Rabu, Februari 03, 2016

Bertemu Ratna


Gemeretuk gigi ketika menyentuh air tak dapat dihindari, gemetar badan saat melangkah juga tidak bisa ditutupi. Bulu-bulu tangan berdiri ketika tersapa angin subuh. Seperti robot gerakan wajib 2 rakaat pagi itu. Masih pukul 4 lebih sedikit.
Setengah 5, udara mulai bersahabat, dingin tidak lagi memenjara. Badan yang lelahnya belum hilang sejak kemaren sore kembali merebah di Kasur empuk sekitar 30 cm dari lantai. Kebetulan tidak ada kegiatan hingga siang ini.
Sekitar 5 menit lamanya, mata pun saat itu belum sempat memberadukan kembali dua sisi kelopaknya, tiba-tiba ada yang bergetar di atas meja. Dengan sedikit gerakan ke arah kiri, kujorokkan badan dan meraih Handphone yang tergeletak manis di sana.
Sebuah pesan masuk dari Kota Bandung. Ini hari ke 4 semenjak acara itu selesai. Hari ke 6 sejak kami pertama berkenalan, dan hari ke 7 sejak aku pertama kali melihatnya. Tidak ada yang penting sepertinya, hanya sebuah ucapan selamat pagi yang menghangatkan dingin pagi itu.
Tersenyum aku membaca dan agak tergesa membalasnya. Mata yang tadinya cukup berat meskipun belum terlelap kembali terasa ringan untuk berkedip. Kutarik selimut dan sedikit agak bermanja pagi itu sambil menunggu balasannya.
Gerangan apa yang membuatnya menyapa pagi ini? Tentunya ada sesuatu yang cukup penting. Tidak mungkin sekedar menyapa dan mengucap selamat pagi saja. Aku menunggu itu, sambil berbaring di kasur yang semakin empuk terasa akibat membaca namanya.
“Kapan mau main ke Bandung, Mas?” Begitu bunyi balasannya.
Sejenak aku berpikir, sampai detik ini aku belum punya rencana apa-apa untuk mengunjungi kota Mode. Memang pernah terniat beberapa kali untuk berjalan-jalan ke sana, beberapa kali pula niat itu batal terlaksana. Dan subuh ini bahkan bayangan kota Bandung pun tidak masuk dalam kepala.
“Insya Allah, kalau ada waktu ya.”
Ah, singkat sekali jawabanku. Ku pikir dengan begitu percakapan kami pagi ini akan berakhir dengan sebuah pesan terakhir darinya dengan kata penutup seperti, “Oh, ya sudah kalau begitu”, atau “oke deh, Mas”. Buru-buru aku menyesal atas apa yang baru saja kutulis dan sudah ada laporan terkirimnya.
Dan memang benar, dia agak lama membalasnya. Mungkin berpikir jawaban apa yang sekiranya pas untuk kata-kataku yang terkesan sombong dan tidak ingin berkomunikasi itu. Sontak saja rasa was-was muncul memburu nafas. Dan aku pun dibuat uring-uringan tidak jelas karenanya.
“Hmmm. . . ya sudah, Mas”
Owgh, dan benar saja, sesuai dengan prediksiku dia membalasnya. Namun kecewaku cukup hilang ketika membaca chat nya di baris kedua dan ketiga.
“Jangan lupa kabarin ya kalau main ke sini.” Itu isi baris kedua dan aku tersenyum.
“Nanti pasti di service kok kalau datang” Dan aku tidak menyia-nyiakan baris ketiga dengan memperpanjang percakapan, hingga akhirnya sampai dia berangkat kuliah kami masih terpaku dalam kolom chatting.
Hari berlalu dengan kegiatannya yang super sibuk dalam beberapa hari dan cenderung lama membalas chattingku. Aku pun memaklumi karena dari apa yang dia ceritakan dia sudah mulai masuk kuliah semenjak beberapa minggu yang lalu sementara aku masih menyisakan libur sekitar 2 minggu lagi.
Awalnya kami terpaku dalam keformalan bahasa saat chatting, dia memanggilku Mas dan aku memanggilnya Teteh. Entah bagaimana mulanya, muncul kesepakatan untuk tidak lagi memakai kata sapaan.
“Gak usah panggil Teteh, kaku banget kayaknya.”
Ya, dengan demikian, dengan langsung menyebut nama, percakapan kami jauh terasa lebih hidup, tidak canggung dan terasa lebih akrab. Hingga suatu malam aku berani menelponnya karena memang sedang benar-benar tidak ada kegiatan malam itu.
“Kamis besok aku ke Bandung.” Begitu kataku di telfon.
“Bener? Ada acara apa di bandung?” Terdengar logat sundanya yang masih kental.
“Cuma menghabiskan liburan. Suntuk juga seminggu lebih nggak kemana-mana.”
“Mau aku jemput?” Tawarannya membuat aku terdiam.
“Memang kamu gak kuliah?”
Tanyaku sedikit berbasa-basi padahal itulah tujuanku sebenarnya untuk menelpon malam ini. Namun jika pun memang dia tidak bisa, tidak masalah bagiku. Banyak temanku yang sedang berada di bandung, teman SMA, teman satu kampus, dan juga teman-teman bekas aku mengikuti acara-acara tingkat nasional maupun regional. Tetapi dengan dia, tentu ada cerita menarik yang akan membuatku tersenyum setiap sebelum tidur.
“Kamu berangkat kamis siang kan? Berarti sampe di Bandung Jumat pagi. Aku gak ada kelas Jumat pagi.”
Yup, aku paham maksudnya. Berarti dia bisa dan bersedia menjemputku ke stasiun.
Masih 2 hari lagi jadwal keberangkatanku, tiket sudah di tangan dan beberapa kawan yang ada di Bandung juga sudah kukabari. Percakapan dengan, oh iya aku lupa memperkenalkan namanya. Lengkapnya Ratnasih Rosalia Fitri Dewi dan aku memanggilnya Ratna. Percakapan dengan Ratna melalui chatting tetap berlanjut.
“Otw Bandung, Teh.” Ku kabari saat kereta baru saja bergerak meninggalkan Malang.
“Hati-hati di jalan Mas, besok aku tunggu di pintu keluar stasiun.” Ya, sesekali kami memang masih menggunakan kata sapaan sekedar untuk mencairkan suasana.
Tidak banyak yang bisa kuceritakan selama perjalanan Malang-Bandung. Langsung saja ketika aku hampir sampai di stasiun. Aku terakhir kali berbalas chatting dengan Ratna tadi sekitar pukul stengah 6. Sejam yang lalu. Chatting kami terputus ketika dia katakan 5 menit lagi berangkat ke stasiun karena rumahnya cukup jauh. Dan ketika akan memasuki stasiun Bandung, aku kabari lagi Ratna. Tidak ada balasan dan dalam pikiranku mungkn dia sedang berada di jalan.
Pukul setengah 7 kereta berhenti, dan balasan dari Ratna belum juga masuk. Mungkinkah dia masih di jalan? Aku berlama-lama di kereta sambil menunggu balasaan Ratna, dan juga berlama-lama di kamar mandi stasiun karena belum juga dia membalas pesanku.
Langkah kuusahakan sepelan mungkin agar lama sampai di pintu keluar. Aku mulai khawatir, rasa was-was mulai bergelayut di dada. Gemuruh tidak karuan menyelimuti pikiran di kepala. Setiap beberapa detik aku cek Hp dan ternyata kosong. Hingga akhirnya aku benar-benar tiba di depan pintu keluar stasiun. Sudah sepi ketika itu karena memang aku sangat berlama-lama di kereta dan kamar mandi. Terlihat hanya beberapa orang yang sedang berjalan ke luar dan beberapa orang yang menunggu.
Kuperhatikan satu per satu wajah yang ada di sana. Meskipun baru sekali bertemu aku tidak ungkin lupa wajah Ratna. Tingginya sepipiku, tidak gemuk dan tidak kurus, kulitnya putih dan biasanya berkacamata. Gerak-geriknya khas sehingga dengan mudah dapat dikenali.
Tidak ada !!! Ratna tidak menjemputku. Apakah dia mengerjaiku? Kucoba menelfon nomor yang kemaren dia berikan kalau-kalau tidak bisa dihubungi lewat akun sosial. Awalnya masuk, tetapi tidak ada jawaban. Kedua kalinya kutelpon, masuk, namun dimatikan. Dan kuulang sekali lagi nomornya sudah tidak aktif. Ada apa gerangan? Benarkah aku sudah dikerjai?
Dalam hati, aku masih berharap dijemput Ratna, sehingga kuputuskan untuk menunggu dulu di stasiun. Mungkin saja dia terlambat atau bagaimana. Namun 2 jam berlalu, tidak ada tanda-tanda akan kedatangan Ratna. Aku putuskan menghubungi kawan SMA ku yang sudah pindah ke Bandung, kebetulan dari alamat yang dia berikan, rumahnya tidak jauh dari stasiun sehingga aku dapat berangkat sendiri ke sana.
Tidak bertemu dengan Ratna, aku melepas rindu dengan Kensa yang sudah 5 tahun tidak berjumpa. Dengannya akhirnya aku ditemani berkeliling Paris van Java. Dia ternyata kini kuliah sambil membuka usaha sendiri. Jadilah aku selama 3 hari di Bandung sama sekali tidak mengeluarkan uang. Full dibiayai makan gratis, penginapan gratis, dan tiket masuk ke tempat wisata secara gratis.
Memasuki hari ke 4, subuh sekali bahkan azan subuh belum berkumandang, Hp ku berdering, ada panggilan yang nomornya tidak tersimpan di hp. Aku berharap yang menghubungi adalah Ratna.
“Halo” Suaraku pelan karena memang masih terlalu gelap dan sepi.
“Gi, masih di Bandung? Maaf kemaren aku gak jadi jemput, maaf banget. Masih di Bandung gak sekarang?” yang menelponku bicara dengan sangat tergesa-gesa, baik aku dan kalian tentu sudah paham siapa yang menelpon. Tidak perlu dijelaskan lagi bukan?
“Iya, masih.” Jawabku dan langsung di potongnya.
“Kamu tinggal di mana?”
Kusebutkan alamat rumah Kensa tempat selama 3 hari ini aku numpang menginap dan makan, juga numpang diajak jalan-jalan.
“Oh iya aku tahu. Ntar siang kamu ada acara? Aku ke sana ya.”
Sebenarnya hari ini aku akan diajak jalan ke beberapa tempat oleh Kensa. Tapi mendengar suara dari Ratna aku merasa gampang saja untuk membatalkan acara dengan Kensa.
“Nggak kok.” Akhirnya aku menjawab.
“Jam 9 ya aku ke sana.”
Aku penasaran akan cerita Ratna yang sudah berjanji menjemput dan mengajak berkeliling Bandung tiba-tiba hilang begitu saja ketika aku benar-benar menginjak tanah Sunda. Marah? Tidak. Kecewa? Tidak juga. Pastinya ada sesuatu yang sedang terjadi dan aku sangat ingin tahu akan hal itu
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku hanya bisa terdiam mendengar penjelasan panjang Ratna selama 3 hari menghilang. Saat itu kami sedang duduk di alun-alun Bandung. Aku diam saja dan tidak banyak berkomentar. Takut salah bicara atas keadaan yang sedang terjadi pada Ratna. Ceritanya yang sangat detail sampai sudut-sudut terkecil membuat aku luluh. Ada rasa iba yang sekaligus terselip kagum padanya. Ah, bagaimana seandainya aku yang berada di posisi Ratna? Apakah aku bisa sekuat dan setegar itu?
Aku putuskan untuk menambah hari dan lebih lama menghabiskan waktu di Bandung hingga liburanku benar-benar habis. Dan setiap harinya aku bertemu Ratna dan kami jalan-jalan hingga sudut kota. Ratna akhirnya mengantarku lagi ke stasiun dan itu terakhir kali aku bertemu dengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar