Sekitar
11 bulan lamanya kita tidak bertatap muka. Berkirim pesan dan berbagi foto
adalah cara yang kita lakukan untuk sama-sama meredam rindu. Juga beberapa kali
kita berkabar melalui suara, aku menelfonmu atau kamu yang menghubungiku.
“Kamu
kapan balik ke Malang?” Kamu bertanya (lagi).
Seingatku
itu adalah pertanyaanmu yang ke 64 di bulan ke 8 aku tidak berada di kotamu.
Aku mengikat oksigen sangat banyak dahulu sebelum menjawab pertanyaan yang
tiada bosan kamu ulangi. Aku bernafas dalam sekali.
“Aku
balik ke sana bulan Juli, sebelum tanggal ulang tahunku.”
Dengan
jawaban, nada, kata, kalimat, dan intonasi yang sama aku menjawabnya. Sampai malam
itu aku telah mengucapkan jawaban yang serupa sebanyak 64 kali sesuai dengan
jumlah pertanyaanmu.
Kini
aku sudah berada di kotamu lagi, bahkan saat ini aku berada di hadapanmu.
Adakah sesuatu yang ingin kamu sampaikan mengingat seringnya kamu bertanya
kapan aku balik ke Malang lagi?
“Nanti
dulu.” Katamu.
“Aku
lebih tertarik pada surat yang tadi kamu bicarakan.” Kamu melanjutkan.
Aku
sedikit terhenyak, sejujurnya aku sudah lupa seperti apa rangkaian kalimat yang
ada dalam surat itu. Dapat kamu bayangkan, 11 bulan bukanlah waktu yang
sebentar hanya untuk tetap hafal kata demi kata dalam sebuah surat yang
panjangnya mungkin sekitar 300-400 kata.
“Inti
dari suratmu apa?” Kamu kritis sekali dalam bertanya. Tidak salah sang Presiden
BEM menempatkanmu pada jabatan Direktur Jendral.
Tidak
ada intinya, apa yang tertulis dalam surat itu adalah sebuah rangkaian kata
yang saling terhubung untuk mengungkapkan perasaanku, karena saat itu aku tidak
bisa bermain kata menggunakan lidah.
“Kamu
ingat rangkaian katanya seperti apa?” Pertanyaanmu membuat aku merasa sedang
menjadi seorang tersangka.
“Ya,
beberapa.” Aku menjawab pertanyaanmu.
Di
luar perkiraanku, kamu ternyata tidak lanjut bertanya. Kupikir awalnya kamu akan
melontarkan pertanyaan lagi seperti ‘Boleh aku mendengarnya?’ atau ‘Bisa kamu
bacakan yang beberapa itu sekarang?’. Nyatanya tidak, kamu tersenyum kepadaku,
tiba-tiba meneteskan air mata.
Bersambung. . . . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar