Senin, Oktober 31, 2016

[KEEMPAT]
Aku tumbuh dan menghabiskan waktu dengan kegiatan yang biasa-biasa saja. Adem ayem dan kadang agak membosankan. Dunia SMA tidak berpihak pada keinginanku mulanya. Aku gagal masuk daftar kepengurusan OSIS periode baru. Bukan karena aku bodoh dan tidak berkompeten, melainkan karena aku tidak banyak mengenal orang-orang yang sebelumnya berkecimpung di sana. Kejadian itu cukup membuatku terpukul telak. Aku menyaksikan betul seorang yang tidak bisa apa-apa, namun karena mengenal banyak senior yang menjadi pengurus ketika itu, namanya ikut terpampang di papan pengumuman penerimaan pengurus baru.

Bukan aku merasa tinggi dan meremehkan yang lain, tetapi mereka yang menyeleksi pastinya punya kriteria dalam penilaian. Dan hari itu aku sudah mengerti maksud dan bagaimana cara penilaian dilakukan. Aku pernah berada diposisi sebagai penyeleksi. Entah penilaian mereka yang tidak fair, atau memang pengurus zaman itu yang memang goblok dalam menyeleksi. Satu hal yang dapat kupastikan, praktek KKN sudah dimulai dari usia ini. Jadi kurasa bukan hal aneh jika prilaku KKN terus terbawa hingga ranah kenegaraan. KKN adalah budaya negeri ini yang sudah mendarah daging, entah dari siapa mulanya. Sudah dari kecil diajar dan diterapkan, jadi tidak bisa pejabat negara itu disalahkan jika mereka berprilaku demikian.

Gagal di OSIS, aku coba peruntungan di organisasi lain. Gagal juga mulanya, namun hanya orang bodoh yang akan jatuh berkali-kali di lubang yang sama. Dan aku bukan termasuk orang yang bodoh. Singkat cerita, aku menjadi bagian dari organisasi yang tidak semua SMA memilikinya. Dengan caraku sendiri dalam memainkan peran. Kurang fair? Mungkin saja, tapi apa boleh buat. Aku bukan seorang yang ingin terinjak terus menerus. Mereka bermain curang maka akan kulawan dengan cara curang yang dianggap fair.

Tentang organisasi ini tidak banyak yang harus kuceritakan. Tidak begitu menarik dan tidak juga punya kaitan yang kuat dengan topik ceritaku, kecuali seorang senior yang dulu pernah marah seharian penuh tanpa alasan saat MOS. Dia tidak lagi sama, tidak lagi sering marah dan tampak lebih ramah sekarang. Kupikir dulu itu adalah tuntutan sebagai panitia MOS, agar menampakkan wajah garang dan tegas. Untuk sekarang, dapat kuterima alasannya, setelah hampir setahun kejadian itu berlalu.

“Gi, kamu yang dulu les Bahasa Inggris sama aku?”

Apel pagi baru saja selesai saat pertanyaan itu ditujukan kepadaku. Aku tersenyum lalu mengangguk. Tidak perlu berfikir lama karena seper sekian detik sebelum pertanyaan itu dilayangkan, mataku dan mata Onya sudah beradu pandang. Itu untuk pertama kalinya setelah belasan tahun. Dan untuk pertama kalinya secara pasti kuketahui bahwa ternyata kami berbeda tingkatan kelas.

Kupikir mata Onya cukup anggun. Ada garis tipis di pelupuk bagian bawah. Bukan keriput, usianya masih belum genap 20 tahun, hanya corak tipis yang membuat matanya menjadi sedikit lebih elegan saat menatap sesuatu.

Pertanyaan itu bukan pertanyaan apel pagi, bukan pertanyaan senior kepada junior, bukan pertanyaan kakak kelas kepada adik kelasnya. Pertanyaan itu adalah buah dari diskusi Onya dengan satu kawan lainnya yang pernah kutemui juga saat kami les dulu. Pertanyaan tentang kawan lama.

Tidak ada bahasan yang lebih panjang setelah anggukan kecilku menjawab pertanyaan Onya. Hanya terdengar ada ocehan kecil kepada seseorang.

“Bener kan. Dia juga anak les bareng kita.”


Dan yang lainnya hanya mengangguk. Terpaksa setuju karena rasanya mereka tidak pernah melihat siswa laki-laki kurus agak hitam sepertiku selama di kelas. Sudah kukatakan sebelumnya, hadirku di kelas memang tidak banyak yang menyadari. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar