummu terhampar untukku. Kau marah? Silahkan saja. Kau kesal? Ya, tak ada alasan bagimu untuk mengatakan tidak. Satu hal, dimanapun kau kini berada, aku tetap merindukanmu

"Cintaku di Putih Abu-abu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar