Rabu, Maret 09, 2016

Manusia Tanpa Intelegensi

source image:google
Dulu sewaktu kecil, aku meraih beberapa prestasi, menjadikanku bocah tersohor di kampung kecil kami di pedalaman Sumatera sana. Dan kebanyakan orang tua yang saat itu memiliki anak sesusiaku, seringkali menjadikan aku sebagai patokan dalam membimbing dan mendidik anak-anak mereka. Saat itu aku tidak mengerti apa-apa, tidak paham dengan maksud mendidik dan membimbing, juga tidak mengerti sama sekali apa yang disebut dengan prestasi. yang jelas dalam kepalaku hanyalah setiap disuruh ikut lomba, maka aku selalu berusaha untuk menjadi juara, itu saja.

"Lihat Hanagi. . . Contoh dia. . ." Begitu kira-kira kudengar saat orangtua di kampungku memarahi anak-anaknya.
 
Aku pernah mendengar Ibuku beberapa kali mendapat pujian atas piala-piala yang berhasil kubawa pulang -kini tersusun rapi di lemari yang sudah lapuk di dekat ruangan tamu-. Ayah juga dalam bahasa warung kopi sering tersenyum bangga ketika teman-temannya membicarakan aku. Dan aku, atas juara-juara sebelumnya, selalu mendapat tekanan ketika berada di rumah. 

Tekanan terberat semasa hidupku adalah ketika hari pembagian raport. Untuk urusan sekolah, aku memang tidak terlalu mentereng. Walaupun beberapa kali pernah membuat orangtuaku maju untuk mengambil hadiah juara. Tetapi, apapun yang terjadi, bagaimanapun hasil di raportku, pasti aku selalu mendapat teguran, entah itu ketika nilaiku menanjak drastis dari semester sebelumnya, apalagi saat nilaiku terjun bebas, pun sama saja ketika aku mendapat juara kelas. Sebagai bocah yang 90% dalam kepalanya hanya ada bermain dan bermain, aku menganggap ini adalah amarah dari orangtuaku. Sehingga dalam hidupku, salah satu hari yang kubenci adalah saat pembagian raport sekolah.

Kini usiaku sedikit telah melewati 20 tahun. Tidak ada lagi marah di hari pembagian raport. Akhir-akhir ini kusadari bahwa prestasi semakin menjauh dariku. Di usia yang sekarang, aku hanya menjadi seorang mahasiswa biasa dengan IPK pas-pasan. Tidak aktif di kegiatan apapun. Prestasi akan lomba-lomba yang dulu kuikuti merosot dan meghilang bekasnya.

Saat ini, aku ketakutan. Tidak berani melihat masa depan yang entah akan bagaimana dia nanti menerimaku. Aku bukan manusia dengan intelegensi tinggi yang akan menjatuhkan saingan dengan mudah, yang akan menyisihkan lawan dengan gampangnya. Prestasi yang dulu segudang hanyalah cerita lama yang tidak lagi bisa di ungkit. Aku ketakutan, takut setakut-takutnya. 

Aku menangis, berhari-hari. Aku berjalan tengah malam menghilangkan gundahku. Aku kuliah, cerita dosen tentang persaingan masa depan membuat kepalaku ingin pecah. Aku berteriak tanpa sadar. Semua yang mendengar kaget, hening. Lalu aku keluar tanpa izin. Meninggalkan ruangan tanpa pamit. Mereka semua melongo melihatku dengan tatap iba sekaligus takut. Sang profesor hanya diam memaklumi dengan tatap syahdu. Lalu aku menyapa beberapa bocah SD yang sering berlari dan bermain di depanku, kuikuti mereka. betapa menyenangkannya menjadi seorang bocah SD. Tidak perlu memikirkan kerasnya masa depan. Hanya bermain dan terus bermain. Mereka berlari, aku juga ikut berlari. mereka mandi hujan, aku juga ikut bersama mereka. Mereka bermain aku juga ikut bersama mereka. Betapa menyenangkannya. 

"Hanagi." Ibu memanggilku. mata Ibu nampak sembab.

Sejak kapan? Sejak kapan ibu datang ke sini? Jarak kota ini hampir 2000 kilometer dari rumah. Mengapa Ibu tidak memberitahuku terlebih dahulu kalau akan datang? Apa Ibu memberiku kejutan? Ah, ada Ayah juga. Mengapa mereka datang tanpa memberitahu terlebih dahulu? Mengapa harus repot mengunjungiku? Bukankah keadaan keuangan di rumah sedang kacau? Dengan uang pinjaman dari mana Ayah dan Ibu berangkat ke sini?

Ibu berlari mendekat, memelukku erat. Ayah diam membisu sambil menunduk. Mata beliau berkaca, dan itu tidak pernah kusaksikan sebelumnya. Teman-temanku memandangi. Ibu mencium pipiku lama sekali. Membuat aku malu pada teman-temanku. Ayah lalu mengusap kepalaku beberapa kali,

2 hari kemudian aku diajak untuk balik ke rumah. Ayah dan Ibu mengemasi barang-barangku. Semuanya tanpa ada yang tersisa. Mereka tidak menjawab ketika aku bertanya. Justru air mata Ibu dan tatapan kosong Ayah yang kudapat. Kulihat mereka juga bicara dengan pemilik kost tempat aku tinggal selama ini. Aku benar-benar tidak mengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar