Berharap
ada pelangi untuk menghibur, nyatanya sore ini dia tak muncul. Padahal hujan
telah lama mengguyur. Telah berhenti dan kini waktunya pelangi untuk naik ke singgasana.
Sayang sekali, kali ini ia enggan menampakkan pesona. Sore hanya diisi seberkas
cahaya jingga di ufuk barat. Tidak ada barisan warna yang elegan bertahta.
Tidak ada setengah lingkar raksasa yang menghias senja.
Lama
kita tak jumpa wahai mahkota, aku minggat sesaat dari kotamu. Ada sesuatu yang
harus dikerjakan dan itu adalah kewajiban. Aku tinggalkan pesan dalam sepucuk
surat sesaat sebelum berangkat, apakah kamu membacanya?
“Surat?”
Tanyamu dengan wajah bingung bercampur kaget dan setengah tidak mengerti.
Ya,
aku tinggalkan beberapa untaian kata yang kutulis menggunakan pulpen tebal
pemberianmu dulu. Di atas secarik kertas berwarna biru yang sebenarnya dulu
juga kepunyaanmu. Tapi sampai detik ini tampaknya kamu belum menerima surat
itu.
“Aku
tidak tahu apa-apa.” Begitu jawabmu.
Aku
pun ikut bingung jadinya, dimana surat itu kini berada? Apakah sudah lenyap? Tersapu
hujan dan anginkah?
“Pesan
apa yang kamu tinggalkan?” Kamu bertanya lagi.
Tidak
ada yang terlalu penting sebenarnya, hanya untaian kata yang kurakit sendiri. Bermaksud
menceritakan perasaanku saat meninggalkan kamu dan kotamu.
“Seperti
apa perasaanmu?”
Pertanyaanmu
kali ini membuat aku shock. Kamu bertanya terlalu menusuk. Ah, kamu memang
selalu begitu. Tetap tidak pernah mengerti aku bahkan sampai detik ini. Jika mampu
mengungkapkan dengan kata, tidak perlu aku bersusah payah menulisnya. Tinggal
kupencet saja nomormu dan kita bicara di telefon.
Kamu
tersenyum mendengar jawabanku, beberapa saat kemudian kamu menunduk. Aku tahu,
tidak perlulah kamu merasa bersalah dengan ketidakmengertianmu akan aku dan
perasaanku.
Bersambung. . . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar