Rabu, Februari 10, 2016

Isi Sepucuk Surat (Part 1)


Berharap ada pelangi untuk menghibur, nyatanya sore ini dia tak muncul. Padahal hujan telah lama mengguyur. Telah berhenti dan kini waktunya pelangi untuk naik ke singgasana. Sayang sekali, kali ini ia enggan menampakkan pesona. Sore hanya diisi seberkas cahaya jingga di ufuk barat. Tidak ada barisan warna yang elegan bertahta. Tidak ada setengah lingkar raksasa yang menghias senja.

Lama kita tak jumpa wahai mahkota, aku minggat sesaat dari kotamu. Ada sesuatu yang harus dikerjakan dan itu adalah kewajiban. Aku tinggalkan pesan dalam sepucuk surat sesaat sebelum berangkat, apakah kamu membacanya?

“Surat?” Tanyamu dengan wajah bingung bercampur kaget dan setengah tidak mengerti.

Ya, aku tinggalkan beberapa untaian kata yang kutulis menggunakan pulpen tebal pemberianmu dulu. Di atas secarik kertas berwarna biru yang sebenarnya dulu juga kepunyaanmu. Tapi sampai detik ini tampaknya kamu belum menerima surat itu.

“Aku tidak tahu apa-apa.” Begitu jawabmu.

Aku pun ikut bingung jadinya, dimana surat itu kini berada? Apakah sudah lenyap? Tersapu hujan dan anginkah?

“Pesan apa yang kamu tinggalkan?” Kamu bertanya lagi.

Tidak ada yang terlalu penting sebenarnya, hanya untaian kata yang kurakit sendiri. Bermaksud menceritakan perasaanku saat meninggalkan kamu dan kotamu.

“Seperti apa perasaanmu?”

Pertanyaanmu kali ini membuat aku shock. Kamu bertanya terlalu menusuk. Ah, kamu memang selalu begitu. Tetap tidak pernah mengerti aku bahkan sampai detik ini. Jika mampu mengungkapkan dengan kata, tidak perlu aku bersusah payah menulisnya. Tinggal kupencet saja nomormu dan kita bicara di telefon.

Kamu tersenyum mendengar jawabanku, beberapa saat kemudian kamu menunduk. Aku tahu, tidak perlulah kamu merasa bersalah dengan ketidakmengertianmu akan aku dan perasaanku.

Bersambung. . . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar