Rabu, Agustus 06, 2014

Anak Tangga ke Tiga



Dia menungguku di tangga menuju lantai 3 di sekolah lama kami. Duduk sendirian dengan tas sandang yang tergeletak disamping kirinya. Terlihat dari kejauhan dia menatap pergelangan tangan kirinya. Sudah cukup lama menunggu tampaknya. Aku memperhatikan dia dari gerbang. Dan dia sama sekali tidak melihatku, juga tidak menyadari seseorang tengah memperhatikannya dari jauh.
                Sejenak ia melepas kacamatanya. Mengusap, lalu kembali memakainya. Saat itu sekolah masih libur. Tampak sangat sepi. Hanya angin sore yang menemaninya dalam penantian hari itu.
                Sudah lama aku tak melihatnya. Setahun yang lalu terakhir kali, ketika ia dan ibunya sedang membeli beberapa keperluan rumah. Ketika itu aku tengah menunggu mobil yang akan mengantarku ke Bandara.
                “Hey Gi” sapanya
                “Cindy” balasku.
                Aku melangkah kearahnya, dia juga melangkah ke arahku. Kami bertemu tepat di depan tangga.
                “Berangkat sekarang?” tanyanya
                “Iya, lagi nunggu mobil” jawabku
                Kami diam beberapa saat, memeperhatikan langkah orang-orang yang lewat di depan kami.
                “Cindy, ayo” Ibunya mengajaknya pergi.
                Awalnya sudah melangkah ke parkiran, lalu beliau melihat Cindy duduk bersamaku di anak tangga ketiga dari bawah. Beliau berbalik. Sedikit tercengang melihatku dengan dandanan tidak biasa. Sebuah tas ransel menggelembung tersandang di punggungku, lalu sebuah koper besar di anak tangga pertama.
                “Eh, Hanagi, mau berangkat sekarang?” Tanya ibunya padaku sambil kami bersalaman.
                “Iya Ma, lagi nunggu mobil jemputan”
                Ma, adalah panggilanku kepada ibunya Cindy, sama seperti dia memanggil Ibunya. Mama
                “oh iya, ada yang kelupaan, mama ke sana sebentar ya” beliau sepertinya mengerti apa yang terjadi lalu meninggalkan kami berdua.
                “Cin, ntar tunggu di parkiran ya.” Ibunya berlalu, menyeberang jalan lalu masuk dalam lost pasar yang kini sudah bersih dan tertata dengan sangat rapi.
                Sepuluh menit kemudian, mobil yang menjemputku berhenti di depan kami.
                “Sampai jumpa satu tahun lagi Cin”
                Dia melambaikan tangan. Mobil yang kutumpangi melaju dan hilang di perempatan menuju Bandara.
                Setahun berlalu. Dia kini duduk menunggu di anak tangga menuju lantai tiga sekolah. Aku lalu melangkah. Menyusuri bagian samping agar ia tak melihatku. Lebih jauh, tetapi itu juga lebih baik. Terbayang olehku, setahun yang lalu kami berpisah di tangga. Dan kini kami akan bertemu kembali di tangga. Meski pada bangunan yang berbeda.
                Tinggal beberapa meter lagi. Dia masih duduk di sana. Aku berhenti melangkah, menatapnya sebentar. Tidak ada yang berubah pada wajahnya. Hanya saja kini ia tampak lebih dewasa.
                Derap langkah pertamaku setelah berhenti terdengar oleh telinganya. Dia berdiri dan setengah berlari ke arahku.
                “Hanagi?” pekiknya.
                Kami berjabat tangan. Beda tinggi kami ternyata tetap sama seperti dulu. Sangat dekat saat itu jarak antara aku dan Cindy. Aku kemudian mengajaknya duduk. Dia menuju tangga dan sampai lebih dulu kemudian duduk di anak tangga ke tiga. Aku mengikutinya dan duduk di anak tangga ke empat.
                “Kenapa di atas?” tanyanya.
                “Ada yang salah?” Aku bertanya balik.
                Dia menggeleng lalu menengadah melihatku yang duduk lebih tinggi.
Aku sengaja memilih duduk lebih tinggi darinya, agar lipatan kaki atau lututku dapat bersentuhan dengan lengannya. Akan terlihat lebih mesra, apalagi jika tangannya bersandar di pahaku, persis seperti di FTV negeri ini yang ceritanya mudah di tebak.
                Dan ternyata benar saja. Rasa rindu membuat kepalanya rebah di tubuhku. Aku merangkulnya. Dulu selama SMA, kami tak sempat melakukan hal seperti ini. Ketakutanku menyatakan perasaan membuat dia sempat berpaling. Lalu pertemuan kami di anak tangga pasar ketika itu, membuatku sampai sekarang tidak bisa melupakannya. Dia sepertinya juga begitu. Perasaanku juga mengatakan demikian. Jika tidak, mengapa dia saat ini merebahkan kepalanya ke tubuhku, lalu mengapa ia sama sekali tak menghindar saat aku melingkarkan tangan kiriku di tubuhnya. Bahkan dia merubah posisi agar kami sama-sama merasa lebih nyaman. Dan yang lebih nyata, mengapa dia mau menungguku seorang diri di tempat sepi seperti ini.
                “Setahun berlalu ternyata gak ada yang berubah sama kamu Gi” Dia membuka percakapan sore itu dalam dekapanku.
                “Ada” jawabku
                “Apa?” tanyanya sambil menengadah, menatap mataku sangat tajam.
                Aku tidak langsung menjawab. Kubalas lebih tajam tatapan matanya
                “sekarang aku berani bilang, kalo aku sayang kamu”
                Dia tersenyum, mencubit perutku dan aku mengerang. Kemudian dia tertawa, lalu aku mencubit hidungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar