Kamis, Februari 11, 2016

Isi Sepucuk Surat (Part 2)


Sekitar 11 bulan lamanya kita tidak bertatap muka. Berkirim pesan dan berbagi foto adalah cara yang kita lakukan untuk sama-sama meredam rindu. Juga beberapa kali kita berkabar melalui suara, aku menelfonmu atau kamu yang menghubungiku.

“Kamu kapan balik ke Malang?” Kamu bertanya (lagi).

Seingatku itu adalah pertanyaanmu yang ke 64 di bulan ke 8 aku tidak berada di kotamu. Aku mengikat oksigen sangat banyak dahulu sebelum menjawab pertanyaan yang tiada bosan kamu ulangi. Aku bernafas dalam sekali.

“Aku balik ke sana bulan Juli, sebelum tanggal ulang tahunku.”

Dengan jawaban, nada, kata, kalimat, dan intonasi yang sama aku menjawabnya. Sampai malam itu aku telah mengucapkan jawaban yang serupa sebanyak 64 kali sesuai dengan jumlah pertanyaanmu.

Kini aku sudah berada di kotamu lagi, bahkan saat ini aku berada di hadapanmu. Adakah sesuatu yang ingin kamu sampaikan mengingat seringnya kamu bertanya kapan aku balik ke Malang lagi?

“Nanti dulu.” Katamu.

“Aku lebih tertarik pada surat yang tadi kamu bicarakan.” Kamu melanjutkan.

Aku sedikit terhenyak, sejujurnya aku sudah lupa seperti apa rangkaian kalimat yang ada dalam surat itu. Dapat kamu bayangkan, 11 bulan bukanlah waktu yang sebentar hanya untuk tetap hafal kata demi kata dalam sebuah surat yang panjangnya mungkin sekitar 300-400 kata.

“Inti dari suratmu apa?” Kamu kritis sekali dalam bertanya. Tidak salah sang Presiden BEM menempatkanmu pada jabatan Direktur Jendral.

Tidak ada intinya, apa yang tertulis dalam surat itu adalah sebuah rangkaian kata yang saling terhubung untuk mengungkapkan perasaanku, karena saat itu aku tidak bisa bermain kata menggunakan lidah.

“Kamu ingat rangkaian katanya seperti apa?” Pertanyaanmu membuat aku merasa sedang menjadi seorang tersangka.

“Ya, beberapa.” Aku menjawab pertanyaanmu.

Di luar perkiraanku, kamu ternyata tidak lanjut bertanya. Kupikir awalnya kamu akan melontarkan pertanyaan lagi seperti ‘Boleh aku mendengarnya?’ atau ‘Bisa kamu bacakan yang beberapa itu sekarang?’. Nyatanya tidak, kamu tersenyum kepadaku, tiba-tiba meneteskan air mata.

Bersambung. . . . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar