Sabtu, Februari 13, 2016

Isi Sepucuk Surat (Part 4)


Malam tampaknya sudah agak larut. Waktu bertamu sudah tiba di penghujung. Aku berniat pamit pulang meski sebenarnya ada beberapa yang belum tersampaikan. Di seberang meja, kamu tampaknya juga belum menginginkan kita berpisah malam ini. Seperti ada satu rahasia lagi yang sangat penting yang belum terutarakan.

“Ini terakhir kita bertemu?”

Suaramu berubah menjadi serak basah. Saat itu aku sudah tiba di pagar. Dan pertanyaanmu membuat aku mau tidak mau harus berbalik badan untuk menjawabnya. Tidak, ini bukan yang terakhir kita bertemu. Dunia ini tidak luas jika kita sama-sama mau bergerak. Mungkin saja suatu saat nanti kita akan bertemu di kotaku, atau dimana saja Tuhan menginginkannya. Hanya saja sampai detik ini, aku merasa ada sesuatu yang terlalu menusuk jika terus bertahan di sini, di kotamu.

“Sekali lagi aku minta maaf, Gi.”

Aku bersiap minggat, lalu kamu bangkit dari dudukmu. Kita berlaku layaknya sebuah drama Korea dimana si laki-laki memilih untuk pergi setelah mengetahui si perempuan yang dia sayang ternyata punya kekasih lain.

“Jangan terlalu sering minta maaf, aku sudah memaafkanmu. Kita akan menjadi teman baik setelah malam ini.”

Ah, betapa sok tegarnya aku saat ini. Betapa sabarnya aku malam ini. Padahal semua itu hanya cover agar aku terlihat baik-baik saja. Aku laki-laki dan hatiku saat ini sedang menangis. Tidak ada yang salah jika sesekali laki-laki juga menangis, bukan?

                                                XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Malam sudah terlalu larut dan dingin sedang beringas menusuk tulang. Beberapa saat yang lalu hatiku menangis. Kini mata juga ikut mengekspresikan kesedihannya. Pipiku basah, seperti kamu yang beberapa jam lalu pipinya dialiri air mata.

Aku berbaring di kasur, ditemani bantal empuk dan sehelai selimut panas yang dulu kamu temani membelinya. Mataku masih terlalu basah untuk disatukan kedua kelopaknya. Tidak bisa terpejam, rasanya sedikit perih meski tidak seperih apa yang dirasakan hati.

Entah dalam keadaan yang bagaimana akhirnya aku terlelap, ketika bangun kulihat jam yang menggantung di dinding sudah menunjuk pukul Delapan lebih sedikit. Jadwalku hari ini adalah bersiap-siap. Aku mempercepat keberangkatan ke Bandung beberapa hari. Semua Planning yang sudah ada dalam buku rencana terpaksa dirubah kembali.

Tanggal 14, lebih cepat 2 hari dari jadwal seharusnya, aku beranjak meninggalkan Malang melalui Bandara Juanda di Surabaya. Sudah tidak ada lagi yang perlu diurus, tetapi suatu saat aku akan kembali. Tidak ada satu barangpun yang tertinggal, semua sudah di paketkan sejak 2 hari lalu dan adikku sudah mengurusnya di sana.

“Halo, Gi. Kamu dimana?” Kamu menelfonku sore itu.

“Iya. Kenapa?” Jawabku singkat, dan tidak akur dengan pertanyaan yang kamu ajukan.

“Besok aku ke tempatmu, bisa?”

Aku diam, kamu juga diam menunggu jawaban persetujuanku. Sekali lagi ini seperti drama, ditambah saat itu aku baru saja menginjakkan kaki di Bandara tanah Sunda. Hanya kurang backsound dari lagu-lagu galau perpisahan saja.

“Bisa, Gi?” Tanyamu lagi.

“Maaf. Aku sudah tiba di Bandung beberapa menit lalu.”

Sepertinya nafasmu tercekat, aku bisa mendengarnya dengan cukup jelas. Dadamu sesak, terkejut atas jawabanku. Tentu kamu sudah mengerti atas maksud dari jawabanku baru saja, yang berarti bahwa aku tidak bisa menemuimu.


Aku tunggu balasan darimu. Sepertinya kamu masih terlayang. Masih belum yakin atas jawabanku yang mungkin saja tidak kamu harapkan, ah entahlah. Beberapa saat aku tunggu reaksimu. Sambungan telefon tiba-tiba terputus. Owghht, itukah reaksimu? Aku menyimpulkan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar