Gemeretuk
gigi ketika menyentuh air tak dapat dihindari, gemetar badan saat melangkah
juga tidak bisa ditutupi. Bulu-bulu tangan berdiri ketika tersapa angin subuh.
Seperti robot gerakan wajib 2 rakaat pagi itu. Masih pukul 4 lebih sedikit.
Setengah
5, udara mulai bersahabat, dingin tidak lagi memenjara. Badan yang lelahnya
belum hilang sejak kemaren sore kembali merebah di Kasur empuk sekitar 30 cm
dari lantai. Kebetulan tidak ada kegiatan hingga siang ini.
Sekitar
5 menit lamanya, mata pun saat itu belum sempat memberadukan kembali dua sisi
kelopaknya, tiba-tiba ada yang bergetar di atas meja. Dengan sedikit gerakan ke
arah kiri, kujorokkan badan dan meraih Handphone yang tergeletak manis di sana.
Sebuah
pesan masuk dari Kota Bandung. Ini hari ke 4 semenjak acara itu selesai. Hari ke
6 sejak kami pertama berkenalan, dan hari ke 7 sejak aku pertama kali
melihatnya. Tidak ada yang penting sepertinya, hanya sebuah ucapan selamat pagi
yang menghangatkan dingin pagi itu.
Tersenyum
aku membaca dan agak tergesa membalasnya. Mata yang tadinya cukup berat
meskipun belum terlelap kembali terasa ringan untuk berkedip. Kutarik selimut
dan sedikit agak bermanja pagi itu sambil menunggu balasannya.
Gerangan
apa yang membuatnya menyapa pagi ini? Tentunya ada sesuatu yang cukup penting.
Tidak mungkin sekedar menyapa dan mengucap selamat pagi saja. Aku menunggu itu,
sambil berbaring di kasur yang semakin empuk terasa akibat membaca namanya.
“Kapan
mau main ke Bandung, Mas?” Begitu bunyi balasannya.
Sejenak
aku berpikir, sampai detik ini aku belum punya rencana apa-apa untuk
mengunjungi kota Mode. Memang pernah terniat beberapa kali untuk berjalan-jalan
ke sana, beberapa kali pula niat itu batal terlaksana. Dan subuh ini bahkan
bayangan kota Bandung pun tidak masuk dalam kepala.
“Insya
Allah, kalau ada waktu ya.”
Ah,
singkat sekali jawabanku. Ku pikir dengan begitu percakapan kami pagi ini akan
berakhir dengan sebuah pesan terakhir darinya dengan kata penutup seperti, “Oh,
ya sudah kalau begitu”, atau “oke deh, Mas”. Buru-buru aku menyesal atas apa
yang baru saja kutulis dan sudah ada laporan terkirimnya.
Dan
memang benar, dia agak lama membalasnya. Mungkin berpikir jawaban apa yang
sekiranya pas untuk kata-kataku yang terkesan sombong dan tidak ingin
berkomunikasi itu. Sontak saja rasa was-was muncul memburu nafas. Dan aku pun
dibuat uring-uringan tidak jelas karenanya.
“Hmmm.
. . ya sudah, Mas”
Owgh,
dan benar saja, sesuai dengan prediksiku dia membalasnya. Namun kecewaku cukup
hilang ketika membaca chat nya di baris kedua dan ketiga.
“Jangan
lupa kabarin ya kalau main ke sini.” Itu isi baris kedua dan aku tersenyum.
“Nanti
pasti di service kok kalau datang” Dan aku tidak menyia-nyiakan baris ketiga
dengan memperpanjang percakapan, hingga akhirnya sampai dia berangkat kuliah
kami masih terpaku dalam kolom chatting.
Hari
berlalu dengan kegiatannya yang super sibuk dalam beberapa hari dan cenderung
lama membalas chattingku. Aku pun memaklumi karena dari apa yang dia ceritakan
dia sudah mulai masuk kuliah semenjak beberapa minggu yang lalu sementara aku
masih menyisakan libur sekitar 2 minggu lagi.
Awalnya
kami terpaku dalam keformalan bahasa saat chatting, dia memanggilku Mas dan aku
memanggilnya Teteh. Entah bagaimana mulanya, muncul kesepakatan untuk tidak
lagi memakai kata sapaan.
“Gak
usah panggil Teteh, kaku banget kayaknya.”
Ya,
dengan demikian, dengan langsung menyebut nama, percakapan kami jauh terasa
lebih hidup, tidak canggung dan terasa lebih akrab. Hingga suatu malam aku
berani menelponnya karena memang sedang benar-benar tidak ada kegiatan malam
itu.
“Kamis
besok aku ke Bandung.” Begitu kataku di telfon.
“Bener?
Ada acara apa di bandung?” Terdengar logat sundanya yang masih kental.
“Cuma
menghabiskan liburan. Suntuk juga seminggu lebih nggak kemana-mana.”
“Mau
aku jemput?” Tawarannya membuat aku terdiam.
“Memang
kamu gak kuliah?”
Tanyaku
sedikit berbasa-basi padahal itulah tujuanku sebenarnya untuk menelpon malam
ini. Namun jika pun memang dia tidak bisa, tidak masalah bagiku. Banyak temanku
yang sedang berada di bandung, teman SMA, teman satu kampus, dan juga
teman-teman bekas aku mengikuti acara-acara tingkat nasional maupun regional. Tetapi
dengan dia, tentu ada cerita menarik yang akan membuatku tersenyum setiap
sebelum tidur.
“Kamu
berangkat kamis siang kan? Berarti sampe di Bandung Jumat pagi. Aku gak ada
kelas Jumat pagi.”
Yup,
aku paham maksudnya. Berarti dia bisa dan bersedia menjemputku ke stasiun.
Masih
2 hari lagi jadwal keberangkatanku, tiket sudah di tangan dan beberapa kawan yang
ada di Bandung juga sudah kukabari. Percakapan dengan, oh iya aku lupa
memperkenalkan namanya. Lengkapnya Ratnasih Rosalia Fitri Dewi dan aku
memanggilnya Ratna. Percakapan dengan Ratna melalui chatting tetap berlanjut.
“Otw
Bandung, Teh.” Ku kabari saat kereta baru saja bergerak meninggalkan Malang.
“Hati-hati
di jalan Mas, besok aku tunggu di pintu keluar stasiun.” Ya, sesekali kami
memang masih menggunakan kata sapaan sekedar untuk mencairkan suasana.
Tidak
banyak yang bisa kuceritakan selama perjalanan Malang-Bandung. Langsung saja
ketika aku hampir sampai di stasiun. Aku terakhir kali berbalas chatting dengan
Ratna tadi sekitar pukul stengah 6. Sejam yang lalu. Chatting kami terputus
ketika dia katakan 5 menit lagi berangkat ke stasiun karena rumahnya cukup jauh.
Dan ketika akan memasuki stasiun Bandung, aku kabari lagi Ratna. Tidak ada
balasan dan dalam pikiranku mungkn dia sedang berada di jalan.
Pukul
setengah 7 kereta berhenti, dan balasan dari Ratna belum juga masuk. Mungkinkah
dia masih di jalan? Aku berlama-lama di kereta sambil menunggu balasaan Ratna,
dan juga berlama-lama di kamar mandi stasiun karena belum juga dia membalas
pesanku.
Langkah
kuusahakan sepelan mungkin agar lama sampai di pintu keluar. Aku mulai
khawatir, rasa was-was mulai bergelayut di dada. Gemuruh tidak karuan
menyelimuti pikiran di kepala. Setiap beberapa detik aku cek Hp dan ternyata
kosong. Hingga akhirnya aku benar-benar tiba di depan pintu keluar stasiun.
Sudah sepi ketika itu karena memang aku sangat berlama-lama di kereta dan kamar
mandi. Terlihat hanya beberapa orang yang sedang berjalan ke luar dan beberapa
orang yang menunggu.
Kuperhatikan
satu per satu wajah yang ada di sana. Meskipun baru sekali bertemu aku tidak
ungkin lupa wajah Ratna. Tingginya sepipiku, tidak gemuk dan tidak kurus,
kulitnya putih dan biasanya berkacamata. Gerak-geriknya khas sehingga dengan
mudah dapat dikenali.
Tidak
ada !!! Ratna tidak menjemputku. Apakah dia mengerjaiku? Kucoba menelfon nomor
yang kemaren dia berikan kalau-kalau tidak bisa dihubungi lewat akun sosial.
Awalnya masuk, tetapi tidak ada jawaban. Kedua kalinya kutelpon, masuk, namun
dimatikan. Dan kuulang sekali lagi nomornya sudah tidak aktif. Ada apa
gerangan? Benarkah aku sudah dikerjai?
Dalam
hati, aku masih berharap dijemput Ratna, sehingga kuputuskan untuk menunggu dulu
di stasiun. Mungkin saja dia terlambat atau bagaimana. Namun 2 jam berlalu,
tidak ada tanda-tanda akan kedatangan Ratna. Aku putuskan menghubungi kawan SMA
ku yang sudah pindah ke Bandung, kebetulan dari alamat yang dia berikan, rumahnya
tidak jauh dari stasiun sehingga aku dapat berangkat sendiri ke sana.
Tidak
bertemu dengan Ratna, aku melepas rindu dengan Kensa yang sudah 5 tahun tidak
berjumpa. Dengannya akhirnya aku ditemani berkeliling Paris van Java. Dia ternyata
kini kuliah sambil membuka usaha sendiri. Jadilah aku selama 3 hari di Bandung
sama sekali tidak mengeluarkan uang. Full dibiayai makan gratis, penginapan
gratis, dan tiket masuk ke tempat wisata secara gratis.
Memasuki
hari ke 4, subuh sekali bahkan azan subuh belum berkumandang, Hp ku berdering,
ada panggilan yang nomornya tidak tersimpan di hp. Aku berharap yang
menghubungi adalah Ratna.
“Halo”
Suaraku pelan karena memang masih terlalu gelap dan sepi.
“Gi,
masih di Bandung? Maaf kemaren aku gak jadi jemput, maaf banget. Masih di
Bandung gak sekarang?” yang menelponku bicara dengan sangat tergesa-gesa, baik
aku dan kalian tentu sudah paham siapa yang menelpon. Tidak perlu dijelaskan
lagi bukan?
“Iya,
masih.” Jawabku dan langsung di potongnya.
“Kamu
tinggal di mana?”
Kusebutkan
alamat rumah Kensa tempat selama 3 hari ini aku numpang menginap dan makan,
juga numpang diajak jalan-jalan.
“Oh
iya aku tahu. Ntar siang kamu ada acara? Aku ke sana ya.”
Sebenarnya
hari ini aku akan diajak jalan ke beberapa tempat oleh Kensa. Tapi mendengar
suara dari Ratna aku merasa gampang saja untuk membatalkan acara dengan Kensa.
“Nggak
kok.” Akhirnya aku menjawab.
“Jam
9 ya aku ke sana.”
Aku penasaran akan cerita Ratna yang
sudah berjanji menjemput dan mengajak berkeliling Bandung tiba-tiba hilang
begitu saja ketika aku benar-benar menginjak tanah Sunda. Marah? Tidak. Kecewa?
Tidak juga. Pastinya ada sesuatu yang sedang terjadi dan aku sangat ingin tahu
akan hal itu
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku
hanya bisa terdiam mendengar penjelasan panjang Ratna selama 3 hari menghilang.
Saat itu kami sedang duduk di alun-alun Bandung. Aku diam saja dan tidak banyak
berkomentar. Takut salah bicara atas keadaan yang sedang terjadi pada Ratna.
Ceritanya yang sangat detail sampai sudut-sudut terkecil membuat aku luluh. Ada
rasa iba yang sekaligus terselip kagum padanya. Ah, bagaimana seandainya aku
yang berada di posisi Ratna? Apakah aku bisa sekuat dan setegar itu?
Aku
putuskan untuk menambah hari dan lebih lama menghabiskan waktu di Bandung
hingga liburanku benar-benar habis. Dan setiap harinya aku bertemu Ratna dan
kami jalan-jalan hingga sudut kota. Ratna akhirnya mengantarku lagi ke stasiun dan itu terakhir kali aku bertemu dengannya.