Sekitar
15 menit kamu terisak. Pipimu basah oleh derai air mata yang membentuk sungai
berikut dengan anak sungainya. Disaat yang bersamaan aku diam seribu bahasa,
bingung harus berkata dan berbuat apa. Aku biarkan kamu menangis. Karena
menangis adalah luapan ekspresi jiwa. Menangis adalah salah satu cara
menghilangkan gundah, merapikan lagi pikiran-pikiran yang berantakan.
“Gi,
aku minta maaf.” Ada suara diantara isak tangismu, sementara aku seolah tidak
mendengar.
Kali
ini aku tidak bersikap romantis, pun sebenarnya aku bukanlah seorang yang
romantis. Tetapi setidaknya setiap laki-laki selalu punyai satu sisi bernama
kepekaan, yang seringkali diinginkan seorang perempuan tanpa harus mereka
ucapkan. Sayangnya untuk beberapa kesempatan termasuk malam ini aku tidak
punya.
Saat
kamu menangis, aku diam di tempat, tetap duduk elegan di kursi dengan bahasa
tubuh yang sangat dingin. Ketika suara permintaan maafmu terdengar, aku diam
saja tidak menghiraukan, tidak peduli.
Kamu
menunduk semakin dalam, semakin tidak berani memperlihatkan wajahmu, tidak
berani menatapku. Seharusnya aku bisa mengambil tindakan agar suasana tidak
semakin mencekam. Sedikit sentuhan saja dari ibu jariku pada pipimu yang basah
akan mampu mengubah suasana. Ah, gobloknya aku saat itu. Aku tidak melakukan
apapun. Beku sekali, sunyi, bahkan jangkrik enggan untuk bernyanyi.
“Kenapa
minta maaf?”
Selayang
terdengar ucap lirih suaraku. Tanpa aku sadari pita suara bergetar menghasilkan
nada. Tidak bersih, tetapi cukup untuk kamu mengerti kata apa yang baru saja
aku sebutkan. Perlahan kamu mendongak, dan menatap mataku yang dari tadi
memandang kosong.
“Maafkan
aku, Gi.” Katamu lagi.
Antara
mengerti dan tidak, beberapa saat aku mencerna setiap suku kata yang keluar
dari bibirmu. Ingin aku berkata, ‘Sudahlah
jangan menangis lagi, kamu sudah menangis cukup lama’. Tetapi otak, hati,
dan lidah sedang tidak mau bekerja sama, apa yang diinginkan logika di kepala
bertolak belakang dengan yang hati rasakan sehingga membuat lidah memilih untuk
bungkam saja.
“Mengapa
kamu pura-pura bodoh, Gi? Mengapa kamu tidak marah?” Nada bicaramu sedikit
meninggi.
Haruskah
aku tersenyum atas pertanyaan bodohmu itu? Siapapun yang sedang berada di
posisiku saat ini pasti marah atas semua yang kamu lakukan. Hanya saja setiap
orang punya cara berbeda untuk mengekspresikan marahnya.
Marah?
Ah, tidak. Mungkin lebih tapat disebut kecewa.
Bersambung. . . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar