Minggu, Februari 21, 2016

Pelajaran dari Obrolan


Apa yang terjadi jika kesepian sedang melanda detik-detikmu yang sebenarnya berharga? Diam, itulah yang sebagian orang lakukan ketika diterjang sepi tanpa tahu harus berbuat apa, termasuk kamu mungkin saja. Ditambah lagi jika di luar sana hujan sedang membahana dan kamu tertahan seorang diri di kamar dimana hanya kamu satu-satunya makhluk yang ada di sana. Kamu seolah merasakan baunya, meresap perlahan dan menyejukkan kepalamu yang sedang tidak baik kondisinya.

Aku jadi teringat akan sesuatu yang boleh dibilang sebenarnya tidak terlalu penting. Tetapi juga bukan hal yang remeh untuk dilupakan begitu saja, karena ternyata cukup berarti. Dulu, aku pernah bicara dengan seseorang di Ibukota, melalui jaringan telefon tentu saja, karena saat itu aku sedang berada di Malang. 

Kami tidak pernah berkenalan sebelumnya, bertemu juga tidak. Yang membuat adanya interaksi saat itu adalah Cinta. Ya, cinta memang memiliki banyak fungsi jika pandai menjinakkannya. Sayangnya itu bukanlah hal yang mudah. 

Oke, tentang nostalgia sederhanaku kali ini. Ketika di Malang, aku jatuh cinta pada seseorang. Dia berasal dari kota yang hampir semua orang di negeri ini ingin menginjakkan kakinya di sana. Kami bertemu di sebuah kampus yang (katanya) namanya cukup tersohor. Jika begitu adanya, berarti kampus ini telah melakukan sebuah kesalahan fatal, yaitu menerimaku sebagai salah satu mahasiswanya. Mengapa? Ah, aku tidak ingin menghina diriku sendiri. 


Akibat cinta, aku berbicara dengan seorang yang entah siapa, entah seperti apa rupanya, entah bagaimana wataknya, dan masih banyak entahnya lagi. Kami tidak saling memperkenalkan diri ketika itu. Hanya saja kami tahu nama masing-masing. Kami dibuat seperti itu oleh efek jatuh cinta.

Saat itu libur semester ganjil, semester 3 kalau aku tidak salah, cinta yang kutemukan di Malang balik ke tanahnya melepas rindu. Sementara aku tetap tinggal karena terlalu jauh rasanya untuk menyeberang ke Sumatera menghabiskan libur yang hanya 3 minggu lamanya. Sebut saja namanya Vina. Ya, Vina. 

Malam itu, di hari ke 9 sejak kepulangan Vina ke Jakarta, aku merasa rindu lalu menelfonnya (maksudku, aku rindu lalu memintanya untuk menelfonku :D). Beberapa saat lamanya kami bicara, bertukar kabar dan berbagi cerita, tetapi tidak diberitahukannya bahwa di sana dia tidak sedang sendiri. Ada 2 orang di tempatnya berada kini, yang mendengar semua percakapan kami. 

“Mau ngomong sama mereka?” Tanya Vina saat kami kehabisan topik. 

Awalnya aku diam saja, karena memang aku bukan seorang yang dengan mudah dapat bicara leluasa dengan orang baru, ditambah bahasa dan logat ibukota yang bagi telingaku agak lain. 

“Ya udah, mana?” 

Tiba-tiba aku bersedia, padahal hati kecilku menolak keras, tetapi cinta membuat hati dan lidah jadi tak bisa bekerja sama. Jika kalian tidak percaya, coba rasakan saat nanti kalian jatuh cinta, jatuh cinta yang sebenarnya. 

Jadilah akhirnya beberapa menit aku bicara dengan salah satu dari mereka. 

Masih sangat jelas dalam kepalaku obrolan apa saja yang malam itu terjadi. Kebetulan hari itu adalah malam Minggu. Sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya antara obrolan dengan malam Minggu, aku hanya ingin memberi tahu saja. 

Berapa lama kami bicara, aku tak menghitungnya. Aku punya sedikit ketidakakuran dengan waktu, kami ada sedikit gesekan perihal masa lalu, jadi aku tidak bisa memperkirakannya. Yang jelas malam itu adalah pertama kalinya aku bicara dengan salah satu orang terdekat Vina di Jakarta. Menurut prediksi dan analisa singkatku (cieee, yang gagal masuk Psikologi), perempuan itu (agak sungkan menyebut namanya, pakai nama samaran juga tidak enak) adalah seorang yang banyak omong dan cukup cerewet. Mengimbangi sifat Vina yang cenderung lebih pendiam. 

Jadi, apa yang aku dan perempuan itu (maaf, lagi-lagi gak enak kalau nyebut nama) bicarakan? Tidak ada yang penting. Tetapi dari ketidakpentingan itu aku dapat memperkirakan bagaimana jadinya jika aku, Vina, dan perempuan itu berada di kota yang sama. 

Pertama, jelas saja hubunganku dengan Vina tidak selalu baik karena dalam beberapa hal aku memang terkesan egois, seenaknya, dan ingin menang sendiri. Tidak mungkin kawan dekat Vina itu akan diam saja melihat sahabatnya sering terluka dan kecewa. Kedua, sudah menjadi tabiat manusia terutama perempuan, seandainya orang terdekat mereka tersakiti, pasti akan menjadi yang paling depan untuk membela. Ketiga, aku tidak siap untuk itu. Keegoisan dan kearogananku tidak akan pernah mau menjadi tumbal dan bercak kesalahan, walaupun jelas-jelas pembuat noda itu adalah sikapku sendiri. Keempat, aku adalah seorang yang perasa. Akan sangat sulit untuk memaafkan diriku sendiri jika ada yang jelas-jelas tidak menyukai sikapku. Hal-hal semacam itu akan selalu membayang dan menjadi beban dalam pikiranku. 

Saat ini kurenungkan, ada satu pelajaran yang dapat kuambil dari obrolan dengan kawan dekat Vina saat itu, perempuan yang dari ocehannya itu ku prediksi adalah orang yang supel dalam bergaul dan terkesan blak-blakan.  Cara bicaranyalah yang membuat aku mengerti akan sesuatu yang tidak pernah diajarkan di bangku akademik. Jika menyayangi seseorang, tidak cukup dengan menaklukkan hatinya saja, tetapi perlu menaklukkan hati orang-orang disekitarnya juga. Entah untuk apa, pastinya suatu saat nanti akan berguna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar