Source Image: google |
Terus terang saja, aku sangat-sangat shock ketika mendapat tawaran untuk training di negeri Ratu Elizabeth selama 3 bulan sebelum melakukan penelitian di pedalaman Sumatera. Yup, dapat dibayangkan, bocah kampung yang sedang kebingungan dengan judul penelitian untuk tugas akhir demi gelar sarjana ini awalnya hampir frustasi. Itulah aku. Beberapa temanku sudah mendapatkan tempat magang yang pas, menemukan topik dan judul yang cocok dan sudah di ACC dosen pembimbing masing-masing, bahkan beberapa diantara mereka ada yang sudah mulai penelitiannya.
Pagi itu, -ingin kuceritakan sedikit kronologisnya- Kota Malang sedang berada dalam suhu sekitar 20 derajat Celcius. Cukup dingin dengan embun yang membasahai dedaunan pagi itu. Tidak ada hujan, malah sepertinya mentari sudah bersiap di ufuk timur sana untuk membuat hari ini lebih berkeringat dari biasanya.
Aku berangkat ke kampus -masih- dengan langkah gontai karena tak kunjung menemukan ide terkait penelitian yang harus segera disiapkan proposalnya. Mungkin karena doa pagi ini yang lebih khusyuk dan panjang, Tuhan mengantarkan langkahku untuk dapat bertemu dengan seorang kawan yang saat itu sudah lebih baik nasibnya. Dikatakannya, masih ada tempat jika aku ingin ikut.
Diajaknya aku bertemu seorang dosen, yang kutahu memiliki beberapa proyek besar. Biasanya beliau melimpahkan proyek-proyek kecil dari sub proyek besar kepada mahasiswa bimbingannya, salah satunya adalah kawanku ini yang kelimpahan proyek penelitian di Sumatera bagian selatan. Tentu menyenangkan jika sudah begitu, tidak perlu pusing lagi, hanya dituntut untuk bekerja keras karena ada deadline yang menunggu tanpa bisa ditolerir.
Diperkenalkannya aku pada dosen tersebut, dosen yang mengajarku di beberapa mata kuliah sebelumnya. Dia buka percakapan pagi itu dengan sopan, diutarakannya maksud ingin bertemu. Sekilas kulihat ada tanya di wajah dosen yang merupakan Doktor lulusan Inggris itu ketika melihatku.
"Oke, jadi kalian berdua nanti ke sana, dan tinggalkan nama lengkap sekaligus nomor Hp. Nanti saya hubungi orang yang di sana, menyetorkan nama kalian secara informal dulu. Karena kalau yang secara resmi itu kan dari proposal yang kalian kirim nanti."
Sempat nafasku berhenti sejenak, bertanya dalam hati. Semudah itukah? Hanya selang satu jam, langkah gontaiku berubah langsung menjadi tatapan semangat. Kebingunganku selama berminggu-minggu lenyap setelah bertemu selama kurang dari 5 menit dengan Doktor ini.
Kutanyakan beberapa prosedur yang harus dilalui, beberapa persyaratan yang harus dilengkapi, serta tetek bengek setiap hal kecil yang harus dilakukan. Meski belum 100% resmi, tetapi setidaknya sudah ada gambaran kemana aku akan melangkah selanjutnya.
"Kamu bisa Bahasa Inggris?" Tanya sang Doktor diantara gembira sesaat kala itu.
Sebelum sempat kujawab, beliau melanjutkan.
"Begini, Ini ada proyek dari Inggris, tapi orangnya nggak bisa datang ke Indonesia. Kalau ada SDM dari sini, kalau kamu bersedia dan berani, saya akan tempatkan kamu di Inggris untuk Training selama 3 bulan sebelum mulai penelitian."
"Maaf, Pak?" Aku masih ragu dengan maksud yang Doktor itu ucapkan.
"Kamu bisa bahasa Inggris? Jika kamu bisa, dan kalau kamu bersedia, saya hubungkan kamu dengan teman saya di sana. Kamu ke Inggris. Berani?"
Kalian tahu apa yang aku rasakan saat itu? Mendapat tawaran ke Inggris -yang pastinya dibiayai- adalah sesuatu yang langka yang mungkin entah kapan akan datang lagi. Adalah orang bodoh yang menolak tawaran seperti itu. Apalagi di tengah kegalauan akan masa depan, mendapat tawaran ke Inggris tentu akan menerangkan lingkar masa depan, menjamin kehidupan beberapa tahun kemudian, bahkan mungkin seumur hidup.
Tanpa pikir pajang, aku menggeleng. Menandakan bahwa penolakan baru saja kulakukan. Penolakan ke Inggris, dibiayai penuh, dan training terkait penelitian dengan professor ahli dari sana. Aku menolaknya. Apakah aku bodoh melakukan hal itu? Mungkin saja, banyak sisi yang menudingku sebagai seorang yang bodoh. Banyak orang ingin mendapatkan hal seperti itu, dan aku yang mendapat tawaran, lalu hanya dalam hitungan detik kuputuskan untuk menolak. Ya, aku memang bodoh.
Kebodohan yang dituding kepadaku tidaklah semata karena aku tidak berpikir. Ada satu alasan yang membuat aku menolak tawaran emas tersebut. Satu hal yang menghilangkan jaminan sukses di masa depanku, satu hal yang menghilangkan tangga menuju karir cemerlangku. Aku lebih memilih di pedalaman Sumatera daripada berangkat ke negara maju di Eropa sana.
Langsung malamnya, kutelfon orangtua dan kedua adikku di rumah. Kebetulan keduanya sedang berada di penghujung tingkatan sekolah masing-masing. jadi sedang berkutat dalam ujian-ujian Try Out sebelum kelulusan. Satu pertanyaan yang kuajukan malam itu.
"Bagaimana nilai bahasa Inggris kalian?"
Kujelaskan dengan sangat detail mengapa aku bertanya demikian. Jelas ibuku kecewa atas peristiwa yang terjadi padaku hari ini, tetapi beliau juga dapat memaklumi bagaimana kemampuanku, memang belum saatnya untuk aku terbang jauh. Kemampuan yang lemah -bahkan sangat lemah- dalam berbahasa Inggris membuat gerak dan kepakan sayapku menjadi sangat terbatas. Memang tidak ada kata terlambat untuk memulai, tetapi waktu sudah banyak terhabiskan sia-sia, hingga akhirnya aku tetap berada di sini dengan ilmu yang mungkin akan berbeda tingkat perkembangannya dibandingkan jika aku menerima tawaran sang Doktor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar