Kamis, Oktober 27, 2016

Onya's

[PERTAMA]
                Nama yang tidak begitu asing. Belasan tahun lalu kami pernah terjebak di ruangan yang sama. 2 kali dalam seminggu ruangan kecil di sudut rumah seorang guru SMA itu menjadi saksi bahwa kami secara tidak sengaja pernah menghabiskan waktu bersama. Kutaksir usiaku saat itu 10 atau mungkin 11 tahun. Dan Onya, kurasa usianya relatif sama. Dengan tubuh yang lebih tinggi, kulit yang lebih putih, dan suara yang lebih lantang dia hadir di antara peserta les Bahasa Inggris sebagai primadona. Zaman itu bahasa inggris menjadi sesuatu yang menakjubkan. Hanya saja tidak banyak orang yang tertarik untuk belajar bahasa internasional itu karena sampai detik itu dinilai tidak perlu.

                Tentang Onya. Sudah lama sekali dan beberapa kejadian tidak kuingat lagi secara persis kronologisnya. Yang masih ada dalam bayanganku adalah saat pertama kali ikut les aku masih kelas 5 SD, dan berlanjut hingga 3 tahun kemudian. Beberapa orang peduli dengan kehadiranku di ruangan itu sebagai siswa baru, beberapa yang lainnya malah mengacuhkan. Dan kepedulian itu hanya terbatas untuk melihat dan mendengarkan perkenalanku di depan kelas, lalu kemudian mereka sibuk dengan urusan masing-masing bersama teman-temannya. Di ruangan itu, terbagi tas beberapa kelompok yang terbentuk secara alamiah, yaitu kelompok berdasarkan sekolah asal.

                Dari yang kulihat, hanya ada 3 kelompok besar dalam kelas itu. Dan individu antar kelompok jarang ada yang berkomunikasi kecuali saat materi mengharuskan untuk berbicara dengan orang lain. Dan itu biasanya ditunjuk jadi setiap siswa tidak bisa memilih lawan bicara dari teman-teman mereka sendiri saat praktek interaksi. Setiap tahun ada saja perubahan jumlah siswa. Karena peraturan les yang tidak terlalu mengikat, kebanyakan dari mereka ada yang bosan, membuat mereka jarang hadir hingga akhirnya berhenti secara permanen. Juga bersamaan dari itu ada yang mulai tertarik belajar Bahasa inggris lalu mendaftarkan diri.

                Yang banyak kuingat adalah tahun terakhir keberadaanku di ruangan kelas itu. Saat aku sudah berada di kelas 1 SMP. Perubahan dari SD ke SMP rasanya sangat menakjubkan. Aku sudah merasa menjadi seorang yang lebih dewasa, diakui atau tidak, bahwa perubahan tingkatan sekolah berbanding lurus dengan perubahan cara berpenampilan. Sayangnya ketika itu aku tidak mengerti bagaimana harus mengekspresikan diri sehingga tampilan saat berangkat les tidak ada ubahnya dengan ketika seperti saat masih SD dulu. Dan satu hal yang didasari dari penelitian bahwa perempuan lebih cepat tumbuh daripada laki-laki kusaksikan saat itu. Saat aku dan beberapa siswa lain masih berpenampilan dekil bak anak kampung yang super udik, lain halnya dengan beberapa orang siswi yang ada di sana. Mereka terlihat lebih cerah, lebih dewasa, dan tentunya lebih menampakkan aura kewanitaan, tidak lagi seperti bocah tengik SD yang tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan. Mereka cepat sekali berubahnya. Penampilan mereka membuat aku dan beberapa laki-laki di dalam kelas itu menjadi ngiler. Tetapi apalah daya, kami saat itu belum terlalu mengerti apa yang disebut puberitas meski sudah berulang kali dipelajari di kelas 6. Satu-satunya yang kami, khususnya aku pahami adalah tentang ketertarikan kepada lawan jenis. Tapi tingkah kekanak-kanakanku belum cukup mampu untuk mengimbangi mereka. Jadilah rasa suka itu hanya menjadi andai-andai dalam hati.

Aku melihat Onya adalah yang paling kentara dibandingkan yang lain. Sudah dari beberapa tahun sebelumnya, namun kali ini jelmaannya semakin hebat saja. Postur yang ideal dan kepandaiannya dalam berpenampilan (di zaman itu) membuat sebagian dari kami para siswa laki-laki sering menelan ludah saat memandanginya.

                Saat itu aku masih seorang siswa laki-laki yang sangat pemalu, pendiam, dan udik (sekarang pun masih namun tidak begitu). Tidak banyak yang dapat kulakukan di kelas untuk menarik perhatian, bahkan sebagian dari penghuni kelas itu mungkin ada yang tidak menyadari keberadaanku. Sepanjang waktu berada di kelas aku sering lebih memilih untuk duduk di pojok belakang dan tidak berbicara jika tidak ada pertanyaan dari tentor. Dengan teman yang sudah kenalpun jarang sekali aku bersuara. Bertolak belakang dengan Onya dan beberapa kawannya yang memilih duduk di tengah atau di depan, aktif dalam belajar dan sering bertanya, juga tidak jarang mengajak siswa-siswi lainnya untuk sekedar berkenalan atau membicarakan hal-hal ringan. Pernah juga mengajakku, tapi agaknya dia tidak begitu nyaman karena kehematanku dalam mengeluarkan kata sangat-sangat parah. Mungkin agak terkesan sombong aku dianggapnya. Ah, biarlah, aku memang tidak begitu pandai bergaul, apalagi dengan orang-orang baru, lawan jenis pula.

                Pernah ditanyakan Onya di SMP mana aku sekolah, padahal dia mestinya sudah tahu. Mungkin sekedar untuk memulai obrolan saja agar suasana kelas tidak begitu hening.

                “Gi, dari SMP mana?”

                “SMP 3”

                Aku menjawab pertanyaan Onya sesuai dengan apa yang ditanyakannya. Tidak kurang tidak lebih. Bukan aku sombong, tetapi begitulah keadaanku waktu itu.

                “Kelas berapa?”

                “Kelas 7.”

                Agak kesal mungkin Onya kubuat. Aku sadar dengan apa yang terjadi. Kubuat saja irama menjawabku menjadi seramah mungkin, dan berekspresi seramah mungkin juga. Barang pasti itu tidak berhasil. Dua kata di setiap jawabanku belum cukup mampu untuk menandai bahwa aku berusaha bersikap ramah.

                Onya kemudian hanya mengangguk. Yang seharusnya kulakukan waktu itu setidaknya adalah bertanya balik dengan pertanyaan yang sama. Itu akan lebih memperlama percakapan kami sekaligus membuka ruang untuk berkenalan lebih jauh.

                Kuberanikan dengan sudut mata melihat ekspresi wajah Onya dianggukan terakhirnya. Datar, namun ada sedikit cemberut terlukis di wajahnya. Sudah sangat jelas alasannya kenapa. Waktu 15 menit menjadi terasa begitu lama. Telapak tanganku terasa agak lembab, dan ketiakku mulai berair. Peluh dingin mengalir di punggung dan dadaku. Rambut bagian pinggir yang dekat dengan telingaku juga mulai basah. Kipas angin yang menggantung tepat di samping ku tidak begitu terasa putarannya. Seperti tidak mengantarkan angin sama sekali. Udara dalam kelas tetap terasa panas.

                Sesering mungkin mata jahilku memberanikan diri melihat ekspresi Onya. 3 menit berikutnya, ekspresi Onya sudah tidak lagi dalam mode cemberut. Sudah berubah. Dan dia kini bicara dengan orang yang duduk tepat di depan kami. Lebih nyambung dan tampaknya Onya lebih nyaman terlihat. Obrolan mereka tidak ada hentinya hingga pelajaran dimulai.


                Sesekali Onya masih mengajakku bicara di sela-sela pelajaran. Kadang kujawab pembicaraannya, kadang aku hanya tersenyum sambil melihat wajahnya yang putih bersih tanpa jerawat. Hanya saja ketika melihat wajahnya sekalipun mataku tidak pernah menangkap seperti apa sorot matanya saat memandang. Aku tidak berani. Takut kalau-kalau Onya tiba-tiba melihat dan memergoki bahwa aku sedang memperhatikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar