[KEEMPAT]
Aku
tumbuh dan menghabiskan waktu dengan kegiatan yang biasa-biasa saja. Adem ayem
dan kadang agak membosankan. Dunia SMA tidak berpihak pada keinginanku mulanya.
Aku gagal masuk daftar kepengurusan OSIS periode baru. Bukan karena aku bodoh
dan tidak berkompeten, melainkan karena aku tidak banyak mengenal orang-orang
yang sebelumnya berkecimpung di sana. Kejadian itu cukup membuatku terpukul
telak. Aku menyaksikan betul seorang yang tidak bisa apa-apa, namun karena
mengenal banyak senior yang menjadi pengurus ketika itu, namanya ikut
terpampang di papan pengumuman penerimaan pengurus baru.
Bukan
aku merasa tinggi dan meremehkan yang lain, tetapi mereka yang menyeleksi
pastinya punya kriteria dalam penilaian. Dan hari itu aku sudah mengerti maksud
dan bagaimana cara penilaian dilakukan. Aku pernah berada diposisi sebagai
penyeleksi. Entah penilaian mereka yang tidak fair, atau memang pengurus zaman
itu yang memang goblok dalam menyeleksi. Satu hal yang dapat kupastikan, praktek
KKN sudah dimulai dari usia ini. Jadi kurasa bukan hal aneh jika prilaku KKN
terus terbawa hingga ranah kenegaraan. KKN adalah budaya negeri ini yang sudah
mendarah daging, entah dari siapa mulanya. Sudah dari kecil diajar dan
diterapkan, jadi tidak bisa pejabat negara itu disalahkan jika mereka
berprilaku demikian.
Gagal di
OSIS, aku coba peruntungan di organisasi lain. Gagal juga mulanya, namun hanya
orang bodoh yang akan jatuh berkali-kali di lubang yang sama. Dan aku bukan
termasuk orang yang bodoh. Singkat cerita, aku menjadi bagian dari organisasi
yang tidak semua SMA memilikinya. Dengan caraku sendiri dalam memainkan peran.
Kurang fair? Mungkin saja, tapi apa boleh buat. Aku bukan seorang yang ingin
terinjak terus menerus. Mereka bermain curang maka akan kulawan dengan cara
curang yang dianggap fair.
Tentang
organisasi ini tidak banyak yang harus kuceritakan. Tidak begitu menarik dan
tidak juga punya kaitan yang kuat dengan topik ceritaku, kecuali seorang senior
yang dulu pernah marah seharian penuh tanpa alasan saat MOS. Dia tidak lagi
sama, tidak lagi sering marah dan tampak lebih ramah sekarang. Kupikir dulu itu
adalah tuntutan sebagai panitia MOS, agar menampakkan wajah garang dan tegas.
Untuk sekarang, dapat kuterima alasannya, setelah hampir setahun kejadian itu
berlalu.
“Gi,
kamu yang dulu les Bahasa Inggris sama aku?”
Apel
pagi baru saja selesai saat pertanyaan itu ditujukan kepadaku. Aku tersenyum
lalu mengangguk. Tidak perlu berfikir lama karena seper sekian detik sebelum
pertanyaan itu dilayangkan, mataku dan mata Onya sudah beradu pandang. Itu
untuk pertama kalinya setelah belasan tahun. Dan untuk pertama kalinya secara
pasti kuketahui bahwa ternyata kami berbeda tingkatan kelas.
Kupikir
mata Onya cukup anggun. Ada garis tipis di pelupuk bagian bawah. Bukan keriput,
usianya masih belum genap 20 tahun, hanya corak tipis yang membuat matanya
menjadi sedikit lebih elegan saat menatap sesuatu.
Pertanyaan
itu bukan pertanyaan apel pagi, bukan pertanyaan senior kepada junior, bukan
pertanyaan kakak kelas kepada adik kelasnya. Pertanyaan itu adalah buah dari
diskusi Onya dengan satu kawan lainnya yang pernah kutemui juga saat kami les
dulu. Pertanyaan tentang kawan lama.
Tidak
ada bahasan yang lebih panjang setelah anggukan kecilku menjawab pertanyaan
Onya. Hanya terdengar ada ocehan kecil kepada seseorang.
“Bener
kan. Dia juga anak les bareng kita.”
Dan yang
lainnya hanya mengangguk. Terpaksa setuju karena rasanya mereka tidak pernah
melihat siswa laki-laki kurus agak hitam sepertiku selama di kelas. Sudah kukatakan sebelumnya, hadirku di kelas
memang tidak banyak yang menyadari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar