[PERTAMA]
Nama
yang tidak begitu asing. Belasan tahun lalu kami pernah terjebak di ruangan
yang sama. 2 kali dalam seminggu ruangan kecil di sudut rumah seorang guru SMA
itu menjadi saksi bahwa kami secara tidak sengaja pernah menghabiskan waktu
bersama. Kutaksir usiaku saat itu 10 atau mungkin 11 tahun. Dan Onya, kurasa
usianya relatif sama. Dengan tubuh yang lebih tinggi, kulit yang lebih putih,
dan suara yang lebih lantang dia hadir di antara peserta les Bahasa Inggris
sebagai primadona. Zaman itu bahasa inggris menjadi sesuatu yang menakjubkan.
Hanya saja tidak banyak orang yang tertarik untuk belajar bahasa internasional
itu karena sampai detik itu dinilai tidak perlu.
Tentang
Onya. Sudah lama sekali dan beberapa kejadian tidak kuingat lagi secara persis
kronologisnya. Yang masih ada dalam bayanganku adalah saat pertama kali ikut
les aku masih kelas 5 SD, dan berlanjut hingga 3 tahun kemudian. Beberapa orang
peduli dengan kehadiranku di ruangan itu sebagai siswa baru, beberapa yang
lainnya malah mengacuhkan. Dan kepedulian itu hanya terbatas untuk melihat dan
mendengarkan perkenalanku di depan kelas, lalu kemudian mereka sibuk dengan
urusan masing-masing bersama teman-temannya. Di ruangan itu, terbagi tas beberapa
kelompok yang terbentuk secara alamiah, yaitu kelompok berdasarkan sekolah
asal.
Dari
yang kulihat, hanya ada 3 kelompok besar dalam kelas itu. Dan individu antar
kelompok jarang ada yang berkomunikasi kecuali saat materi mengharuskan untuk berbicara
dengan orang lain. Dan itu biasanya ditunjuk jadi setiap siswa tidak bisa
memilih lawan bicara dari teman-teman mereka sendiri saat praktek interaksi.
Setiap tahun ada saja perubahan jumlah siswa. Karena peraturan les yang tidak
terlalu mengikat, kebanyakan dari mereka ada yang bosan, membuat mereka jarang
hadir hingga akhirnya berhenti secara permanen. Juga bersamaan dari itu ada
yang mulai tertarik belajar Bahasa inggris lalu mendaftarkan diri.
Yang
banyak kuingat adalah tahun terakhir keberadaanku di ruangan kelas itu. Saat
aku sudah berada di kelas 1 SMP. Perubahan dari SD ke SMP rasanya sangat
menakjubkan. Aku sudah merasa menjadi seorang yang lebih dewasa, diakui atau
tidak, bahwa perubahan tingkatan sekolah berbanding lurus dengan perubahan cara
berpenampilan. Sayangnya ketika itu aku tidak mengerti bagaimana harus
mengekspresikan diri sehingga tampilan saat berangkat les tidak ada ubahnya
dengan ketika seperti saat masih SD dulu. Dan satu hal yang didasari dari
penelitian bahwa perempuan lebih cepat tumbuh daripada laki-laki kusaksikan
saat itu. Saat aku dan beberapa siswa lain masih berpenampilan dekil bak anak
kampung yang super udik, lain halnya dengan beberapa orang siswi yang ada di
sana. Mereka terlihat lebih cerah, lebih dewasa, dan tentunya lebih menampakkan
aura kewanitaan, tidak lagi seperti bocah tengik SD yang tidak ada bedanya
antara laki-laki dan perempuan. Mereka cepat sekali berubahnya. Penampilan
mereka membuat aku dan beberapa laki-laki di dalam kelas itu menjadi ngiler. Tetapi apalah daya, kami saat
itu belum terlalu mengerti apa yang disebut puberitas meski sudah berulang kali
dipelajari di kelas 6. Satu-satunya yang kami, khususnya aku pahami adalah
tentang ketertarikan kepada lawan jenis. Tapi tingkah kekanak-kanakanku belum
cukup mampu untuk mengimbangi mereka. Jadilah rasa suka itu hanya menjadi
andai-andai dalam hati.
Aku melihat Onya adalah yang paling
kentara dibandingkan yang lain. Sudah dari beberapa tahun sebelumnya, namun
kali ini jelmaannya semakin hebat saja. Postur yang ideal dan kepandaiannya dalam
berpenampilan (di zaman itu) membuat sebagian dari kami para siswa laki-laki
sering menelan ludah saat memandanginya.
Saat itu
aku masih seorang siswa laki-laki yang sangat pemalu, pendiam, dan udik
(sekarang pun masih namun tidak begitu). Tidak banyak yang dapat kulakukan di
kelas untuk menarik perhatian, bahkan sebagian dari penghuni kelas itu mungkin
ada yang tidak menyadari keberadaanku. Sepanjang waktu berada di kelas aku sering
lebih memilih untuk duduk di pojok belakang dan tidak berbicara jika tidak ada
pertanyaan dari tentor. Dengan teman yang sudah kenalpun jarang sekali aku
bersuara. Bertolak belakang dengan Onya dan beberapa kawannya yang memilih
duduk di tengah atau di depan, aktif dalam belajar dan sering bertanya, juga
tidak jarang mengajak siswa-siswi lainnya untuk sekedar berkenalan atau membicarakan
hal-hal ringan. Pernah juga mengajakku, tapi agaknya dia tidak begitu nyaman
karena kehematanku dalam mengeluarkan kata sangat-sangat parah. Mungkin agak
terkesan sombong aku dianggapnya. Ah, biarlah, aku memang tidak begitu pandai
bergaul, apalagi dengan orang-orang baru, lawan jenis pula.
Pernah
ditanyakan Onya di SMP mana aku sekolah, padahal dia mestinya sudah tahu.
Mungkin sekedar untuk memulai obrolan saja agar suasana kelas tidak begitu
hening.
“Gi,
dari SMP mana?”
“SMP 3”
Aku
menjawab pertanyaan Onya sesuai dengan apa yang ditanyakannya. Tidak kurang
tidak lebih. Bukan aku sombong, tetapi begitulah keadaanku waktu itu.
“Kelas
berapa?”
“Kelas
7.”
Agak
kesal mungkin Onya kubuat. Aku sadar dengan apa yang terjadi. Kubuat saja irama
menjawabku menjadi seramah mungkin, dan berekspresi seramah mungkin juga. Barang
pasti itu tidak berhasil. Dua kata di setiap jawabanku belum cukup mampu untuk
menandai bahwa aku berusaha bersikap ramah.
Onya
kemudian hanya mengangguk. Yang seharusnya kulakukan waktu itu setidaknya
adalah bertanya balik dengan pertanyaan yang sama. Itu akan lebih memperlama
percakapan kami sekaligus membuka ruang untuk berkenalan lebih jauh.
Kuberanikan
dengan sudut mata melihat ekspresi wajah Onya dianggukan terakhirnya. Datar,
namun ada sedikit cemberut terlukis di wajahnya. Sudah sangat jelas alasannya
kenapa. Waktu 15 menit menjadi terasa begitu lama. Telapak tanganku terasa agak
lembab, dan ketiakku mulai berair. Peluh dingin mengalir di punggung dan
dadaku. Rambut bagian pinggir yang dekat dengan telingaku juga mulai basah.
Kipas angin yang menggantung tepat di samping ku tidak begitu terasa
putarannya. Seperti tidak mengantarkan angin sama sekali. Udara dalam kelas
tetap terasa panas.
Sesering
mungkin mata jahilku memberanikan diri melihat ekspresi Onya. 3 menit berikutnya,
ekspresi Onya sudah tidak lagi dalam mode cemberut. Sudah berubah. Dan dia kini
bicara dengan orang yang duduk tepat di depan kami. Lebih nyambung dan
tampaknya Onya lebih nyaman terlihat. Obrolan mereka tidak ada hentinya hingga
pelajaran dimulai.
Sesekali
Onya masih mengajakku bicara di sela-sela pelajaran. Kadang kujawab
pembicaraannya, kadang aku hanya tersenyum sambil melihat wajahnya yang putih
bersih tanpa jerawat. Hanya saja ketika melihat wajahnya sekalipun mataku tidak
pernah menangkap seperti apa sorot matanya saat memandang. Aku tidak berani.
Takut kalau-kalau Onya tiba-tiba melihat dan memergoki bahwa aku sedang
memperhatikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar