Jumat, Februari 12, 2016

Isi Sepucuk Surat (Part 3)


Sekitar 15 menit kamu terisak. Pipimu basah oleh derai air mata yang membentuk sungai berikut dengan anak sungainya. Disaat yang bersamaan aku diam seribu bahasa, bingung harus berkata dan berbuat apa. Aku biarkan kamu menangis. Karena menangis adalah luapan ekspresi jiwa. Menangis adalah salah satu cara menghilangkan gundah, merapikan lagi pikiran-pikiran yang berantakan.

“Gi, aku minta maaf.” Ada suara diantara isak tangismu, sementara aku seolah tidak mendengar.

Kali ini aku tidak bersikap romantis, pun sebenarnya aku bukanlah seorang yang romantis. Tetapi setidaknya setiap laki-laki selalu punyai satu sisi bernama kepekaan, yang seringkali diinginkan seorang perempuan tanpa harus mereka ucapkan. Sayangnya untuk beberapa kesempatan termasuk malam ini aku tidak punya.

Saat kamu menangis, aku diam di tempat, tetap duduk elegan di kursi dengan bahasa tubuh yang sangat dingin. Ketika suara permintaan maafmu terdengar, aku diam saja tidak menghiraukan, tidak peduli.

Kamu menunduk semakin dalam, semakin tidak berani memperlihatkan wajahmu, tidak berani menatapku. Seharusnya aku bisa mengambil tindakan agar suasana tidak semakin mencekam. Sedikit sentuhan saja dari ibu jariku pada pipimu yang basah akan mampu mengubah suasana. Ah, gobloknya aku saat itu. Aku tidak melakukan apapun. Beku sekali, sunyi, bahkan jangkrik enggan untuk bernyanyi.

“Kenapa minta maaf?”

Selayang terdengar ucap lirih suaraku. Tanpa aku sadari pita suara bergetar menghasilkan nada. Tidak bersih, tetapi cukup untuk kamu mengerti kata apa yang baru saja aku sebutkan. Perlahan kamu mendongak, dan menatap mataku yang dari tadi memandang kosong.

“Maafkan aku, Gi.” Katamu lagi.

Antara mengerti dan tidak, beberapa saat aku mencerna setiap suku kata yang keluar dari bibirmu. Ingin aku berkata, ‘Sudahlah jangan menangis lagi, kamu sudah menangis cukup lama’. Tetapi otak, hati, dan lidah sedang tidak mau bekerja sama, apa yang diinginkan logika di kepala bertolak belakang dengan yang hati rasakan sehingga membuat lidah memilih untuk bungkam saja.

“Mengapa kamu pura-pura bodoh, Gi? Mengapa kamu tidak marah?” Nada bicaramu sedikit meninggi.

Haruskah aku tersenyum atas pertanyaan bodohmu itu? Siapapun yang sedang berada di posisiku saat ini pasti marah atas semua yang kamu lakukan. Hanya saja setiap orang punya cara berbeda untuk mengekspresikan marahnya.


Marah? Ah, tidak. Mungkin lebih tapat disebut kecewa. 

Bersambung. . . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar