Jumat, Agustus 08, 2014

Akselerasi



“Ada yang berbeda” katanya ketika kami mulai meninggalkan sebuah tempat makan lesehan.
                Baru saja aku dan kawan lamaku di kelas akselerasi semasa SMP melakukan reuni kecil-kecilan. Saling melepas rindu dan sedikit nostalgia diantara tawa yang terus berkumandang dari sore hingga malam menyelimuti.
                “Apa?” kataku.
                “kamu bukan Yudha yang ada di SMA” dia berhenti melangkah dan berbalik ke arahku yang sedikit berada dibelakangnya.
                “Terus?” aku sama sekali tak mengerti maksud perkataannya.
                “Ya beda aja, tadi kamu beda, coba bandingin pas kita nongkrong bareng anak-anak” dia menarik napas dalam-dalam.
                Aku mencoba mencerna. Anak-anak yang dimaksudnya adalah teman tongkrongan kami semasa SMA dulu. Sedikit aku mulai mengerti. Yang dimaksudnya adalah aku ketika bersama kawan tongkrongan dan aku yang saat ini, yang sedang bereuni dengan anak-anak akselerasi semasa SMP.
                “Mungkin, aku juga ngerasa agak beda” Aku melanjutkan dan melangkah mendahuluinya.
                Dia menyusul dan mengikuti irama langkahku yang terus menjauh dari tempat kami tadi kami bermain kartu.
                “Kamu ngerasain apa?’ dia bertanya begitu kembali melangkah disampingku.
                Aku berhenti, berbalik menatapnya. Gerimis masih saja terus turun, cahaya lampu juga sangat jelas menyorot butiran-butiran gerimis yang jatuh menyentuh tanah.
                “Aku ngerasa yang beda bukan cuma aku, kamu juga”
                “maksudnya?” dia tampak bingung.
                “Apa yang kamu pikir tentang aku sama kayak yang aku pikir tentang kamu”
                “Oh ya?”
                Tinggal aku dan dia di tempat itu. Sementara yang lain sudah beranjak pulang dan hilang di gelapnya malam.
                “Udah pada pulang tuh, yuk minggat” Aku mengubah topik dan mengajaknya pergi meninggalkan tempat itu.
                “Cerita kita belum selesai lo Yud, kasih tau kalo kamu udah di rumah” Dia lalu memacu motor maticnya, dan aku menjadi orang yang terakhir pulang malam itu.
               
                                                XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

                “Udah di rumah, mau ngapain Mi” sebuah sms kulayangkan ketika aku berbaring di atas Kasur.
                “Aku telpon ya” balasnya singkat.
                Belum sempat aku membalas, handphoneku berdering. Dia langsung menelpon tanpa persetujuanku terlebih dahulu.
                “ekhm, aku gak ngerti maksud kamu tadi” dia langsung menuju topic pembicaraan tanpa sedikitpun basa basi.
                “yang tadi mana?” Aku masih berpikir.
                “Apa yang kamu pikir tentang aku sama kayak yang aku pikir tentang kamu” dia meniru kata-kataku sekaligus menirukan gaya bicaraku dengan nada yang sangat meledek.
                “oh, emang bener kan?”
                “Aku gak ngerti”
                Ternyata yang aku katakan tadi menjadi bahan yang sedikit mengganggu di hatinya. Kami merasakan hal yang sama. Tiga tahun bersama selama SMA sudah cukup untuk kami saling mengerti sifat satu sama lain. Hanya saja semuanya masih terselubung karena tak pernah tersebutkan oleh mulut.
                “Udah lama aku gak liat kamu ketawa lepas kayak tadi” kataku kemudian.
                Dapat kupastikan dia sedang tersenyum disana. Desahan napasnya yang terdengar jelas menyatakan bahwa dia setuju dengan opiniku.
                “Kamu juga beda. Gak kayak kalo lagi ngumpul sama anak-anak, lebih banyak diemnya” Suaranya agak berat, seolah terdengar seperti menahan sesuatu.
                “So?” aku menjawab pendek dan langsung disambungnya.
                “Kita merasakan hal yang sama”
                “Udah aku bilang dari tadi kaan”
                Kami terus membahas apa yang sedang terjadi pada diri masing-masing. Secara tidak sadar hari ini kami menjelma menjadi seorang dengan jiwa yang berbeda. Bersama mereka (kelas akselerasi ketika SMP) baik aku taupun dia merasa jauh lebih menemukan diri kami yang sebenarnya. Tidak ada hal yang membuat kami harus menahan diri, semua terasa lepas begitu saja.
                Kami terus bicara hingga larut malam. Mungkin tidak disadarinya, bahwa rasa penasarannya telah membuat aku mengerti akan sesuatu. Tidak selalu jiwa yang muncul adalah pribadi yang sebenarnya. Terkadang kita memiliki jiwa terselubung yang tidak selalu muncul tetapi itulah kita yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar