[PART I]
Malang sudah larut dalam dingin ketika Hans masuk kota dari arah Arjosari. Belum dapat dilihatnya apa yang berubah dengan Malang setelah 8 bulan dia tinggalkan. Travel yang Hans tumpangi berbelok ketika tiba tepat di stasiun kota Malang, tempat yang paling menjadi kenangan baginya.
Malang sudah larut dalam dingin ketika Hans masuk kota dari arah Arjosari. Belum dapat dilihatnya apa yang berubah dengan Malang setelah 8 bulan dia tinggalkan. Travel yang Hans tumpangi berbelok ketika tiba tepat di stasiun kota Malang, tempat yang paling menjadi kenangan baginya.
Hans bahkan tidak tahu kemana ia minta supir untuk mengantarkan. Dalam rencana dia akan menumpang menginap di rumah kontrakan Ivan, kawannya di awal kuliah dulu. Mereka ada 5 orang, dan semuanya Hans kenal cukup dekat. Fatalnya, Hans lupa meminta alamat rumah Ivan, sama sekali tidak dia pertimbangkan delay pesawat dari Jakarta yang membuatnya harus tiba di Malang sekitar pukul 12 lebih sedikit, terlambat 7 jam dari jadwal yang seharusnya.
Untung saja, Wed masih di luar. Satu-satunya anak yang bisa Hans hubungi malam itu, yang membuatnya tidak harus mengemper di jalanan hingga pagi tiba.
"Turun saja di depan bundaran pesawat."
Senyum kecil Hans muncul di sudut bibir, bersemangat dia memberi tahu supir kemana tujuan pastinya.
"Bundaran pesawat ya Pak."
20 menit berikutnya Hans tidak lagi berada di dalam travel. Kini ia sendiri berdiri di pinggir jalan tepat di depan bundaran. Sepi, di warung ujung sana hanya tampak beberapa orang yang masih duduk berhadapan dengan gelas kopi mereka yang hampir kosong. Dulu warung itu adalah favoritnya dan Ivan menghabiskan malam, di sana juga dia bertemu dengan Wed. Dikiranya Wed masih di sana, sehingga di suruh turun di bundaran saja.
Dipandanginya, satu-satunya bangunan yang masih menyisakan orang, yang masih terang dan masih ada aktifitas.
"Wed." Sapa Hans ketika tiba di depan warung dan dipastikannya yang berbaju hitam dan topi terbalik itu adalah kawan yang akan ditumpanginya.
Seperti setiap pertemuan, semua diawali dengan jabatan tangan. Entah kebiasaan semua mahasiswa, atau hanya mahasiswa Malang saja.
15 menit berikutnya Hans sudah berada di motor Wed, dan mereka meluncur ke Jalan Ikan-ikan.
"Aman Hans?"
"Udah kangen Malang parah."
Sudah tidak ada sungkan meskipun Hans baru pertama kali masuk ke dalam rumah Wed dan kawan-kawan.. Selalu sama, berantakan dan abu rokok bertebaran di mana-mana.
Wed menyuruh Hans masuk ke kamar di ujung. Kamar Ivan yang ternyata sedang pulang kampung ke Bandung.
############################
Sore, hampir selalu rumah itu ramai. Dan Hans sedang berada di antara pemilik rumah kecuali Ivan. Wed, Fahri, Ambon, dan Nusa sedang menyambut Hans dengan menikmati oleh-oleh khas Sumatera Selatan dari Hans.
Asap rokok mengepul diantara cerita mereka. Hanya Nusa yang tidak begitu akrab, dia orang yang baru 2 semester terakhir ini dikenal Hans. Tetapi Nusa orang yang terbiang supel. Tidak butuh waktu banyak untuk mengakrabkan diri sama seperti kepada yang lain.
"Anak 2014 yang dulu deket sama kau siapa, Hans?"
"Yang mana?" Jelas Hans bingung menjawab pertanyaan Ambon. Belum mengerti dia apa yang sedang di bahas Ambon.
"Yang itu lho, sering kau cerita ke Ivan."
"Elsa?" Hans tidak begitu yakin, dia masih berpikir nama lain saat menyebut nama itu.
"Nah iya, rumahnya itu di depan."
Tanpa aba-aba, semuanya melongo ke pintu yang terbuka setengah. Jelas orang yang mereka sebut tidak ada, pintu rumahnya di seberang jalan juga tertutup.
"Masih deket Hans?"
"Udah gak terlalu Ri, udah 8 bulan gak di sini juga."
"Tunggui aja sore jam 5 an di depan, dia balik kampus."
Hans diam saja, tetapi sudah bertekad untuk sore ini menghabiskan waktu di teras rumah, mengikuti saran Fahri.
####################
"Elsa."
Seseorang dipanggil Hans dari balik pagar rumah.
Yang merasa terpanggil menoleh, Berhenti dulu dia sejenak tepat di depan pagar rumahnya yang setengah terbuka. Yang perempuan itu lihat Hanya Hans. Tidak ada orang lain di situ, lagi pula ini menjelang magrib. Sudah barang pasti kompleks itu menjadi perumahan yang sangat sepi.
"Hans."
Agak lama Elsa menjawab. Dia pastikan dulu bahwa yang dilihatnnya adalah Hans.
"Kok bisa di sini?" Lanjut Elsa.
"Numpang. Dari mana?"
"Dari kampus."
Terasa sekali oleh Hans bahwa pembicaraan mereka sangat kaku. Maklum saja, semenjak Hans terbang ke Sumatera 8 bulan yang lalu, mereka tidak pernah berkomunikasi lagi. Juga sebelumnya mereka tidak sempat untuk cukup akrab. Hanya sempat dekat beberapa bulan saja, dan itu hanya lewat chattingan, senjata mendekati perempuan zaman itu.
"Aku masuk dulu ya."
Elsa akhirnya mengundurkan diri setelah didengarnya Azan Magrib berkumandang di Mushola di utara komplek.
"Dia gak manggil Kak, apa Mas, apa Bang gitu Hans?" Ambon ternyata mendengar percakapan Hans dan Elsa, tidak sengaja tentu saja.
"Nggak."
Ambon juga tidak ambil pusing sebenarnya, pertanyaan itu hanya untuk menyapa Hans saja.
#########################
"Hans, hari ini gotong royong ya."
"Tumben."
"Ini perintah wajib Pak RT, liat aja rumah di sini pada bersih."
Sebagai tamu Hans menurut saja, diambilnya gunting rumput lalu dipangkasnya dahan Beringin hiasan di depan rumah yang sudah mulai tidak beraturan bentuknya. Fahri mengambil sabit, dibersihkannya halaman di pojok kiri yang sengaja tidak di semen untuk menumbuhkan bunga. Wed, Ambon dan Nusa juga tidak ketinggalan.
"Seng bersih yo le."
Seorang ibu yang kebetulan lewat menyapa, tertarik melihat 4 mahasiswa minggu pagi sudah gotong royong. Bu Ani, itu Ibunya Elsa.
"Nggeh Bu." Nusa yang satu-satunya orang Jawa diantara mereka menjawab.
"Dari mana sampean Bu?" Lanjut Nusa dengan bahasa Indonesia yang sangat medok.
"Oh iki." Bu Ani memperlihatkan kresek hitam yang dibawanya.
"Opo iku?"
Nusa tidak ingin tahu, tetapi sudah terlanjur bertanya karena saraf sensoriknya yang terlalu aktif. Lagipula dia sebenarnya juga tidak terlalu peduli.
##############
Hampir dua jam mereka di halaman, terakhir ditutup dengan duduk bersama di teras. Ambon baru saja menghidangkan kopi hitam, minuman rutin mereka setiap pagi.
"Kosong aja gak ada gorengan atau roti?"
"Ada di tasku, ambil gih."
"Ah nantilah." Ambon menolak masuk ke rumah lagi, sementara Hans juga enggan mengambil roti di tasnya.
Duduk di teras adalah kebiasaan mereka. Aroma udara di teras itu sejuk, pengaruh bunga mawar dan melati yang campur aduk, juga bunga-bunga lain milik tetangga yang cukup tajam harmnya. Dan juga pemandangan sore dari teras rumah mereka begitu menarik. Dapat langsung disaksikan matahari terbenam diantara gelombang bukit-bukit yang mengelilingi Malang.
"Mas."
Seseorang memanggil di seberang sana. Tidak jelas memanggil siapa, yang pasti arahnya adalah kepada Hans dan kawan-kawan.
"Ini ada gorengan. Sini ambil."
"Nah tuh Wed, yang tadi kamu tanyain."
Wed memang baru saja menanyakan gorengan, tetapi untuk berdiri menjemput gorengan yang ditawarkan, terlalu berat pantatnya terasa.
"Hans, kali aja bisa liat Elsa, sekalian PDKT sama camer." Ucapnya.
"Ah alesan lah." Hans tidak menolak, dia lalu berdiri dan berjalan ke seberang.
"Baru ya Mas di sini, kok gak pernah liat?"
Pertanyaan Bu Ani memaksa Hans untuk tertahan beberapa menit di sana, mengakibatkan kedatangan gorengan menjadi terlambat.
"Iya Bu, saya baru selesai magang."
"Dimana?"
"Di Sumatera Selatan."
"Adohee."
Hans tidak menjawab lagi.
"Ini bawa ke sana. Buat nyemil abis kerja."
Diambilnya piring yang berisi gorengan lalu dibawanya. Hans berterima kasih, tetapi dia tidak melihat Elsa seperti harapannya.
"Oh iya, sek Mas."
Hans berbalik.
"Elsa, bawa agar yang di meja ke sini."
"Iki Mas, ada tambahan lagi."
"Aduh, banyak amat Bu." Hans merasa sungkan sendiri.
Bu Ani masuk ke rumah, bersamaan dengan itu Elsa muncul dengan sekotak agar di tangannya.
"Banyak bener, jadi gak enak."
"Gapapa Mas. Bawa aja, penghilang capek abis kerja" Suara Bu Ani terdengar, tetapi orangnya sudah tidak kelihatan.
"Ekhhmm." Wed berdehem kecil, tapi suaranya terdengar sampai ke telinga Elsa.
"Yuk gabung ke sana." Hans menawarkan Elsa.
Elsa tidak menolak. Diikutinya langkah Hans dari belakang. Tidak sampai semenit mereka sudah tiba di seberang lagi.
"Apa kata camer tadi Hans?"
Ambon langsung menyambut Hans dan Elsa dengan pertanyaan Dahsyat, menyambut kedatangan gorengan dan agar lebih tepatnya. Sementara Wed mematikan rokoknya melihat Elsa datang. Nusa menawarkan kopi yang sudah jelas ditolak Elsa, Fahri diam saja. Sementara itu Elsa tersenyum, berniat menjawab pertanyaan Ambon tapi tidak jadi, kemudian memilih duduk di samping Hans yang berhadapan dengan Fahri dan Nusa.
"Ngapelmu deket berarti ya Hans." Wed mulai membuka obrolan dengan melibatkan Elsa di dalamnya.
"Yo iyo to, sebrangan kok, ganok sak menit nyampe." Justru Nusa yang menyambut pertanyaan Wed kepada Hans dengan bahasa Jawanya.
"Hans, tinggal di sini aja deh. Biar kita sering-sering dapat berkah." Ucap Fahri meraih agar dan menjebloskan ke mulutnya.
"Iya bener tuh, sekalian ngapelmu gak butuh biaya Hans", Ambon ikut meramaikan obrolan.
Elsa tersenyum mendengar percakapan mereka, yang membicarakan dia dan Hans, yang sesekali diiringi tawa dan candaan, yang bahkan ia juga ikut tertawa dibuatnya. Tanpa disadarinya, Elsa menyimpan harap dari obrolannya dengan Hans dan kawan-kawan.
Bersambung. . . . . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar